Anda di halaman 1dari 22

Mawarti Sekar R.N.

-18513032
Farah Herwandari R.-18513039
Ayu Sulistiawati-18513045
Lalu Muhammad Faathir C.-18513052
Inne Pratiwi-18513057
Dwita Sari N.-18513063
Putri Salsabila Z.-18513100
Orisha Yuhan M.-18513116
Kresna Bayu-18513121
Rifa Nur Azizah-18513127
Pelanggaran HAM menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999
yakni “setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak
mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku”.
• Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM
menyatakan bahwa Pelanggaran HAM yakni “setiap perbuatan
seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik
disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi
Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirksn
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan
benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”
• Berdasarkan pengertian pelanggaran HAM tersebut bahwa
undang-undang telah menjamin hak-hak manusia secara adil
• Pelanggaran HAM Berat
Merupakan pelanggaran HAM yang bisa
membahayakan atau mengancam nyawa orang
lain. Pada penggolongan ini termasuk sebuah
perbuatan besar dan di pastikan mendapatkan
hukuman yang sepadan sesuai dengan tingkatan
pelanggaran yang dilakukan.
• Pelanggaran HAM Ringan
Merupakan sebuah kasus pelanggaran HAM
yang ringan dimana tidak sampai mengancam
keselamatan jiwa orang. Akan tetapi, ini tetap
saja termasuk dalam kategori berbahaya
apabila dalam jangka waktu yang lama.
Sehingga sangat penting untuk segera diatasi
supaya tidak ada pelanggaran yang lainnya.
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir
kematiannya. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan –
gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan Hak Asasi
Manusia (HAM) pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudia
dapat memunculkan pelanggaran HAM seorang individu
terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, kelompok
dengan kelompok, dan lain lain.
Salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang
pernah terjadi di Indonesia yaitu kasus kerusuhan Tanjung Priok,
dimana kasus ini juga merupakan kasus kerusuhan besar yang
pernah terjadi di Indonesia.
• Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu
peristiwa pelanggaran hak asasi manusia
tingkat berat yang terjadi akibat aparat
keamanan bertindak berlebihan dalam
menghadapi aksi demonstrasi masyarakat.
• Provokasi dan hasutan diduga sebagai akar yang membuat
aksi protes terhadap kebijakan Soeharto itu berujung tragedi.
• Massa kemudian berkumpul dalam sebuah tabligh akbar di
Jalan Sindang, di wilayah Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara
pada 12 September 1984 untuk menuntut pembebasan
Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan
Muhammad Nur
• Massa dihadang aparat keamanan di depan Polres Jakarta
Utara. Namun massa tidak mau bubar dan terdapat
provokator yang membawa senjata tajam yang menimbulkan
aparat keamanan bertindak tegas bahkan brutal
Sabtu, 8 September 1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka
sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja,
Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushala
dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya
berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di
Jalan Sindang.
Minggu, 9 September 1984
Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di
Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran
masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang
berwajib untuk menawarkan penyelesaan
kepada jamaah kaum muslimin
Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka.
Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang
dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat yaitu
Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid
“Baitul Makmur” yang berdekatan dengan Musholla As-sa’adah,
berusaha menenangkan suasana dengan mengajak ke dua tentara itu
masuk ke dalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan masalah
yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbicara di depan
kantor, massa diluar sudah terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu
menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya persoalaan disudahi
dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa
diluar sudah mulai kehilangan kesabarannya.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang
yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu tiba-tiba saja menarik salah satu sepeda motor
milik prajurit yang ternyata seorang marinir dan membakarnya.
Saat itu juga Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta
dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan.
Turut ditangkap juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa’adah
dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat kejadian,
selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap
juga. Akibat penahanan empat orang tadi kemarahan massa
menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan
tuntutan pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.
Selasa, 11 September 1984
Massa yang masih memendam kemarahannya itu datang ke salah satu
tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena tokoh ini dikenal
dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun
tangan membantu membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir
Biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan pihak militer.
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta
pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang
diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu
mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66,
dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk
menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan
masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata tidak
berhasil dan sia-sia.
Rabu, 12 September 1984
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian
remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan
jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus
berlangsung juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang
memang bukan mubalig dan memang tidak pernah mau naik
mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-
hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik
mimbar dan memberi petunjuk.
Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan keras, yang isinya
mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat
pukul 23.00 Wib malam itu juga. Bila tidak, mereka akan
mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.
Saat ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran
yang bergerak menuju kantor Polsek dan Kormil setempat. Pada
waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju
Polres dan sebagian menuju Kodim
A. Pasal Yang Dilanggar
Dalam pasal 69 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999
tentang HAM menyebutkan, “setiap orang wajib menghormati hak
asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”, maksudnya ialah
adanya kewajiban untuk menghormati dan menjaga hak asasi
manusia orang lain tidak melanggar atau melakukan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia orang lain. Dalam
kasus Tanjung Priuk 1984 tersebut jelas melanggar ketentuan
pasal 69 ayat 1 ini, karena berdasarkan bukti-bukti tersebut
jelaslah bahwa terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam
kerusuhan Tanjung Priok 1984 ini.
Bahkan pelanggaran hak asasi manusia dalam Tanjung Priok
1984 tersebut tergolong pelanggaran hak asasi manusia berat.
Dalam kasus Tanjung Priok, diperkirakan tidak kurang 24 orang
meninggal dunia dan 79 orang lukaluka. Kasus ini terjadi pada
12 September 1984.
Menurut Komnas HAM dalam peristiwa Tanjung Priok telah
terjadi, antara lain :
1. Pembunuhan secara kilat (summary killing)
2. Penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang
3. Penyiksaan
4. Penghilangan secara paksa.
B. Hukuman Yang Diberikan
* Penjara 10 Tahun
Majelis hakim yang diketuai Cicut Sutiarso menjatuhkan hukuman
10 tahun kepada bekas Komandan Distrik Militer 0502 Jakarta
Utara, Mayjen (Purn.) Rudolf Adolf Butar Butar. Majelis hakim
menyatakan terdakwa terbukti tidak melakukan pengendalian
yang patut terhadap anak buahnya sehingga mengakibatkan
jatuhnya korban dan membiarkan penganiayaan yang dilakukan
terhadap angggota massa yang ditahan dalam kerusuhan
tersebut. Terdakwa melanggar pasal 42 (2) a dan b Undang-
undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
* Kompensasi
Selain menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara,
majelis hakim juga memberikan kompensasi dan
rehabilitasi terhadap para korban Tanjung Priok.
Pembayaran kompensasi merupakan perintah
dari pasal 35 UU No.26 Tahun 2000. Mengenai
ganti rugi dan rehabilitasi itu, menurut majelis
akan diatur sesuai dengan undang-undang yang
berlaku.
• Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima
ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban
tewas 'hanya' 18 orang dan luka-luka 53 orang. Menurut hasil
investigasi tim pencari fakta, SONTAK (SOlidaritas Nasional
untuk peristiwa TAnjung prioK), diperkirakan sekitar 400 orang
tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Sementara
menurut Komnas HAM dalam laporannya yang dimuat di Tempo
Interaktif menyatakan korban sebanyak 79 orang yang terdiri
dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.
Sementara keterangan resmi pemerintah korban hanya 28
orang.
• Dari peristiwa tersebut, korban yang meninggal belum
diketahui pemakamannya. Sedangkan mereka yang ditahan
mengalami cacat seumur hidup, juga tidak jelas kesalahannya,
banyak diantara mereka yang menjadi korban, padahal tidak
mengetahui apa-apa.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai