Anda di halaman 1dari 19

TRAGEDI TRISAKTI DAN SEMANGGI TAHUN 1998

D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
KELOMPOK 7

1. DEBORA SARAGIH (07)


2. DWIYANA AURELIA (08)
3. IMEL SINAGA (16)
4. JOAN ALISHA (20)
5. RAFAEL MINDO (32)

SMA BUDI MULIA PEMATANG SIANTAR


TA 2023/2024
 Motif dan Latar Belakang Peristiwa
Masa Orde Baru yang telah berlangsung selama 32 tahun dibawah pimpinan
Presiden Soeharto, kekuasaan di Indonesia berlangsung secara otoriter dan tidak menerima
kritikan. Kekuasaan kehakiman berada dibawah kontrol dan campur tangan Presiden
Soeharto. Terdapatnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) membuat negara
mengalami krisis moneter. Terjadinya kekuasaan absolut, pembungkaman aspirasi, hingga
kecurangan pemilu, memunculkan berbagai suara kritis yang ditutup rapat/dibungkam oleh
pemerintah seakan-akan segala sesuatu berjalan baik-baik saja.
Pada pertengahan 1997 negara Thailand
mengalami krisis ekonomi. Anjloknya mata
uang Baht merembet hingga turunnya harga
rupiah. Desember 1997 mengutip data Bank
Dunia, nilai rupiah terhadap Dolar AS merosot
hingga 106,9%. Hal tersebut mendorong
terjadinya penarikan dana besar-besaran oleh
para investor di Indonesia membuat keadaan krisis di Indonesia semakin parah. Di saat yang
bersamaan, cadangan devisa Indonesia semakin menipis. Berbagai kebijakan fiskal dan
moneter yang dibuat pemerintah tidak cukup efektif dalam menangani keadaan saat itu.
Hingga pada akhirnya Soeharto meminta bantuan IMF untuk dapat membantu masa krisis
Indonesia. International Monetary Fund (IMF) menyetujuinya dengan berbagai syarat, salah
satunya adalah dengan menutup 16 bank yang likuiditasnya tidak sehat di Indonesia.
Namun, sayangnya syarat tersebut menyebabkan terjadinya penarikan dana secara besar-
besaran oleh nasabah.
Hingga pada Januari 1998, nilai Rupiah terhadap Dolar AS mencapai Rp.17.000,-.
Sekitar bulan Juni, krisis ekonomi dibarengi dengan krisis politik. Terjadi kenaikan harga
sembako, kelangkaan kebutuhan sehari-hari, hingga PHK massal. Ditambah terjadinya
berbagai praktik culas Orde Baru yang hanya menguntungkan Soeharto dan kroni-kroni nya.
Pada saat itu, Soeharto malah menyebut bahwa krisis ekonomi merupakan rekayasa politik
dan bagian dari permainan kelompok yang tak suka terhadap pemerintahannya. Ia pun
mencari dukungan politik dari ulama hingga pada militer. Pada 1998, dilakukan pelantikan
kepada Soeharto sebagai presiden bersama B.J Habibie sebagai wakilnya. Soeharto
menjanjikan reformasi dalam tata kelola pemerintahan, sala satunya dengan menjanjikan
perbaikan perekonomian, dengan harapan dapat mengembalikan kepercayaan rakyat padanya.
Saat yang bersamaan, belasan menteri menolak masuk dalam kabinet pemerintahannya.
Adanya inflasi, kemiskinan akut, dan kolapsnya perbankan maupun korporasi, mendorong
rakyat untuk menuntut tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab dari pemerintah yang
tidak menghasilakn perubahan mendorong mahasiswa di Indonesia untuk menuntut turunnya
posisi Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia melalui kegiatan demonstrasi.
Lengsernya Soeharto sebagai presiden yang digantikan oleh wakilnya, Bacharuddin
Jusuf (BJ) Habibie pada 21 Mei 1998, menimbulkan gejolak ketidaksetujuan masyarakat.
Pihak yang setuju menganggap pengangkatan BJ Habibie sebagai Presiden Indonesia adalah
konstitusional. Sementara pihak yang kontra menyebut bahwa pengangkatannya tidak
konstitusional karena dianggap merupakan kelanjutan dari Orde Baru. Di tengah itu, BJ
Habibie mengumumkan susunan Kabinet Reformasi Pembangunan yang mengikutsertakan
beberapa menteri yang berasal dari luar Partai Golkar sebagai anggota kabinetnya. Meski
demikian, masyarakat tidak mau begitu saja menerima pengangkatan Habibie sebagai
presiden. Hingga usai 6 bulan pengangkatan, Sidang Istimewa MPR RI pada 11-13
November 1998 pun dilaksanakan, dengan tujuan untuk membahas agenda-agenda
pemerintahan dan mempersiapkan Pemilu berikutnya. Mahasiswa bergolak kembali.
Mahasiswa bergabung dengan masyarakat memenuhi jalan-jalan di Jakarta untuk
melancarkan demonstrasi menentang Sidang Istimewa MPR tersebut karema mereka tidak
percaya dengan para anggota DPR maupun MPR yang dianggap sebagai perpanjangan tangan
Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta
pembersihan dari para pemimpin Orde Baru. Sepanjang diadakannya SI MPR, masyarakat
bergabung dengan mahasiswa melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta.

 Kronologi Kasus
Dalam kasus yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 - 24 September 1999 ini
terbagi menjadi 3 bagian besar, yang diawali dengan:
Kronologi Tragedi Trisakti yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 pukul 10.30 pagi hingga
01.30 Subuh pertanggal 13 Mei 1998.

Diikuti dengan demonstrasi yang


dilakukan oleh Mahasiswa di
Semanggi pada tanggal 11-13 Nov 1998 dan menewaskan sejumlah warga sipil sejumlah 17
orang.
Pada tanggal 24 September 1999, sebuah demonstrasi yang dinamakan dengan istilah "
Peristiwa Semanggi II" juga terjadi, dan menewaskan seorang mahasiswa UI bernama Yun
Yan Hap
1. Tragedi Trisakti
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis
finansial Asia (juga disebut krisis moneter) sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan
aksi demonstrasi besar-besaran ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas
Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada
pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang
kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri. Akhirnya, pada
pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para mahasiswa panik
dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di Universitas Trisakti. Namun aparat
keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke Rumah
Sakit Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brimob,
Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon
Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan Bermotor. Mereka dilengkapi
dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1. Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang
mahasiswa tewas tertembak dan satu orang dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat
keamanan membantah telah menggunakan peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian
disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah
peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Rentang Waktu:
(10.30 -10.45)
Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir depan
gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas Trisakti
yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.
(10.45-11.00)
Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang yang
diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar bebas,
kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan terhadap
kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.
(11.00-12.25)
Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.
(12.25-12.30)
Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan tepat
di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke jalan
dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa menuju
ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.
(12.30-12.40)
Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang) dan
mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib pada
saat turun ke jalan.
(12.40-12.50)
Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju Gedung
MPR/DPR melewati kampus Untar.
(12.50-13.00)
Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota Jakarta Barat
oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri dua lapis
barisan.
(13.00-13.20)
Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negosiasi dengan pimpinan komando aparat
(Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakapolres Jakarta Barat). Sementara
negosiasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang
terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur
sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.
(13.20-13.30)
Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang
hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.
(13.30-14.00)
Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai mahasiswa
berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa ketegangan antara
aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga mawar kepada
barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya dan satuan
kepolisian lainnya.
(14.00-16.45)
Negosiasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula dicari
terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan diselingi
pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa tetap tak
bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit demi sedikit
massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.
Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.
(16.45-16.55)
Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negosiasi di mana hasil kesepakatan adalah baik
aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tetapi setelah dibujuk
oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT massa mau
bergerak mundur.
tembakkan yang terarah ke depan gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas
jembatan layang mengarahkan tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam
kampus. Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang
dan membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah
mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia
seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang
dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam kampus.
(18.30-19.00)
Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu mengevakuasi
korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.
(19.00-19.30)
Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap di
sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih dibangun.
Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa ataupun tempat-
tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan lampu untuk
sembunyi.
(19.30-20.00)
Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari ruangan.
Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka ke rumah
masing- masing. Terjadi negosiasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol.Arthur Damanik, yang
hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara keluar secara
sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan aman.
(20.00-23.25)
Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh korban,
mahasiswa berangsur-angsur pulang.
Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh pimpinan
universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.
(01.30)
Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin di Mapolda Metro Jaya. Hadir
dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda Mayjen (Pol)
Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua anggota Komnas
HAM AA Baramuli dan Bambang W Soeharto.

2. Tragedi Semanggi I
Pada tanggal 11 November 1998, mahasiswa dan masyarakat yang bergerak dari Jalan
Salemba, bentrok dengan Pamswakarsa di kompleks Tugu Proklamasi. Pada tanggal 12
November 1998, ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung
DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil
menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga
Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan
mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok di daerah Slipi dan Jl. Sudirman, puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Ribuan mahasiswa dievekuasi ke Atma Jaya. Satu orang
pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian
ia meninggal dunia.
Esok harinya, Jumat-13 November 1998, mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan
mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di
kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak
malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang
laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua
arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan juta orang dan
sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga
terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di
jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah
satunya adalah Teddy Mardani, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang merupakan
korban meninggal pertama pada hari itu. Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas
Atma Jaya untuk
berlindung dan
merawat kawan-
kawan sekaligus
masyarakat yang
terluka. Korban
kedua penembakan
oleh aparat adalah
Wawan, yang nama
lengkapnya adalah
Bernardus Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,
tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran
parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari
sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan
penembakan ke dalam kampus Atma Jaya. Semakin banyak korban berjatuhan baik yang
meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin
bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.

3. Tragedi Semanggi II
Hari Jumat, 24 September 1999, pukul 11.00 WIB, Yap Yun Hap menyaksikan
berita di televisi terkait banyaknya korban luka dan meninggal akibat aksi demonstrasi yang
menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) yang dibahas pemerintah dan
DPR.
Mendengar aksi demonstrasi yang memakan korban jiwa tersebut, tak menyurutkan Yun Hap
untuk kembali unjuk rasa. Sebenarnya ia sampat dilarang mengikuti demonstrasi oleh ibunya.
Namun, ia tetap berangkat demo bersama kawan-kawan mahasiswa yang lain. Sesampainya
di lokasi unjuk rasa, rentetan peluru diberondong oleh aparat sekitar pukul 20.45 WIB hingga
20.50 WIB. Saat itu, Yun Hap bersama ratusan mahasiswa lainnya tengah berkumpul di
sekitar Universitas Atmajaya. Tiba-tiba dari arah fly over Casablanca datang delapan truk
berisi aparat keamanan dan membuat mahasiswa kocar-kacir akibat rentetan peluru yang
ditembakan.
Tak pelak, kejadian tersebut membuat warga dan mahasiswa berhamburan menyebar ke
berbagai arah untuk menyelamatkan diri. Namun nahas, Yun Hap yang saat itu tengah makan
nasi pemberian masyarakat harus terkapar. Ia tertembak timah panas secara membabi buta
hingga menembus punggungnya. Hal ini yang kemudian menyebabkan Yap Yun Hap
meninggal dunia.

 Pelaku dan Korban


Tragedi Trisakti adalah peristiwa
penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998,
terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi
menuntut Soeharto turun dari jabatannya.
Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti di Jakarta Indonesia
serta puluhan lainnya luka.Mereka yang
tewas adalah
 Elang Mulia Lesmana (1978-1998)
 Heri Hertanto (1977 - 1998)

 Hafidin Royan (1976 - 1998)

 Hendriawan Sie (1978 - 1998).


Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital
seperti kepala, tenggorokan, dan dada. Pada awalnya Para mahasiswa melakukan aksi damai
dari Kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pukul 12.30.
Sayangnya, aksi mereka dihalangi oleh Polri yang disusul dengan kedatangan militer.
Beberapa mahasiswa kemudian mencoba untuk bernegosiasi dengan pihak Polri.
Akhirnya pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur. Pergerakan ini diikuti dengan
majunya aparat keamanan.
Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru mereka ke arah para mahasiswa.
Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, ditemukan serpihan peluru kaliber 5,56
mm di tubuh salah satu korban mahasiswa Universitas Trisakti, Hery Hertanto. Hasil otopsi
Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkapkan hasil yang sama. Namun, Kapolri yang
menjabat saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah jika anak buahnya menggunakan
peluru tajam. Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya
menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata. Persidangan
terhadap enam terdakwa beberapa tahun kemudian juga tidak dapat menjawab siapa yang
menjadi pelaku di balik peristiwa nahas tersebut.
Korban tewas tragedi Semanggi 1
 Lukman Firdaus, salah seorang pelajar yang terluka pada 12 November malam
akhirnya meninggal setelah beberapa hari menjalani perawatan.
 Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia (ITI) yang
menjadi korban meninggal pertama akibat tembakan aparat pada 13
November.
 Bernardus Realino Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya,
korban kedua tembakan aparat pada 13 November
 Ayu Ratna Sari, seorang anak berusia 6 tahun yang terkenal peluru nyasar.
 Sigit Prasetyo (YAI)
 Heru Sudibyo (Universitas Terbuka)
 Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta)
 Muzammil Joko (Universitas Indonesia)
 Uga Usmana
 Abdullah/Donit
 Agus Setiana
 Budiono
 Doni Effendi
 Rinanto
 Sidik
 Kristian
 Nikijulong Hadi

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan juta orang
dan sekitar jam 15:00, kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat
masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga
terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di
jalan. Saat itu juga beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan.

Korban tragedi Semanggi 2


Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang
mahasiswa dan 11 orang
 Yap Yun Hap (FT UI)
 Zainal Abidin
 Teja Sukmana
 M Nuh Ichsan
 Salim Jumadoi
 Fadly
 Deny Julian
 Yusuf Rizal (UNILA)
 Saidatul Fitria
 Meyer Ardiansyah (IBA Palembang)

Pelanggaran HAM Ringan atau Berat?


Pelanggaran HAM Berat Pelanggaran HAM berat pelanggaran yang mengakibatkan
timbulnya perbuatan pidana terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumber daya
kehidupan manusia. Menurut UU Nomor 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat terbagi
menjadi dua yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan
Genosida Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan
agama. Yang termasuk dalam tindakan kejahatan genosida adalah: Membunuh anggota
kelompok. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang mengakibatkan kemusnahan
secara fisik. Memaksakan tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok.
Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan Kemanusiaan Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Berikut tindakan yang tergolong
ke dalam kejahatan kemanusiaan: Pembunuhan. Pemusnahan. Perbudakan. Pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa. Perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional. Penyiksaan.
Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan kehamilan, pemandulan secara paksa, dan bentuk
kekerasan seksual lain. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang telah dilarang
secara universal oleh hukum internasional. Penghilangan orang secara paksa. Kejahatan
apartheid.
Dalam UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000
TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA dinyatakan bahwa:
Pasal 7
Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:
a. kejahatan genosida;
b. kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 8
Kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan
yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau Sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. membunuh anggota kelompok;
b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota
kelompok;
c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
atau
e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Pasal 9
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah
satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil,
berupa:
a. pembunuhan;
b. pemusnahan;
c. perbudakan;
d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. penyiksaan;
g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional;
i. penghilangan orang secara paksa; atau
j. kejahatan apartheid.
Kasus pelanggaran HAM pada Tragedi Semanggi I telah ditindaklanjuti melalui jalur
hukum yaitu dengan menghukum pelaku di lapangan. Namun belum mengena pada “otak
pelaku” yang seharusnya paling bertanggung jawab pada tragedi tersebut. Sampai sekarang
kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, belum ada satupun yang dapat diselesaikan
melalui pengadilan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, antara lain belum adanya
pengadilan khusus yang berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM
yang berat. Hal inilah yang kadang menimbulkan gejolak dalam masyarakat dan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum di Indonesia.
Pada 2004, Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II masih mengalami kemacetan
karena tidak adanya kesepakatan antara Komnas HAM, Kejaksaan Agung dan DPR yang
berbeda pendapat atas adanya pelanggaran berat HAM dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan
Semanggi II. Hasil KPP HAM Trisakti, Semanggi dan Semanggi II yang telah diserahkan
Komnas HAM pada Kejaksaan Agung dinyatakan tidak dapat dilanjutkan karena adanya
rekomendasi DPR yang menyebutkan tidak adanya pelanggaran berat HAM dalam kasus
Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Komnas HAM meminta DPR mengkaji putusannya
soal Kasus TSS yang disebutnya bukan kasus pelanggaran HAM berat. Saat itu DPR
menyatakan bersedia mengkaji ulang putusannya yang menyimpulkan bahwa peristiwa itu
merupakan pelanggaran HAM biasa.

 Upaya Pemerintah
Sudah 10 tahun lebih pengadilan HAM di Indonesia berdiri berdasarkan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000, tetapi belum dapat mengusut tuntas pelanggaran-pelanggaran
HAM berat yang terjadi di era Orde baru maupun pada era Reformasi sekarang ini. Padahal
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut telah menerangkan dengan jelas setiap porsi
tugas dan kewenangan aparatur negara yang melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, serta pengadilannya. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada Tragedi
Trisakti dapat dilihat dari rekam jejak proses hukum sebagai berikut:
1. Tanggal 6 Juni 1998, pengadilan militer untuk kasus Trisakti dimulai di Mahkamah
Militer 11-08 Jakarta dengan terdakwa Lettu Polisi Agustri Haryanto dan Letda Polisi
Pariyo. Tanggal 31 Maret 1999, enam terdakwa kasus Trisakti dihukum 2-10 bulan.
2. Tanggal 18 Juni 2001, kasus penembakan terhadap 4 mahasiswa Universitas trisakti
kembali disidangkan di Mahkamah Militer 11- 08 Jakarta. Persidangan kali ini
mengajukan sebelas orang anggota Brimob Polri.
3. Tanggal 9 Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus
Trisakti, Semanggi I, Semanggi II (TSS), disampaikan Sotardjo Surjoguritno. Isi
laporan: Fraksi PDI P, Fraksi PDKB, Fraksi PKB (3 fraksi) menyatakan kasus Trisakti
terjadi unsur pelanggaran HAM berat, sedangkan Fraksi Golkar, Fraksi TNI/Polri,
Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Reformasi, Fraksi KKI, Fraksi PDU (7 partai)
menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus Trisakti.
4. Tanggal 30 Juli 2001, Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti dibentuk oleh
Komnas HAM. Bulan Januari 2002, sembilan terdakwa kasus penembakan
mahasiswa Trisakti di Pengadilan Militer dihukum 3-6 tahun penjara.
5. Tanggal 21 Maret 2002, Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Trisakti
menyimpulkan 50 perwira TNI atau Polri diduga terlibat dalam pelanggaran HAM
berat. Tanggal 11 Maret 2003, Kejaksaan Agung menolak melakukan penyelikan
untuk kasus Trisakti karena tidak mungkin mengadili kasus sebanyak 2 kali (prinsip
ne bis in idem). Kejaksaan agung menyatakan bahwa kasus penembakan mahasiswa
Trisakti telah diadili di Pengadilan Militer tahun 1999 sehingga Kejaksaan Agung
tidak bisa mengajukan kasus yang sama ke pengadilan. Ketua Komnas HAM
menyatakan bahwa prinsip ne bis in idem tidak bisa diberlakukan karena para
terdakwa yang diadili di Pengadilan Militer adalah pelaku lapangan, sementara pelaku
utama belum diadili.
6. Tanggal 30 Juni 2005, Komisi Hukum dan HAM DPR merekomendasikan kepada
pimpinan DPR RI agar kasus Trisakti dibuka kembali. Putusan terhadap hal ini akan
dinyatakan dalam rapat pimpinan DPR RI 5 Juli 2005. Dukungan juga datang dari
fraksi-fraksi di DPR, yaitu Fraksi PKS, Fraksi PDI P dan Fraksi PDS.
7. Tanggal 6 Juli 2005, rapat pimpinan DPR gagal mengagendakan pencabutan
rekomendasi Pansus DPR 2001 yang menyatakan kasus Trisakti bukan pelanggaran
HAM berat. Padahal beberapa hari sebelumnya tingkat Komisi III DPR telah
bersepakat untuk membatalkan rekomendasi tersebut.
8. Tanggal 5 Maret 2007, diadakan rapat Tripartit antara Komnas HAM, Komisi III DPR
RI dan Kejaksaan Agung. Dalam rapat ini Kejaksaan Agung tetap bersikukuh tidak
akan melakukan penyidikan sebelum terbentuk pengadilan HAM ad hoc. Selain itu,
komisi III juga memutuskan pembentukan panitia khusus (PANSUS) orang hilang.
9. Tanggal 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan
tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian Tragedi Trisakti, semanggi I dan
Semanggi II (TSS) ke rapat Paripurna 20 Maret 2007, artinya penyelesaian kasus TSS
akan tertutup dengan sendirinya dan kembali ke rekomendasi Pansus sebelumnya.
Secercah harapan muncul ketika April 2015, Jaksa Agung H.M. Prasetyo menyatakan
pemerintah akan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus
pelangaaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998. Komisi ini terdiri dari
Kemetrian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara
RI, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelejen Negara serta Komnas HAM (www.bbc.com).
Telah ada upaya nyata dalam penyelesaian kasus Tragedi Trisakti dalam perspektif hukum
maupun HAM. Namun nampaknya belum ada kesungguhan dan komitmen yang kuat dalam
menuntaskan kasus ini. Penuntasan kasus tidak hanya di permukaan saja tetapi harus sampai
ke akar-akarnya.
Pembentukan Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa
Semanggi I dan Semanggi II Meskipun DPR RI telah merekomendasikan agar kasus
Semanggi I dan II ditindak lanjuti dengan Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer, namun
sehubungan dengan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat, tuntutan
keadilan bagi keluarga korban dan masyarakat, dan dalam rangka penegakan hukum dan
penghormatan hak asasi manusia, dipandang perlu Komnas HAM melakukan penyelidikan
dengan membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HA Semanggi I, dan Semanggi II.
Maka dalam Rapat Paripurna Komnas HAM tanggal 5 Juni 2001 menyepakati pembentukan
Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II
yang selanjutnya dituangkan dalam SK Nomor 034/KOMNAS HAM/VII/ 2001 tanggal 27
Agustus 2001.
penyelesaian pelanggaran HAM berat yang menyeluruh semakin mendesak demi
memutus rantai kekerasan dan impunitas yang terus berlangsung hingga sekarang, serta
memenuhi hak seluruh bangsa Indonesia terutama generasi muda untuk mengetahui
kebenaran sejarah dan belajar dari masa lalu sebagai bentuk jaminan ketidak-berulangan yang
sesungguhnya.
Sebagai upaya menolak berlanjutnya pelanggaran hak atas keadilan, tindakan-
tindakan tidak transparan, dan sejumlah langkah kontraproduktif yang telah memutar balik
demokrasi menjadi semakin mundur, KontraS mendesak sejumlah pihak, antara lain:
1. Presiden menindaklanjuti komitmennya pada pidato Hari HAM Internasional tahun
lalu untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara
menyeluruh, berkualitas dan memulihkan harkat martabat korban, tentunya dengan
partisipasi aktif dan kritis dari korban pelanggaran HAM berat masa lalu;
2. Presiden memastikan bahwa Tim Teknis di bawah Kejaksaan Agung bekerja sesuai
dengan mandat dan kewenangannya, bukan sebaliknya justru menjadi alat cuci tangan
negara untuk menutup akses keadilan, kebenaran dan pemulihan atas kasus TSS, Mei
98, dan kasus – kasus pelanggaran HAM berat lainnya;
3. Jaksa Agung segera melakukan fungsi dan kewajibannya untuk melakukan
penyidikan dan penuntutan atas peristiwa TSS dan Mei 98, sebagaimana mandat UU
No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
4. Kapolri mencabut Peraturan Polri tentang Pam Swakarsa. Pemerintah dan aparatnya
juga perlu menghindari cara-cara represif dalam menghadapi aksi massa sehingga
tidak terjadi keberulangan peristiwa TSS.

 Kesimpulan
Akhir pemerintahan orde baru ditandai dengan terjadinya krisis HARMONY
VOL. 1 NO. 1. 12 moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi di
Indonesia. Akibat krisis inilah terjadi ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah
Masyarakat menuntut turunnya presiden Soeharto. Ada beberapa faktor yang
menyebabkan pemerintahan presiden Soeharto jatuh, antara lain: kejenuhan
masyarakat terhadap pemegang kekuasaan yang sudah sedemikian lama berkuasa,
keinginan masyarakat untuk melakukan perubahan, krisis keuangan tahun 1997 yang
terus berkembang menjadi krisis ekonomi yang meluas, kekhawatiran pendukung-
pendukung Soeharto yang takut tidak memperoleh tempat di masa yang akan datang,
adanya ketidaksabaran dan kekhawatiran dari pendukung Habibie, adanya rivalitas di
kalangan TNI yang berperan besar pada kehidupan politik masa orde baru, adanya
penarikan dukungan Internasional, seperti IMF dan Bank Dunia. Demonstrasi besar-
besaran di terjadi di berbagai kota. Rakyat menuntut “Reformasi Total” pada bidang
ekonomi, politik dan hukum. Demonstrasi besar terjadi pada tanggal 12 mei 1998 oleh
mahasiswa Trisakti. Demonstrasi yang pada awalnya berlangsung tenang dan damai
berubah menjadi tegang dan mencekam ketika mulai terjadi penembakan yang
membabi buta oleh aparat keamanan yang diarahkan ke kampus Trisakti. Empat
mahasiswa tewas dan banyak lainnya yang luka berat dan ringan dibawa ke rumah
sakit Sumber Waras. Pada Tragedi Trisakti, nampak jelas pelanggaran Hak Asasi
Manusia dihalalkan untuk mencapai tujuan kelompok tertentu. Berdasarkan dari segi
falsafah negara Pansasila dan UUD 1945 memiliki kedalaman dalam memaknai
HAM. Jadi, kendala dalam penegakkan HAM bukan pada segi falsafah dan konstitusi
tetapi pada sikap mental apatur pemerintah dan penegak hukum yang kuang
menghayati makna hakiki dari HAM dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Prospek
cerah dalam penegakan HAM di Indonesia, dengan adanya isu HAM yang mencuat
menjadi perhatian Internasional, kemauan politik pemerintah yang semakin kuat
untuk menegakkan HAM di Indonesia dan faktor budaya daerah yang
mempertimbangkan harkat, martabat dan perlindungan terhadap manusia.
Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai