Anda di halaman 1dari 5

Peristiwa Tanjung Priok, menurut JPU pada persidangan kasus pelanggaran HAM

berat Tanjung Priok di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (15/9) itu,
bermula antara Juli hingga Austus 1984 saat kondisi politik di wilayah Komando
Distrik Militer (Kodim) 0502 Jakarta Utara cukup panas, khususnya di bidang sosial,
budaya, dan agama. "Karena ini dipicu oleh penceramah-penceramah yang menghasut
jemaahnya dan memanaskan situasi yang cenderung melawan kebijakan pemerintah
dalam bentuk ceramah ekstrem di mesjid-mesjid
kelompok jemaah pengajian di sekitar Kelurahan Koja menentang kebijaksaan
pemerintah menyangkut asas tunggal Pancasila, menentang larangan penggunaan
jilbab pelajar putri, dan menentang program Keluarga Berencana (KB). Para
penceramah yang dianggap vokal waktu itu adalah Abdul Qadir Jaelani, Sarifin
Maloko, M.Nasir, Yayan Hendrayana, Salim Qadar, dan A.Ratono.
Bintara Pembina Desa (Babinsa) Kelurahan Koja Selatan, Tanjung Priok yang sedang
melakukan patroli di wilayahnya mendapat laporan dari masyarakat bahwa di
musholla As’Saadah ada beberapa pamflet yang ditempel di musholla dan pagar
musholla. Isi pamflet itu menghasut masyarakat dan menghina masyarakat atau aparat
kodim dan polisi.
Keesokan harinya, Sabtu (8/9/1984) berdasarkan pengecekan Hermanu pada sekitar
pukul 13.00 WIB, pamflet-pamflet itu belum dilepas. Akhirnya, Hermanu sendirilah
yang membuka atau melepas pamflet-pamflet dimaksud. "Kemudian timbul isu di
daerah itu bahwa Sertu Hermanu masuk ke musholla As’Saadah tanpa membuka
sepatu dan melepas pamflet dengan air got, yang berakibat memanasnya situasi di
daerah tersebut dan membentuk opini yang membenci aparat pemerintah khususnya
babinsa," kata jaksa.

Situasi seperti itu sempat reda setelah para pengurus, remaja, dan jemaah musholla
As’Saadah yang menuntut agar Hermanu meminta maaf melakukan pertemuan
dengan tokoh masyarakat Jakarta Utara bernama Amir Biki. "Saksi Ahmad Sahi
melaporkan kejadian di musholla kepada Amir Biki. Amir Biki menilai laporan saksi
Ahmad Sahi sebagai perkara kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan. Biki
menyarankan kepada Ahmad Sahi membuat laporan secara tertulis kepada komandan
dari babinsa tersebut.

Ahmad Sahi, kemudian, sempat mengingatkan remaja dan jemaah musholla untuk
tidak melakukan hal-hal melanggar hukum dan main hakim sendiri. Kendati begitu,
pada Senin (10/9/1984), sekitar pukul 10.00 WIB, terjadi pembakaran sepeda motor
milik Sertu Hermanu oleh massa saat yang bersangkutan berada di Rukun Warga
(RW) 05 Koja Selatan.

Hermanu yang berada di dalam ruangan kantor RW diminta massa menyerahkan diri.
Namun demikian, Hermanu dapat meloloskan diri dari kepungan massa.

Setelah kejadian itu, sejumlah orang yakni Ahmad Sahi, Syofwan Sulaiman,
Syarifuddin Rambe, dan M. Nur ditahan pihak Kodim. Penangkapan tersebut
berbuntut pada adanya tuntutan warga Koja Tanjung Priok yang dipimpin Amir Biki
untuk mengeluarkan empat orang tadi.
"Bahkan, Amir Biki yang bertindak sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab
ceramah-ceramah, pengajian umum, dan tabligh akbar di wilayah Jakarta Utara telah
dua kali menghadap Kolonel Sampurno (kini almarhum-red), Asintel Kodam V Jaya,
untuk meminta bantuan mengeluarkan empat orang yang ditahan di Kodim 0502
Jakarta Utara, namun tidak berhasil,"

Amir Biki, berusaha menghadap Pangdam V Jaya Mayor Jenderal TNI Try Sutrisno
untuk mengusahakan penahanan luar terhadap empat luar yang ditahan di Kodim
0502 tapi tidak berhasil.

Akibatnya, pada Rabu (12/9/1984) antara pukul 19.30 WIB sampai dengan 22.00
WIB, masyarakat Tanjung Priok dipimpin Amir Biki menggelar tabligh akbar.
Pembicara pada acara itu adalah para penceramah yang vokal tadi. Jumlah peserta saat
itu mencapai kurang lebih 3000 orang.

"Selanjutnya pada sekitar pukul 22.00 WIB, penceramah terakhir Amir Biki
mengatakan, ’bahwa kita menunggu sampai jam 23.00 WIB. Apabila ikhwan kita
yang empat orang tersebut tidak diantar ke tempat ini maka Tanjung Priok akan banjir
darah’.Ada ancaman untuk membunuh warga keturunan Cina di Tanjung Priok.
Sekaligus, toko-toko milik warga tersebut diancam akan dibakar
Sriyanto (kini Danjen Koppasus berpangkat Mayjen-red) yang waktu itu menjadi
Kepala Seksi Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara, menyiapkan tiga regu pasukan.
Salah satu dari regu tersebut, yakni Regu III yang dipimpin Danru (Komandan Regu)
Sersan Dua Sutrisno Mascung dengan 12 orang anggota pasukannya ditugaskan
berjaga di Markas Polres Jakarta Utara di Jalan Yos Sudarso.

Di tempat itulah, ribuan massa yang dipimpin Amir Biki bentrok dengan aparat
keamanan pimpinan Mascung. Amir Biki dan sejumlah massa penduduk sipil tewas
dalam insiden itu. "Pasukan Arhanudse-06 Regu III yang berjumlah 13 orang di
bawah pimpinan Kapten Sriyanto dan terdakwa Sutrisno Mascung selaku danru
langsung menembakkan senjatanya masing-masing beberapa kali atau setidak-
tidaknya lebih dari sekali ke arah massa penduduk sipil. Bahkan, terhadap massa yang
lari untuk menyelamatkan diri masih dilakukan penembakan oleh pasukan itu.

Kasus Priok terjadi 12 September 1984. Keterangan resmi pemerintah korban yang
mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus anggota
jamaah tewas dalam tragedi itu. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu pada sekitar
pertengahan bulan September tahun 1984 terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi
manusia, di mana sejumlah besar pengunjuk rasa yang kebanyakan beragama islam
yang menuntut pembebasan saudara-saudara mereka yang ditahan di kantor Komando
Distrik Militer (KODIM) setempat dianiaya, diberondong dengan senjata api oleh
pasukan Tentara Nasional Indonesia yang menurut laporan ditugaskan untuk
mengendalikan dan mengamankan situasi yang rusuh. Akibatnya sejumlah besar
pengunjuk rasa itu mengalami luka-luka dan banyak yang meninggal dunia. Sebagian
dari mereka yang meninggal itu semasa berkuasanya rezim Soeharto tidak diketahui
tempat kuburnya. Selanjutnya mengikuti tragedi kemanusiaan berdarah tersebut
pemerintah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap banyak pemuka-pemuka
islam yang kritis dan vokal terhadap pemerintah otoriter Soeharto. Para pemuka
muslim itu tidak hanya mengalami penangkapan dan penahanan yang sewenang-
wenang. Mereka mengalami pula penyiksaan selama barada dalam tahanan, dan yang
lebih tragis lagi mereka harus menghadapi penuntutan dan pengadilan yang melawan
hukum dan nurani keadilan. Salah satu dari banyak pemuka islam yang mengalami
penculikan, penahanan, penyiksaan, penuntutan dan pengadilan yang tidak jujur itu
adalah sdr AM Fatwa. Rezim otoriter Orde Baru menyalah-gunakan sistem peradilan
untuk
memenjarakan dan menghukum lawan-lawan politiknya termasuk para pemuka islam
yang vokal dan kritis tersebut.

Pemberian kompensasi melalu jalan islah (perdamaian) memang telah dilakukan.


Namun, jumlah korban dan keluarga korban yang mendapatkan kompensasi dari
pendekatan informal tersebut tak banyak. Melalui putusan pengadilan, diharapkan
korban yang tak terlibat dalam islah itu juga mendapat jatah kompensasi.
 
Kompensasi yang telah ditetapkan pengadilan sebesar Rp 1.015.500.000, yang terdiri
dari kompensasi materiil Rp 658 juta dan immateriil Rp 357,5 juta. KONTRAS
meminta agar Negara,Presiden dan Menteri Keuangan segera mencairkan dan
menyalurkan kompensasi tersebut.
Petisi 50 dan YLBHI pada waktu itu mendesak pemerintah Soeharto supaya
membentuk team penyelidik independen guna menyelidiki duduk perkara sebenarnya
peristiwa berdarah Tanjung Priok. Pemerintah Soeharto tidak menanggapi desakan
tersebut. Alih-alih pemerintah Soeharto menangkap dan menahan sebagian pengurus
Petisi 50 seperti, Jenderal HR Dharsono, dan sdr. AM Fatwa. Sedangkan pemuka
Petisi 50 lainnnya seperti, sdr. Ali Sadikin, sdr. Dr Anwar Haryono, sdr. Slamet
Bratanata, sdr. Hoegeng Iman Santoso, sdr. Azis Saleh, dan lain lain terus berada
dalam pengawasan yang ketat oleh para telik Orde Baru. Sementara itu YLBHI
sebagai organisasi bantuan hukum dan Ham di isolasi dan dipersulit ruang geraknya.
Masa itu boleh dikatakan masa-masa yang sangat represif yang dihadapi oleh
organisasi-organisasi hak asasi manusia

Tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan pada bulan Mei l998 membuka peluang
lebih lebar bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintahan
transisi di bawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie nampaknya menjanjikan bagi
perbaikan kondisi hak asasi manusia. Langkah perbaikan itu antara lain, dimulai
dengan pelepasan para tahanan .
politik, pembuatan Undang-undang Hak Asasi Manusia, reformasi Uu Politik dan
Pemilu, dan lain sebagainya. Pada masa ini para korban pelanggaran Ham Pemerintah
Soeharto, termasuk para korban Priok menuntut keadilan. Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) tak terelakkan wajib menanggapi secara positif tuntutan
masyarakat. Dalam upaya untuk menegakkan keadilan bagi para korban Priok, dan
tentunya bagi masyarakat Indonesia yang cinta keadilan KOMNAS HAM membentuk
Team Ad Hoc (atau lebih dikenal dengan KPP) penyelidik Pro Justisia kasus
pelanggaran Ham di Tanjung Priok. Hasil penyelidikan KPP kasus Tanjung Priok ini
menyimpulkan, bahwa pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada tahun l984 itu
memenuhi unsur-unsur tindak pidana pelanggaran Ham berat, yaitu kejahatan
terhadap kemanusiaan. Hasil penyelidikan KOMNAS HAM tersebut kemudian
diserahkan kepada Jaksa Agung untuk ditindak-lanjuti dengan penyidikan dan
penuntutan.
KPP kasus Tanjung Priok berhasil mengidentifikasi 33 (tiga puluh tiga) orang pejabat,
termasuk militer yang diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi berdarah
di Tanjung Priok. Di antara yang diduga bertanggungjawab itu adalah, Jenderal LB
Moerdani, dan Jenderal Try Soetrisno. Hampir tiga tahun berkas hasil penyelidikan
KOMNAS HAM itu ngendon di kantor Jaksa Agung. Dalam pada itu DPR sudah
mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk pengadilan ad hoc HAM kasus
Tanjung Priok. Dalam kurun waktu hampir tiga tahun itu berbagai peristiwa terjadi.
Jaksa Agung terus-menerus disorot dan di demo oleh para korban dan masyarakat luas
untuk segera menyelesaikan tugas penyidikannya dan segera menyerahkan berkas
perkara ke pengadilan Ham Ad hoc.
tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara Jenderal Try
Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung Priok. Jelas Islah
tersebut merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa
dijadikan dasar untuk menunda apalagi meniadakan proses pengadilan Ham Ad Hoc
Tanjung Priok. Akhirnya pihak Kejaksaan Agung harus memenuhi desakan dan
tuntutan masyarakat, yaitu menggelar pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
Dari 33 mantan aparat militer Orde Baru yang oleh KOMNASHAM diduga
bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi Tanjung Priok, hanya 14 ( empat belas )
orang oleh Jaksa Agung ditetapkan sebagai tersangka. Umumnya para tersangka itu
adalah para pelaku di lapangan yang pada saat peristiwa itu terjadi masih berpangkat
rendah atau perwira menengah. Jaksa Agung tidak memberikan penjelasan yang
memadai mengapa pihaknya hanya menetapkan 14 tersangka dari 33 orang yang
diduga KOMNASHAM harus bertanggungjawab dalam peristiwa berdarah di
Tanjung Priok

Hal ini menunjukkan sikap tertutup dan tidak akuntabel Jaksa Agung terhadap
masyarakat. Padahal dalam era reformasi negara hukum Indonesia Jaksa Agung
sebagai institusi negara dituntut untuk bersikap transparan dan akuntabel kepada
masyarakat (publik). Apa lagi tragedi Priok merupakan peristiwa kejahatan
kemanusiaan yang memperoleh perhatian baik dari masyarakat domestik maupun
internasional
kasus Priok itu Jaksa Agung menjalankan kebijakan impunity, yang berarti berpihak
pada kepentingan pelaku pelanggaran Ham.
Sebagaimana kita saksikan pengadilan Ham Ad Hoc Priok memeriksa dan mengadili
para pelaku lapangan yang berpangkat rendah. Sementara mereka yang berpangkat
tinggi dan diduga banyak mengetahui sisi kebijakan yang menimbulkan tragedi itu
tetap tidak tersentuh. Dari sejak penyidikan dan penuntutan proses peradilan Priok
berjalan tersendat-sendat, terutama karena kinerja Jaksa Agung. Ini tentu bukan
semata-mata masalah tekhnis hukum. Tapi karena faktor politik, yaitu tidak adanya
komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah, DPR sebagai komunitas
perwakilan rakyat, dan tak sulit untuk dibantah tekanan tentara. pengadilan Ham Ad
Hoc Priok masih jauh dari standar Internasional, yaitu imparsial, fair, obyektif, dan
transparan, serta bebas dari pengaruh politik.

para terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 7 b,Pasal 9 a dan h UU No 26 tahun


2000 tentang Pengadilan HAM.
Dalam pasal tersebut mereka didakwa telah melakukan kejahatan terhadap
kemanusiaan, yang diancam hukuman pidana maksimal mati, seumur hidup atau
paling lama dalam kurun waktu tertentu selama 25 tahun. Sedangkan hukuman pidana
minimal bagi mereka adalah selama sepuluh tahun penjara.
beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu seperti Abdul Qodir Djaelani,
Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al Hamidy, ditangkap

Anda mungkin juga menyukai