Anda di halaman 1dari 8

CONTOH

PELANGGARAN HAM BERAT


NASIONAL DAN INTERNASIONAL

D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
Firmansyah Ababil: 2204010006
JURUSAN HUKUM
FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL HUMANIORA
UNIVERSITAS BINA INSAN LUBUKLINGGAU
2022
CONTOH PELANGGARAN HAM BERAT
1. NASIONAL
PELANGGARAN HAM BERAT PANIAI PAPUA
Kronologis Pelanggaran HAM berat di Paniai Papua
Kejadian ini terjadi pada tahun lalu, tepatnya pada hari Minggu, 7 Desember 2014, sekitar
pukul 00:15 Wit (jam 12:00 malam). Saat itu, sebuah mobil tanpa lampu melaju di depan
pondok ntal pemuda setempat, menuju ke Madi. Tiga orang pemuda yang berada di pondok
natal tersebut menyampaikan kepada pengendara mobil untuk menyalakan lampu mobilnya.
Mereka mereka hanya menyampaikan “ini malam, jadi nyalakan lampu baru lewat. Kita
sama-sama jaga dan kami juga merayakan natal, jadi kamu juga tolong hargai kami.”, kata
tiga pemuda tersebut. Namun mobil tersebut ternyata berisi aparat keamanan yang
langsung lewat tanpa membicarakan apapun. Ketiga pemuda itupun kembali ke pondok
mereka tanpa pikir apa yang terjadi, karena mereka tidak berbuat kesalahan. Mereka bertiga
asyik memutar lagu-lagu bertema natal dan menikmatinya. Tiba-tiba satu truk berisi aparat
gabungan (TNI dan Polisi serta Timkhus ABRI) dan sebuah mobil dari arah Madi berhenti di
depan pondok natal tersebut. Mereka pun menganiaya seorang pemuda bernama Yulianus
Yeimo sampai tidak berdaya dan mereka (ABRI) juga membongkar pondok natal itu.
Pada malamnya pasca penganiayaan tersebut terjadi maka pagi harinya yaitu, Senin 8
Desember 2014, masyaraka kampong Ipayike menuju ke kota Enarotali yang jaraknya
kurang lebih 5 km dengan tujuan menanyakan dan meminta penjelasan dari aparat
keamanan mengenai pelaku dan mobil yang dikendarai.
Sekitar pukul 10:00 wit (pagi), karena marah, masyarakat lalu membakar satu buah mobil
yang diduga sebagai mobil yang semalam melintas di depan pondok natal. Setelah itu,
mereka berkumpul di lapangan Karel Gobai, sambil menyanyi dan waita. Tindakan
masyarakat ini ternyata ditanggapi secara brutal oleh aparat keamanan. Mereka (ABRI)
langsung menembak masyarakat yang ada di lapangan Karel Gobai itu. Lapangan Karel
Gobai itu terletak di kantor Koramil dan kantor Polisi. “Mereka (korban) itu adalah
masyarakat sipil dan pelajar. Jadi peristiwa di Paniai ini tidak ada kaitannya dengan Papua
Merdeka ataupun TPN OPM.”, kata seorang saksi mata yang berada di lapangan.
Terjadinya peristiwa tersebut diakibatkan oleh penganiayaan seorang pemuda oleh anggota
aparat keamanan dan dilanjutkan dengan penembakan oleh aparat keamanan terhadap
masyarakat yang berada di Lapangan Karel Gobai.
Agar tidak terjadi peristiwa yang sama dengan peristiwa tersebut dibutuhkan adanya
pengendalian diri dan sifat tenang dalam menghadapi masalah seperti yang ada di peristiwa
tersebut. Dan adanya dukungan oleh semua pihak untuk menyelesaikan kasus ini sesuai
hasil investigasi tanpa membelokkan ke ranah hokum yang tidak memuaskan bagi keluarga
korban, sekaligus menuntut pemerintah menyelesaikan kasus ini melalui pembentukan KPP
HAM.
Sempat Tak Bisa Dibawa ke Persidangan
Ketua Komnas HAM Taufan Damanik mengungkap jalan terjal peristiwa Paniai Berdarah
untuk dapat sampai ke tahap persidangan. Taufan mengatakan Jaksa Agung Muda Pidana
Khusus (Jampidsus) pernah menolak untuk menaikkan kasus pelanggaran HAM berat ini ke
persidangan. Kejagung akhirnya menyatakan berkas penyelidikan lengkap atau P-21 pada 6
April 2022 lalu, setelah beberapa kali mengembalikan berkas ke Komnas HAM. Kejagung
sempat mengembalikan berkas tersebut karena dinilai belum memenuhi syarat formil dan
materiil pada 19 Maret 2020. Berkas kasus tersebut kemudian dilengkapi dan dikirim
kembali oleh Komnas HAM kepada Kejagung pada 14 April 2020.

Sidang Perdana Kasus Paniai Berdarah Digelar 21 September 2022 di Makassar Kendati
demikian, Kejagung mengembalikan berkas untuk kedua kalinya ke Komnas HAM pada 20
Mei 2020. Alasannya, Komnas HAM tidak melengkapi petunjuk yang diberikan. Dalam kasus
ini, hanya satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka yaitu Mayor Inf. (Purn) Isak Sattu.

Diketahui, Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b juncto Pasal
7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 dan atau Pasal 42 ayat 1 huruf a dan huruf b Jis Pasal 7
huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU Pengadilan HAM.

Isak Sattu merupakan Perwira Penghubung (Pabung) Komando Distrik Militer (Kodim)
1705/Paniai sekaligus perwira dengan pangkat tertinggi yang mempunyai tugas
mengoordinasikan kegiatan-kegiatan Danramil yang berada dalam wilayah koordinasinya
termasuk Koramil 1705-02/Enarotali.

Kala itu, Senin, 8 Desember 2014 sekitar pukul 11.00 WIT atau setidak-tidaknya pada waktu
lain dalam bulan Desember 2014 di Lapangan Karel Gobay dan Koramil 1705-02/Enarotali,
Isak Sattu sebagai komandan militer mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah
komando dan pengendaliannya telah melakukan pelanggaran HAM yang berat yaitu
kejahatan terhadap kemanusiaan, melakukan serangan yang meluas atau sistematis.
Serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan.
Isak Sattu tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup
kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut.

Isak Sattu juga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

2. INTERNASIONAL
PERISTIWA PEMBANTAIAN HOLOCAUST OLEH NAZI

Holocaust berasal dari bahasa Yunani holkaustos: hlos, "seluruh" dan kausts, "terbakar".
Istilah ini juga dikenal dengan Shoah, secara terminologi dari bahasa Ibrani: , HaShoah,
"bencana"; bahasa Yiddi: , Churben atau Hurban, dari bahasa Ibrani "penghancuran". Ada
beberapa definisi terkait holokaus atau holocaust ini, namun definisi paling umum yang
seringkali ditemukan, merujuk pada tindakan  pembantaian kurang lebih enam juta orang
Yahudi di Eropa yang dilakukan secara sistematis oleh Nazi pada masa kepemimpinan
Adolf Hitler. 
Menurut beberapa pendapat, Hitler tumbuh menjadi pembenci Yahudi seumur hidup sebab
dipengaruhi Teori Lueger yang menyatakan bahwa kaum Yahudi yang menyebabkan
kekacauan ekonomi dan politik Jerman. Lueger juga menyebarkan konsep bahwa bangsa
Arya adalah bangsa yang terkuat dan paling unggul.
Pada tahun 1914 saat Jerman kalah perang, Hitler pun menyalahkan Yahudi. Ada juga
sebuah teori konspirasi yang menyatakan bahwa Jerman telah dikhianati oleh Yahudi. Pihak
Yahudi sengaja menawarkan bantuan kepada Inggris dan Perancis. Hal ini agar Palestina
kembali diberikan kepada Yahudi jika Inggris dan sekutunya menang. Hitler pun menanggap
Yahudi pengkhianat dan harus segera disingkirkan dari Jerman.
 Lima tahun setelah kekalahan Jerman, Hitler pun bergabung dengan Partai Pekerja
Jerman. Saat ia memimpin, ia pun menggantinya menjadi Partai Nazi. Pada bulan Januari
1933, Nazi mulai berkuasa di Jerman. Mereka meyakini bahwa kaum Yahudi merupakan
ancaman bagi Jerman dan mereka mulai melakukan 'pembersihan' terhadap Yahudi. Ada
beberapa tahapan dan bentuk-bentuk 'pembersihan' yang dilakukan oleh Nazi, seperti :
Pemboikotan ekonomi terhadap usaha-usaha milik orang Yahudi pada 1 April 1933. Para
anggota Pasukan Badai (SA) dan SS (pengawal elite negara Nazi) mencoreng kata 'jude'
(dalam bahasa Jerman berarti Yahudi) pada etalase toko, menempelkan lambang-lambang
anti-Yahudi, bahkan seorang pengacara Yahudi juga terbunuh.
Pemecatan pegawai negeri Yahudi pada 7 April 1933 sebab Pemerintah Nazi mengesahkan
Undang-undang Restorasi Kepegawaian Negeri Profesional. Kebijakan tersebut
menegaskan bahwa hanya kaum Arya atau ras Jerman murni yang boleh menjabat dalam
pemerintah.
Pemberlakukan undang-undang Nuremberg pada 15 September 1935.  Peraturan
perundang-undangan tersebut berisi pelarangan Yahudi menikahi atau menjalin hubungan
seksual dengan orang-orang berdarah Jerman atau sebangsanya. Selain itu juga mencabut
hak politik orang-orang Yahudi.  Penafsiran berkembang pada 14 November 1935 yang turut
mengucilkan kelompok minoritas lainnya seperti orang Roma (Gipsi), orang kulit hitam, atau
pun keturunan mereka.
Aksi kekerasan yang dianggap tak terencana pada 9 November 1938. Ratusan Yahudi
dibunuh, tempat usahanya dihancurkan, sinogege juga dibakar namun polisi dan pemadam
kebakaran hanya berdiam diri. Hal ini menjadi indikator bahwa aksi ini bukan sekedar aksi
balas dendam biasa.  Peristiwa ini tersebut dikenal dengan sebutan Kristallnacht, atau
"Malam Kaca Pecah," sebab selama peristiwa ini pecahan kaca dari etalase toko
berserakan di jalan-jalan.
Pembantaian terhadap para penyandang cacat fisik dan mental dianggap "tidak berguna"
bagi masyarakat pada 1939 sampai 1941, program ini dinamai T-4 atau 'eutanasia'. Hitler
menganggap bahwa masyarakat tersebut juga merupakan ancaman bagi kemurnian genetis
Arya dan tidak pantas untuk hidup. Teknik yang dilakukan dengan injeksi mematikan atau di
dalam kamar gas.[6] Peristiwa ini juga menjadi 'inspirasi' genosida di kamp-kamp yang
didirikan Jerman, salah satunya yang terbesar adalah kamp di Auschwitz.
Program 'Solusi Akhir' berupa genosida di 'kamar gas' yang dibangun dalam kamp-kamp
Jerman terhadap jutaan kaum Yahudi dan ras-ras lain yang dianggap 'lemah'. Program ini
mulai dilakukan setelah invasi Jerman ke Polandia, dengan tahapan :
Pada September tahun 1939 setelah invasi Jerman ke Uni Soviet, pemerintah semakin
agresif menyerang Yahudi lewat kebijakan-kebijakannya. Pada awalnya, Nazi mendirikan
ghetto-ghetto (wilayah khusus guna mengisolasi dan mengontrol kaum Yahudi) di
Generalgouvernement dan Warthegau. Para Yahudi Polandia dan Eropa Barat dideportasi
di ghetto-ghetto ini dan terpaksa hidup tidak layak. Mereka dibiarkan hidup kelaparan
dengan kondisi lingkungan yang kotor dan berdesak-desakan.

 
Pada Juni 1941, SS dan unit-unit polisi (bertindak sebagai unit pembunuh keliling) mulai
menjalankan operasi-operasi pembantaian massal yang ditujukan terhadap seluruh
masyarakat Yahudi.
Pada 17 Juli 1941, Hitler menyerahkan tanggung jawab semua urusan keamanan di wilayah
Uni Soviet yang diduduki kepada kepala SS Heinrich Himmler. Kemudian Himmler
menugaskan Jenderal Jerman Odilo Globocnik (pimpinan polisi dan SS di Distrik Lublin)
untuk melaksanakan rencana pembantaian secara sistematis terhadap kaum Yahudi
Generalgouvernement. Lalu tahun 1942,Himmler menggunakan Auschwitz II (Auschwitz-
Birkenau) sebagai fasilitas pembantaian.
Meskipun begitu, tragedi kemanusiaan Holocaust ini tetap memiliki dua kubu yang
berseberangan. Ada pihak yang mengiyakan bahwa Holocaust ini benar-benar terjadi,
namun ada juga yang justru menganggap bahwa holocaust hanya rekaan atau cerita fiktif
yang diada-ada oleh Yahudi demi mendapatkan keuntungan semata.
 Salah satu pertarungan antara dua kubu ini ditampilkan dalam film Denial (2016) yang
diperankan oleh Rachel Weisz, Timothy Spall, serta Andrew Scott. Film ini merupakan kisah
nyata yang mengisahkan pertarungan antara Deborah Lipstadt yang dituduh melakukan
pencemaran nama baik terhadap David Irving. Namun dalam sistem hukum Inggris, tertuduh
yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Deborah (Rachel Weisz) pun
menghubungi Anthony Julius (Andrew Scott), pengacara yang bahkan menangani kasus
perceraian Princess Diana.  
Film ini diawali dengan dokumentasi Irving yang melakukan pelecehan secara verbal dalam
pidatonya. Kemudian adegan berganti pada Deborah yang sedang mengajar di kelasnya. Ia
pun menjelaskan ada empat poin yang menjadi dasar argumentasi dari kubu yang
melakukan penyangkalan terhadap holocaust.
Killings not systematic. Tidak ada upaya sistematik atau terorganisir yang dilakukan oleh
Nazi untuk membunuh Yahudi Eropa. 
Numbers exaggerated. Jumlah yang terbunuh lebih sedikit dari 5-6 juta.
Auschwitz not built for extermination. Tidak ada kamar gas atau fasilitas pemusnaan khsus
yang dibangun di Auschwitz.
Holocaust a myth. Holokous hanya mitos yang diciptakan Yahudi agar mereka mendapatkan
kompensasi finansial yang akan menguntungkan Israel.
Meskipun fokus dari film ini adalah proses pengadilan antara Irving dan Deborah yang
tertuduh melakukan pelecehan nama baik dalam sistem hukum Inggris, namun saya akan
lebih menekankan pada adu argumentasi antara Irving dan Deborah terhadap holocaust,
terutama empat pendasaran penyangkalan holocaust yang coba dibuktikan oleh Deborah
dan tim hukumnya.
Deborah dan tim hukumnya mengunjungi bekas krematorium II di Auschwitz. Mereka
berupaya mengkonstruksi hipotesa atas indikasi-indikasi bahwa tempat tersebut merupakan
fasilitas genosida atas Yahudi di Eropa pada masa Hitler.
 Berdasarkan Prof. Van Pelt, krematorium II ini dihancurkan oleh Jerman pada 1944
sehingga tinggal reruntuhannya saja. Mereka pun berupaya membuktikan keberadaan
kamar gas. Merujuk pada Februari tahun 1998, Einst Zundel mengirim Fred Leuchter untuk
menguji jejak zyklon B yang digunakan untuk membunuh Yahudi. Namun zyklon B[8] juga
digunakan untuk membunuh kutu parasite yang juga menjadi masalah besar di kamp
tersebut. Penelitian Leuchter pun menemukan bahwa kandungan HCN sangat tinggi. Ia pun
berkesimpulan bahwa tidak pernah ada manusia yang mati di Auschwitz, melainkan hanya
kutu parasite. 
Sayangnya kesimpulan dari penelitian awal tersebut sebenarnya keliru. Meskipun ditemukan
HCN dengan konsentrasi tinggi dan memang digunakan untuk membasmi kutu parasite,
namun faktanya, untuk membunuh seorang manusia tidak membutuhkan konsentrasi HCN
yang tinggi. Sedangkan kutu parasite memang membutuhkan 20x sianida untuk dapat mati.
Namun, laporan Leuchter tersebut telah dijadikan pijakan pada penelitian-penelitian
selanjutnya.
Dalam persidangan, Rampard- sebagai representasi dari Deborah pun menegaskan bahwa
Irving telah melakukan pemalsuan sejarah. Pada edisi pertama Hitler's War di tahun 1977,
buku yang ia tulis tersebut menerima kebenaran holocaust. Namun pada edisi kedua pada
tahun 1991, jejak-jejak holocaust tersebut hilang. Ini disebabkan karena penelitian yang
dilakukan Leuchter. Irving mengetahui bahwa penelitian tersebut keliru tapi ia justru
membenarkannya dalam bukunya.
Pada persidangan selanjutnya, Irving terus mengulur waktu selama proses pengadilan yang
melibatkan Prof. Van Pelt. Saat itu ia mencoba menjelaskan lewat ilustrasi bahwa kamp
tersebut memang digunakan untuk genosida. Namun Irving menyatakan bahwa tidak ada
lubang tempat keluarnya gas sianida dalam ruangan yang diperkirakan sebagai kamar gas.
Besoknya, Rampard menjelaskan bahwa pada mulanya memang tidak ada lubang tersebut
karena awalnya kamp tersebut digunakan sebagai kamp kerja paksa. Berdasarkan dokumen
Pemerintah Polandia yang ditemukan pada tahun 1945, Karl Bichoff menjelaskan adanya
'gas di bawah tanah'. Irving pun berdalih bahwa gas tersebut untuk mengasapi mayat. Gas
beracun tersebut digunakan untuk membunuh kuman-kuman tifus yang menyebabkan
kematian para pekerja di kamp. Namun Rampard menemukan bahwa dalam ruangan
tersebut sengaja dibuat pintu kedap udara dengan lubang mengintip setebal 88 mm yang
dilindungi dengan anyaman logam. Irving pun kembali berdalih bahwa tempat tersebut juga
menjadi tempat perlindungan. Rampard pun kembali menegaskan bahwa argumentasi Irving
sangat tidak logis sebab:
Pada tahun 1943 tempat perlindungan berada sangat jauh yakni sekitar 2,5 mil (kurang
lebih 4 kilometer) dari barak tentara. Bahkan jika ada bom yang dijatuhkan dari udara,
mereka akan mati sebelum sampai ke tempat perlindungan. Apalagi akan sangat sulit bagi
tentara untuk berlari dengan cepat sebab mereka juga membawa persediaan senjata yang
berat.
Selain itu apa fungsinya mengasapi mayat yang kemudian akan di bakar?
Lewat film tersebut terlihat bahwa masih ada pihak yang berupaya untuk menutupi bahkan
menguatkan pandangan bahwa holocaust tidak pernah terjadi. Meskipun secara fakta, mulai
dari bekas runtuhan kamp serta berbagai pengujian telah menyimpulkan bahwa jutaan
Yahudi telah dibunuh secara sengaja dan sistematis pada era Hitler.
        Ada salah satu pembenaran yang menyatakan bahwa Hitler sebenarnya melakukan
pembantaian tersebut untuk memicu Yahudi lain agar menjadi lebih kuat, didasarkan pada
argumentasi bahwa Hitler hanya memerintahkan Yahudi yang dianggap tidak
menguntungkan posisi Jerman seperti anak-anak kecil, orang tua, atau laki-laki yang tidak
kuat. Apalagi Hitler sendiri juga rumornya seorang Yahudi. Kutipan dari kata-katanya juga
dianggap dapat menguatkan. Saat itu ia menyampaikan, "Saya bisa memusnahkan semua
orang Yahudi di dunia ini, tapi saya meninggalkan beberapa dari mereka hidup sehingga
anda akan tahu mengapa saya membunuh mereka."
        Namun  tindakan tersebut jelas tidak bisa dibenarkan dengan alasan apapun.
Fenomena holocaust beserta bentuk dan tahap pembersihan yang telah dilakukan oleh Nazi
ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat berbentuk genosida. Dalam konteks
hukum internasional, instrument yang digunakan yakni Konvensi Genosida tahun 1948 dan
Statuta Roma tahun 1998. Keduanya mendefinisikan genosida sebagai,
"Genosida berarti setiap perbuatan berikut ini yang dilakukan dengan tujuan untuk
menghancurkan, seluruhnya atau untuk sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras, atau
keagamaan, seperti misalnya:
-Membunuh anggota kelompok tersebut;
-Menimbulkan luka fisik atau mental yang serius terhadap para anggota kelompok tersebut;
-Secara sengaja menimbulkan kondisi kehidupan atas kelompok tersebut yang
diperhitungkan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau untuk
sebagai;
-Memaksakan tindak-tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok
tersebut;
-Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok itu kepada kelompok lain."

        Untuk membuktikan bahwa tindakan tersebut termasuk genosida atau bukan maka
harus diperhatikan antara actus reus atau tindakan dan juga mens rea atau niat jahatnya.
Pada actus reus ada beberapa fakta yang menyatakan bahwa pembantaian tersebut paling
banyak dilakukan terhadap pihak Yahudi, meskipun ada sebagian kelompok seperti Gipsi
yang juga turut menjadi korban. Tindakan pembantaian tersebut juga terbukti dilakukan
sistematis terhadap kelompok yang sama dan tindakan penghancuran tersebut dilakukan
berulang-ulang, bahkan bertahap.
  Bentuk-bentuk ketidakadilan terhadap Yahudi ini telah melanggar pasal-pasal dari
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pemboikotan ekonomi terhadap usaha-usaha orang
Yahudi 1 April 1933, mulai dari mengintimidasi dengan memberikan tanda 'jude' di depan
usaha mereka telah menyalahi pasal 2 dari Deklarasi Universal HAM, sebab hak dan
kebebasan orang-orang Yahudi untuk mendirikan usaha telah direngut.
Pemberlakukan undang-undang Nuremberg pada 15 September 1935 yang  melarang
Yahudi menikahi atau menjalin hubungan seksual dengan orang-orang berdarah Jerman
atau sebangsanya telah melanggar pasal 16. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa,
laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan,
kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.
Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan
di saat perceraian.Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan
persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
   Pada aksi kekerasan pada 9 November 1938, ratusan Yahudi dibunuh, tempat usahanya
dihancurkan, sinogege juga dibakar namun polisi dan pemadam kebakaran hanya berdiam
diri. Pasal 1,2,3, dan 5 Deklarasi Universal HAM telah dilanggar. Tidak ada lagi jaminan
bahwa kaum Yahudi dipandang memiliki hak yang setara, justru mereka diperlakukan
secara kejam dan dihukum dengan tidak manusiawi. Selain itu juga ada pelanggaran pada
pasal 7 karena orang-orang Yahudi tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum dari
pemadam kebakaran dan polisi setempat yang merupakan instansi Negara. Begitu juga
pada peristiwa pembantaian yang diberi kode 'Final Solution' di kamp-kamp bekas kerja
paksa, pelanggaran HAM berat sudah terjadi.
Untuk mengenang korban tragedi Holocaust, Pemerintah Jerman meresmikan Monumen
Holocaust pada 10 Mei 2005 silam. Monumen ini dirancang oleh Peter Einsenman dan Buro
Happold. Monument peringatan mempunyai desain yang menarik, terdiri dari lempeng beton
berbentuk balok berjumlah 2.711 yang disusun berderet di area seluas 19.000 meter
persegi. Lempeng-lempeng beton tersebut disebut stelae. Kawasan tersebut diawasi oleh
CCTV selama 24 jam dan stelae tersebut dilapisi oleh pernis khusus untuk melindunginya
dari cat atau pillox.
Selain itu Pemerintah Jerman juga setuju untuk memberikan kompensasi terhadap korban
Nazi ketika anak-anak. Mereka terpaksa berpisah dengan orang tuanya demi melindungi diri
dengan pergi ke luar negeri. Kompensasi tersebut akan diberikan sebesar USD 2.800 (Rp
40.5 juta) sebagai bentuk pengakuan simbolis atas penderitaan mereka.
Meskipun begitu, bentuk pertanggungjawaban yang dilakukan oleh pihak Jerman terhadap
korban holocaust ini belum sebanding dengan penderitaan yang dirasakan oleh korban dan
keluarga. Mereka telah kehilangan kesempatan hidup dengan adil yang merupakan hak
dasar yang harusnya tidak boleh dicabut. Maka, lebih dari itu, negara harusnya bisa
menjamin bahwa korban holocaust tidak akan menerima segala bentuk pelecehan atau
diskriminasi lagi.

Anda mungkin juga menyukai