Anda di halaman 1dari 5

PERISTIWA TANJUNG PRIUK

Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu peristiwa kelam yang pernah


terjadi di Indonesia.Peristiwa kerusuhan itu melibatkan tentara dan warga di Tanjung
Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984 Persitiwa itu menyebabkan 24
orang tewas dan 55 orang luka-luka.Tragedi Tanjung Priok dihujani aksi
penembakan, namun jumlah korban secara pasti tak diketahui hingga saat
ini.Kerusuhan Tanjung Priok berawal dari cekcok Bintara Pembina Desa (Babinsa)
dengan warga.Saat itu, Babinsa meminta warga mencopot spanduk dan brosur yang
tidak bernapaskan Pancasila, ketika itu pemerintahan orde baru melarang paham-
paham anti Pancasila.selang dua hari, spanduk itu tidak juga dicopot oleh warga.
Babinsa Sersan Satu Hermanu lantas mencopot spanduk itu sendiri, dan langsung
masuk ke dalam mesjid.Namun, saat melakukan pencopotan, petugas Babinsa tidak
melepas alas kaki saat masuk ke dalam Masjid Baitul Makmur.Kabar ini
membuat warga berang dan berkumpul di masjid.Pengurus Masjid Baitul Makmur
kala itu Syarifuddin Rambe, Sofwan Sulaeman, dan Ahmad Sahi mencoba untuk
menenangkan warga.Namun, warga yang emosi langsung membakar sepeda motor
petugas Babinsa, alhasil, Syarifuddin, Sofwan, Ahmad, dan warga yang diduga
membakar motor yakni Muhammad Nur ditangkap aparat.Pada 11
September, warga meminta bantuan tokoh masyarakat setempat yakni Amir Biki
untuk menyelesaikan permasalahan ini, Amir Biki dan sejumlah warga mendatangi
Komando Distrik Militer (Kodim) Jakarta Utara.Mereka meminta agar jemaah dan
pengurus masjid dilepaskan, dan permintaan ini tak ditanggapi.Amir Biki pun
mengadakan pertemuan dengan para tokoh muslim se-Jakarta untuk membahas
masalah tersebut.Dalam ceramahnya, Amir memberi ultimatum kepada aparat untuk
melepaskan keempat jamaah yang ditahan dan segera diantar ke mimbar sebelum
pukul 23.00 WIB, jika tak dituruti, Amir dan massa akan mendatangi Kodim.Tuntutan
itu tak juga dipenuhi, Amir pun membagi massa menjadi dua kelompok untuk
bergerak masuk menuju Kodim dan Polsek, namun saat masa berdatangan massa
mendapat hadangan aparat militer bersenjata lengkap.Massa langsung menuntut
pembebasan dan situasi semakin memanas dan aparat pun melancarkan sejumlah
tembakan, korban jiwa pun berjatuhan, sejumlah warga disekap dan siksa oleh
aparat.Sejumlah orang bahkan dinyatakan hilang hingga saat ini.***
PERANAN PEMERINTAH DAN APARAT DALAM
MENYIKAPI PERISTIWA TANJUNG PRIUK

Kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah memasuki tahun ke-35
hari ini, Kamis (12/9). Hingga saat ini, kasus itu dinilai belum dituntaskan
oleh pemerintah.
Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Kekerasan (KontraS),  Dimas Bagus Arya mengatakan, pemerintah dinilai
masih membiarkan dan mengesampingkan tanggung jawab untuk
menuntaskan kasus itu secara menyeluruh.
"Kita tahu, kasus Tanjung Priok itu kasus pelanggaran HAM yang berat.
Sudah mendapatkan peradilan HAM ad hoc tahun 2004," kata Dimas di
kantor Amnesty Internasional Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis
(12/9).
Namun, dalam peradilan itu, Dimas mengatakan, putusan itu sangat
regresif. Tidak berpihak kepada korban dan menganggap kasus itu bukan
kasus HAM.
"Putusan itu merupakan hasil logika berpikir yang salah. Ada indikator,
kasus Tanjung Priok itu adalah pelanggaran HAM berat, seperti yang
termaktub UU no 26 tahun 2000. (Yakni) kekerasan, penculikan paksa,
penyiksaan, yang itu semua dibuktikan dalam dokumen penyelidikan pro-
justitia Komnas HAM," ujarnya.
Atas dasar itu, segenap lembaga yang bergerak di bidang HAM mulai
Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia
(IKOHI) hingga KontraS mendesak pemerintah untuk memenuhi dua hal.
Pertama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera melakukan
memorialisasi, sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran terhadap
kasus Tanjung Priok. Satu di antaranya, dengan membangun prasasti
peringatan seperti peristiwa kerusuhan Mei 1998. "Memorilialisasi ini
penting ketika kita bicara soal penuntasan kasus secara optimal,"
ujar Dimas.
Kedua, Presiden Joko Widodo harus menginisiasi mekanisme pemulihan
kepada korban dan keluarga korban. Meski mekanisme pengadilan untuk
kasus Tanjung Priok sudah ada. Pemerintah dinilai masih mengabaikan
pemulihan beberapa hak korban yang dirugikan atas terjadinya peristiwa
Tanjung Priok. 
Sebagai informasi, kasus Tanjung Priok diduga dipicu oleh tindakan
oknum tentara pada 10 September 1984 silam di Masjid As Saadah di
Tanjung Priok, Jakarta Utara. Oknum itu meminta pengurus masjid, Amir
Biki, menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik pemerintah. 
Biki yang menolak permintaan itu lantas membuat oknum tentara
memindahkannya. Saat memasuki area salat masjid, oknum tentara
diduga masuk tanpa melepas sepatunya dan melakukan tindakan tidak
patut lainnya.
Tindakan oknum tentara itu membuat empat orang geram. Mereka
adalah Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe, dan
Muhammad Nur. Keempat orang itu akhirnya membakar motor oknum
tentara tersebut. Setelah membakarnya, keempat orang itu ditangkap.
Dua hari setelah peristiwa itu, pada 12 September 1984, warga
berkumpul akibat geram akan tindakan yang dipicu oknum tentara itu.
Amir Biki yang memimpin massa, dalam ceramahnya menuntut
pembebasan empat orang itu, yang juga jemaah Mushala As Saadah.
Amir Biki dan massa mendatangi Komando Distrik Militer Jakarta Utara.
Berbagai upaya dilakukan agar empat tahanan itu dibebaskan. Namun,
upaya yang dilakukan oleh Amir Biki dan masyarakat justru mendapat
penghadangan dari aparat keamanan di depan Polres Jakarta Utara.
Aparat keamanan yang datang menangani kerusuhan, melepaskan
tembakan peluru yang menewaskan beberapa warga.
Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban
sebanyak 79 orang, yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan
meninggal 23 orang. 
Dimas menambahkan, kasus Tanjung Priok juga menimbulkan stigma
negatif di masyarakat, bahwa kejadian itu dinilai sebagai bentuk
kerusuhan yang mengancam keutuhan NKRI. Stigma itu muncul akibat
tidak jelasnya kebenaran dalam peristiwa itu.

Anda mungkin juga menyukai