Anda di halaman 1dari 26

PEMBERONTAKAN PETANI

Ketika Petani Tanjung Oost Marah

Hukum Kolonial diterapkan semena-mena bagi petani


penggarap tanah. Rakyat beserta jawara pun gerah dan mereka
pun berontak hingga gedong tuan tanah diobrak-abrik.

Tersebutlah seorang tuan tanah bernama Ament. Tanahnya meliputi


beberapa kampong petani. Banyak penduduk menjadi penggarap tanahnya.
Ament hidup di antara petani-petani yang selalu dikalahkan dan harus
menderita karena keadaan.

Masalah petani pun bertambah dengan keluarnya peraturan baru


hutang 1912. Peraturan itu menyebutkan para tuan tanah mempunyai hak
untuk mengajukan para petani penggarap ke muka Landraad (pengadilan
rendah). Dengan peraturan tersebut, Pemerintah Kolonial mempermudah
kehidupan para petani.

Setahun setelah keluarnya peraturan pemerintah kolonial itu, tuan


tanah menyeret sekitar 2.000 petani ke landraad (pengadilan untuk
bumiputera) Mr. Cornelis (Jatinegara), Jakarta Timur. Alasannya tak lain
adalah para petani yang menangguk hutang. Para petani itu, lalai
membayar hutang sewa tanah dan pekarangan tinggi. Selain sewa tanah
dan pekarangan, para petani juga dibebani cuke atau kontingenten (serah
panen) dan tebusan kompenian.

Pada 1914 dan 1915, sekitar 300 hingga 500 petani diajukan lagi ke
Landraad Mr. Cornelis. Mereka yang dinyatakan bersalah oleh Landraad,
biasanya dikenakan sangsi penyitaan rumah milik si terhutang. Penyitaan
tersebut sebagai ujud penebusan hutang pada tuan tanah. Petani yang
terlilit hutang dan benci dengan keadaan, biasanya memilih membakar
rumahnya dari-pada menyerahkan sebagai pengganti utang.

Awal 1916, empat tahun setelah Peraturan Hutang dikeluarkan,


keresahan di masyarakat karena hutang makin meningkat. Karena itu
seorang petani bernama Taba, penduduk kampong Batu Ampar, diajukan
ke Landraad Mr. Cornelis dan divonis bersalah oleh hakim.

Rumah Taba rencananya disita dan dijual seharga hanya f 4-50


sebagai pengganti hutang. Berita vonis Taba tadi menghebohkan penduduk
Tanjung Oost-yang tidak suka dengan adanya sangsi pada Taba. Ketika
para petugas datang menyita dan menjual rumah Taba, banyak penduduk
sekitar rumah Taba berkumpul. Mereka berusaha menghalangi para
pegawai yang akan melakukan penyitaan rumah Taba. Para petugas itu
dianggap sebagai pembela kepentingan kaum Eropa kaya. Karena tidak ada
pemimpin dalam aksi penghalangan yang spontanitas itu maka kontak fisik
rakyat kampung dengan pegawai kolonial itu tidak terjadi.

Keresahan semakin meningkat sejak 1913, setahun setelah keluarnya


Peraturan Hutang, keresahan sudah dimulai melanda masyarakat
kampung-kampung milik tuan tanah. Hingga 1916 belum ada tanda-tanda
dari kegelisahan masyarakat kampung untuk memberontak. Mereka seperti
bertahan atas tekanan yang diakibatkan peraturan pemerintah kolonial itu,
meski gelisah. Awal tahun 1916, kegelisahan mulai meningkat tajam. Bibit
perlawanan pun terorganisir dan mulai memimpin pimpinan.

Kaum jawara-istilah pendekar yang ahli beladiri-tampil sebagai


pemimpin dalam keresahan tadi. Kaum jawara ini dipimpin oleh Entong
Endut yang dibantu Maliki, Modin bersama delapan orang lainnya. Ahli
beladiri dan pengikut lainnya berjumlah 400 orang kerap berkumpul di
rumah sang pemimpin, Entong Endut.

Kelompok Entong Endut ini didukung banyak orang seperti tokoh


masyarakat pribumi seperti Haji Amat Awab, Said Keramat dan Dullah.
Beberapa orang pedagang Arab seperti Said Taba bin Ahmad Al Hadat,
Said Muchsin bin Ahmad Alatas dan Umar Said bin Alaydrus ikut menjadi
pendukung gerakan. Mereka berasal dari Cililitan dan Cawang.
Dunia persilatan pribumi, dimana Entong Endut juga menjadi orang
berpengaruh, tidak menutup mata dengan keresahan sosial yang terjadi di
sekitarnya. Mereka pastinya kerap mendengar adanya sita tanah oleh
pegawai kolonial yang kerap hanya diuntungkan para tuan tanah semata.
Hutang petani harus dibayar dengan rumah petani yang dihargai begitu
murah. Hingga tuan tanah semakin kaya dan semakin sering berpesta pora
dirumahnya yang besar. Pesta-pesta yang diadakan tuan tanah itu juga
biasanya dalam rangka “menyokong” para petani yang diperasnya agar
tidak melakukan kerusuhan.

Rakyat sengsara yang kerap dihisap dan ditipu para tuan tanah itu
pun habis kesabarannya. Kemuakan itu lalu berubah menjadi rasa untuk
melawan para tuan tanah. Entong Endut, sang pemimpin rakyat yang
peduli atas nasib mereka itu pun didaulat sebagai Imam Mahdi.

Pada 5 April 1916, di rumah Lady Rallinson-pemilik tanah partikelir


di Cililitan Besar-diadakan pertunjukan topeng. Ament, tuan tanah dri
Tanjung Oost berniat mengunjungi acara itu. Ament mendatangi rumah
Rallinson untuk melihat pertunjukan topeng itu menggunakan mobilnya.
Dalam perjalanan, mobil yang membawa Ament dilempari batu.

Menjelang tengah malam, rumah Rallinson, diserbu pengikut Entong


Endut-dengan Entong Endut sebagai pemimpin. Entong Endut dan
pengikutnya membubarkan keramaian itu. Entong Endut dan pengikutnya
tidak melakukan kekerasan pada orang-orang yang ikut pesta-yang
pastinya orang-orang Eropa Kristen yang berbeda paham dengan kaum
penyerbu.

Rallinson, sebagai tuan rumah dalam pesta itu, rupanya tidak terima
atas kejadian itu. Dirinya merasa harus menanggung malu karena pestanya
kacau di hadapan para tuan tanah lainnya. Rallinson lalu melapor pada
pihak berwajib. Asisten Wedana dan Mantri Polisi yang menerima
pengaduan Rallinson lalu memanggil Entong Endut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya pada pesta di rumah Rallinson.
Ternyata Entong Endut dan pengikutnya menyikapi kejutan ketika Asisten
Wedana dan Mentri Polisi tiba ditempat Entong Endut. Pengikut Entong
Endut yang tunduk membawa senjata tajam yang tentunya membuat dua
utusan pemerintah kolonial itu ketakutan.

Dua utusan itu menyampaikan bahwa Entong Endut harus melapor


ke kantor Wedana. Entong Endut menolak melapor. Karena dia mendengar
adanya perjudian dirumah Rallinson ketika pesta berlangsung dan dirinya
merasa harus membubar-kan perjudian itu bersama pengikutnya. Dua
utusan itu lalu mundur.

Beberapa hari kemudian, sekitar 9 dan 10 April 1916, dua utusan itu
datang lagi. Kali ini dengan sejumlah opas (petugas) untuk menangkap
Entong Endut-yang dianggap berani melawan hokum kolonial. Orang-
orang suruhan pemerintah yang menunggu di luar rumah melihat Entong
Endut keluar dengan membawa sebilah keris dan bendera merah dengan
gambar bintang sabit yang dianggap keramat, serta benda panjang
dibungkus kain putih. Pada mereka, Entong Endut lalu berseru bahwa
dirinya adalah raja yang tidak akan tunduk pada siapa pun, termasuk
pemerintah kolonial.

Setelah itu, disekitar rumahnya bermunculan pengikut Entong


Endut. Mereka lalu menangkap Wedana yang ada dalam rombongan
orang-orang suruhan pemerintah itu. Pada Wedana itu Entong Endut
menjelaskan bahwa tindakannya beserta pengikutnya tidak lain karena
penderitaan petani yang disita rumahnya.

Tidak lama kemudian, Asisten Wedana menyusul wadananya sudah


ditahan Entong Endut. Dalam rombongan ini terdapat pasukan polisi
bersenjata. Terjadilah pertempuran ditempat itu. Dalam pertempuran itu
Entong Endut tertembak dan tewas. Selanjutnya para pengikut Entong
Endut melarikan diri begitu tahu pimpinannya, tewas. Gerakan Entong
Endut ini terkesan berbau Sarekat Islam karena bendera merahnya. Hingga
gerakan ini dianggap politis dan kemiskinan adalah tema yang diangkat
dalam perlawanan ini.

i
4 Jakarta Kota Juang, op. cit, hlm. 59; Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, Jakarta,
i

Balai Pustaka, 1975, hlm. 297.

PEMBERONTAKAN PERAMPOK

Persekutuan Aceh:
Perampok dan Bangsawan
Para perampok balas dendam dalam sebuah pemberontakan.
Mereka dibackingi kaum bangsawan yang member senjata dan
amunisi. Selama beberapa waktu terjadilah pemberontakan di
Sulawesi Selatan.

Rakyat dan bangsawan Sulawesi Selatan terus saja melawan pada pemerintah kolonial yang
menuntut terlalu berlebihan pada penguasa local. Berkali-kali pemberontakan rakyat dengan
dipimpin para bangsawan terjadi. Beberapa kali pula pasukan militer dikirim untuk
menumpas pemberontakan itu.
Setelah kekalahan Sultan Hasanudin oleh VOC-yang dipimpin Laksamana Speelman-
dalam perjanjian Bongaya tidak membuat pergolakan di Sulawesi Selatan berhenti. Pada
1824, ketika perjanjian Bongaya diperbaharui, beberapa bangsawan berontak bersama
pasukan rakyatnya. Hingga awal abad XX, pemberontakan bersifat fisik masih terjadi di
Sulawesi Selatan. Agaknya, berontak menjadi suatu keharusan bagi para bangsawan yang
terusik oleh kekuasaan pemerintah kolonial di Sulawesi Selatan.
Pada 1915, gerombolan perampok pimpinan I Tollo, dengan bantuan terselubung para
bangsawan Gowa bergerak. Pemerintah kolonial setempat kerepotan hingga mengerahkan
kekuatan militer. Gerakan I Tollo adalah aksi balas dendam sekaligus aksi politis kaum
bangsawan yang hanya mementingkan kekuasaan dan prestisenya dalam masyarakat agar
terus terjaga.

Pada Mei 1915 sejumlah bangsawan Gowa seperti Karaeng Barombong dan Karaeng
Batupute menjumpai I Tollo-seo-rang kepala perampok yang cukup disegani dan memiliki
banyak pengikut. Pada I Tollo, para bangsawan Gowa itu bersedia memberikan senjata
beserta amunisinya kepada gerombolan I Tollo. Para bangsawan-yang dendam pada
pemerintah kolonial Belanda itu juga berusaha mendorong gerombolan I Tollo untuk
melakukan pemberontakan pada pemerintah kolonial. I Tollo juga diingatkan oleh bangsawan
itu tentang kematian Macan Daeng Brani, kawan I Tollo, yang tewas diterjang peluru pasukan
pemerintahan pada 19 Oktober 1914. Saat itu Macan Daeng Brani dituduh sebagai
pemberontak oleh pemerintah kolonial.

Dukungan bangsawan membuat I Tollo makin percaya diri. Aksi perampokan yang
dipelopori I Tollo semakin meningkat sejak April. Aksinya semakin mengkhawatirkan
pemerintah kolonial. Daerah yang paling ramai dari aksi perampokan adalah Takalar. Pada 15
Juni 1915, I Tollo mengadakan rapat untuk mengatur penyerangan terhadap kedudukan
pemerintah kolonial. Mata-mata pemerintah kolonial yang mengetahui rencana penyerangan
itu segera melapor pada controleur (pengawas daerah) Takalar. Mengetahui rencana
penyerangan itu, controleur langsung mengirim pasukan kepolisian untuk menyelidiki hal
tersebut.
Ketika pasukan polisi hendak menyelidiki kasus itu, mereka dihadang di jalan oleh
para perampok dalam jumlah besar. Dalam penghadangannya beberapa anggota perampok
bersenjata senapan. Polisi akhirnya urung menunaikan tugasnya. Sementara itu, pasukan
perampok semakin membuat pejabat lokal kalang-kabut. Pemerintah daerah itu berusaha
mendatangkan pasukan bersenjata. Pasukan bersenjata dari Makassar seperti pasukan
infanteri dan Provost pun lalu dierahkan untuk berjaga bila pecah pemberontakan.
Selanjutnya pemerintah kolonial dengan dibantu pasukan bersenjata terus mengawasi dan
menangkapi pemimpin pemberontak memulai mata-mata.

Pada 15 Juni 1915, Karaeng Mappanyuki, Karaeng Bontonompo, Karaeng


Bontolangkasa, Karaeng Lengkese, Karaeng Batupute, dan Karaeng Barombong datang
menyampaikan rasa kegetiran mereka kepada H. van der Wal, controleur (pengawas) Gowa
bagian Barat. Para bangsawan Makassar itu menyatakan kesediaan untuk membantu
mengakhiri tindakan perampokan yang terjadi. Di antara kelompok bangsawan itu, Nampak
Karaeng Batupute dan Karaeng Barombong Nampak melakukan tipu muslihat. Dua
bangsawan tadi sesungguhnya telah mendalangi, mendorong, mendukung dan memberikan
bantuan kepada Tollo untuk melaksanakan perlawanan kepada pemerintah kolonial di
Sulawesi Selatan.

Delapan hari kemudian, 23 Juli 1915, sebanyak delapan kompi pasukan militer
bantuan dari Jawa tiba di Makassar. Coenen langsung memerintahkan untuk menunjukkan
kekuatan militer di daerah-daerah yang rawan terjadi pemberontakan. Perintah ini terkait
pendapat Coenen yang mengatakan rakyat di daerah tersebut akan patuh apabila
diperintahkan dengan tangan besi kekuatan militer. Dalam hubungan inilah Coenen
menyatakan bahwa situasi keamanan di daerah itu baru dapat dikuasai setelah bantuan
pasukan militer tiba dari Jawa. Pendapat Coenen ini dibantah oleh Heyting. Heyting
berangapan bahwa gerakan perlawanan mencapai puncaknya pada 19 Juni 1915, setelah
berangsur-angsur reda. Berkat kegiatan pemerintah meningkatkan pengawasan keamanan
dan menawan para pemimpin gerakan.

Dua hari berikutnya, 25 Juli 1915, keadaan di Makassar semakin buruk, orang yang
melakukan perlawanan semakin besar jumlahnya. Jalan-jalan ditutup dengan palang kayu.
Sementara itu, di daerah Luwu serombongan patrol yang sedang mencari seorang mandor
yang hilang juga ikut hilang. Kabar terakhir di hari itu Pemerintah Daerah Sulawesi sedang
mengerahkan pasukan di Celebes dan Paloppo dinyatakan sebagai wilayah paling berbahaya.
Hal ini semakin merepotkan pemerintah kolonial di Sulawesi Selatan, karena fokus mereka
terhadap gerakan I Tollo terganggu.

Kondisi yang kacau itu membuat Coenen selaku Komandan militer di Celebes dan
Manado, yang juga anggota Raad van fustitie (pengadilan tinggi) bersama Gubernur Celebes,
Assisten Residen Makassar, dan opsir-opsir Lalitan pergi ke Gowa. Pada 26 Juli 1915, Coenen
memimpin pertemuan yang dihadiri para pejabat dan bangsawan Sungguminasa. Pertemuan
ini diselenggarakan guna membahas gerakan yang dilakukan di Sungguminasa maupun yang
dilakukan di Takalar. Dalam pertemuan dihadiri beberapa bangsawan tinggi Kerajaan Gowa,
antara lain Karaeng Mappanyuki, Kareang Bontonompo dan Karaeng Mandalle. Dalam
pertemuan itu, berbagai kritik, penjelasan dan saran diberikan oleh para bangsawan yang
hadir itu menyangkut keadaan waktu itu.

Mereka menyatakan kegiatan pemerintahan sesungguhnya telah menambah


kedengkian, bukan hanya karena tidak menghiraukan dan bahkan berpura-pura tidak tahu
terhadap para pejabat dan orang-orang yang mengancam keamanan pribadi-pribadi dan
barang dan bahkan pengaduan yang amat berbahaya terhadap paksaan.

Upaya pasukan militer untuk menghancurkan gerakan I Tollo gagal. Meski begitu aksi
perampokan yang sebelumnya meningkat perlahan berkurang. Kesulitan pemerintah kolonial
setempat menerima bantuan dari Karaeng Kabalokang, Karaeng Lengkese dan Karaeng
Mappaunyuki. Pemerintah setempat member izin untuk melakukan pengejaran pada
gerombolan I Tollo kepada dua orang itu. Upaya para bangsawan ini berhasil mengakhiri
perlawanan gerakan I Tollo, dua pengikut I Tollo, Rajamang dan Raja-raja berhasil disergap
pada 17 November 1915 di kampung Kalanipa.

Setelah gerakan I Tollo berhasil ditumpas, maka Coenen membuat laporan


penelitiannya tentang pemberontakan. Hasil penyelidikan menunjukkan bahwa kematian
Macan Daeng Brani adalah penyebab langsung terjadinya pemberontakan I Tollo. Coenen
juga memberikan masukan bahwa pengurangan pasukan militer di daerah itu semakin
memberi ruang bagi munculnya pemberontakan di daerah itu. Pemerintah kolonial di
Sulawesi Selatan harus menggunakan senjata karena penghormatan hanya diperuntukkan
bagi yang terkuat. Coenen pun menyalahkan pemerintah karena pengurangan pasukan
militer.

Pemberontakan I Tollo yang melibatkan sekelompok bangsawan jelas membuat


Coenen berpendapat bahwa gerakan pemberontakan yang terjadi sebagai gerakan politis para
bangsawan itu, disamping sebagai gerakan balas dendam dari I Tollo sendiri. Kaum
bangsawan, menurut Coenen, jelas tidak ingin kehilangan kehormatan dan kekuasaannya.
PEMBERONTAKAN ORANG SUMBA

Dari Pemberontakan ke
Pemberontakan

Seperti daerah lain di Nusa Tenggara, rakyat Sumba melawan


pemberlakuan pajak dan kerja paksa. Seperti di tempat lain juga
pemberontakan pun gagal. Sehingga rakyat Sumba terbebani pajak
dan kerja paksa dari pemerintah kolonial.
Ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda memberlakukan pajak. Banyak penguasa lokal
masyarakat pribumi kehilangan wibawanya di mata masyarakat lokal yang dulu
menghormatinya. Kemudian banyak penduduk menganggap orang-orang dengan kekuatan
supranatural yang layak menjadi pemimpin masyarakat.

Tersebutlah dua orang dukun di barat daya Sumba. Mereka adalah Gauka dan Smeroe.
Mereka mengaku memiliki ilmu atau ajian yang bisa membuat jimat kebal peluru. Karenanya,
bersama Raja Kupang, dua dukun itu memiliki posisi penting yang sangat politis dalam
masyarakat di daerah itu.

Di tempat lain, sekelompok orang anti pemerintah kolonial menyusun sebuah rencana
perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka dipimpin oleh Ombu Rekka. Pada 9 dan
10 Januari 1916, Kering Pamara, seorang pimpinan rakyat yang juga membangkang pada
pemerintah kolonial dari Praing Au, juga menyusun perlawanan pada pemerintah kolonial.
Para penduduk kampung diprovokasi oleh Kering Pamara untuk berontak melawan
pemerintah kolonial. Provokasi Kering Pamara itu berhasil membujuk sebagian penduduk
untuk berontak.

Semua gerakan perlawanan pada pemerintah kolonial itu lebih pada masalah pajak
dan kerja paksa yang dianggap memberatkan penduduk Sumba. Pemerintah kolonial kala itu
sudah memperluaskan sumber pemasukannya ke luar Jawa dan Sumatra. Pemerintah
kolonial dengan sesuka hati menarik pajak dari para penduduk di luar Jawa. Banyak
penduduk di luar Jawa, termasuk di sekitar Sumba, sama sekali tidak siap, bahkan tidak
mampu untuk membayar pajak.

Akhirnya meletuslah pemberontakan di Sumba sebelum pertengahan Januari 1916.


Beberapa orang berpengaruh seperti Smeroe dan Gauka juga terlibat dalam pemberontakan
tersebut. Keterlibatan dua dukun itu membuat kekuatan pemberontak bertambah besar. Para
pemberontak diberi jimat kebal peluru yang membuat mereka percaya diri melawan
pemerintah kolonial bersenjata api.

Atas pemberontakan ini, pemerintah kolonial bereaksi cepat dengan mengirimkan


pasukan militer bersenjata ke lokasi pemberontakan. Sepasukan patroli dikirim ke Demaka
dan Praing Au pada 15 Januari 1916. Pasukan militer ini ditugaskan untuk menangkap para
pemberontak di dua kampung itu. Dalam sebuah pertempuran antara pasukan patroli
pemerintah melawan pemberontak itu, delapan pemberontak terbunuh. Di antara yang tewas
itu terdapat Bira, Gauka dan Smeroe, guru supranatural yang member jimat kebal peluru.

Kematian sang pemimpin, membuat pemberontakan orang-orang kampung itu mudah


ditumpas oleh pasukan bersenjata pemerintah kolonial. Penumpasannya adalah pasukan
pemerintah seperti Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (Tentara Kerajaan di Hindia
Belanda) yang biasa disingkat KNIL. Pasukan ini lebih dari 100 tahun, menghabisi para
pemberontak demi menegakkan kejayaan Hindia Belanda. Orang-orang kampung yang
berontak, meski lebih banyak jumlahnya, hanya bersenjata tajam sederhana. Sementara itu,
hampir semua pasukan pemerintah bersenjata api. Dari jarak jauh, tidak sulit membunuh
para pemberontak yang menyerang dengan parang. Ketangguhan pasukan pemerintah telah
meminimalisir jumlah korban dipihak pasukan pemerintah. Dimana hanya ada seorang
serdadu KNIL yang tewas dan dua orang serdadu luka ringan ketika menghadapi
pemberontakan itu.

Pasca gagalnya pemberontakan pemerintah kolonial menangkan dan memenjarakan


orang-orang yang terlibat pemberontakan. Meski gagal, gejolak untuk berontak atas
kebijakan pajak dan kerja paksa hilang. Pada November 1917, muncul lagi sebuah
pemberontakan anti pajak di Sumba bagian timur. Pemberontakan ini dengan mudahnya
meletus dan dengan mudahnya juga ditumpas oleh pasukan pemerintah kolonial.

Perlawanan rakyat Sumba pada pemberlakuan pajak dan kerja paksa belum selesai.
Meski dengan mudah pemberontakan dihabisi oleh pemerintah kolonial, gejolak untuk
berontak tidak pernah padam. Pemberontakan lain muncul pada Juli 1925. Pemberontakan
ini berupa kerusuhan besar di daerah Napu. Seorang pemuda bernama Landu Urang tampil
sebagai pemimpinnya. Akibatnya, Landu Urang dan beberapa pengikutnya lalu dipenjarakan
oleh penguasa lokal setempat.

Penahanan Landu Urang dan beberapa pengikutnya itu tidak membuat


pemberontakan berhenti, karena pada bulan September 1926, sebanyak 60 orang kampung
menyerang sekelompok pasukan KNIL di daerah Tenganan. Orang-orang kampung itu hanya
bersenjata parang dan tombak saja. Pada Agustus 1926, Hiang Hamba seorang pemimpin
pemberontakan lainnya, muncul dan memperoleh banyak pengikut. Seperti Landu Urang
juga, Hiang Hamba menjadi pemimpin pemberontak yang cukup kharismatis. Dimana
sebelum berontak telah bermimpi aneh.

Suatu hari, seorang guru agama Kristen mendatangi Hiang Hamba. Disana guru
Kristen itu melihat duapuluh orang dan seekor kuda hias-yang konon membawa sesosok
Dewa yang tidak terlihat. Guru Kristen itu memperingatkan bahwa apa yang dilakukan orang-
orang itu tidak patut. Agar menghindari masalah, maka guru Kristen itu lalu ditangkap dan
dibunuh. Pemberontak mencurigai guru itu akan membocorkan gerakan pemberontakan.
Maka mayat guru itu dikubur dibawah bebatuan.

Rupanya, kejadian itu membuat gusar petinggi setempat hingga pasukan patroli KNIL
yang ada disitu dikerahkan untuk mencari sang guru tadi. Setelah mayatnya ditemukan, maka
beberapa orang dijadikan tersangka. Namun, Hiang Hamba yang layak dijadikan orang
penting dalam pembunuhan, tidak dijadikan sebagai tersangka. Untuk sementara gerakan
Hiang Hamba tidak tercium oleh pasukan pemerintah.

Sementara itu, di Tenganan, gerakan pemberontakan pun terjadi. Ketika pasukan


patroli KNIL menuju kampung itu, beberapa jalan diblokir oleh pemberontak. Pemberontak
yang terdiri dari para penduduk kampung itu sudah siap melawan pasukan pemerintah yang
mendatangi mereka.

Dalam sebuah rentetan tembakan, Hiang Hamba dn beberapa pengikutnya tidak


terluka sedikitpun. Untuk sementara pengikut Hiang Hamba terpaku dan percaya diri,
namaun setelah ada salvo (tembakan serentak) dari pasukan pemerintah, segera para
pemberontak mundur memasuki kampung mereka. Akhirnya sebanyak 45 orang
pemberontak ditangkap. Sebanyak 42 orang pemberontak lalu dihukum penjara 6 tahun oleh
pemerintah kolonial dan tiga orang dibebaskan.

Pasukan militer pemerintah juga terus melakukan pembersihan di daerah Nafu.


Pasukan terus melakukan penyisihan sampai pemberontakan habis sampai ke akar-akarnya,
pemerintah berharap agar tidak terjadi pemberontakan yang mengganggu penarikan pajak
dan penerapan kerja paksa di Sumba. Keterangan dan ketertiban di daerah Sumba
sepenuhnya mulai ditegakkan. Pada 1928, pejabat kolonial di Sumba berusaha menciptakan
administrasi sipil untuk menciptakan kestabilan di kalangan masyarakat Sumba. Pemerintah
kolonial membagi Sumba dalam Sembilan belas distrik merdeka dengan dipimpin oleh
seorang raja.

Meski begitu, tetap saja pajak dan kerja paksa diberlakukan. Pemerintah kolonial
rupanya sudah siap menghadapi para pemberontak yang akan muncul dengan menepatkan
pasukan disekitar Sumba. Pembaharuan administrasi sipil tadi rupanya diciptakan untuk
mendukung kebijakan penarikan pajak dan kerja paksa bagi penduduk Sumba. Sebagai
pemenang atas konflik sebelumnya, pemerintah kolonial pun bersikap tidak peduli terhadap
beratnya pajak dan kerja paksa yang dipaksakan pada rakyat Sumba.
PENARIKAN PAJAK

Sumatra Barat Menentang Pajak

Di Sumatra Barat pemerintah kolonial Hindia Belanda


menerapkan pajak. Rakyat menolak, memilih memberontak.

Pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda, begitu massif menarik pajak dari penduduk
sipil. Buat rakyat pajak itu sangat memberatkan. Sistem ekonomi uang yang mulai
berkembang di banyak masyarakat pedesaan. Nyatanya semakin memberatkan hidup rakyat
perdesaan itu. Rupanya tidak semua penduduk pribumi ikhlas “bersedekah” pada pemerintah
kolonal.
Controleur (Pengawas) van der Brandhof yang juga memerintah di wilayah Distrik
Danau dan Matoer, pada 23 Maret 1908, tiba di Lubuk, Sumatera Barat. Dia mendapati
kenyataan bahwa penduduk di sana tak mau membayar pajak. Kepala penagih pajak di sana
hampir kehilangan kekuasaannya dan penduduk seolah mempersulit untuk menjalankan
kewajiban dalam meaanslag (menaksir) pajak.
Karena itu controleur meminta bantuan militer dari Padang, karena patroli yang
dipimpin oleh Kapten van Royen yang telah berangkat dari Fort De Cock (Bukittinggi) dinilai
kurang memadai. Esok harinya, satu kompi pasukan dari batalyon 17 yang dipimpin oleh
Kapten C.J. Boon dan Letnan C. Laukamp, A.J. Sparenburg dan van der Zee berangkat
dengan ekstratrein (kereta tambahan) ke Emmahaven (Teluk Bayur), kemudian diangkut
dengan kapal Condor ke Rikoe.
Pasukan yang dikirim ke itu adalah bagian Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau
Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) yang tangguh menumpas para pemberontak
sejak 1830 hingga Belanda terusir dari Indonesia.
Pemberontakan anti pajak di tanah Batak itu terjadi cukup lama dan merepotkan
pemerintah kolonial. Perlawanan rakyat Batak ini, meski tidak seperti pemberontakan anti
pajak di Sumatra Barat, tetap saja cukup menakutkan pemerintah kolonial sampai-sampai
orang-orang Batak tidak diizinkan memasuki dinas militer KNIL sebelum 1929. Inilah sebab
kenapa jumlah orang Batak jauh lebih sedikit dibandingkan orang Jawa, Minahasa-Menado
maupun Ambon dalam keanggotaan militer KNIL.
Pemberontakan anti pajak di Sumatra utara ini sendiri berlangsung tanpa ada
koordinasi antar pemberontak. Tiba-tiba saja pemberontak meletus di beberapa tempat.
Mereka menggunakan senjata ala kadarnya untuk memberontak. Meski para pemberontak
berjumlah lebih banyak daripada pasukan pemerintah, tetap saja kekalahan dan jumlah
korban banyak diderita pihak pemberontak.
Pemberontakan tidak sepenuhnya dilakukan para penduduk Tapanuli maupun Karo.
Pemberontakan hanya dilakukan sebagian penduduk saja. Mereka hanya bermodal nekad,
miskin strategi, hingga dengan mudah ditumpas pasukan pemerintah.
Gerakan-gerakan yang lain terjadi pada kitaran 1900. Gerakan perlawanan itu terkait
dengan kepercayaan lokal masyarakat Batak, seperti gerakan Parmalim (agama asli
masyarakat Batak). Contoh lain adalah gerakan Perhudamdam yang cukup merepotkan
pemerintah kolonial pada tahun 1920an.
Tanah Batak tempat hidup orang Batak selama ratusan tahun berbeda dengan daerah
pesisir timur pantai Sumatra Utara, seperti Medan. Wilayah itu dipenuhi oleh perkebunan
Tembakau Deli yang kesohor dan jadi komoditas penting dalam perdagangan tanaman hasil
perkebunan. Daerah itu sebelumnya di bawah kekuasaan raja-raja Melayu.
Persentuhan pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan tanah Batak berjalan
lamban. Masuknya budaya barat ke Batak dibawa oleh Zending-zending (lembaga
Kristenisasi) yang dipelopori van der Tuuk dan kemudian dikembangkan pendeta
Nommensen. Pasca Zending dan kekalahan Sisingamangaraja XII, pemerintah kolonial
dengan leluasa menerapkan aturan pajaknya.
Gerakan perlawanan rakyat melawan kebijakan pajak pemerintah kolonial juga sebuah
perlawanan yang cukup penting meski agak terlupakan. Perlawanan ini jelas tidak berkaitan
dengan kepercayaan, melainkan lebih bersifat ekonomis. Pemberontakan menolak pajak ini
hampir bersamaan waktunya dengan yang terjadi di Sumatra Barat. Pemberontakan terjadi di
beberapa tempat berbeda menyebabkan pemerintah kolonial kesulitan untuk mengatasinya.
Pada 27 Juli 1908, Residen Tapanuli memberitahukan bahwa telah terjadi huru-hara
di Sorkam, di jalan antara Sibolga dan Barus. Kerusuhan ini bermula karena masalah pajak.
Pemberontakan memutuskan kawat telegram untuk mengacaukan komunikasi pemerintah
kolonial. Kawat telegram yang diputus oleh pemberontak itu lalu diperbaiki ketika
pemberontakan mereda. Selanjutnya controleur (Pengawas) menahan beberapa orang yang
dianggap pemberontak yang membuat kerusuhan. Mereka dibawa ke Barus untuk meredam
pemberontakan agar tidak makin menjalar.
Pada 3 Oktober 1908, Pemberita Betawi memberitakan bahwa penduduk di Kota Bulu,
sebelah barat Karo, Tanah Batak, di daerah utara Tapanuli, juga enggan membayar pajak dan
bersikap melawan pemerintah kolonial. Orang Batak tak mau membayar pajak dan tidak mau
melakukan kerja paksa untuk membuat jalan baru.
Pemberontakan rakyat Karo itu memicu pemerintah kolonial mengerahkan sepasukan
di bawah pimpinan seorang perwira dan bintara militer beserta 60 orang serdadu. Pasukan
ini adalah bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau Koninklijk Nederlandsch
Indisch Leger (KNIL), pasukan yang terbiasa menghadapi pemberontak di nusantara. KNIL
bertolak dari Medan menuju tanah pegunungan untuk menambah jumlah pasukan Belanda.
Sementara itu, kolonial juga mengerahkan sebanyak 120 serdadu yang siap berangkat
ke Kota Bulu. Pengiriman pasukan ini dikarenakan penduduk kota Bulu telah mencopot
seorang pimpinan yang diangkat oleh gouvernement (pemerintah) dan mengganti sesuai
dengan keinginan mereka. Bagi pemerintah kolonial hal ini bisa disamakan perebutan
kekuasaan yang merendahkan kedaulatan pemerintah kolonial serta mengganggu ketenangan
dan ketertiban.
Ketika Residen Tapanuli melakukan pendataan penduduk di kampung Hiligibo pada
12 November 1908, Letnann Holst Pellekaan dan sepasukan KNIL dalam jumlah kecil
diserang para pemberontak. Serangan mendadak para pemberontak ini berakibat Pellekaan
dan seorang juru bahasa bernama Dama dan seorang tahanan mengalami luka ringan. Dari
pihak penyerang, jatuh korban yang diperkirakan sekitar 60 hingga 70 orang.
Para pemberontak yang sering melakukan serangan mendadak menyebabkan
pemerintah kolonial membasminya. Kerusuhan-kerusuhan yang meletus selalu tidak bisa
diduga datangnya, meski dengan mudah dipadamkan juga oleh pasukan pemberontak.
Pada 30 November 1908, Residen Tapanuli mengirim telegram kepada pemerintah
yang isinya mengabarkan bahwa di Laigaloeng, sebuah pasukan yang dipimpin pembantu
Letnan Zadelhoff menyerang pasukan yang terdiri dari 9 orang dengan puncuk pimpinan
Sade. Sade merupakan kepala pasukan pemberontak yang terkenal di Singkel Ulu. Dalam
peristiwa ini seorang pemberontak mengalami luka ringan, sedangkan sisanya termasuk
Sade, dinyatakan tewas.

PENARIKAN PAJAK

Sumatra Barat Menentang Pajak


Di Sumatra Barat pemerintah kolonial Hindia Belanda
menerapkan pajak. Rakyat menolak, memilih memberontak.

Pegawai pemerintah kolonial Hindia Belanda, begitu massif menarik pajak dari penduduk
sipil. Buat rakyat pajak itu sangat memberatkan. Sistem ekonomi uang yang mulai
berkembang di banyak masyarakat perdesaan, nyatanya semakin memberatkan hidup rakyat
pedesaan itu. Rupanya tidak semua penduduk pribumi ikhlas “bersedekah” pada pemerintah
kolonial.
Controleur (Pengawas) van der Brandhof yang juga memerintah wilayah Distrik Danau
dan Matoer, pada 23 Maret 1908, tiba di Lubuk, Sumatra Barat. Dia mendapati kenyataan
bahwa penduduk di sana tak mau membayar pajak. Kepala penagih pajak di sana hampir
kehilangan kekuasaannya dan penduduk seolah mempersulitnya untuk menjalankan
kewajiban dalam meaanslag (menaksir) pajak.
Karena itu controleur meminta bantuan militer dari Padang, karena patroli yang
dipimpin oleh Kapten van Royen yang telah berangkat dari Fort De Cock (Bukittinggi) dinilai
kurang memadai. Esok harinya, satu kompi pasukan dari batalyon 17 yang dipimpin oleh
Kapten C.J. Boon dan Letnan C. Laukamp, A.J Sparenburg dan van der Zee berangkat dengan
ekstratrein (kereta tambahan) ke Emmahaven (Teluk Bayur), kemudian diangkut dengan
kapal Condor ke Rikoe.
Pasukan yang dikirim ke itu adalah bagian Tentara kerajaan Hindia Belanda atau
Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) yang tangguh menumpas para pemberontak
sejak 1830, hingga Belanda terusir dari Indonesia.
Perlawanan rakyat di Sumatra Barat yang menolak membayar pajak kepada
pemerintah semakin ramai. Pemicu lain dari perlawanan ini adalah penutupan kedai-kedai
kopi dan anak-anak mereka dilarang sekolah.
Namun yang terutama pemicu perlawanan adalah keyakinan agama masyarakat
setempat. Pamflet yang tersebar di Padang saat itu dengan Bahasa Arab yang artinya:
“Muslimin Sabiloellah. Barang siapa membajar oewang hal belasting (pajak) kafir
naoedzoe billah. La ilaha ila Allah Moehama rasoeloe’llah. Sabiloe’llah. Mengobarkan
perlawanan rakyat.
Pamflet itu merangsang gerakan anti pajak yang kian ramai. Pada 11 April 1908,
Gubernur Sumatra Barat menyatakan bahwa di Payakumbuh dan Batu Hantar telah terjadi
keributan, banyak orang telah memprotes penangkapan beberapa orang atas perkara pajak.
Pemerintah kolonial lalu mengambil tindakan dengan mengirimkan militer ke lokasi tersebut
dengan tugas pengamanan terhadap penjara serta mengadakan patroli.
Sembilan hari kemudian, 20 April 1909, di Payakumbuh, Sumatra Barat, terjadi huru-
hara serupa. Pemerintah segera mengirimkan serdadunya untuk meredamkan huru-hara ini.
Penyebab dikarenakan penolakan rakyat untuk membayar pajak.
Di tempat terpisah, tepatnya di Padang, orang tidak mau membayar pajak. Mereka,
bahkan membunuh seorang kepala penagih pajak .
Keributan lain terjadi di kantor Asisten Residen Tanah Datar. Keributan bermula
ketika Asisten Residen memanggil Penghulu Padangloear menghadap ke kantor karena suatu
perkara. Penghulu kemudian merasa dipermalukan dan tidak terima. Sekitar pukul 24.00
bersama beratus-ratus orang yang membawa senjata, penghulu yang sakit hati tersebut
mendatangi kantor asisten residen. Asisten Residen berusaha membujuk para penduduk
beserta penghulu untuk pulang.
Penduduk tetap tidak mau ikuti anjuran asisten residen, mereka justru melempari
Marsose (pasukan khusus antigerilya) dengan batu sehingga dua Marsose terluka. Serangan
tersebut dibalas dengan tembakan kea rah kerumunan penduduk, akibatnya 18 penduduk
tewas dan 50 orang lainnya mengalami luka-luka. Beberapa orang kemudian ditahan.
Hari berikutnya, 17 Juni 1908, di Bunga Tanjung, selatan Padang Panjang, seorang
penghulu kepala dibunuh. Asisten Residen sementara Tandjoeng Beroelah bersama pasukan
Marsose pimpinan Kapten Nieuwland bertemu dengan sekumpulan orang di dekat masjid.
Tidak lama terjadi pertempuran, seorang Sesan KNIL suku Jawa meninggal. Sementara itu,
Letnan J.D.A van Gumster dan 2 orang serdadu luka parah dan 5 orang serdadu lainnya luka
ringan. Sedangkan dari pihak musuh, sebanyak 14 orang tewas dan seorang mengalami luka
ringan.
Sementara itu sebelah utara Ganting Kacurah, pasukan dari Batipoeh diserang
pasukan orang Melayu. Akibat kejadian itu seorang serdadu Jawa luka parah dan seorang
lainnya luka ringan.
Dua hari kemudian, 19 Juni 1908, pasukan patroli KNIL pimpinan Kapten Steeensma,
diserang oleh seorang bersenjata klewang di Laras Kamang, Oud Agam. Tidak lama
setelahnya, Batalyon 20 KNIL dari Jakarta lalu dikirim ke Padang pada tanggal 20 Juni 1908
dan tiba pada 22 Juni 1908.
Pemberontakan terus melebar. Pada 24 Juni 1908, sekira 300 orang bersenjata dari
VIII Kota, datang ke Palembajan. Mereka dipimpin Sjeich dari Baringin dan pembantunya
Datuk Bandahara serta Datuk Indo Kayo. Tujuan mereka adalah untuk menyerang serdadu
KNIL. Dalam suatu pertempuran, 57 orang penyerang meninggal, dua orang pimpinan
berhasil melarikan diri, sementara Datuk Indo Karyo menyerah dan ditahan.

Atas pemberontakan yang terjadi, pemerintah kolonial pada 25 Juni 1908 memecat
beberapa penarik pajak yang dianggap biang kerusuhan. Sebanyak 23 orang penarik pajak
asal yang dipecat itu lalu tahanan ditahan di Padang. Mereka dianggap sebagian bagian dari
pimpinan pemberontakan anti pajak.

Pemberontakan tidak dapat diteruskan oleh beberapa pihak. Pada 28 Juni 1908,
Penghulu dari Negeri Sipinang Kampung Tabu, Pariaman, dan Paliniangan, datang
menghadap pejabat kolonial berwenang dengan membawa 4 buah bendera putih sebagai
isyarat damai.

Di tempat lain, pemberontak juga sudah terdesak oleh kekuatan militer kolonial. Pada
2 Juli 1908, di daerah Laras IV kota sebelah selatan, orang-orang yang tolak pajak telah
disergap patroli infantri dan cavalerie (pasukan berkuda). Laras IV termasuk dalam negeri
Malalok, Padang. Akibat peristiwa ini, 50 orang meninggal dan 4 orang mengalami luka.
Kompeni juga menyita sebuah senapan voorlaad, senjata tajam, buku-buku, dan uang lebih
dari f 700 yang dianggap dana untuk berontak.
Huru-hara di Sumatra Barat berlanjut. Pada 3 Juli 1908 berhasil ditangkap Haji Gea
yang dituduh telah menghasut penduduk kota Baharoe, onder Negeri Aer Dingin untuk tidak
membayar pajak. Pada 22 Juni 1908, diberitakan bahwa Soetan Maamin telah ditahan di
Payakumbuh. Soetan Maamin merupakan otak sekaligus pelaku penyerangan di Distrik Sasak
dan Ophir.

Sekitar 50 orang bersenjata tajam , pada 23 Juli 1908 telah diketahui keberadaannya di
Padang. Seorang kepala kampung, telah memberitahukan bahwa orang-orang tersebut akan
membuat onar di Padang. Secara kebetulan kepala kampung mengenali 9 orang di antaranya
sebagai pemberontakan itu. Di beritakan, Datuk Palindih, penghasut dari Tilatang sudah
ditahan polisi Bumiputera. Selain Dato Palindih, telah ditahan pula Nabei Palak pisang,
pemimpin penyerangan di Lubuk Aloeng.

Pemberontakan anti pajak ini jelas gagal dan memakan banyak korban. Orang Padang
tergolong kelompok menolak tunduk pada pemerintahan kolonial. Pajak yang dibebankan
pada penduduk pun lalu memicu kebencian pada pemerintah kolonial, kebencian yang jauh
lebih dalam disbanding sebelumnya. Pemberontakan pun lalu meledak di beberapa tempat di
daerah Sumatra Barat.

PAJAK DAN KERJA PAKSA

Dua Kali Memberontak, Dua Kali Gagal

Pajak dan kerja paksa membuat sebagian orang Sumbawa


gerah. Pemberontakan pun meletus dua kali, keduanya dipimpin
Baham- yang pernah dibuang pemerintah kolonial karena berontak.
Terakhir kali berontak, Baham tewas disergap Polisi Kolonial.
Seperti di Jawa, daerah Sumbawa juga terjadi pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Jika pemberontakan di Jawa, kadang bersikap anti tuan tanah, seperti terjadi dalam peristiwa
tanjung Oost yang dipimpin Entong Endut maka di Sumbawa pemberontakan lebih bersifat
anti pajak dan kerja paksa.

Menjelang 1922, penarikan pajak di Sumbawa Besar dilakukan oleh pegawai Belanda.
Salah satu pegawai itu adalah Th. L Boer yang menjabat sejak 2 April 1921. Di atas Boer
terdapat penjabat bernama J.J Zantman. Sekitar tahun 1921an, di Sumbawa Besar adalah
bagian dari Keresidenan Timor dan Sekitarnya. Bertindak sebagai residen ketika itu ialah
A.J.L. Couvreur. Di Sumbawa Besar terdapat Asisten Residen bernama A.H. Philips. Posisi-
posisi itu diisi dua orang Belanda tadi sejak 9 Maret 1921.

Di Sumbawa Besar, antara tahun 1920 hingga 1921, pajak meningkat sebesar 4 persen.
Tahun 1922, meningkat hebat sebesar 27 persen dan ditahun 1923 pajak naik lagi mencapai
angka 23 persen.

Pajak dan kerja paksa mungkin hal yang jarang dialami rakyat sipil di Sumbawa
sebelum masuknya pemerintah kolonial. Tidak heran jika beberapa desa di Sumbawa Besar
lalu mengadakan perlawanan terhadap kebijakan kerja paksa yang dicanangkan pemerintah
kolonial. Beberapa tokoh masyarakat di Sumbawa Besar pun tidak tinggal diam dengan
adanya kebijakan kerja paksa itu. Seperti Pin Sampi dan Haji Muhamad Nur. Mereka telah
menggerakkan dan memimpin perlawanan menolak kerja paksa dan menolak bayar pajak
untuk pemerintahan kolonial.

Pada 1911, meletuslah pemberontakan menolak pajak dan kerja paksa. Pemberontakan
rakyat itu terjadi di desa Teal, Bau Dea, Dadok dan Batu Rotok. Para penduduk telah menolak
cacah jiwa yang dilakukan pegawai pemerintah. Cacah jiwa adalah cara kolonial untuk
menentukan jumlah pajak yang harus dibayarkan pada pemerintah. Penolakan cacah jiwa ini
cikal bakal dari pemberontakan yang lebih lebar.

Pemberontakan rakyat di beberapa desa itu dipimpin oleh Baham. Aksi


pemberontakan yang dipelopori anggota Dewan Hadat ini menyebabkan, pemerintah kolonial
bereaksi dengan mengerahkan polisi. Tidak sulit bagi pemerintah kolonial untuk
melumpuhkan pemberontakan itu.

Baham yang memimpin pemberontakan pun ditangkap tidak lama setelah


pemberontakan itu dilumpuhkan polisi pemerintah kolonial. Selanjutnya, Baham pun
dijatuhi hukuman kerja paksa selama 7 tahun oleh Dewan Daerah pada 16 November 1911.
Baham pantang menyerah. Dia melarikan diri selama menjalani hukuman 7 tahun
kerja paksa. Pelariannya tidak bertahan lama karena akhirnya ia tertangkap lagi oleh
pemerintah Swapraja di Sumbawa. Pelarian itu berakibat buruk bagi Baham. Hukumannya
berubah, dari hukuman kerja paksa menjadi hukuman pembuangan yang mungkin sangat
menyiksa bagi orang yang nyaman tinggal dikampung. Baham dibuang ke Sawahlunto,
Sumatra Barat.

Dalam pembuangannya itu, Baham bertemu orang-orang Sarekat Abang (Sarekat


Merah) Sumatra. Kaum Sarekat Abang ini tidak jauh beda dengan Baham, sama-sama
berjiwa pemberontak. Ketika hukuman selesai, Baham pun masih dipekenankan pulang ke
Sumbawa lagi. Baham terbebas dari hukuman pembuangannya pada 1922.

Di Jawa, dalam decade 1920an sering terjadi pemberontakan kaum merah. Pemogokan
kaum buruh kereta api yang melumpuhkan jaringan kereta api Jawa, juga dibawah pengaruh
kaum merah. Pemboman di Semarang pada 1923, juga disinyalir dilakukan orang-orang
merah. Kaum Merah yang identik dengan komunis itu menjadi musuh pemerintah kolonial,
apalagi setelah pemberontakan kaum komunis di tahun 1926/1927.

Bersama pengaruh kaum merah yang di bawanya tadi, Baham pun tampil beda ketika
kembali ke kampungnya. Dia terlihat lebih tenang hingga orang-orang di kampung
menganggap dia sebagai dukun hebat dengan kemampuan supranatural yang mumpuni.
Kesan Baham sebagai dukun pun segera menggugah sebagian penduduk untuk menjadi
pengikut Baham. Rupanya tidak ada perubahan di Sumbawa selama Baham pergi. Meski
kewajiban bayar pajak dan kerja paksa pada pemerintah terus berjalan, tidak serta merta
rakyat sipil bersedia bayar pajak dan ikut kerja paksa untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Semangat pemberontakan ternyata masih ada. Salah satu pengikut Baham yang cukup
kesohor adalah Senan. Para pemberontak pimpinan Baham ini ingin melakukan hal sama
seperti di tahun 1911. Mereka ingin memberontak pada pemerintah kolonial.

Baham mengorganisasi perlawanannya di pegunungan sekitar Batu Lantei. Dalam


pemberontakannya yang kedua ini, Baham dibantu oleh seorang dengan reputasi buruk
bernama Dea Kabila, dan seorang lagi yang bernama Dea Rangas. Baham juga dibantu
seorang dukun bernama A Tjin dari Ropang (Sebasong). Dukun ini memperkenalkan pada
pemberontak “Minyak Sumbawa”- yang mampu menyembuhkan luka tembak. “Minyak
Sumbawa” ini membuat para pemberontak semakin percaya diri melawan pemerintah
kolonial.

Tampaknya pemberontakan Baham yang kedua ini cukup beda kekuatannya. Ketika
pemberontakan selesai ditumpas pasukan pemerintah kolonial, sebanyak 150 orang harus
ditangkap atas pemberontakan ini. Meski jumlah pemberontak cukup banyak, pemerintah
kolonial memiliki kekuatan bersenjata yang mampu menyikat para pemberontak. Para
pemberontak yang hanya mengandalkan senjata tradisional begitu mudah dikalahkan
pasukan pemerintah yang bersenjata api. Meski demikian, pasukan pemberontak telah
melawan pasukan pemerintah dengan giginya.
Di akhir pemberontakannya, Baham harus tewas dalam sergapan Polisi Belanda.
Kematian Baham menjadi pukulan besar bagi pemberontak sebab dia penggerak sekaligus
pemimpin kharismatis dalam pemberontakan. Kematiannya meredam semangat berontak
pengikutnya, yang kemudian ditangkap oleh polisi pemerintah kolonial.

Pemerintah kolonial, selanjutnya beranggapan bahwa Baham telah melakukan “Perang


Suci” seperti halnya orang Aceh dalam perang Aceh. Pemerintah kolonial juga beranggapan
bahwa pemberontak yang dipimpin Baham ini berontak karena ketidakpuasan dalam aturan
pajak yang diterapkan pemerintah kolonial. Tentang Baham, pemerintah kolonial punya
dugaan sendiri, yakni adanya ambisi Baham yang ingin menggantikan posisi Sultan
Muhamad Jalaludin, yang berkuasa sebagai kepala daerah Swapraja Sumbawa.

Seperti semua pemberontakan yang melawan pemerintah kolonial di Indonesia zaman


Hindia Belanda, pemerintah kolonial selalu menyesuaikan dengan mengarahkan pasukan
bersenjata. Harapannya agar tercipta ancaman bagi para pemberontak, agar tidak melawan
pada pemerintah kolonial.

Kekerasan bersenjata dan hukuman adalah akibat dari pemberontakan kaum pribumi.
Meski ada terror kekerasan bagi para pemberontak, tetap saja banyak pemberontakan
pribumi meletus sepanjang awal abad XX. Pemberontakan pimpinan Baham di Sumbawa
adalah salah satu dari sekian banyak pemberontakan rakyat itu. Pemberontakan-
pemberontakan semacam ini jarang sekali tercatat dalam historiografi Indonesia. Dalam
banyak tulisan sejarah, abad XX adalah abad perlawanan tanpa kekerasan kaum terpelajar.
PENOLAKAN PAJAK

Lewotala Bergolak Menolak Pajak

Tekanan penerapan pajak dan kerja paksa mengusik penduduk


Lewotala yang kemudian berontak melawan pemerintah kolonial.
Ata Bere Kent (orang berani) menjadi pemimpin pemberontakan.
Tapi saying, pemberontakan itu gagal.

Ketika Pemerintahan Kolonial menarik pajak, maka pendapatan dan pengaruh penguasa lokal
di kalangan rakyat pun berkurang. Itu terjadi pada 1915, dan saat itulah dimulai gerakan anti
Pajak di Flores dan Sumba.

Namun pemberontakan terhadap penarikan pajak pernah pecah dua tahun


sebelumnya di Kui dan Pulau Alor pada 26 September 1913. Ketika itu penduduk menolak
membayar pajak. Akhirnya pemerintah kolonial mengirimkan dua regu Infanteri ke daerah
itu. Pemberontakan itu, ,menurut dugaan pemerintah kolonial, didukung pemimpin Islam-
yang sangat menentang adanya pajak dari pemerintah kolonial.

Selama kurun 1910 hingga 1918, beberapa pemberontakan pecah sebagai perlawanan
terhadap kebijakan penerapan pajak dari pemerintah kolonial. Selain pajak, kebijakan
pemerintah kolonial mengadakan kerja paksa juga ditentang penduduk setempat. Sultan
menjadi tumpuan harapan penduduk lokal untuk membebaskan mereka dari kewajiban pajak
dan kerja paksa.

Namun, para sultan umumnya lebih berkompromi dengan pemerintah kolonial


ketimbang membela rakyatnya. Oleh sebab itu dalam menentang aturan pajak, para
penduduk yang diberatkan dengan pajak dan kerja paksa melawan sendiri tanpa pimpinan
sultan. Dan biasanya orang kampung berpengaruhlah yang mau memimpin pemberontakan.

Atas aturan pajak yang dikeluarkannya, pemerintah kolonial bersiap sedia dengan
kemungkinan buruk yang akan terjadi. Kehadiran polisi sudah barang tentu sangat
diperlukan dalam menegakkan hukum, termasuk menegakan hukum tentang pajak. Artinya
polisi akan bertindak keras bagi para penentang pajak. Menentang pajak berarti menentang
hukum dan pemerintah kolonial yang membuat hukum dan mengadakan pungutan pajak.

Aparat polisi di daerah Flores bisa dibilang sangat sedikit disbanding dengan Jawa.
Karenanya, pemberontakan mudah terjadi di daerah yang minim aparat kolonial itu. Kala itu
konsentrasi terbesar pasukan militer kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL)
di pulau Jawa. Pasukan militer ini terus disiagakan setiap saat untuk menghadapi
pemberontakan. Di Pulau Jawa, pasukan militer KNIL akan maju melawan pemberontak jika
polisi mulai kewalahan menghadapi para pemberontak.

Sejak kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda dikenal oleh para penduduk,
maka para penduduk dewasa diharuskan membayar pajak yang setahunnya sebesar 1
Rijksdaaler atau setara dengan 2,5 gulden. Umumnya mereka tidak membayar dalam bentuk
uang tunai, melainkan hasil bumi.

Rupanya, para pegawai kolonial tidak hanya melakukan penarikan pajak setahun
sekali, tapi dua kali setahun. Hal itu tentu memberatkan penduduk. Laku kesewenang-
wenangan kolonial ini terjadi di Lewotala, Flores timur. Akhirnya bibit pemberontakan pun
tumbuh di kalangan penduduk.

Beberapa orang terkemuka dari Lewotala seperti Adi Tukan, Boli Tukan, Ebang Aran,
Duli Hurint, Subaama Weking dan Pehang Tukan-yang dikenal sebagai Ata Bere Kent (orang
berani)-mempimpin pemberontakan. Seorang dukun berpengaruh dan sangat dipercayai
penduduk bernama Molang juga terlibat, bahkan menjadi pemicu utama pemberontakan.

Sebelum pemberontakan berjalan, Molang meramalkan akan datangnya kemenangan


bagi para pemberontak. Ramalan Molang itu dipercaya para pemberontak hingga para
pemberontak pun percaya diri dan siap untuk melakukan perlawanan. Para pemberontak
yang orang-orang kampung itu seolah tidak pernah memikirkan kekuatan yang mereka
lawan. Hanya terlintas dalam kepala mereka bahwa mereka harus melawan pemerintah
kolonial yang membuat mereka menderita dengan pajak yang begitu besarnya.

Melawan pasukan pemerintah berarti harus bersiap menghadapi pasukan militer KNIL
yang terlatih dan bersenjata api. Meski jumlah pemberontak banyak, tetap saja keunggulan
senjata api dan keahlian tempur pasukan pemerintah sangat berpengaruh. Bukan perkara
sulit bagi serdadu KNIL bersenjata api untuk melawan orang-orang kampung yang hanya
bersenjata klewang. Korban tentu saja akan paling banyak jatuh dikalangan pemberontak
dibandingkan pasukan pemerintah. Apalagi KNIL terlatih dalam menghabisi pemberontakan.
Berbekal ramalan yang membuat yakin atas kemenangannya, para pemberontak pun
maju melawan pemerintah kolonial pada 3 Oktober 1913 di Lewotala. Atas pemberontakan
yang terjadi, pemerintah kolonial pun mengerahkan pasukan KNIL ke Lewotala di bawah
komando Sersan Poly.

Ketika pertempuran antara pemberonak dengan pasukan KNIL terjadi, ramalan


Molang meleset. Bukan kemenangan yang didapat para pemberontak, melainkan kematian
beberapa pemimpin pemberontakan seperti Adi Tukan, Boki Tukan, Semok Hurint dan Boki
Hurint. Mereka terbunuh oleh terjangan senjata pasukan KNIL pimpinan Sersan Poly. Di
kalangan pasukan pemerintah sendiri, sebanyak tujuh orang anggota pasukan Polisi
Bersenjata tewas oleh terjangan klewang pemberontak.

Sementara itu, beberapa rumah di Lewotala dibakar oleh pasukan pemerintah


tujuannya untuk memperlemah perlawanan pemberontak yang sudah kalah. Para penduduk
tentu saja menderita kerugian akibat strategi bumi hangus ini. Setelah pemberontakan gagal,
para pimpinan pemberontak yang masih hidup pun dibawa ke Kupang untuk ditahan dan
menghindari akan adanya pemberontakan lagi.

Pasukan KNIL sendiri sudah lama disiagakan pemerintah kolonial di Kupang untuk
berjaga-jaga atas kemungkinan akan terjadinya pemberontakan. Pasukan ini diperkirakan
hanya beberapa detasemen saja, tidak sampai berkekuatan satu Batalyon. Diperkirakan
pemberontakan yang bakal terjadi tidak akan membesar karena penduduk Flores tidak
sebanyak di Jawa. Bagi kolonial, bila terjadi pemberontakan pun, hanya butuh waktu
sebentar dan tanpa kesulitan untuk menumpasnya.

Perhitungan pemerintah kolonial tepat. Memang tidak ada pemberontakan besar,


seperti halnya Perang Jawa (pimpinan Diponegoro) seperti tahun 1825-1830 di Jawa. Meski
begitu, pemberontakan di daerah Flores dan sekitarnya terjadi bukan hanya sekali meski
hanya dalam skala kecil saja.

Pemberontakan lain meletus pada Agustus 1915. Penduduk Kui yang tinggal di daerah
pegunungan menolak membayar pajak dan menjalankan kerja paksa seperti yang diingini
pemerintah kolonoal. Lagi-lagi pemberontakan ini gagal. Penduduk yang bersenjatakan
klewang harus menghadapi pasukan militer tangguh dengan senjata api. Aksi militer pasukan
pemerintah pun berhasil membuangkan pemberontakan. Dari pemberontakan sebelumnya,
masa jeda terjadi pemberontakan disekitar Alor sangatlah singkat. Artinya meski ada
pemberontakan melawan pajak yang terbukti gagal, perlawanan terhadap pajak pemerintah
tetap terjadi meski dalam skala kecil.
Pemberontakan penduduk Flores dan Sumbawa pada awal abad 20 itu menjadi bukti
bahwa di luar Jawa perlawanan dengan cara tradisional masih terjadi. Meski ketika itu Jawa
dan Sumbawa telah dimulai masa pergerakan Nasional yang identik dengan perlawanan
terorganisir dan tanpa kekerasan fisik seperti pemberontakan bersenjata pada umunya.
Selama masa pergerakan nasional itu, beberapa pemberontakan melawan pajak masih terjadi
di beberapa daerah Hindia Belanda dan semua perlawanan fisik itu gagal mencapai tujuannya
untuk menolak pajak.

Hampir semua pemberontakan bersenjata kaum pribumi yang melawan pemerintah


kolonial selalu berakhir tragis. Pimpinan pemberontakan selalu tewas atau ditahan oleh
pemerintah kolonial. Semua pemberontakan tradisional macam ini nyaris tidak
memperhitungkan kekuatan pasukan kolonial. Beberapa kali KNIL mengadakan ekspedisi
bisa menghancurkan pemberontakan macam ini sejak berdiri di tahun 1830 hingga
menjelang bubarnya KNIL.

Sama halnya dengan pemberontakan penduduk Lewotala yang menentang pajak pun
berakhir tragis. Mereka dihancurkan pasukan KNIL. Dan setelah pemberontakan berakhir
tetap saja tekanan pajak dan kerja paksa kembali mendera para penduduk demi kejayaan
Ratu Belanda.

Anda mungkin juga menyukai