Daftar Pustaka
Sumber buku dan dokumen :
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV.
Jakarta: Balai Pustaka
Berita Acara dibuat oleh Asisten Wedana Pasar Rebo, Meester Cornelis (R. Pringgodimedjo), 17 April
1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Laporan dari Asisten Residen Meester Cornelis (D. Heyting) tentang pemberontakan di tanah partikelir
Tanjung Timur pada tanggal 9 dan 10 April 1916, 18 April 1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Keramat Djati akhir abad 18. Kesulitan dan himpitan ekonomi yang tak kunjung usai
dan terus mendera penduduk yang dilakukan kolonial Belanda di bumi Keramat Jati
selama ratusan tahun sesungguhnya membuat para penduduk yang tadinya polos dan
lugu mulai berpikir dan mencari solusi untuk keluar dari belenggu penjajahan yang
justru terjadi di tanah kelahiran mereka sendiri, lalu ada gejolak patriotisme yang mulai
tumbuh di dada para penduduk yang dimunculkan oleh para tokoh spiritual setempat
seperti Habib Muhsin Al Attas atau cermin perjuangan rakyat di daerah pesisir
seperti Fatahillah.
Tokoh-tokoh bersih ini rupanya sanggup merubah kepulan asap perlawanan di hati
masyarakat menjadi api yang berkobar-kobar. Dan patriotisme yang sudah kepalang
kertakkan geraham itu siap balas menggebuk tirani kolonial.
Dalam waktu singkat, muncul sejumlah putra-putra kampung yang sudah mulai berani
unjuk gigi menentang segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda.
Tentunya dengan resiko kepala akan dipancung atau disiksa di atas panggung, di
pelataran gedung gubernemen, atau di muka khalayak ramai. Sepak terjang yang suci
di mata hukum penjajah akan berubah menjadi tindakan kriminil, dan sanksi-sanksi
yang dijatuhkan penjajah kepada para pemberontak bukan sanksi justice melainkan
kejahatan perang dan intimidasi yang kelak akan berdampak buruk bagi psikologi
masyarakat bangsa ini secara berkepanjangan. Padahal rakyat hanya berkata Ini
tanahku, tapi penjajah malah menjawabnya dengan berteriak, Memangnya kenapa kalau
kami merampok hasil bumi dari tanahmu, kamu mau melawan hah...!?. Rakyat tundukkan
wajah. Rakyat cuma bisa diam seribu bahasa, mungkin mereka bodoh, atau mungkin
juga mereka takut dengan todongan senapan marsose yang tiba-tiba bisa menyalak.
Dasar sapi...! maki penjajah masih kurang puas, seperti yang sering dilontarkan
mantri-mantri polisi pada penduduk. Dan gagang senapan marsose itu akhirnya tidak
menyalak tapi membuat dahi-dahi warga Condet mengucurkan darah segar.
Keberanian dan tekad mereka dalam menentang segala kebijakan penjajah yang
memberatkan masyarakat adalah implementasi yang mengacu pada sebuah perjuangan
senior-senior mereka dahulu. Entong Gendut, seorang putra kampung yang gagah
berani dan sakti mandraguna tiba-tiba muncul sebagai ikon pahlawan Condet, bahkan
Keramat Djati. Seperti sebuah bayangan meriam yang setiap saat bisa meletus. Ia
bertubuh agak tambun, ia menyebut dirinya sendiri Raja Muda. Sebagian besar tetua
Condet cukup banyak mengetahui sejarah Entong Gendut. Ia ada sebagai simbol
perlawanan terhadap hegemonial pemerintahan Hindia Belanda. Ia hidup selalu
menjadi obor penentangan penjajah, maka selama itu pula semangat perjuangannya
tetap hidup di dalam setiap hati masyarakat. Semangat itu tak akan pernah padam
walau harus mati berkalang tanah. Sungguh demang-demang dan para centeng pro
Belanda memusuhinya karena ia terlalu berani bersikap kurang ajar terhadap
kebijakan-kebijakan bosnya.
Maka, sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Setiap ada kekuatan pasti ada
kelemahan. Dua kalimat ini berkaitan dengan Entong Gendut, mengandung makna
pasrah menerima kekalahan atas kebatilan walau kadang sedang berdiri di posisi yang
benar. Tega-teganya para spionase busuk dari kalangan pribumi itu membocorkan
informasi gerakan bawah tanah yang sedang diprakarsai warga Condet demi
kemerdekaan daerah dan bangsanya sendiri. Padahal Belanda hanya mengupahnya
dengan uang yang jumlahnya tak seberapa. Lewat sebuah insiden di anak sungai
Ciliwung, kampung Balekambang, para marsose yang telah menemukan kelemahan
Entong Gendut itupun mengakhiri sepak terjang pahlawan Condet untuk selama-
lamanya.
Semula para marsose sempat dipukul mundur, mereka berlarian kocar kacir
menyeberangi anak sungai Ciliwung. Entong Gendut berusaha mengejar, tapi kawan-
kawan Entong Gendut memperingati agar tidak ikut menyeberangi sungai. Emosi
sudah naik ke ubun-ubun, Entong Gendut tidak lagi menggubris peringatan kawan-
kawannya. Ia tetap berenang menyeberangi sungai mengejar para marsose. Dan
memang itu rencana yang diinginkan Belanda, yaitu membunuh Entong Gendut saat
berada di sungai. Rahasia kelemahan Entong Gendut yang telah diketahui pihak
Belanda itu adalah bocoran informasi dari pengkhianat bangsa kepada pihak Belanda
bahwa Entong Gendut hanya bisa dibunuh saat berada di dalam sungai. Hari itu
keberuntungan tidak sedang berpihak pada Entong Gendut. Dan pada hari itu Entong
Gendut harus tewas diberondong oleh peluru-peluru laknat marsose.
Berita tewasnya Entong Gendut dengan cepat tersiar di seluruh kampung. Seluruh
warga Kramat Jati, khususnya kampung Condet berkabung atas wafatnya pahlawan
kebanggaan mereka. Suasana duka mendalam menyelimuti Condet. Sebaliknya, pihak
Belanda dan gubernemen bersorak sorai kegirangan karena telah membunuh
provokator yang selama ini sulit untuk ditangkap. Di landrad-landrad, dentingan
toast gelas para pejabat militer Belanda mewarnai suasana perayaan kesuksesan
penumpasan Entong Gendut. Akan tetapi, di luar sana sebuah peristiwa fenomenal
telah terjadi. Ketika jenazah Entong Gendut yang terbungkus tikar diusung warga
dengan pengawalan ketat para marsose, lalu jenazah itu diletakkan di suatu tempat.
Ada beberapa versi yang menjelaskan tempat tersebut. Sebuah sumber mengatakan,
tempat itu adalah rumah Entong Gendut. Sumber lain menyebutkan tempat itu
semacam hospital atau klinik. Namun terlepas dari berbagai versi itu, jenazah Entong
Gendut tiba-tiba hilang secara misterius. Para marsose berikut penduduk yang ikut
menyaksikan kejadian itu terhenyak seolah tak percaya apa yang mereka lihat. Bukan
itu saja, mereka semua berusaha mencari ke mana jenazah penuh lumuran darah itu.
Tapi yang dicari tidak juga ditemukan. Jenazah Entong Gendut raib bagai ditelan bumi.
Akhirnya pencarian pun dinyatakan selesai oleh pihak Belanda. Setelah itu aktifitas
kembali berjalan seperti biasa, denyut pemberontakan tak lagi pernah terdengar di
kampung Condet, yaitu penduduk yang berada dalam kungkungan intimidasi dengan
terpaksa kembali menyetor upeti penghasilan pada pihak Belanda.
Seiring waktu berjalan, baik warga maupun pihak Belanda telah melupakan peristiwa
hilangnya Entong Gendut. Belanda merasa yakin bahwa Entong Gendut benar-benar
telah tewas. Selang beberapa tahun kemudian, banyak orang yang melihat Entong
Gendut berada di daerah Purwakarta, Jawa Barat dalam kondisi segar bugar.
Eksplorasi sejarah Jakarta yang penulis lakukan kembali menemukan satu nama lagi yang sangat
terkait dengan perjuangan melawan kekuasaan tuan tanah yang kawin-mawin dengan otoritas
kolonial Belanda di Batavia. Nama itu adalah Entong Gendut, seorang pendekar atau jawara Betawi
dari daerah Condet.
Salah satu sumber pustaka yang mengulas sepak terjang Entong Gendut dalam kancah perjuangan
rakyat di Batavia melawan penindasan tuan tanah dan penguasa kolonial adalah buku karya Prof
Sartono Kartodirdjo: Protest, Movements in Rural Java, sebuah buku yang mendeskripsikan
berbagai gerakan protes petani di Pulau Jawa pada penghujung abad 19 dan awal abad 20.
Masa itu merupakan era swastanisasi tanah serta ditandai oleh kemunculan tanah-tanah partikelir
yang dimiliki oleh pihak swasta asing maupun golongan feodal lokal. Perlawanan Entong Gendut
dan kelompoknya terjadi pada masa itu dan menjadi salah satu ulasan dalam buku karya Prof
Sartono Kartodirdjo tersebut.
Masa penjajahan Belanda di awal abad ke 20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat
yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat, yang sebagian besar hidup sebagai
petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah, senantiasa berada dalam kondisi
tertindas akibat berbagai kebijakan pajak atau blasting produk penguasa kolonial yang memihak
tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah
setiap minggu dengan jumlah yang sangat memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi
penduduk yang tak mampu membayar blasting adalah melakukan kerja paksa berupa penggarapan
sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam jangka waktu sepekan.
Kondisi obyektif demikian memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan
sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian,
bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi
yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya termanifestasi dalam suatu perlawanan ialah reaksi
yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Beliau adalah seorang tokoh pendekar yang juga kesohor
dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian
serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara terbuka.
Aksi perlawanan yang dilakukan Entong Gendut dan kelompoknya pertama kali ditunjukkan ketika
pengadilan kolonial (landraad). Itu terjadi ketika landraad mengeksekusi putusannya yang menuntut
seorang petani bernama Taba untuk membayar uang kepada tuan tanah sebesar 7.20 gulden pada
bulan Februari 1916. Aparatur hukum kolonial memberikan peringatan pada Taba, agar patuh pada
putusan tersebut jika tidak ingin harta benda miliknya disita pengadilan. Pada moment inilah
kelompok Entong Gendut memaki-maki aparat pengadilan dengan kata-kata sarkastik. Perlawanan
ini memang lebih bercorak perlawanan verbal.
Perlawanan frontal dari Entong Gendut dan kawan-kawan terjadi pada 15 April 1916 di depan Villa
Nova, milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady Rollinson adalah seorang
Eropa yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah Cililitan. Pada saat itu, kelompok
Entong Gendut melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung Oost bernama Ament yang sedang
berkunjung ke rumah Lady Rollinson sebagai tamu undangan dalam pesta yang diselenggarakan
sang Lady.
Tak hanya sampai disitu, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai klimaks nya,
kelompok Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan pesta tersebut
berhenti. Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat
keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut pun
dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda berhasil
mengepung rumah Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April 1916.
Entong Gendut menghadapi Wedana dan pasukannya dengan membawa tombak, keris dan
bendera merah berlambang bulan sabit putih. Sambil mengklaim bahwa dirinya adalah raja muda
dari Betawi, ia dan kelompoknya menyerang pasukan Wedana secara frontal. Pertempuran antara
penindas dengan pihak tertindas pun berkecamuk. Dalam pertempuran tersebut, kelompok Entong
Gendut yang dibantu rakyat berhasil menawan wedana. Namun hal tersebut harus ditebus dengan
kematian Entong Gendut oleh peluru pasukan Belanda. Entong Gendut pun tewas sebagai
pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet dan Batavia pada
umumnya.
Kondisi ketertindasan yang dialami kaum tani hingga akhirnya membuahkan perlawanan Entong
Gendut serta rakyat tani di Condet puluhan tahun lalu seolah menjadi tayangan sejarah yang terus
berulang sampai kini. Produksi berbagai regulasi yang tidak berpihak pada rakyat tani namun
menguntungkan korporasi (sebagai tuan tanah dalam moda produksi kapitalis) mulai terjadi di era
Orde Baru, dan semakin masif pada era reformasi.
Perampasan tanah, penggusuran, pemenjaraan hingga pembunuhan para aktifis petani menjadi hal
yang lumrah di era reformasi sekaligus era neo-liberal ini. Bahkan penindasan bagi kaum tani makin
menjadi tatkala pemerintahan SBY-Boediono serta parlemen berniat mengesahkan RUU
Pengadaan Tanah paling lambat akhir tahun ini. Draft RUU yang lebih banyak memihak kepentingan
pemodal di bidang infrastruktur ini merupakan karpet merah bagi kaum kapitalis, namun kuburan
bagi kaum tani. Figur dan semangat Entong Gendut serta kawan-kawannya masih dibutuhkan ketika
penghisapan darah kaum tani masih dilakukan oleh aparatur kekuasaan politik dan ekonomi,
semangat untuk melawan sebelum mereka menghisap habis darah kaum tani negeri ini.