D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK 7
Kronologi Kasus
Dalam kasus yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 - 24 September 1999 ini
terbagi menjadi 3 bagian besar, yang diawali dengan:
Kronologi Tragedi Trisakti yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 pukul 10.30 pagi hingga
01.30 Subuh pertanggal 13 Mei 1998.
2. Tragedi Semanggi I
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan
Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. Pada tanggal 12
November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung
DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil
menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang
pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian
ia meninggal dunia.
Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan
mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di
kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak
malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang
laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua
arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan juta orang dan
sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga
terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di
jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Mardani, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan
korban meninggal pertama pada hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas
Atma Jaya untuk
berlindung dan
merawat kawan-
kawan sekaligus
masyarakat yang
terluka. Korban
kedua penembakan
oleh aparat adalah
Wawan, yang nama
lengkapnya adalah
Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,
tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran
parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari
sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan
penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang
meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin
bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.
3. Tragedi Semanggi II
Hari Jumat, 24 September 1999, pukul 11.00 WIB, Yap Yun Hap menyaksikan
berita di televisi terkait banyaknya korban luka dan meninggal akibat aksi demonstrasi yang
menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dibahas pemerintah dan
DPR.
Mendengar aksi demonstrasi yang memakan korban jiwa tersebut, tak menyurutkan Yun Hap
untuk kembali unjuk rasa. Sebenarnya ia sampat dilarang mengikuti demonstrasi oleh ibunya.
Namun, ia tetap berangkat demo bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain. Sesampainya
di lokasi unjuk rasa, rentetan peluru diberondong oleh aparat sekitar pukul 20.45 WIB hingga
20.50 WIB. Saat itu, Yun Hap bersama ratusan mahasiswa lainnya tengah berkumpul di
sekitar Universitas Atmajaya. Tiba-tiba dari arah fly over Casablanca datang delapan truk
berisi aparat keamanan dan membuat mahasiswa kocar-kacir akibat rentetan peluru yang
ditembakan.
Tak pelak, kejadian tersebut membuat warga dan mahasiswa berhamburan menyebar ke
berbagai arah untuk menyelamatkan diri. Namun nahas, Yun Hap yang saat itu tengah makan
nasi pemberian masyarakat harus terkapar. Ia tertembak timah panas secara membabi buta
hingga menembus punggungnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan Yap Yun Hap
meninggal dunia.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan juta orang
dan sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga
terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di
jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan.
Upaya Pemerintah
Sudah 10 tahun lebih pengadilan HAM di Indonesia berdiri berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000, tetapi belum dapat mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran
HAM berat yang terjadi di era Orde baru maupun pada era Reformasi sekarang ini. Padahal
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut telah menerangkan dengan jelas setiap porsi
tugas dan kewenangan aparatur negara yang melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, serta pengadilannya. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada Tragedi
Trisakti dapat dilihat dari rekam jejak proses hukum sebagai berikut:
1. Tanggal 6 Juni 1998, pengadilan militer untuk kasus Trisakti dimulai di Mahkamah
Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi Agustri Haryanto dan Letda Polisi
Pariyo. Tanggal 31 Maret 1999, enam terdakwa kasus Trisakti dihukum 2-10 bulan.
2. Tanggal 18 Juni 2001, kasus penembakan terhadap 4 mahasiswa Universitas trisakti
kembali disidangkan di Mahkamah Militer 11- 08 Jakarta. Persidangan kali ini
mengajukan sebelas orang anggota Brimob Polri.
3. Tanggal 9 Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus
Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (TSS), disampaikan Sotardjo Surjoguritno. Isi
laporan: Fraksi PDI P, Fraksi PDKB, Fraksi PKB (3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti
terjadi unsur pelanggaran HAM berat, sedangkan Fraksi Golkar, Fraksi TNI/Polri,
Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Reformasi, Fraksi KKI, Fraksi PDU (7 partai)
menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti.
4. Tanggal 30 Juli 2001, Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti dibentuk oleh
Komnas HAM. Bulan Januari 2002, sembilan terdakwa kasus penembakan
mahasiswa Trisakti di Pengadilan Militer dihukum 3-6 tahun penjara.
5. Tanggal 21 Maret 2002, Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti
menyimpulkan 50 perwira TNI atau Polri diduga terlibat dalam pelanggaran HAM
berat. Tanggal 11 Maret 2003, Kejaksaan Agung menolak melakukan penyelikan
untuk kasus Trisakti karena tidak mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip
ne bis in idem). Kejaksaan agung menyatakan bahwa kasus penembakan mahasiswa
Trisakti telah diadili di Pengadilan Militer tahun 1999 sehingga Kejaksaan Agung
tidak bisa mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Ketua Komnas HAM
menyatakan bahwa prinsip ne bis in idem tidak bisa diberlakukan karena para
terdakwa yang diadili di Pengadilan Militer adalah pelaku lapangan, sementara pelaku
utama belum diadili.
6. Tanggal 30 Juni 2005, Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan kepada
pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti dibuka kembali. Putusan terhadap hal ini akan
dinyatakan dalam rapat pimpinan DPR RI 5 Juli 2005. Dukungan juga datang dari
fraksi-fraksi di DPR, yaitu Fraksi PKS, Fraksi PDI P dan Fraksi PDS.
7. Tanggal 6 Juli 2005, rapat pimpinan DPR gagal mengagendakan pencabutan
rekomendasi Pansus DPR 2001 yang menyatakan kasus Trisakti bukan pelanggaran
HAM berat. Padahal beberapa hari sebelumnya tingkat Komisi III DPR telah
bersepakat untuk membatalkan rekomendasi tersebut.
8. Tanggal 5 Maret 2007, diadakan rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III DPR
RI dan Kejaksaan Agung. Dalam rapat ini Kejaksaan Agung tetap bersikukuh tidak
akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu,
komisi III juga memutuskan pembentukan panitia khusus (PANSUS) orang hilang.
9. Tanggal 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan
tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian Tragedi Trisakti, semanggi I dan
Semanggi II (TSS) ke rapat Paripurna 20 Maret 2007, artinya penyelesaian kasus TSS
akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.
Secercah harapan muncul ketika April 2015, Jaksa Agung H.M. Prasetyo menyatakan
pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus
pelangaaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998. Komisi ini terdiri dari
Kemetrian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara
RI, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelejen Negara serta Komnas HAM (www.bbc.com).
Telah ada upaya nyata dalam penyelesaian kasus Tragedi Trisakti dalam perspektif hukum
maupun HAM. Namun nampaknya belum ada kesungguhan dan komitmen yang kuat dalam
menuntaskan kasus ini. Penuntasan kasus tidak hanya di permukaan saja tetapi harus sampai
ke akar-akarnya.
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa
Semanggi I dan Semanggi II Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus
Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun
sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan
keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan
penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan
dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HA Semanggi I, dan Semanggi II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II
yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27
Agustus 2001.
penyelesaian pelanggaran HAM berat yang menyeluruh semakin mendesak demi
memutus rantai kekerasan dan impunitas yang terus berlangsung hingga sekarang, serta
memenuhi hak seluruh bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk mengetahui
kebenaran sejarah dan belajar dari masa lalu sebagai bentuk jaminan ketidak-berulangan yang
sesungguhnya.
Sebagai upaya menolak berlanjutnya pelanggaran hak atas keadilan, tindakan-
tindakan tidak transparan, dan sejumlah langkah kontraproduktif yang telah memutar balik
demokrasi menjadi semakin mundur, KontraS mendesak sejumlah pihak, antara lain:
1. Presiden menindaklanjuti komitmennya pada pidato Hari HAM Internasional tahun
lalu untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara
menyeluruh, berkualitas dan memulihkan harkat martabat korban, tentunya dengan
partisipasi aktif dan kritis dari korban pelanggaran HAM berat masa lalu;
2. Presiden memastikan bahwa Tim Teknis di bawah Kejaksaan Agung bekerja sesuai
dengan mandat dan kewenangannya, bukan sebaliknya justru menjadi alat cuci tangan
negara untuk menutup akses keadilan, kebenaran dan pemulihan atas kasus TSS, Mei
98, dan kasus – kasus pelanggaran HAM berat lainnya;
3. Jaksa Agung segera melakukan fungsi dan kewajibannya untuk melakukan
penyidikan dan penuntutan atas peristiwa TSS dan Mei 98, sebagaimana mandat UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
4. Kapolri mencabut Peraturan Polri tentang Pam Swakarsa. Pemerintah dan aparatnya
juga perlu menghindari cara-cara represif dalam menghadapi aksi massa sehingga
tidak terjadi keberulangan peristiwa TSS.
Kesimpulan
Akhir pemerintahan orde baru ditandai dengan terjadinya krisis HARMONY
VOL. 1 NO. 1. 12 moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi di
Indonesia. Akibat krisis inilah terjadi ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah
Masyarakat menuntut turunnya presiden Soeharto. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan pemerintahan presiden Soeharto jatuh, antara lain: kejenuhan
masyarakat terhadap pemegang kekuasaan yang sudah sedemikian lama berkuasa,
keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan, krisis keuangan tahun 1997 yang
terus berkembang menjadi krisis ekonomi yang meluas, kekhawatiran pendukung-
pendukung Soeharto yang takut tidak memperoleh tempat di masa yang akan datang,
adanya ketidaksabaran dan kekhawatiran dari pendukung Habibie, adanya rivalitas di
kalangan TNI yang berperan besar pada kehidupan politik masa orde baru, adanya
penarikan dukungan Internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Demonstrasi besar-
besaran di terjadi di berbagai kota. Rakyat menuntut “Reformasi Total” pada bidang
ekonomi, politik dan hukum. Demonstrasi besar terjadi pada tanggal 12 mei 1998 oleh
mahasiswa Trisakti. Demonstrasi yang pada awalnya berlangsung tenang dan damai
berubah menjadi tegang dan mencekam ketika mulai terjadi penembakan yang
membabi buta oleh aparat keamanan yang diarahkan ke kampus Trisakti. Empat
mahasiswa tewas dan banyak lainnya yang luka berat dan ringan dibawa ke rumah
sakit Sumber Waras. Pada Tragedi Trisakti, nampak jelas pelanggaran Hak Asasi
Manusia dihalalkan untuk mencapai tujuan kelompok tertentu. Berdasarkan dari segi
falsafah negara Pansasila dan UUD 1945 memiliki kedalaman dalam memaknai
HAM. Jadi, kendala dalam penegakkan HAM bukan pada segi falsafah dan konstitusi
tetapi pada sikap mental apatur pemerintah dan penegak hukum yang kuang
menghayati makna hakiki dari HAM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Prospek
cerah dalam penegakan HAM di Indonesia, dengan adanya isu HAM yang mencuat
menjadi perhatian Internasional, kemauan politik pemerintah yang semakin kuat
untuk menegakkan HAM di Indonesia dan faktor budaya daerah yang
mempertimbangkan harkat, martabat dan perlindungan terhadap manusia.
Dokumentasi