Anda di halaman 1dari 3

Kelompok : - Reza Agastya W

- Arief Rahman

- Faishal Zhafran

- Muhammad Zihni

- Reynaldi Bertinus H

- Bagus Dwi Riqi

- Aninditha Ivana

- Maria Kareen

- Aninditha Ivana

- Radittia Agustin

- Al Giffari Fajar

KELAS: XI IPA 2

Latar belakang peristiwa Tanjung Priok mengakibatkan jatuhnya kurang lebih 700
korban dimana mayat-mayat demonstran umumnya diangkut dan dimakamkan tanpa
nisan dan sekitar 400 warga Tanjung Priok hilang atau terbunuh. sebagai salah
satu peristiwa pada masa orde baru bermula dari tanggal 8 September 1984 ketika Sersan
Satu Hermanu, seorang Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan seorang tekannya dari Koramil tiba
di Masjid / musala As-Saadah, gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sesuai dengan
kesaksian Abdul Qodir Jaelani di pengadilan, mereka akan membersihkan spanduk dan brosur
yang isinya diangggap berupa dakwah menentang pemerintah di dalam masjid tersebut. Ketika
memerintahkan jamaah untuk melakukannya, para jamaah menolak sehingga petugas
melakukannya sendiri.
Tetapi berkembang isu bahwa mereka masuk area masjid tanpa melepas alas kaki, yang
merupakan pelanggaran serius terhadap batas suci masjid yang sudah menjadi etika umum.
Bahkan mereka membersihkan pamflet yang ditempel dengan air comberan karena tidak ada
peralatan lain untuk melepasnya dengan benar. Dua hari setelah itu, terjadi pertengkaran antara
beberapa jamaah di masjid atau musala tersebut dengan para Babinsa. Percekcokan sempat
terhenti ketika kedua petugas dibawa masuk ke kantor pengurus Masjid Baitul Makmur yang
letaknya tidak jauh. Akan tetapi masyarakat sudah terlanjur berdatangan ke masjid karena kabar
sudah tersebar.

Pengurus masjid Baitul Makmur yang bernama Syarifuddin Rambe dan Sofwan
Sulaeman mencoba menengahi dengan bermusyawarah, namun massa yang sudah
emosimembakar motor milik Hermanu. Akibatnya aparat kemudian menangkap Rambe dan
Sulaeman, pengurus lain bernama Ahmad Sahi, dan seorang pengangguran bernama Muhamad
Nur. Pada 11 September 1984, para jemaah meminta bantuan kepada Amir Biki dalam latar
belakang peristiwa Tanjung Priok, seorang tokoh masyarakat yang dianggap mampu
menjembatani massa dengan tentara di Kodim dan Koramil karena memiliki hubungan luas
dengan para pejabat militer di Jakarta. Setelah itu Amir Biki mendatangi kantor Kodim Jakarta
Utara, tempat ditahannya keempat orang tersebut.

Tetapi ia tidak bisa mendapatkan jawaban yang pasti dan malah terkesan dipermainkan
sehingga ia mengadakan pertemuan untuk membahas persoalan tersebut. Ia mengundang para
ulama dan tokoh agama, begitu juga umat Islam di Jakarta dan sekitarnya. Pertemuan itu dimulai
pada pukul 8 malam dan berlangsung sekitar 3 jam. Ketahui juga mengenai penyebab peristiwa
Aceh 1990 , sejarah peristiwa malari dan sejarah perang Ambon. Tanggal 12 September 1984
pada latar belakang peristiwa Tanjung Priok, sekitar 1500 massa berkumpul untuk menuntut
pembebasan empat orang yang ditahan, yang merupakan jemaah Mushala As – Saadah. Mereka
bergerak di arah Kodim, dan sebagian menuju Polres Tanjung Priok.
Massa yang menuju Polres dihadang pasukan militer bersenjata lengkap, bahkan juga alat berat
seperti panser. Karena massa terus maju, tentara langsung menembak dengan senapan otomatis.
Walaupun sudah jatuh korban dan ribuan orang lari dengan panik, aparat terus menembak
dengan beringas. Dua truk besar berisi pasukan tambahan juga datang dengan kecepatan tinggi
dan melindas massa yang sedang tiarap di jalanan. Rombongan Amir Biki yang menuju Kodim
juga mengalami nasib serupa. Aparat meminta beberapa orang untuk mendekat sebagai
perwakilan, namun ketika mereka mematuhinya tentara langsung menembak hingga korban
berjatuhan. Amir Biki juga tewas dalam peristiwa penembakan tersebut.
Upaya pemerintah melakukan penyelesaian kasus tanjung priok pelanggaran HAM ialah dengan
digelarnya pengadilan HAM ad hoc di pengadilan negeri jakarta pusat pada tahun 2003-
2004.majelis hakim kemudian memutuskan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat pada
kasus Tanjung priok akan tetapi Akan tetapi pengadilan gagal menghukum para pelaku dan
memenuhi hak-hak korban pengadilan HAM ad hoc bukan hanya gagal memberikan kepastian
hukum dengan memvonis bersalah para pelaku, namun ikut gagal memberikan kebenaran yang
sejati atas peristiwa tersebut.

Anda mungkin juga menyukai