Anda di halaman 1dari 11

Gerakan Entong Gendut

06/15/2014 in Tokoh Leave a comment


Berbagai gerakan yang pernah hadir di Indonesia selalu didasari oleh kesukuan, religi, dan status sosial
karena terjadinya suatu komunitas atau gerakan tak bisa tanpa adanya sikap etnosentrisme itu sendiri.
Terlebih lagi adanya suatu sikap yang memberi pengaruh buruk dalam kehidupanya, seperti gerakan-
gerakan yang didasari oleh kenyataan kehidupannya yang mengalami suatu kemunduran. Ada pula
gerakan atau organisasi yang berusaha untuk keluar dari belenggu tersebut menuju suatu yang damai
sejahtera. Pada masa kolonial Belanda banyak terjadi pemberontakan atas kesewenang-wenangan tuan
tanah dan juga pemerintah kolonial. Tepatnya di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, muncul suatu
gerakan yang disebut dengan nama Gerakan Entong Gendut.

Jejak Rekam Sang Jawara Condet


Dalam sejarah ada banyak jawara Betawi yang terkenal sampai saat ini seperti Pitung, Jampang, Piih,
Sabeni, atau Wan Kadir. Dari deretan nama-nama tersebut terselip satu tokoh dalam perjuangannya
melawan pemerintahan kolonial, H. Entong Gendut. Mungkin jarang kita dengar, namun kisah heroiknya
patut kita teladani dan mengingatkan bahwa DKI Jakarta begitu banyak menyimpan sejarah dan tokoh
penting dalam gerakan pemberontakan. Berbeda dengan jawara-jawara Betawi lainnya, H. Entong
Gendut benar-benar mengonsep sebuah gerakan pemuda di Condet yang cukup apik karena selain
jawara ia juga adalah seorang haji.
Panggung sejarah mulai merekam aksi Entong Gendut pada tahun 1912, yaitu saat Landrad di Mesteer
Cornelis (sekarang pasar Jatinegara) memberlakukan peraturan yang berkaitan dengan keagrariaan
yang pada zaman itu lebih dikenal dengan istilah Tuan Tanah. Maka Jaan Ameen Tuan Tanah untuk sub
distrik Pasar Rebo yang kerap melayangkan pengaduan ke Landrad perihal tunggakan upeti hasil bumi
penduduk Condet dinilai terlalu manja.
Pengaduan itu berakibat disitanya rumah-rumah dan tanah-tanah penduduk Condet, bahkan tak sedikit
rumah penduduk yang dibakar. Aksi sewenang-wenang ini semakin merajalela. Penduduk mulai marah.
Gubernemen menjatuhkan sanski pada seorang penduduk Condet yaitu seorang petani bernama Taba
untuk membayar uang kepada tuan tanah sebesar 7.20 gulden pada bulan Maret 1916. Aparatur hukum
kolonial memberikan peringatan pada Taba, agar patuh pada putusan tersebut jika tidak ingin harta
benda miliknya disita pengadilan. untuk membayar denda sejumlah 7.20 Gulden atau kalau tidak pihak
Gubernemen akan menyita semua miliknya.
Kondisi obyektif demikian memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan sistem
kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian, bahkan
perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi yang bernuansa
kemarahan hingga akhirnya termanifestasi dalam suatu perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh
Entong Gendut. Beliau adalah seorang tokoh pendekar yang juga kesohor dengan nama Haji Entong
Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk
melakukan perlawanan secara terbuka.
Perlawanan frontal dari Entong Gendut dan kawan-kawan terjadi pada 5 April 1916 di depan Villa Nova,
milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady Rollinson adalah seorang Eropa
yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah Cililitan. Pada saat itu, kelompok Entong Gendut
melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung Oost bernama Jaan Ament yang sedang berkunjung ke
rumah Lady Rollinson sebagai tamu undangan dalam pesta yang diselenggarakan sang Lady.
Tak hanya sampai di situ, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai klimaks nya,
kelompok Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan pesta tersebut berhenti.
Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat keamanan Belanda di
Batavia.

Operasi Penangkapan H. Entong Gendut


Masih di bulan April 1916, Pemerintahan Hindia Belanda murka sebab ada perubahan sikap sosial yang
dirasakan mereka terutama penentangan yang dilakukan penduduk terhadap segala kebijakan Belanda
karena selama ini penduduk begitu patuh terhadap terhadap segala kebijakan yang telah diatur
pemerintah Belanda, tapi sekarang berubah menjadi pemberontakan. Pihak Belanda akhirnya berfikir
bahwa tentu ada sebabnya dari kejadian tentunya ada yang sengaja menggiring dan memobilisasi
masyarakat untuk menentang pemerintah. Entong Gendut adalah biang keladi dari semuanya.
Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut pun
dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda berhasil
mengepung rumah Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April 1916. Entong
Gendut menghadapi Wedana dan pasukannya dengan membawa tombak, keris dan bendera merah
berlambang bulan sabit putih.
Ketika Wedana akan menangkap dengan paksa Entong Gendut berteriak memberi aba-aba .
Sabilullah, sabilullah! pasukannya mengamini. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Karena teriakan
itu keluar pengikut-pengikutnya dari tempat persembunyian dikebun salak yang terdapat di sekitar rumah
Entong Gendut. Mereka semuanya bersenjata, jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan Wedana
dan polisi kampung dikepung. Karena terancam rombongan Wedana dan polisi itu bubar menyelamatkan
diri dan bersembunyi. Wedana yang bersembunyi akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.
Maka, sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Setiap ada kekuatan pasti ada kelemahan. Dua
kalimat ini berkaitan dengan Entong Gendut, mengandung makna pasrah menerima kekalahan atas
kebatilan walau kadang sedang berdiri di posisi yang benar. Tega-teganya para spionase busuk dari
kalangan pribumi itu membocorkan informasi gerakan bawah tanah yang sedang diprakarsai warga
Condet demi kemerdekaan daerah dan bangsanya sendiri. Padahal Belanda hanya mengupahnya
dengan uang yang jumlahnya tak seberapa. Lewat sebuah insiden di anak sungai Ciliwung, kampung
Balekambang, para marsose yang telah menemukan kelemahan Entong Gendut itupun mengakhiri sepak
terjang pahlawan Condet untuk selama-lamanya.

Wafatnya Entong Gendut


Dalam kisahnya ada dua kisah yang menyebutkan bahwa H. Entong Gendut meninggal dalam perjalanan
karena pada saat itu ia berada pada barisan depan dan tertembak Wedana Pasar Rebo dan pembesar-
pembesar polisi perlawanan pada hari senin tanggal 10 April dini hari. Versi kedua berita tewasnya
Entong Gendut adalah ia meninggal ditembak di sungai Ciliwung Condet pada saat mengejar pasukan
kolonial karena mendapatkan bocoran informasi dari pengkhianat bangsa kepada pihak Belanda bahwa
Entong Gendut hanya bisa dibunuh saat berada di dalam sungai. Hari itu keberuntungan tidak sedang
berpihak pada Entong Gendut. Dan pada hari itu Entong Gendut harus tewas diberondong oleh peluru-
peluru laknat marsose.
Berita tewasnya Entong Gendut dengan cepat tersiar di seluruh kampung. Seluruh warga Kramat Jati,
khususnya kampung Condet berkabung atas wafatnya pahlawan kebanggaan mereka. Suasana duka
mendalam menyelimuti Condet. Sebaliknya, pihak Belanda dan gubernemen bersorak sorai kegirangan
karena telah membunuh provokator yang selama ini sulit untuk ditangkap. Di landrad-landrad, dentingan
toast gelas para pejabat militer Belanda mewarnai suasana perayaan kesuksesan penumpasan Entong
Gendut. Akan tetapi, di luar sana sebuah peristiwa fenomenal telah terjadi. Ketika jenazah Entong
Gendut yang terbungkus tikar diusung warga dengan pengawalan ketat para marsose, lalu jenazah itu
diletakkan di suatu tempat. Ada beberapa versi yang menjelaskan tempat tersebut. Sebuah sumber
mengatakan, tempat itu adalah rumah Entong Gendut. Sumber lain menyebutkan tempat itu semacam
hospital atau klinik.
Namun terlepas dari berbagai versi itu, jenazah Entong Gendut tiba-tiba hilang secara misterius. Para
marsose berikut penduduk yang ikut menyaksikan kejadian itu terhenyak seolah tak percaya apa yang
mereka lihat. Bukan itu saja, mereka semua berusaha mencari ke mana jenazah penuh lumuran darah
itu. Tapi yang dicari tidak juga ditemukan. Jenazah Entong Gendut raib bagai ditelan bumi. Akhirnya
pencarian pun dinyatakan selesai oleh pihak Belanda. Setelah itu aktifitas kembali berjalan seperti biasa,
denyut pemberontakan tak lagi pernah terdengar di kampung Condet, yaitu penduduk yang berada dalam
kungkungan intimidasi dengan terpaksa kembali menyetor upeti penghasilan pada pihak Belanda.

Daftar Pustaka
Sumber buku dan dokumen :
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV.
Jakarta: Balai Pustaka
Berita Acara dibuat oleh Asisten Wedana Pasar Rebo, Meester Cornelis (R. Pringgodimedjo), 17 April
1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Laporan dari Asisten Residen Meester Cornelis (D. Heyting) tentang pemberontakan di tanah partikelir
Tanjung Timur pada tanggal 9 dan 10 April 1916, 18 April 1916 (Arsip Nasional Republik Indonesia)
Keramat Djati akhir abad 18. Kesulitan dan himpitan ekonomi yang tak kunjung usai
dan terus mendera penduduk yang dilakukan kolonial Belanda di bumi Keramat Jati
selama ratusan tahun sesungguhnya membuat para penduduk yang tadinya polos dan
lugu mulai berpikir dan mencari solusi untuk keluar dari belenggu penjajahan yang
justru terjadi di tanah kelahiran mereka sendiri, lalu ada gejolak patriotisme yang mulai
tumbuh di dada para penduduk yang dimunculkan oleh para tokoh spiritual setempat
seperti Habib Muhsin Al Attas atau cermin perjuangan rakyat di daerah pesisir
seperti Fatahillah.

Tokoh-tokoh bersih ini rupanya sanggup merubah kepulan asap perlawanan di hati
masyarakat menjadi api yang berkobar-kobar. Dan patriotisme yang sudah kepalang
kertakkan geraham itu siap balas menggebuk tirani kolonial.

Dalam waktu singkat, muncul sejumlah putra-putra kampung yang sudah mulai berani
unjuk gigi menentang segala kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Belanda.
Tentunya dengan resiko kepala akan dipancung atau disiksa di atas panggung, di
pelataran gedung gubernemen, atau di muka khalayak ramai. Sepak terjang yang suci
di mata hukum penjajah akan berubah menjadi tindakan kriminil, dan sanksi-sanksi
yang dijatuhkan penjajah kepada para pemberontak bukan sanksi justice melainkan
kejahatan perang dan intimidasi yang kelak akan berdampak buruk bagi psikologi
masyarakat bangsa ini secara berkepanjangan. Padahal rakyat hanya berkata Ini
tanahku, tapi penjajah malah menjawabnya dengan berteriak, Memangnya kenapa kalau
kami merampok hasil bumi dari tanahmu, kamu mau melawan hah...!?. Rakyat tundukkan
wajah. Rakyat cuma bisa diam seribu bahasa, mungkin mereka bodoh, atau mungkin
juga mereka takut dengan todongan senapan marsose yang tiba-tiba bisa menyalak.
Dasar sapi...! maki penjajah masih kurang puas, seperti yang sering dilontarkan
mantri-mantri polisi pada penduduk. Dan gagang senapan marsose itu akhirnya tidak
menyalak tapi membuat dahi-dahi warga Condet mengucurkan darah segar.

Keberanian dan tekad mereka dalam menentang segala kebijakan penjajah yang
memberatkan masyarakat adalah implementasi yang mengacu pada sebuah perjuangan
senior-senior mereka dahulu. Entong Gendut, seorang putra kampung yang gagah
berani dan sakti mandraguna tiba-tiba muncul sebagai ikon pahlawan Condet, bahkan
Keramat Djati. Seperti sebuah bayangan meriam yang setiap saat bisa meletus. Ia
bertubuh agak tambun, ia menyebut dirinya sendiri Raja Muda. Sebagian besar tetua
Condet cukup banyak mengetahui sejarah Entong Gendut. Ia ada sebagai simbol
perlawanan terhadap hegemonial pemerintahan Hindia Belanda. Ia hidup selalu
menjadi obor penentangan penjajah, maka selama itu pula semangat perjuangannya
tetap hidup di dalam setiap hati masyarakat. Semangat itu tak akan pernah padam
walau harus mati berkalang tanah. Sungguh demang-demang dan para centeng pro
Belanda memusuhinya karena ia terlalu berani bersikap kurang ajar terhadap
kebijakan-kebijakan bosnya.

Sama seperti pemuda-pemuda Betawi lain Entong Gendut ke mana-mana selalu


memakai celana komprang dan songkok hitam dengan sarung butut yang selalu
diselempangkan di dada. Hanya ketika akan bertarung baru sarung butut itu diikatkan
di pinggangnya. Anak buah Entong Gendut adalah pemuda-pemuda setempat yang
kesemuanya memiliki kepandaian silat tingkat tinggi. Rasa takut penduduk itupun
sirna seketika saat mereka melihat bagaimana peluru-peluru marsose itu tak sanggup
menembus dada Entong Gendut, malah mereka melihat seulas senyum mengejek di
bibir Entong Gendut saat ia merobohkan puluhan marsose dengan tinjunya.
Panggung sejarah mulai merekam aksi Entong Gendut pada tahun 1912, yaitu saat
Landrad di Mesteer Cornelis (sekarang pasar Jatinegara) memberlakukan peraturan yang
berkaitan dengan keagrariaan yang pada zaman itu lebih dikenal dengan istilahTuan
Tanah. Maka Jaan Ameen Tuan Tanah untuk sub distrik Pasar Rebo yang kerap
melayangkan pengaduan ke Landrad perihal tunggakan upeti hasil bumi penduduk
Condet dinilai terlalu manja. Pengaduan itu berakibat disitanya rumah-rumah dan
tanah-tanah penduduk Condet, bahkan tak sedikit rumah penduduk yang dibakar.
Aksi sewenang-wenang ini semakin merajalela. Penduduk mulai marah, dan puncak
kekecewaan penduduk terjadi pada tahun 1914. Gubernemen menjatuhkan sanski pada
seorang penduduk Condet untuk membayar denda sejumlah 7.20 Gulden atau kalau
tidak pihak Gubernemen akan menyita semua miliknya. Penduduk Condet bertambah
marah, konsentrasi massa mulai terjadi dan semakin meluas pada hari eksekusi.
Penduduk terhukum itu menyerah, ia tidak sanggup membayar denda. Semua harta
bendanya disita oleh Gubernemen dan terlambat untuk bisa diselamatkan. Selanjutnya
satu persatu para tokoh reformasi dan para penduduk yang mencoba memperjuangkan
hak-haknya ditangkapi dan disiksa para marsose. Entah sudah berapa jumlah
penduduk yang ditangkapi. Namun, tindakan penyiksaan itu terus berlanjut. Salah satu
tokoh yang pernah disiksa Belanda adalah bang Latip, seorang warga Condet yang
tergolong nekat. Serdadu Belanda merendamnya di rawa-rawa Asem Baris (sekarang
pool taksi Gamya) selama sehari semalam tanpa diberi makan dan minum. Entong
Gendut tahu itu, lehernya menggelembung, ia terlihat begitu marah. Ia mencoba
bertahan pada taktik perjuangannya, tapi kali ini sudah tak lagi dapat berpangku
tangan menyaksikan semua itu. jiwanya bergejolak dan kesabarannya sudah benar-
benar habis.

Malamnya, di tengah suasana yang masih panas Entong Gendut membubarkan


pertunjukan topeng yang diadakan Jaan Ameen di landhuis Tanjung Oost (sekarang
Gedong tinggi). Tindakan Entong Gendut membuat Jaan Ameen tersinggung. Ia
mengadukannya pada pihak Gubernemen. Pengaduan tersebut langsung ditanggapi
pihak pejabat landrad Meester Cornelis yang langsung memanggil Entong Gendut
untuk datang menghadap, tapi Entong Gendut tidak mau. Dipimpin oleh Demang dan
mantri polisi, sejumlah marsose dikerahkan untuk memberi pelajaran pada pria
berjuluk Raja Muda ini.

Di rumahnya, di Batu Ampar, Entong Gendut duduk santai menyambut utusan


gubernemen itu. Ada bang Awab dan bang Maliki, karib Entong Gendut dengan
puluhan pemuda yang telah bersiap dengan hunusan goloknya. Utusan Gubernemen
bertanya pada Entong Gendut, mengapa ia berani membubarkan pertunjukan topeng
yang sedang berlangsung. Demi agama yang saya anut katanya singkat tapi lugas.
Di sana marak praktek perjudian, sambungnya geram. Sesaat kemudian terjadi
perdebatan. Entong Gendut menyalahkan Gubernemen yang terlalu memihak pada
kepentingan Belanda dan mengecam kebijakan-kebijakan mereka yang banyak
merugikan penduduk. Utusan Gubernemen tidak siap untuk disudutkan, mereka
murka. Suasana semakin memanas, Entong Gendut berteriak, Aya gedruk ni tanah bakal
jadi laut...!. Namun mereka tidak berani bertindak konyol. Entong Gendut dan
pasukan berani matinya itu berada di atas angin.
Setelah peristiwa itu wajah kepemerintahan kolonial Belanda pun mengarah ke Condet.
Wajah-wajah penguasa itu begitu suram, sesuram masa depan kekuasaan mereka yang
mulai terancam akibat serangkaian pemberontakan yang dilakukan Entong Gendut.
Lalu tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sepucuk surat dari Entong Gendut, di dalam
suratnya, gantian Entong Gendut yang memanggil pejabat Gubernemen untuk
menghadap dirinya, alias Raja muda, alias Entong Gendut untuk
mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang mereka lakukan pada penduduk
Condet. Jelas institusi Gubernemen yang begitu agung merasa diinjak-injak. Belanda
tidak tinggal diam, mereka mempersiapkan sejumlah pasukan untuk sebuah operasi.
Tentu Entong Gendut sebagai Target Operasi mereka, sementara pasukannya akan
dilibas habis.

Operasi Penangkapan Entong Gendut Dkk.


Masih di bulan April 1916, selama dua hari setelah Entong Gendut mengirimkan
suratnya ke Gubernemen, militer Belanda mengerahkan serdadunya untuk operasi
penangkapan Entong Gendut. Sesungguhnya penentangan yang dilakukan penduduk
terhadap segala kebijakan Belanda telah membuat pemerintah Hindia Belanda murka.
Mereka paham betul karakter inlander. Selama ini inlander Condet begitu patuh
terhadap segala kebijakan yang telah diatur pemerintah Belanda, tapi sekarang
kepatuhan itu telah berubah menjadi pembangkangan. Pihak Belanda curiga bahwa
perubahan itu tidak muncul dengan sendirinya, pasti ada yang sengaja merubahnya.
Tujuannya untuk penghapusan devisa pemerintah Belanda. Dan Entong Gendut adalah
biang keladi dari semuanya. Para mantri polisi dan Wedana yang langsung memimpin
operasi penangkapan Entong Gendut. Mereka para marsose itu mengepung rumah
Entong Gendut, Wedana berteriak lantang memerintahkan Entong Gendut menyerah.
Moncong-moncong senapan sudah mengarah ke sasaran, hanya tinggal menunggu aba-
aba. Tapi konsentrasi massa yang terdiri dari para pemuda Condet berilmu tinggi telah
bersiap di hadapan mereka. Di dalam rumah, Entong Gendut malah bersembahyang
dengan tenangnya, suara-suara teriakan wedana itu sama sekali tak mengganggu
konsentrasi ibadah si Raja Muda. Sepertinya ia sengaja membiarkan pasukan Belanda
berlama-lama menunggu.

Setelah sembahyang Entong Gendut keluar. Di tangannya ia menggenggam tombak


ditutupi kain putih, goloknya yang setia itu nampak terselip di pinggang. Di tangan
satunya lagi ada bendera merah dengan gambar bulan sabit berwarna putih. Sorot
matanya begitu berani, menatap tajam ke arah wedana dan marsose-marsose yang
mulai diliputi rasa takut. Ia membalas teriakan wedana dengan mengatakan bahwa
dirinya tidak akan tunduk pada siapapun termasuk Belanda. Sabilullah..., sabilullah...!
pasukannya mengamini. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Tapi kemenangan ada di
pihak Entong Gendut. Marsose-marsose banyak yang mati, wedana pun menjadi
tawanan.

Wafatnya Entong Gendut


Dan bukan main marahnya Belanda ketika mengetahui wedana telah ditawan dan
marsose-marsose yang diandalkan itu harus menemui kematian begitu rupa ditangan
penduduk yang hanya mengandalkan tangan kosong atau golok-golok jelek, pendek
dan sudah berkarat. Bala bantuan berkekuatan besar segera didatangkan. Hari itu
Belanda benar-benar mengerahkan kekuatan penuh untuk melumpuhkan Entong
Gendut. Kali ini mereka menerapkan siasat baru. Dan Entong Gendut sengaja telah
dijebak. Jawara Condet sakti itu tidak menyadari siasat baru operasi penangkapan yang
diterapkan Belanda. Di Balekambang, di tepi anak sungai Ciliwung, insiden berdarah
paling dahsyat di Condet itupun terjadi.

Maka, sepandai pandai tupai melompat pasti jatuh juga. Setiap ada kekuatan pasti ada
kelemahan. Dua kalimat ini berkaitan dengan Entong Gendut, mengandung makna
pasrah menerima kekalahan atas kebatilan walau kadang sedang berdiri di posisi yang
benar. Tega-teganya para spionase busuk dari kalangan pribumi itu membocorkan
informasi gerakan bawah tanah yang sedang diprakarsai warga Condet demi
kemerdekaan daerah dan bangsanya sendiri. Padahal Belanda hanya mengupahnya
dengan uang yang jumlahnya tak seberapa. Lewat sebuah insiden di anak sungai
Ciliwung, kampung Balekambang, para marsose yang telah menemukan kelemahan
Entong Gendut itupun mengakhiri sepak terjang pahlawan Condet untuk selama-
lamanya.

Semula para marsose sempat dipukul mundur, mereka berlarian kocar kacir
menyeberangi anak sungai Ciliwung. Entong Gendut berusaha mengejar, tapi kawan-
kawan Entong Gendut memperingati agar tidak ikut menyeberangi sungai. Emosi
sudah naik ke ubun-ubun, Entong Gendut tidak lagi menggubris peringatan kawan-
kawannya. Ia tetap berenang menyeberangi sungai mengejar para marsose. Dan
memang itu rencana yang diinginkan Belanda, yaitu membunuh Entong Gendut saat
berada di sungai. Rahasia kelemahan Entong Gendut yang telah diketahui pihak
Belanda itu adalah bocoran informasi dari pengkhianat bangsa kepada pihak Belanda
bahwa Entong Gendut hanya bisa dibunuh saat berada di dalam sungai. Hari itu
keberuntungan tidak sedang berpihak pada Entong Gendut. Dan pada hari itu Entong
Gendut harus tewas diberondong oleh peluru-peluru laknat marsose.

Berita tewasnya Entong Gendut dengan cepat tersiar di seluruh kampung. Seluruh
warga Kramat Jati, khususnya kampung Condet berkabung atas wafatnya pahlawan
kebanggaan mereka. Suasana duka mendalam menyelimuti Condet. Sebaliknya, pihak
Belanda dan gubernemen bersorak sorai kegirangan karena telah membunuh
provokator yang selama ini sulit untuk ditangkap. Di landrad-landrad, dentingan
toast gelas para pejabat militer Belanda mewarnai suasana perayaan kesuksesan
penumpasan Entong Gendut. Akan tetapi, di luar sana sebuah peristiwa fenomenal
telah terjadi. Ketika jenazah Entong Gendut yang terbungkus tikar diusung warga
dengan pengawalan ketat para marsose, lalu jenazah itu diletakkan di suatu tempat.
Ada beberapa versi yang menjelaskan tempat tersebut. Sebuah sumber mengatakan,
tempat itu adalah rumah Entong Gendut. Sumber lain menyebutkan tempat itu
semacam hospital atau klinik. Namun terlepas dari berbagai versi itu, jenazah Entong
Gendut tiba-tiba hilang secara misterius. Para marsose berikut penduduk yang ikut
menyaksikan kejadian itu terhenyak seolah tak percaya apa yang mereka lihat. Bukan
itu saja, mereka semua berusaha mencari ke mana jenazah penuh lumuran darah itu.
Tapi yang dicari tidak juga ditemukan. Jenazah Entong Gendut raib bagai ditelan bumi.
Akhirnya pencarian pun dinyatakan selesai oleh pihak Belanda. Setelah itu aktifitas
kembali berjalan seperti biasa, denyut pemberontakan tak lagi pernah terdengar di
kampung Condet, yaitu penduduk yang berada dalam kungkungan intimidasi dengan
terpaksa kembali menyetor upeti penghasilan pada pihak Belanda.

Setelah Entong Gendut menghilang, Belanda semakin gencar melancarkan aksinya


menangkapi para penduduk yang pernah mendukung Entong Gendut. Para
marsosepetantang-petenteng keluar masuk kampung, menggeledah rumah-rumah yang
menurut penjajah termasuk daftar buronan pemerintah. Penangkapan demi
penangkapan berjalan mulus karena sudah tidak ada lagi sosok hero yang membela
penduduk. Rasa takut pun selalu melanda. Suasana yang semula tenang seketika
berubah mencekam. Hampir tiap hari ada saja warga setempat yang ditangkap.
Mungkin kita akan terilustrasi situasi waktu itu lewat sebuah pantun warga Condet
yang cukup populer.
Ular kadut mati di kobak
Burung betet makanin laron
Entong Gendut mati ditembak
Orang Condet pada buron

Seiring waktu berjalan, baik warga maupun pihak Belanda telah melupakan peristiwa
hilangnya Entong Gendut. Belanda merasa yakin bahwa Entong Gendut benar-benar
telah tewas. Selang beberapa tahun kemudian, banyak orang yang melihat Entong
Gendut berada di daerah Purwakarta, Jawa Barat dalam kondisi segar bugar.

Entong Gendut dengan segala keberaniannya menentang kesewenang-wenangan


Belanda bukan hanya dianggap sebagai pahlawan kampung, tapi sesungguhnya dia
lebih pantas disebut sebagai pahlawan bangsa dan negara. Jasanya akan selalu
dikenang warga Condet, jiwa perjuangannya akan selalu menyala di hati masyarakat.
Mati satu Entong Gendut akan tumbuh seribu Entong Gendut. Hilang kesaktian dari
satu orang akan tumbuh kesaktian dari seribu orang. Selamat jalan Entong Gendut,
semoga arwahmu diterima di sisi Tuhan.

Gerakan Pemberontakan di Pasar Rebo, Jakarta Timur (1916)


Berbicara mengenai suatu gerakan yang berada di Indonesia tentu kita tak bisa lepas dari suatu
kehidupan sosial itu sendiri. Berdirinya suatu gerakan memiliki berbagai sebab dan alasannya
tersendiri. Apalagi Indonesia terkenal dengan berbagai macam kultur dan budaya di dalamnya.
Berbagai gerakan yang pernah hadir di Indonesia selalu didasari oleh kesukuan, religi, dan
status sosial karena terjadinya suatu komunitas atau gerakan tak bisa dtanpa adanya sikap
etnosentrisme itu sendiri. Terlebih lagi adanya suatu sikap yang memberi pengaruh buruk
dalam kehidupanya, seperti geraka-gerakan yang didasari oleh kenyataan kehidupannya yang
mengalami suatu kemunduran. Dan gerakan atau organisasi tersebut berusaha untuk keluar
dari belenggu tersebut menuju suatu yang damai sejahtera.
Dalam hal ini penulis berusaha menyoroti sebuah gerakan yang berasal dari daerah
penulis pribadi, yaitu tepatnya di daerah DKI Jakarta. Dimana di daerah tersebut pada masa
kolonial atau saat pemerintah kolonial berkuasa, sempat muncul suatu gerakan yang didasari
oleh keadaan masyarakat yang tertekan oleh kesewenang-wenangan tuan tanah dan juga
pemerintah kolonial. Tepatnya di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur. Muncul suatu gerakan
yang disebut dengan nama Gerakan Entong Gendut.
Entong Gendut sendiri salah satu pendiri perguruan Silat Silau Macan di daerah Condet
Jakarta Timur. Masa penjajahan Belanda di awal abad ke 20 merupakan masa-masa penuh
kepahitan bagi rakyat yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat, yang
sebagian besar hidup sebagai petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah,
senantiasa berada dalam kondisi tertindas akibat berbagai kebijakan pajak atau blasting produk
penguasa kolonial yang memihak tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh
petani penggarap kepada tuan tanah setiap minggu dengan jumlah yang sangat memberatkan
bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi penduduk yang tak mampu membayar blasting adalah
melakukan kerja paksa berupa penggarapan sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial
dalam jangka waktu sepekan.
Kondisi obyektif demikian memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap
penindasan sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah,
kebencian, bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah.
Salah satu reaksi yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya termanifestasi dalam suatu
perlawanan ialah reaksi yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Beliau adalah seorang tokoh
pendekar yang juga kesohor dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet
yang merasakan kebencian serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara
terbuka.
Aksi perlawanan yang dilakukan Entong Gendut dan kelompoknya pertama kali
ditunjukkan ketika pengadilan kolonial (landraad). Itu terjadi ketika landraad mengeksekusi
putusannya yang menuntut seorang petani bernama Taba untuk membayar uang kepada tuan
tanah sebesar 7.20 gulden pada bulan Maret 1916. Aparatur hukum kolonial memberikan
peringatan pada Taba, agar patuh pada putusan tersebut jika tidak ingin harta benda miliknya
disita pengadilan. Pada moment inilah kelompok Entong Gendut memaki-maki aparat
pengadilan dengan kata-kata sarkastik. Perlawanan ini memang lebih bercorak perlawanan
verbal.
Tepatnya pada hari Selasa tanggal 7 Maret 1916 Asisten Wedana Pasar Rebo dengan
disertai Piroen, seorang polisi-mandor kampung Batuampar dan beberapa orang polisi,
mendatangi rumah seorang penduduk kampug yang bernama Taba untuk melakukan eksekusi.
Menurut keputusan Pengadilan Negeri Meester Cornelis barang-barang dan rumah Taba harus
disita dan dijual karena hutang-hutangnya sebesar f 7.20.
Ketika sedang dihalaman Taba, Asisten Wedana melihat kurang lebih 50 orang
berkumpul setengah bersembunyi di kebun salak Djalmin yang letaknya tidak jauh dari rumah
Taba. Di antara orang-orang itu hadir seorang yang bernama Entong Gendut, bersala dari
Cililitan Besar. Asisten Wedana menanyakan mengapa mereka berkumpul, maka mereka
mendapat jawaban bahwa mereka itu akan menghalang-halangi hamba- negara yang akan
menjalankan tugasnya. Namun dari kelompok itu tidak ada yang mulai bertindak.[1]
Perlawanan frontal dari Entong Gendut dan kawan-kawan terjadi pada 5 April 1916 di
depan Villa Nova, milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady
Rollinson adalah seorang Eropa yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah
Cililitan. Pada saat itu, kelompok Entong Gendut melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung
Oost bernama Ament yang sedang berkunjung ke rumah Lady Rollinson sebagai tamu
undangan dalam pesta yang diselenggarakan sang Lady.
Tak hanya sampai disitu, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai
klimaks nya, kelompok Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan
pesta tersebut berhenti. Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam
perburuan aparat keamanan Belanda di Batavia.
Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut
pun dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda
berhasil mengepung rumah Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April
1916. Entong Gendut menghadapi Wedana dan pasukannya dengan membawa tombak, keris
dan bendera merah berlambang bulan sabit putih. Sambil mengklaim bahwa dirinya adalah raja
muda patihnya 8 orang, yaitu Ja, Tipis, Raidi, Sibi bni Jimin, Logod, Tipe, Gutar dan Usup.
Majar dan Jaimin menjadi petugas mencari anggota baru: Talun menjadi mantri dan Gani
menjadi sekretaris.[2] Ketika Wedana akan menangkap dengan paksa Entong Gendut berteriak
memberi aba-aba. Karena teriakan itu keluar pengikut-pengikutnya dari tempat persembunyian
dikebun salak yang terdapat di sekitar rumah Entong Gendut. Mereka semuanya bersenjata,
jumlahnya kurang lebih 200 orang. Rombongan Wedana dan polisi kampung dikepung. Karena
terancam rombongan Wedana dan polisi itu bubar menyelamatkan diri dan bersembunyi.
Wedana yang bersembunyi akhirnya tertangkap dan ditawan oleh Entong Gendut.[3]
Pada jam 2.00b malam itu Residen menrima berita bahwa penangkapan Entong Gendut gagal.
Wedana dan polis-polisinya melarikan diri karena dikepung oleh pemberontak. Bahkan Wedana
tertawan. Setelah menerima berita kegagalan itu Asisten Residen minta bantuan tambahan
kepada polisi dan minta kepada Residen agar juga minta bantuan militer. Asisten Residen
selanjutnya datang sendiri ke tempat kerusuhan itu dengan membawa bantuan.
Kurang lebih pada jam 4.00 pada hari senin tanggal 10 dinihari Asisten Residen, Asisten
Wedana Pasar Rebo dan pembesar-pembesar polisi beserta polisi-polisi sudah bersiap-siap di
Condet. Jalan yang menuju ke tempat pemberontakan dijaga. Sementara itu Wedana sudah
dilepaskan. Tidak lama kemudian tampak gerombolan Entong Gendut yang bergerak maju
sambil menari dan mengucap Sabillillah. Mereka akan menyerang polisi yang sudah berjaga-
jaga, tembakan-tembakan dilepaskan oleh polisi. Entong Gendut yang berdiri di depan terkena
tembak dan jatuh terkulai. Pengikut-pengikutnya melarikan diri masuk kampung. Tidak lama
kemudian dari arah kampung terdengar tembakan dan bunyi bedug di langgar yang bertalu-talu.
Sementara itu pemberontak-pemberontak yang jatuh karena tembakan dan yang luka-luka
berat diangkut ke rimahsakit., diantaranya Entong Gendut. Ia meninggal diperjalanan. Barisan
militer yang didatangkan dari Meester Cornelis sudah tiba dan berjaga-jaga di jalan besar.[4]
Pada jam 9.00 pagi hari tanggal 10 suara tembakan dari kampung sudah tidak terdengar lagi.
Pasukan polisi mulai bergerak menyerbu kampung. Setiap rumah digeledah dan penghuni laki-
lakinya digiring ke luar dan dikumlpkan sebagai tawanan, karena menurut berita semua orang
laki-laki di kampung Condet menjadi pengikut Entong Gendut dan ikut melakukan perlawanan.
Banyak tawanan itu yang memakai jimat. Dengan matinya Entong Gendut dan ditawanya
pengikut-pengikutnya itu, maka pemberontakan itu dapat dipatahkan sama sekali.[5]
Perlawanan yang dikerahkan oleh Entong Gendut dan para pengikutnya tak lain adalah usaha
dalam mengembalikan hak para petani dan warganya terhadap sistem pajak dan kesewenang-
wenangan pemerintah kolonial dan tuan tanah terhadap penduduk. Meskipun terbilang frontal
namun, Entong Gendut dan kolega tidak secra habis-habisan dalam menghukum pemerintah
kolinal maupun antek-anteknya. Ini terbukti dia melepaskan kembali tawanannya kepada
pemerintah kolonial meskipun dalam keadaan yang cukupu berbahaya. Entong Gendut pun
tewas sebagai pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di
Condet dan Batavia pada umumnya.

Entong Gendut, Pendekar Pejuang Kaum Tani

Kamis, 3 November 2011 | 7:17 WIB 1 Komentar | 2159 Views

Eksplorasi sejarah Jakarta yang penulis lakukan kembali menemukan satu nama lagi yang sangat
terkait dengan perjuangan melawan kekuasaan tuan tanah yang kawin-mawin dengan otoritas
kolonial Belanda di Batavia. Nama itu adalah Entong Gendut, seorang pendekar atau jawara Betawi
dari daerah Condet.

Salah satu sumber pustaka yang mengulas sepak terjang Entong Gendut dalam kancah perjuangan
rakyat di Batavia melawan penindasan tuan tanah dan penguasa kolonial adalah buku karya Prof
Sartono Kartodirdjo: Protest, Movements in Rural Java, sebuah buku yang mendeskripsikan
berbagai gerakan protes petani di Pulau Jawa pada penghujung abad 19 dan awal abad 20.

Masa itu merupakan era swastanisasi tanah serta ditandai oleh kemunculan tanah-tanah partikelir
yang dimiliki oleh pihak swasta asing maupun golongan feodal lokal. Perlawanan Entong Gendut
dan kelompoknya terjadi pada masa itu dan menjadi salah satu ulasan dalam buku karya Prof
Sartono Kartodirdjo tersebut.

Pendekar dari Condet

Masa penjajahan Belanda di awal abad ke 20 merupakan masa-masa penuh kepahitan bagi rakyat
yang hidup di salah satu daerah di Batavia, Condet. Rakyat, yang sebagian besar hidup sebagai
petani dengan menggarap lahan dan kebun milik tuan tanah, senantiasa berada dalam kondisi
tertindas akibat berbagai kebijakan pajak atau blasting produk penguasa kolonial yang memihak
tuan tanah. Pajak sewa tanah tersebut harus dibayarkan oleh petani penggarap kepada tuan tanah
setiap minggu dengan jumlah yang sangat memberatkan bagi rakyat (25 sen). Konsekuensi bagi
penduduk yang tak mampu membayar blasting adalah melakukan kerja paksa berupa penggarapan
sawah dan kebun tuan tanah atau aparat kolonial dalam jangka waktu sepekan.

Kondisi obyektif demikian memunculkan banyak reaksi dari kalangan rakyat terhadap penindasan
sistem kolonial. Tentu saja reaksi yang banyak muncul dari rakyat berupa amarah, kebencian,
bahkan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kolonial dan tuan tanah. Salah satu reaksi
yang bernuansa kemarahan hingga akhirnya termanifestasi dalam suatu perlawanan ialah reaksi
yang ditampilkan oleh Entong Gendut. Beliau adalah seorang tokoh pendekar yang juga kesohor
dengan nama Haji Entong Gendut. Ia memobilisasi warga Condet yang merasakan kebencian
serupa terhadap kolonialisme untuk melakukan perlawanan secara terbuka.

Aksi perlawanan yang dilakukan Entong Gendut dan kelompoknya pertama kali ditunjukkan ketika
pengadilan kolonial (landraad). Itu terjadi ketika landraad mengeksekusi putusannya yang menuntut
seorang petani bernama Taba untuk membayar uang kepada tuan tanah sebesar 7.20 gulden pada
bulan Februari 1916. Aparatur hukum kolonial memberikan peringatan pada Taba, agar patuh pada
putusan tersebut jika tidak ingin harta benda miliknya disita pengadilan. Pada moment inilah
kelompok Entong Gendut memaki-maki aparat pengadilan dengan kata-kata sarkastik. Perlawanan
ini memang lebih bercorak perlawanan verbal.

Perlawanan frontal dari Entong Gendut dan kawan-kawan terjadi pada 15 April 1916 di depan Villa
Nova, milik seorang tuan tanah Eropa yang bernama Lady Rollinson. Lady Rollinson adalah seorang
Eropa yang memiliki tanah dengan areal sangat luas di daerah Cililitan. Pada saat itu, kelompok
Entong Gendut melempari mobil milik tuan tanah dari Tanjung Oost bernama Ament yang sedang
berkunjung ke rumah Lady Rollinson sebagai tamu undangan dalam pesta yang diselenggarakan
sang Lady.

Tak hanya sampai disitu, menjelang malam hari ketika pesta di villa Lady mencapai klimaks nya,
kelompok Entong Gendut membuat sabotase dan kerusuhan yang menyebabkan pesta tersebut
berhenti. Peristiwa ini membuat nama Entong Gendut masuk daftar hitam perburuan aparat
keamanan Belanda di Batavia.

Berbagai upaya yang dilakukan pihak pemerintah kolonial untuk menangkap Entong Gendut pun
dilakukan. Hingga akhirnya, Wedana dari Meester Cornelis dan pasukan polisi Belanda berhasil
mengepung rumah Entong Gendut di daerah Batuampar pada pertengahan bulan April 1916.
Entong Gendut menghadapi Wedana dan pasukannya dengan membawa tombak, keris dan
bendera merah berlambang bulan sabit putih. Sambil mengklaim bahwa dirinya adalah raja muda
dari Betawi, ia dan kelompoknya menyerang pasukan Wedana secara frontal. Pertempuran antara
penindas dengan pihak tertindas pun berkecamuk. Dalam pertempuran tersebut, kelompok Entong
Gendut yang dibantu rakyat berhasil menawan wedana. Namun hal tersebut harus ditebus dengan
kematian Entong Gendut oleh peluru pasukan Belanda. Entong Gendut pun tewas sebagai
pengacau bagi penguasa kolonial, namun pahlawan bagi rakyat pribumi di Condet dan Batavia pada
umumnya.

Sejarah yang Berulang

Kondisi ketertindasan yang dialami kaum tani hingga akhirnya membuahkan perlawanan Entong
Gendut serta rakyat tani di Condet puluhan tahun lalu seolah menjadi tayangan sejarah yang terus
berulang sampai kini. Produksi berbagai regulasi yang tidak berpihak pada rakyat tani namun
menguntungkan korporasi (sebagai tuan tanah dalam moda produksi kapitalis) mulai terjadi di era
Orde Baru, dan semakin masif pada era reformasi.

Perampasan tanah, penggusuran, pemenjaraan hingga pembunuhan para aktifis petani menjadi hal
yang lumrah di era reformasi sekaligus era neo-liberal ini. Bahkan penindasan bagi kaum tani makin
menjadi tatkala pemerintahan SBY-Boediono serta parlemen berniat mengesahkan RUU
Pengadaan Tanah paling lambat akhir tahun ini. Draft RUU yang lebih banyak memihak kepentingan
pemodal di bidang infrastruktur ini merupakan karpet merah bagi kaum kapitalis, namun kuburan
bagi kaum tani. Figur dan semangat Entong Gendut serta kawan-kawannya masih dibutuhkan ketika
penghisapan darah kaum tani masih dilakukan oleh aparatur kekuasaan politik dan ekonomi,
semangat untuk melawan sebelum mereka menghisap habis darah kaum tani negeri ini.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20111103/entong-gendut-pendekar-pejuang-


kaum-tani.html#ixzz3ZtCKxf4f
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Anda mungkin juga menyukai