Dirdho Adithyo
dan
I Gusti Agung Anom Astika
Penanggung Jawab
Direktur Jenderal Kebudayaan
Hilmar Farid
Pengarah
Direktur Kesenian
Restu Gunawan
Panitia Pelaksana
Edi Irawan
Ibnu Sutowo
Farida Berliana S.
Oktavia Yulliea Susanto
Penulis
Dirdho Adithyo & I Gusti Agung Anom Astika
Editor
M. Fauzi
I Overture 1
1.1. Prelude untuk Sumpah Pemuda 1
1.2. Tala Nada Politik Hukum Indonesia Raya 26
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi 32
Semangat ini dilandasi oleh visi tentang bangsa sebagai suatu usaha poli-
tik bersama, yakni suatu usaha bantu-binantu bersama untuk mewujudkan
kebudayaan nasional sendiri, suatu kebudayaan yang mau mengakhiri se-
gala bentuk penjajahan dan melahirkan manusia baru. Inilah usaha besar
kebangsaan kita: menegaskan kedaulatan politik, mewujudkan kemandi-
rian ekonomi dan mengambil sikap kebudayaan yang berpribadi. Itulah
imajinasi kebangsaan kita.
vii
dari upacara, prosedur dan protokol. Hal itu dapat saja membiakkan rutini-
tas yang punya risiko memadamkan semangat pemerdekaan yang semula
mengiringi terbentuknya bangsa Indonesia. Api kebangsaan harus dijaga
nyalanya dengan pemaknaan-pemaknaan baru atas praktik kebangsaan
dan kenegaraan kita.
Dalam rangka itulah, buku ini diterbitkan. Buku Bunyi Merdeka ini akan
menjadi panduan yang membantu kita semua mengakses pandangan hi-
dup yang tertuang dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya versi tiga stanza.
Lewat pemaparan sejarah sosial dan tinjauan musikologi, buku ini dapat
mengantarkan kita pada rahasia bunyi yang membawa kita pada ke-
merdekaan.
Semoga buku ini dapat berperan memperkuat rasa kebangsaan kita dan
memelihara komitmen bersama kita sebagai bangsa merdeka.
Hilmar Farid
Direktur Jenderal Kebudayaan
viii
I
Overture
Sampai dengan akhir abad ke-19, nama Indonesia belum menjadi. Ia baru se-
rupa kawasan yang sedang dalam proses penaklukan yang sepenuh-penuh-
nya oleh kolonialisme Belanda. Negeri Hindia Timur sebutan awalnya, lalu
berubah menjadi Hindia Belanda kemudian. Sebuah kawasan seluas 1.905 juta
km2 yang terdiri dari belasan ribu pulau tempat beragam suku, bangsa, dan
bahasa, yang saling berinteraksi, dan bermukim sejak periode awal Masehi.
Narasi sejarah tentangnya merangkum berbagai kisah tentang peradaban
yang bergerak maju, yang berjaya di sepanjang Samudra Hindia dan Laut Cina
Selatan sampai saat pedagang-pedagang besar Eropa tiba di abad ke-17.
Setelah itu, sejarah tentang kawasan yang kemudian dikenal sebagai Nu-
santara ini lebih banyak bercerita tentang monopoli perdagangan rempah,
penaklukan bandar perdagangan dan kerajaan, peperangan dan kekerasan.
Peradaban bergerak mundur seiring dengan kekalahan raja-raja Nusantara
yang berulang kali diperdaya dan ditundukkan oleh yang kemudian disebut
sebagai kolonialisme. Massa rakyat pun dilanda ketakutan dan pemiskinan,
oleh karena raja-raja mereka tak lagi menjadi pimpinan mereka. Malah seba-
liknya, raja-raja itu menjadi boneka kolonial untuk memeras rakyat. Hingga
sepertinya tak ada jalan keluar lain kecuali bangkit melawan kolonialisme.
Karenanya, menjelang abad ke-20 adalah sebuah masa yang penuh dengan
pergolakan melawan panji suci gemilang kolonialisme. Di sepanjang garis
pantai barat dan timur belahan utara Pulau Sumatra, derap juang rakyat
Aceh bertahan dari siram desing mesiu pasukan marsose Belanda. Kenda-
ti satu demi satu pimpinan perjuangan rakyat Aceh gugur di medan laga,
gerak berlawan tak henti. Setelah Tjoet Njak Dhien ditangkap pada 1904,
perlawanan rakyat Aceh bergerak ke selatan, sebagian bergabung dengan
pasukan Sisingamangaraja di wilayah Sumatra Utara. Mereka terus berla-
wan hingga 1907.
Bahasa Jawa
Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur
Iku amar naha ora gugur
Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur
Uga bisa ghalib derajate luwih luhur
Bahasa Indonesia
Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa
Berjuang mencegah selalu diharapkan
Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan
Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh
kemuliaan
2
BUNYI MERDEKA
terhadap kolonialisme.
Lepas pantai utara dan timur dari Pulau Jawa, perlawanan terhadap kolo-
nialisme berkembang di wilayah Pulau Kalimantan dan Bali. Oleh karena
persengketaan hak tawan karang antara pemerintah kolonial dan raja-ra-
ja di Bali, Benteng Jagaraga Buleleng sepanjang tahun 1846-1849 berha-
dap-hadapan dengan pasukan kolonial Belanda. Perselisihan ini kembali
muncul di tahun 1906 yang berujung pada peristiwa Puputan Badung. De-
mikian juga dengan perlawanan rakyat Kalimantan di sepanjang periode
1859-1906, yang menolak intervensi Belanda dalam suksesi kerajaan. Se-
muanya merupakan reaksi terhadap upaya kolonialisme di dalam men-
cengkeram lebih jauh lembaga-lembaga adat masyarakat setempat. Semua
paparan di muka menyimpulkan, kolonialisme Belanda tak pernah seu-
tuhnya menundukkan bangsa-bangsa Nusantara.
Bagi kolonialisme yang maju dan beradab adalah yang taat pada hukum
kolonial dan gerak industri. Para penguasa tradisional, sebagai akibat dari
perang-perang penaklukkan, kehilangan tanah-tanah luas nan subur mi-
liknya. Tanah-tanah itu diambil alih oleh pemerintah kolonial untuk di-
jadikan sebagai lahan-lahan perkebunan-perkebunan besar. Ini berkait
dengan kebijakan tanam paksa yang dimulai sejak 1830. Sejak saat itu po-
sisi kebangsawanan para penguasa tradisional itu terus merosot secara
ekonomi, politik dan militer. Mereka bukan lagi penguasa atas rakyatnya,
tetapi berubah menjadi pegawai korps birokrasi kolonial (Binnenland Bestu-
ur). Karenanya kebangsawanan kemudian lebih ditentukan oleh pengab-
dian dan loyalitas seseorang di dalam korps tersebut, ketimbang berdasar
genealogi keturunan, demi menyukseskan praktik tanam paksa.
3
paksa, seperti kopi, kina, tebu, dan sebagainya.
Akibat langsung dari praktik tanam paksa ini adalah kegagalan panen ba-
han pangan, lantaran tanah sudah telanjur dipakai untuk tanaman ekspor.
Tidak mengherankan jika kemudian jumlah penduduk di Jawa menurun
drastis, oleh karena kelaparan, wabah penyakit, dan kemiskinan, pun ke-
bodohan yang meraja, merayap membentuk kesadaran bangsa kuli. Ini
masih ditambah lagi dengan praktik kerja rodi di sejumlah wilayah, plus
pajak yang tinggi. Tepatnya, tahun 1843 ketika terjadi bencana kelapa-
ran di beberapa wilayah seperti Demak, Grobogan, Cirebon dan beberapa
tempat lain sebagai akibat dari kurang diperhatikannya produksi pangan
untuk para pribumi. Kelaparan antara 1843-1848 mengakibatkan jumlah
penduduk turun dengan cepat, di suatu kabupaten dari 336.000 penduduk
menjadi 120.000; di kabupaten lain ada pula yang jumlah penduduknya
berkurang sekitar 80.500 jiwa.
4
BUNYI MERDEKA
Pidato Ratu Wilhelmina itu kerap dianggap sebagai awal dari Politik Etis.
Sebuah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk semacam merevitalisasi
sumber daya alam dan sumber daya manusia yang hancur karena prak-
tik tanam paksa. Upaya ini diperlukan mengingat persaingan ekonomi di
antara negeri-negeri Eropa bergerak ke arah industrialisasi, sehingga dib-
utuhkan sumber daya manusia yang terdidik dan terawat kesehatannya,
dan membuka ruang investasi yang lebih besar di tanah jajahan dengan
membangun irigasi bagi wilayah perkebunan swasta. Dengan kata lain,
Politik Etis adalah semacam kebijakan pemerintah kolonial untuk berger-
ak ke arah industri.
1 Kartini. Surat-surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. (Penerjemah Sulastin
5
Kutipan di muka, yang ditulis oleh Kartini dalam salah satu surat-surat-
nya Kartini kepada sahabatnya di negeri Belanda, menegaskan tentang
keadaan masyarakat Jawa dan tentang kebutuhan untuk melakukan peru-
bahan terhadap keadaan itu. Lebih jauh lagi Kartini mulai membuat analisa
tentang keadaan masyarakat Jawa di hadapan kolonialisme:
Sutrisno). Jakarta: Djambatan, 1985. Kutipan surat-surat Kartini pada halaman berikutnya
mengacu ke buku ini.
6
BUNYI MERDEKA
Kartini wafat di usia muda pada 1904. Sebuah masa ketika kebijakan Politik
Etis mulai dijalankan di wilayah Hindia Belanda. Dalam hal pendidikan, di
bawah Snouck Hurgronje dan J.H. Abendanon, pemerintah kolonial mem-
buka pendidikan barat berbahasa Belanda di wilayah tanah jajahan Hin-
dia Belanda untuk generasi elite penguasa tradisional dan mempersiapkan
mereka untuk menjadi pegawai negeri. Sebelumnya pada 1893 pemerintah
kolonial juga membagi sekolah-sekolah menjadi dua kelas, agar anak-anak
dari kaum penguasa tradisional mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
Ini dengan harapan agar rakyat Hindia Belanda dengan sukarela akan me-
nerima peradaban barat dan menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.
7
tra, yang mulai paham tentang sejumlah perlawanan terhadap kolonial-
isme di dalam maupun di luar Pulau Jawa, dan bagaimana semua perla-
wanan dengan perang tersebut bertumbangan satu demi satu. Pun sebuah
generasi yang mulai menyadari bahwa untuk melawan kolonialisme me-
reka harus menggunakan alat-alat penguasa seperti ilmu pengetahuan,
institusi pendidikan, organisasi, pertemuan umum, percetakan dan pe-
nerbitan. Sebuah generasi yang melahirkan Tirto Adhi Soerjo yang telah
merintis berbagai penerbitan surat kabar; Tjipto Mangoenkoesoemo sang
dokter penerima bintang Oranje Nassau, dengan pandangan-pandangan
politiknya yang maju dan berani; Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar
Dewantara, seniman dan penganjur pendidikan, serta sejumlah tokoh per-
gerakan kebangsaan lainnya yang berlibat di dalam berbagai organisasi
perjuangan. Pun sebuah generasi yang nantinya menggunakan kata Indo-
nesia sebagai pengganti kata Hindia atau Hindia Belanda.
Khususnya pada dunia musik periode ini merupakan pergaulan yang ak-
tif antara para pemusik lokal dan pemusik Eropa di Jawa. Sekolah-sekolah
guru Belanda pada masa Hollands Indische Kweekschool (HIK) dan Kweek-
school menjadi tempat para pemusik pribumi belajar musik barat, salah
satunya Soerjopoetro seorang priayi Puro Pakualaman. Pada masa itu to-
koh-tokoh karawitan di Jawa bertemu dengan para pemusik Eropa yang
progresif seperti Walter Spies, Linda Bandara dan Collin Mcphee, serta
ahli-ahli teori karawitan Belanda seperti Jaap Kunst dan Brans Buy. Kare-
nanya tidak mengherankan jika kemudian muncul komponis abad ke-20
yang telah menggunakan pola kehidupan budaya musik barat sebagai sa-
rana guna mengungkapkan ekspresi musikal. Beliau adalah Soerjopoetro
tahun 1916-1917 dengan karyanya Rarjuo Sarojo duet vokal dan biola. Ma-
teri komposisi diangkat dari sebuah lagu dolanan anak. Melodi vokal dan
biola pada prinsipnya sama, tetapi gerakan melodi pada biola diberikan
nada-nada hiasan seperti halnya penggarapan unsur rebab dalam karaw-
itan Jawa. Analisis komposisi karya Soerjopoetro dapat dikatakan sebuah
awal upaya untuk menggarap musik tradisional menjadi sebuah garapan
komposisi barat.2
2 Wisnu Mintargo. Musik Nasional dalam Konsep Trikon Ki Hadjar Dewantara: Akultur-
asi Budaya Timur dan Barat, dimuat dalam situs web http://wisnumintargo.web.ugm.
ac.id/?p=64
8
BUNYI MERDEKA
Industri kereta api yang mulai dibangun pada 1867 mulai berkembang
sembilan tahun kemudian di tahun 1876. Mesin cetak yang pada periode
sebelum abad ke-19 hanya dimiliki oleh kantor pemerintah kolonial atau
kantor misionaris, di pertengahan dan akhir abad ke-19 mulai menjadi ba-
gian dari industri surat kabar. Ini terlihat dari terbitnya surat kabar per-
tama berbahasa Jawa di Surakarta, Bromartani, pada 1855. Bahkan perusa-
haan rekaman sudah mulai masuk Hindia Belanda di awal abad ke-20. Di
masa itu setidaknya ada tiga saudagar Tionghoa yang menggeluti dunia
musik dengan mendirikan perusahaan rekaman, yaitu Tio Tek Hong di Pa-
sar Baru dan Lie A Kon di Pasar Senen, dan satu lagi di Surabaya.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), sosok pendiri pers nasional yang
telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/
TK/2006. Sejak muda, Tirto Adhi Soerjo merintis berbagai penerbitan su-
rat kabar. Yang paling terkenal adalah surat kabar Medan Prijaji (beredar
sejak Januari 1907 sampai Januari 1912). Inilah surat kabar pertama yang
dikelola sepenuhnya oleh tenaga pribumi dan menggunakan bahasa Me-
layu. Inilah juga surat kabar pergerakan pertama yang menjadi model bagi
berbagai surat kabar pergerakan sesudahnya (seperti Sarotomo dan Soeloeh
Indonesia).
Sebagai surat kabar pergerakan, Medan Prijaji memuat laporan dan liputan
yang dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Metode jurnalismen-
ya dikenal sebagai jurnalisme advokasi, yakni suatu cara kerja jurnalis-
tik yang menekankan pada pembelaan pada kaum tertindas yang tengah
diliput.
9
sekarang berhenti disini sir,
saja toean,
Peng!. Apa itu, soeara bedil! Boekan! Itoe soeara tapak ta-
ngan jang jatoeh dipipinja koetsir jang brutaal. Kasihan!
Kutipan di muka adalah salah satu contoh laporan dan liputan Medan Prijaji
yang khas, karena dituliskan dari sudut pandang rakyat Indonesia. Melalui
kerja jurnalistik semacam inilah, Tirto Adhi Soerjo mengobarkan seman-
gat anti-kolonial dan menyulut kesadaran berkebangsaan yang mandiri.
Generasi muda yang tumbuh melalui bacaan atas surat kabar ini kemudian
membawa dalam diri mereka kesadaran tentang ketidakadilan pemerintah
kolonial dan situasi keterjajahan bangsa Indonesia.
Boedi Oetomo, sebagai organisasi pergerakan yang didirikan pada 1908 be-
rangkat dari semangat membantu kaum bumiputra untuk mendapatkan
pendidikan yang layak dan murah. Pandangan mereka tentang keadaan
masyarakat bumiputra, sebagaimana diungkapkan oleh Goenawan Mango-
enkoesoemo, salah satu pendiri Boedi Oetomo:
10
BUNYI MERDEKA
11
di Indonesia mulai mewujudkan dirinya dengan nama Persaudaraan An-
tara Pandu Indonesia (PAPI) yang beranggotakan INPO, SIAP, Natipij, dan
PPS.
Maka, dimulailah apa yang disebut sebagai Zaman Bergerak, yakni era
perlawanan rakyat Indonesia yang terorganisasikan secara modern terha-
dap pemerintahan kolonial, struktur feodal dan pranata kapitalis di Hindia
Belanda yang terjadi antara 1912 dan 1926. Perlawanan ini dikatakan ter-
organisasikan secara modern karena tak lagi menggunakan pendekatan
feodal seperti pp (berjemur) di halaman pembesar lokal memohon kes-
udiannya untuk menjalankan perubahan situasi, melainkan menggunakan
instrumen politik seperti organisasi/perserikatan (vereeniging) dan pemo-
gokan (werkstaking) yang difungsikan secara strategis untuk memaksa pe-
modal menerima tuntutan gerakan. Berbagai gerakan pekerja dan intelek-
tual muda bergabung dalam aksi-aksi bersama yang menentang tatanan
kolonial yang represif.
Pada masa inilah timbul kesadaran baru bahwa tatanan politik kolonial
bukanlah nasib yang ditimpakan begitu saja ke bumi manusia, melaink-
an dapat diubah sewaktu-waktu oleh tangan rakyat Indonesia sendiri. Haji
Misbach, seorang aktivis pergerakan masa itu, berbicara tentang djaman
12
BUNYI MERDEKA
Kesadaran tentang zaman yang telah berganti rupa semacam ini terus
muncul di kalangan pergerakan kebangsaan Indonesia.
13
Sebagai wadah para pelajar Indonesia di Negeri Belanda, PI mengalami ra-
dikalisasi berkat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi
Soerjaningrat pada 1913. Keduanya dibuang ke Belanda akibat aktivitas
mereka dalam Indische Partij. Berkat kehadiran keduanya, PI yang semula
hanya menggelar forum silaturahim dan pesta-pesta kemudian mulai aktif
membicarakan kemungkinan persatuan kebangsaan di dalam panji Indo-
nesia merdeka. Pada 1925, diskusi-diskusi mereka tentang kondisi bangsa
mengantar mereka pada segugus kesimpulan yang kemudian dikenal se-
bagai Manifesto Politik 1925:
14
BUNYI MERDEKA
Tema utama yang ditekankan dalam kongres ini adalah penyebaran jiwa
kebangsaan Indonesia di kalangan pemuda Indonesia (de Nationaal Indone-
sische geest onder de Indonesische Jeugd). Kongres ini diselenggarakan dengan
cita-cita untuk:
Hadir dalam kongres ini adalah perwakilan dari berbagai organisasi pemu-
da kebangsaan seperti Jong Java, Jong Soematranen Bond, Jong Ambon,
Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Minahasa, dan Jong Bataks
Bond.
15
1.1.8. Rondo Kongres Pemuda (II)
1. Abdoel Halim
2. Abdoel Moethalib Sangadji
3. Abdoel Rachman
4. Abdoellah Sigit (Indonesische Studieclub)
5. Aboe Hanifah
6. Achmad Hamami
7. Adnan Kapau Gani
8. Dr. Mohammad Amir (Dienaren van Indie)
9. Anta Permana
10. Anwari
11. Arnold Mononutu
12. Assaat dt Muda
13. Bahder Djohan
14. Dali
15. Darsa Arsa
16. Dien Pantouw
16
BUNYI MERDEKA
17. Djuanda
18. Dominee (pdt) van Hoorn
19. Dr. Pijper (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
20. Dr. Poerbatjaraka (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
21. Dr. Van der Plaas (Adviseur voor Inlandsche Zaken)
22. Emma Poeradiredja
23. F. Dahler
24. Hoofdcommissaris van Politie van der Plugt
25. Inoe Martakoesoema
26. J.E. Stokvis
27. Jo Tumbuhan
28. Joesoepadi Danoehadiningrat
29. John Lau Tjoan Hok
30. Jos Masdani
31. Kadir
32. Karto Menggolo
33. Kasman Singodimedjo
34. Koentjoro Poerbopranoto
35. Kwee Thiam Hong
36. Mamoen Ar Rasjid
37. Moehidin (Pasundan)
38. Moekarno
39. Moewardi
40. Mohammad Ali Hanafiah
41. Mohammad Nazif
42. Mohammad Roem
43. Mohammad Tamzil
44. Mr. Sartono
45. Muhammad Husni Thamrin
46. Nona Tumbel
47. Oey Kay Siang
48. Patih Batavia, Raden Achmad
49. Poernamawoelan
50. R.M. Djoko Marsaid
51. Raden Soeharto
52. Raden Soekamso
53. Ramelan
54. S.M. Kartosoewirjo
55. Saerun (Keng Po)
56. Sahardjo
17
57. Sarbaini
58. Sarmidi Mangoensarkoro
59. Setiawan
60. Siti Soendari
61. Sjahbuddin Latif
62. Sjahrial
63. Soedjono Djoened Poesponegoro
64. Soehara
65. Soejono (Volksraad)
66. Soekamto
67. Soekmono
68. Soelaeman
69. Soemanang
70. Soemarto
71. Soenario (PAPI dan INPO)
72. Soerjadi
73. Soewadji Prawirohardjo
74. Soewarni
75. Soewirjo
76. Soeworo
77. Tjahija
78. Tjio Djien Kwie
79. Tjokorda Gde Raka Sukawati (Volksraad)
80. Wage Rudolf Soepratman
81. Wilopo
82. Koesoemo Oetojo
Pidato ini ditanggapi secara positif oleh Inoe Martakoesoema yang me-
nekankan pentingnya persatuan agar Indonesia bisa sejajar dengan Ing-
gris dan Belanda. Secara tidak langsung, Inoe mau mengatakan bahwa
persatuan berguna buat kemerdekaan Indonesia. Maksud ini ditangkap
oleh Hoofdcommissaris van Politie bernama van der Plugt. Agen polisi itu
memotong tanggapan Inoe dan mengimbaunya untuk meninggalkan kong-
18
BUNYI MERDEKA
Rapat kedua diadakan di gedung bioskop Oost Java yang terletak di Koning-
splein Noord (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara). Dalam rapat kali ini
Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro berbicara tentang pent-
ingnya pendidikan kebangsaan yang membawa semangat demokratis di
rumah dan sekolah. Selain itu, Siti Soendari mengajukan pandangannya
tentang kondisi perempuan yang tertindas dalam masyarakat.
Ketika itu, sempat terjadi insiden yang membawa risiko pembubaran kong-
res oleh aparat keamanan. Pasalnya, terlontar frasa Indonesia merdeka
dari peserta kongres. Pejabat kepolisian van der Plugt beserta barisan
aparat intel kolonial (Politieke Inlichtingen Dienst, PID) mengancam akan
membubarkan kongres seketika itu juga. Menghadapi ketegangan itu,
Soegondo Djojopoespito selaku pimpinan kongres segera menengahi de-
ngan menyatakan bahwa pernyataan itu (maksudnya Indonesia merde-
ka) tidak perlu dilontarkan secara eksplisit, cukup tahu sama tahu saja.
Para peserta pun menyambutnya dengan riuh, gembira dan sesekali mel-
ontarkan nada mengolok-olok barisan aparat keamanan kolonial.
Dalam rapat terakhir itulah lagu Indonesia Raya dibawakan lewat gesekan
biola Wage Rudolf Soepratman dan sesudah itu dibacakan sebuah mak-
lumat yang dinamai Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia.
Inilah dokumen yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, se-
buah dokumen historis pernyataan komitmen bersama tentang persatuan
yang dirumuskan dalam tiga keputusan:
Pertama
19
Kedua
Ketiga
Wage Rudolf Soepratman dilahirkan pada Senin Wage, 9 Maret 1903 di Desa
Somongari yang terletak sekitar 12 kilometer sebelah tenggara Kota Pur-
worejo, Jawa Tengah. Ayahnya, Jumeno Senen Sastrosuharjo, adalah ser-
dadu KNIL berpangkat sersan, sementara ibunya bernama Siti Senen. Pada
malam kelahirannya, sang ayah memberinya nama Wage Soepratman.
Akan tetapi, pada umur sebelas tahun, nama Rudolf ditambahkan padanya
supaya memudahkan Soepratman masuk ke Europeesche Lagere School,
Sekolah Dasar yang mayoritas diisi anak-anak Belanda.
20
BUNYI MERDEKA
21
sudah muncul semasa ia di Makassar semakin menguat dan ia pun mulai
bergaul dengan para tokohnya. Dalam suasana perjuangan kebangsaan
inilah Soepratman menciptakan sejumlah lagu-lagu perjuangan yang
membangkitkan semangat patriotik. Gubahan pertamanya adalah sebuah
lagu berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur:
Lagu perjuangan yang diciptakan pada 1926 ini dari segi musik menyerupai
lagu La Marseillaise, sebuah lagu perjuangan Revolusi Prancis yang kemudi-
an diadopsi sebagai lagu kebangsaan Prancis.
Berikut adalah lirik asli Indonesia Raya yang ditulis W.R. Soepratman pada
pertengahan tahun 1928 (Hutabarat 2001: 19-21):
I
Indonesia Tanah Airku
Tanah Tumpah Darahku
Di sanalah Aku Berdiri
Jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku
Kebangsaan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu
Hiduplah Tanahku
Hiduplah Negeriku
Bangsaku, Jiwaku Semuanya
22
BUNYI MERDEKA
Bangunlah Rakyatnya
Bangunlah Bangsanya
Untuk Indonesia Raya
II
Indonesia Tanah Yang Mulia
Tanah Kita Yang Kaya
Di sanalah Aku Hidup
Untuk Slama-lamanya
Suburlah Tanahnya
Suburlah Jiwanya
Bangsanya Rakyatnya Semuanya
Sadarlah Hatinya
Sadarlah Budinya
Untuk Indonesia Raya
III
23
Tanah Yang Aku Sayangi
Marilah Kita Bernyanyi
Indonesia Abadi
Selamatlah Rakyatnya
Selamatlah Puteranya
Pulaunya, Lautnya, Semuanya
Majulah Negerinya
Majulah Pandunya
Untuk Indonesia Raya
Itulah lirik asli Indonesia Raya tiga stanza yang digubah W.R. Soepratman.
Pada 8 September 1944, Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah
perubahan kecil atas lagu tersebut dengan ketentuan umum: apabila di-
nyanyikan satu stanza saja, maka ulangannya dinyanyikan dua kali, se-
dangkan jika dinyanyikan tiga stanza, maka ulangannya dinyanyikan satu
kali pada dua stanza pertama dan dua kali pada stanza ketiga. Pada 26 Juni
1958, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 44 yang menetapkan gu-
bahan, irama, nada dan tata tertib dalam membawakan lagu tersebut.
24
BUNYI MERDEKA
Pada tahun 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum.
Pemerintah kolonial menganggap lagu itu subversif dan mengganggu
ketenangan dan ketertiban (rust en orde). Lagu tersebut dikhawatir-
kan dapat memicu semangat kemerdekaan atau pemberontakan terha-
dap pemerintah yang sah. Seiring dengan pelarangan lagu Indonesia Raya,
Soepratman pun ditangkap polisi dan diinterogasi badan intelijen kolonial
(Politieke Inlichtingen Dients). Pelarangan tersebut memicu protes yang
meluas sampai menjadi perdebatan keras di Volksraad.
Selain menggubah Indonesia Raya, Dari Barat Sampai Ke Timur, Indonesia Ibuku,
Di Timur Matahari, serta sejumlah lagu mars pergerakan, W.R. Soepratman
juga mencipta Ibu Kita Kartini, yang terinspirasi dari liputannya atas Kong-
res Perempuan Indonesia Pertama di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928,
dan Matahari Terbit. Lagu terakhir itu dianggap subversif oleh pemerintah
25
kolonial dan menggiring Soepratman dijebloskan ke penjara Kalisosok,
Surabaya, pada Agustus 1938. Kelelahan fisik dan psikis membuat Soeprat-
man jatuh sakit dan akhirnya meninggal di Surabaya, Jawa Timur, pada 17
Agustus 1938. Pada detik-detik penghabisannya, ia menulis secarik surat
wasiat (Rahman 2016: 34):
W.R. Soepratman menggubah lagu Indonesia Raya dengan dua versi. Versi
pertama menggunakan tanda sukat 6/8 yang bisa dilihat dari partitur yang
diterbitkan oleh koran Sin Po. Versi lainnya adalah versi dengan menggu-
nakan tanda sukat 4/4. Keduanya tidak terlalu memiliki perbedaan, kecuali
pada nilai-nilai nada. Lain daripada itu, Soepratman juga memberikan versi
keroncong dan versi waltz. Kemungkinan yang dimaksud dengan Indonesia
Raya versi waltz adalah yang menggunakan sukat 6/8, dan versi keroncong
yang menggunakan sukat 4/4.
Syair yang pertama kali dibuat oleh Soepratman juga sudah diubah bebe-
rapa kali, sesuai dengan kebutuhan artistik dan politik. Adapun syair awal
Soepratman berbunyi:
Indonesia, kebangsaanku
Kebangsaan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku
Hiduplah negriku
Bangsaku, jiwaku, semua
26
BUNYI MERDEKA
Bangunlah rakyatnya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indones, Indones
Mulia, mulia
Tanahku, negriku yang kucinta
Indones, Indones
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
Indones, Indones
Mulia, mulia
Tanahku, negriku yang kucinta
Indones, Indones
Mulia, mulia
Hiduplah Indonesia Raya
1. Sukarno
2. Ki Hadjar Dewantara
3. Achiar
4. Bintang Sudibyo
5. Darmajaya
6. Kusbini
7. Kyai Haji Mansyur
8. Muhammad Yamin
9. Sastromulyono
10. Sanoesi Pane
11. Cornel Simandjuntak
12. A. Subardjo
27
13. Utoyo
Kuplet I
1928 1944
Kuplet II
28
BUNYI MERDEKA
Kuplet III
Judul Indonesia Raya baru diberikan kemudian, setelah dirasa judul awalnya
kurang mencerminkan kemegahan negeri Indonesia. Kata-kata mulia
dalam syair awal buatan Soepratman juga mengalami perubahan pada
1944. Perubahan itu dilakukan oleh Panitia Lagu Kebangsaan yang diminta
Sukarno untuk merumuskan lagu kebangsaan, mengingat kemungkinan
kemerdekaan yang sudah ada di depan mata. Keputusan Sukarno itu lalu
menetapkan bahwa lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Indonesia.
29
Lebih dari satu dasawarsa kemudian, pada 1958 pemerintah mengeluarkan
penetapan berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 1958 yang
menegaskan perihal Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya. Selanjutnya PP
tersebut juga menegaskan tentang cara menyanyikan, penggunaan dan
tata tertib penggunaan lagu kebangsaan. Berkait dengan cara menyanyi-
kan PP tersebut menyatakan sebagaimana termaktub dalam pasal 2 ayat
(1), (2) dan (3):
(3) Jika dalam hal tersebut pada ayat 2 di atas, Lagu Kebangsaan di-
nyanyikan seluruhnya, yaitu tiga bait, maka sesudah bait yang
pertama dan sesudah bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu
kali dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan satu kali
dan sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali.
30
BUNYI MERDEKA
Selain itu lagu kebangsaan Indonesia Raya juga boleh digunakan untuk
momen tertentu. Pada pasal 59 ayat (2) disebutkan bahwa lagu kebangsaan
dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
31
1.3. Kemerdekaan Sebagai Bunyi
3 Karya abstrak berarti karya yang disarikan dari nilai-nilai kunci sebuah satuan wujud.
Sebagai misal, sila-sila dari Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai filosofis bangsa
Indonesia yang terperikan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
32
BUNYI MERDEKA
Baik Indonesia Raya bentuk asli Soepratman dan Cleber memiliki napas yang
sama, napas perjuangan dan kebangkitan bangsa. Namun, nuansa kedua
bentuk tersebut amat berbeda. Hal ini dikarenakan perbedaan karakter
alat musik, di mana versi asli menggunakan biola dan versi di kemudian
hari, versi yang kita kenal sekarang, menggunakan orkestra penuh. Jika
dalam seni lukis kita mengenal warna, maka seni musik juga mengenal
warna. Warna dalam seni musik digunakan untuk memberikan kesan yang
berbeda, sama halnya dengan seni lukis. Oleh sebab itu, setiap alat musik
memiliki warnanya masing-masing, sesuai dengan karakter yang dimiliki
oleh alat musik itu sendiri.
Sebelum kita masuk lebih jauh ke dalam pemahaman musik Indonesia Raya,
terutama dalam kaitan dengan bunyi kemerdekaan, kita perlu memastikan
apa itu musik. Ini perlu agar kita tidak keliru antara bunyi kemerdekaan
dan bunyi-bunyi yang tersistematisasi lainnya. Juga karena lagu kebang-
saan kita adalah Indonesia Raya, bukan Bendera gubahan kelompok musik
Coklat, bukan juga Padamu NegRI ciptaan Kusbini dan lagu-lagu nasional
lainnya.4
Perlunya mencari definisi musik yang tidak hanya niscaya, tetapi juga me-
madai menjadi penting dalam pembahasan mengenai musik kebangsaan,
4 Ternyata, ketika Kusbini menggubah lagu Padamu NegRI, kata terakhir, yaitu NegRI bu-
kan dimaksudnya sebagai negeri dalam artian tanah tumpah darah. Kata NegRI, dan ini
adalah alasan saya menggunakan huruf besar untuk sukukata RI, rupanya adalah sing-
katan dari Negara Republik Indonesia. Ketika itu, Kusbini dipanggil oleh Sukarno ke ibukota
Indonesia yang waktu itu bertempat di Yogyakarta. Konon katanya, Sukarno beberapa kali
memanggil Kusbini untuk melihat lagu apa yang sudah dikarang olehnya. Pada hari itu,
Kusbini datang dengan sepeda dan membawa sebuah map berisikan naskah lagu Padamu
NegRI. Pada awalnya, kalimat terakhir dari syair lagu tersebut adalah Indonesia Raya.
Menyadari hal itu, Sukarno menegur Kusbini agar ia mengubahnya karena ketika itu belum
ada yang namanya Republik Indonesia. Oleh sebab itu, sekarang kita mengenal lagu terse-
but dengan syair penutup Jiwa raga kami. Sedangkan singkatan pada judul lagu tersebut
menunjukkan bentuk-bentuk perlawanan kepada pemerintahan kolonial dalam bentuk pe-
san-pesan tersembunyi.
33
terutama Indonesia Raya sebagai perwujudan saripati pergerakan kebang-
saan. Definisi memadai secara logis lebih kuat daripada definisi niscaya.
Artinya begini, bunyi-bunyian merupakan salah satu elemen musik paling
dasar, tetapi tidak semua bunyi-bunyian bisa dikatakan sebagai musik.
Sedangkan definisi memadai tetap berlaku, meskipun definisinya dibalik.
Misalnya, contoh yang cukup populer, manusia adalah binatang rasional.
Ketika dibalik, semua binatang rasional adalah manusia dan berlaku juga
sebaliknya, semua manusia adalah binatang rasional.
Mengingat unsur di atas, maka dari itu, musik biasanya dijelaskan sebagai
bunyi atau suara. Definisi ini terlalu luas, meskipun secara umum bisa me-
nerangkan apa itu musik, sehingga suara-suara yang dihasilkan oleh apa
pun, selama memiliki frekuensi, baik yang bisa didengar oleh manusia atau
tidak, akan jatuh ke dalam kategori musik. Menurut definisi ini, maka anak
kecil yang memukul panci atau menangis bisa disebut musik. Bukan itu.
Terutama untuk keperluan kita sekarang, tidak mungkin kita menyamakan
antara Indonesia Raya dan tangisan anak kecil karena kehilangan mainan-
nya. Indonesia Raya digubah dengan pertumpahan darah W.R. Soepratman
justru agar anak kecil itu bisa bebas menangis sekarang.
Musik juga tidak bisa dibilang selalu dibuat untuk menyampaikan ide yang
34
BUNYI MERDEKA
dimiliki oleh penggubahnya. Lagi pula, tidak semua musik memiliki ide
atau gagasan yang ingin disampaikan. Sandi suara, kalau begitu, bisa dise-
but musik karena menyampaikan pesan tertentu dengan menggunakan
frekuensi yang terorganisir. Diperlukan sebuah kategori lagi untuk lebih
memperjelas definisinya sehingga bisa menjadi memadai, yaitu, kategori
tujuan. Oleh sebab itu, mungkin musik dapat dijelaskan sebagai:
Dengan memberikan landasan definisi musik, maka kita bisa memulai ka-
jian tentang musik Indonesia Raya dengan lebih terang. Jelas dari definisi
tersebut kita bisa melihat bahwa Indonesia Raya masuk ke kategori musik.
Pertama-tama karena lagu tersebut digubah oleh seseorang yaitu W.R.
Soepratman. Kemudian, jelas pula maksud dari Soepratman menggubah
lagu Indonesia Raya, yaitu untuk memperkaya atau menegaskan penga-
laman masyarakat Indonesia. Semua ini dimungkinkan melalui kesertaan
aktif para pendengarnya yaitu masyarakat Indonesia itu sendiri.
Berbicara mengenai maksud atau tujuan sebuah karya musik, kita harus
bicara mengenai kemampuan ekspresinya. Pada umumnya, ada dua arus
besar dalam teori kajian musik. Arus pertama adalah formalisme, yang
menghasilkan musik absolut, yaitu arus yang menolak makna terselubung
di balik tatanan musikal yang sudah rapi tersusun oleh seorang kompo-
nis dan/atau merasa bahwa musik tidak mungkin merujuk pada sesuatu di
luar dirinya sendiri.5 Sedangkan arus kedua adalah paham musik program,
artinya, musik yang memang sengaja digubah dengan tujuan membang-
kitkan perasaan tertentu dan/atau berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Paham pertama biasanya menolak kemampuan ekspresif dari
musik sama sekali, tetapi keduanya biasanya sepakat bahwa musik tidak
memiliki rujukan semantik.
5 Selain menolak makna terselubung, para penganut formalisme juga menolak makna ek-
splisit. Intinya, segala bentuk makna betul-betul ditolak. Meskipun begitu, formalisme juga
memiliki posisi moderat yang masih memberi ruang bagi ekspresi musikal untuk aneka
rupa musik program atau musik dengan lirik atau teks seperti opera dan tentu saja Indonesia
Raya.
35
Lagu Indonesia Raya masuk ke kategori nomor dua, yaitu musik yang sen-
gaja digubah dengan tujuan membangkitkan perasaan tertentu dan, khu-
susnya untuk kasus Indonesia Raya, berupaya menggambarkan tema-tema
tertentu. Tentunya yang digambarkan oleh Indonesia Raya bukan kenya-
taan itu sendiri, tetapi kesan yang ditimbulkan dari rangkaian nada-nada
tertentu. Komponis Hungaria Franz Liszt masuk ke kategori musik pro-
gram ini dan memang menurut Liszt, musik program menuntut kemam-
puan lebih tinggi dari penggubahnya karena sang penggubah tidak hanya
melakukan manipulasi atas relasi formal musikal semata.6
Jadi, seperti apa itu musik absolut atau musik formal? Musik yang tidak
dipengaruhi atau berhubungan dengan peristiwa atau wujud di luar musik.
Musik absolut tidak menggambarkan gugusan awan, sinar rembulan, su-
ngai yang memercik, gemuruh samudra, palung tak berdasar dan seterus-
nya. Musik program, dengan sendirinya, mampu menggambarkan pan-
tulan matahari di tebing gunung kuarsa, kicauan burung, keindahan alam
semesta, sangkakala maut, arak-arakan kematian, sampai pengalaman
mencapai langit ke tujuh.7 Dalam musik program, nada-nada dirangkai se-
demikian rupa sehingga kesan yang diinginkan dapat tercapai.
6 Yang dimaksud dengan relasi formal adalah betapapun kita ingin membayangkan keadaan
atau peristiwa tertentu ketika mendengarkan musik absolut, kita akan kesulitan mendapat-
nya. Hal ini dikarenakan ketika digubah, musik macam ini tidak ditujukan untuk menggu-
gah khayalan korespondensi.
7 Penekanan ada dalam kata mampu. Artinya, musik program berupaya untuk menggam-
barkan berbagai kondisi nyata di luar musik. Soal keberhasilannya menggambarkan kondi-
si-kondisi itu, ternyata adalah masalah lain.
36
BUNYI MERDEKA
Karena itu, gagasan musik dalam nasionalisme di sini merujuk pada negeri,
wilayah, bahkan etnisitas sebagaimana yang ditampilkan melalui nada-na-
da, ritmis, dan harmoni musik rakyat/daerah, maupun adopsi subjek-sub-
jek nasional untuk opera, simfoni maupun bentuk-bentuk musik lainnya.
Fenomena nasionalisme dalam musik ini, dari sisi musik klasik terwakili
oleh figur Frederic Chopin yang mencipta Etude ke-12, yang biasa disebut
sebagai Etude Revolusioner ataupun Etude Bombardemen Warsawa, yang
muncul bersamaan dengan serangan kekaisaran Rusia terhadap Polandia
pada 1831. Begitu juga ketika Chopin pindah ke Prancis dan berhubungan
erat dengan sastrawan aktivis Georges Sand, pada 1848 saat pecah gelom-
bang yang kesekian dari Revolusi Prancis, Chopin membuat lagu Polonaise
in A-flat major, Op. 53, atau biasa disebut Polonaise Kepahlawanan (Heroic).
Kandungan yang kedua, beranjak pada fungsi sosial musik sebagai sara-
na masyarakat untuk menghadapi kesukaran, menyuarakan keresahan,
ataupun menyerukan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Dalam
hal ini musik menjadi bagian dari identitas politik yang membuat pem-
bedaan-pembedaan antara kita dan yang lain. Walaupun demikian,
patut diperhatikan juga bahwa musik adalah juga instrumen yang memi-
liki kemampuan untuk merangsang konflik ataupun perang, sebagaimana
juga kemampuannya untuk memulihkan perdamaian. Musik-musik perge-
rakan yang dibuat oleh para musisi Afrika Selatan seperti Miriam Makeba,
Hugh Masekela, Abdullah Ibrahim, di dalam perjuangan menentang politik
diskriminasi ras apartheid Afrika Selatan adalah bagian dari upaya mem-
bangun identitas politik.
37
recitativo. Opera Euridice sendiri berulang kali dianggap sebagai salah satu
karya opera pertama yang pernah digubah. Sebagai penggabungan antara
teater dan musik, opera mesti memiliki dialog antara pemain-pemainnya.
Debat mengenai musik dan bahasa tutur ini berlanjut dan menemui pun-
caknya ketika Charles Darwin menolak pandangan Herbert Spencer yang
menyatakan bahwa musik berasal dari tuturan manusia. Menurut Dar-
win, bukan musik yang berasal dari bahasa tutur, melainkan bahasa tutur
yang berasal dari musik. Tetapi, terlepas dari kedua perbedaan pendapat
itu, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya musik mengemban
nilai-nilai emosional.
38
II
Bab ini akan memaparkan perjumpaan budaya antara Indonesia dan negara
lain, karena pengaruh budaya tidak hanya berlaku satu arah saja. Di Belanda,
misalnya, terdapat komunitas yang aktif melestarikan musik-musik daerah
jajahan, terutama Indonesia.9 Tujuan dari bab ini adalah memberikan gam-
baran umum mengenai kondisi budaya tanah air, termasuk di dalamnya pen-
garuh tekanan kolonial terhadap alam pikir masyarakat pada masa pemerin-
tahan kolonial. Diharapkan pembaca dapat memahami peristiwa pertukaran
budaya yang terjadi dengan lebih jernih dan terbuka.
Perlu diketahui bahwa budaya tradisional masyarakat tanah air sudah banyak
yang punah. Kepunahan ini sudah terjadi bahkan sebelum ada arus mod-
8 Tanda sukat yang digunakan oleh Indonesia Raya yang kita kenal sekarang adalah 4/4, se-
dangkan, sebelumnya tanda sukat yang digunakan adalah 6/8 sehingga kita bisa mendengar
pengaruh musik waltz yang kentara dalam versi itu.
9 Contoh yang paling terkenal adalah Wieteke van Dort. Ia bahkan memiliki sebuah acara tele-
visi yang menjangkitkan kebudayaan Nusantara, terutama Jawa.
ernisasi sekarang ini. Kepunahan ini ada yang dipaksakan dan ada yang
memang terjadi secara sukarela, seperti misalnya perubahan yang terjadi
akibat pertukaran budaya antar pedagang yang berjumpa di pelabuhan.
Tetapi, perubahan yang terjadi akibat pemaksaan juga tidak sedikit jum-
lahnya. Misalnya saja, agama-agama samawi yang masuk ke tanah air me-
maksa penduduk asli untuk meninggalkan budaya yang berkaitan dengan
ritus-ritus yang dianggap kafir atau memuja berhala di mana di dalam rit-
us-ritus pemujaan itu banyak kebudayaan yang mengandung, tidak hanya
musik, tetapi juga tari-tarian dan kearifan lokal lain.
10 Lihat misalnya, Sumarsam, Jaap Kunst, Philip Yampolsky dan seterusnya, yang pernah
menulis musik tradisional Jawa, gamelan.
11 Tidak hanya itu, hampir semua institusi pembelajaran etnomusikologi di Amerika Utara
memiliki jurusan khusus musik gamelan, baik Jawa ataupun Bali. Pak Tjokro atau K.P.H.
Notoprojo, misalnya, pernah mengajar di California Institute of the Arts selama beberapa
waktu. Salah seorang murid beliau adalah komponis Amerika terkenal bernama Lou Harri-
son yang berulang kali menggunakan gamelan dalam komposisi modernisnya. Selain itu, I
Wayan Suweca mendirikan gamelan Sekar Jaya bersama beberapa muridnya, juga di Ame-
rika Serikat, selain mengajar di berbagai institusi pendidikan formal di sana. Peran musik
gamelan Jawa dan Bali begitu kuat, sehingga Rahayu Supanggah pernah menggubah musik
untuk pementasan I La Galigo, sebuah lakon yang diangkat dari kebudayaan Bugis kuno,
yang diciptakan oleh sutradara lakon kenamaan, Robert Wilson, menggunakan beberapa
instrumen gamelan dari Jawa dan Bali untuk komposisi musik yang seharusnya murni ber-
asal dari kebudayaan musik Bugis. (Ini bukan berarti komposisi Rahayu Supanggah jelek
40
BUNYI MERDEKA
Musik dalam tradisi masyarakat adat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari
berbagai ritual upacara yang mengikutinya. Musik tradisional Nusantara
pada umumnya juga tidak pernah berdiri sendiri, seperti pada musik tra-
disional barat, karena musik tradisional Indonesia biasanya dimainkan un-
tuk mengiringi, misalnya tarian-tarian dan berbagai upacara adat. Oleh se-
bab itu, tidak banyak bisa disaksikan musik tradisional dipentaskan tanpa
ritual-ritual yang mengikutinya. Memang, berbagai upaya dilakukan untuk
terus melestarikan tradisi musik Nusantara yang semakin lama semakin
menghilang.
atau bahkan salah. Komposisi Rahayu Supanggah boleh dikatakan tidak setia kepada tradisi
Bugis, akan tetapi, dalam proses penggubahan sebuah karya seni, hal semacam itu sah-sah
saja).
12 Peter Ferdinandus. Perkembangan Musik Pada Dinasti Sailendra abad VIII-IX, Kum-
pulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI, Solo 13-16 Juni 2008.
41
Gambar alat musik pada relief Candi Borobudur
Dari data arkeologi tersebut tampak gambaran bahwa musik tetap dikon-
trol oleh tokoh masyarakat seperti raja atau golongan istana. Dalam prasas-
ti berbahasa Jawa kuno maupun Bali kuno sepanjang abad ke-9-15 Masehi
tercatat peran penting musik dalam pendirian sima yang dilakukan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Naskah-naskah Jawa kuno se-
rupa kakawin, kidung dan sejenisnya menempatkan musik sebagai bagian
dari upacara, komunikasi, pemberi semangat dan taktik perang.
Foere merupakan salah satu alat musik perkusi yang memiliki bentuk se-
42
BUNYI MERDEKA
rupa dengan moko dan nekara lokal, memiliki bentuk berpinggang sebagai
batas antara bagian tubuh. Pada salah satu bagian lubangnya digunakan
sebagai bidang pukul (timpanum). Pola hias foere dan keletakan pola hias
menunjukkan kesamaan dengan pola hias nekara ataupun moko yaitu
pada pola hias kedok muka manusia, bulu burung dan segitiga berjajar. Se-
bagian fungsi foere sama dengan fungsi nekara yaitu digunakan sebagai
alat musik untuk keperluan religi semata. Persamaan bentuk dan fungsi
serta pola hias dan peletakan pola hias yang diacu pada masa pembabakan
prasejarah (megalitik) yang dikaitkan dengan budaya Dong Son menguat-
kan hipotesis bahwa foere bentuk alat musik perkusi dari budaya praseja-
rah.
Aramba (gong) merupakan alat musik jenis perkusi yang digunakan pada
upacara yang bersifat sakral maupun profan pada masyarakat Nias. Bentuk
aramba (gong) yang serupa dengan bentuk batu kenong dan batu gong,
yang merupakan hasil budaya megalitik memiliki kesamaan dengan aram-
ba (gong) yang digunakan masyarakat Nias pada khususnya. Mengingat ba-
han baku aramba (gong) yang digunakan adalah perunggu serta temuan
batu kenong dan batu gong berkaitan dengan budaya megalitik, maka sa-
ngat memungkinkan aramba (gong) merupakan salah satu bentuk budaya
materi yang berkaitan dengan budaya Dong Son masa prasejarah. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa foere dan aramba (gong) merupakan
bentuk alat musik perkusi yang berasal dari budaya Dong Son pada masa
prasejarah.
Krinok merupakan salah satu seni vokal tradisi yang dimiliki masyarakat
Melayu di Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Muara Bungo, Jambi.
Seniman krinok mengatakan krinok adalah kesenian tertua yang telah ada
sejak prasejarah dan masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Cikal bakal krinok sebagai sebuah seni suara telah ada jauh sebelum ma-
suknya agama Budha ke wilayah Jambi. Pada masa itu seni vokal digu-
nakan untuk pembacaan mantra atau doa tertentu, inilah yang kemudian
berkembang menjadi kesenian krinok.
43
Krinok belumlah menjadi suatu seni pertunjukan seperti sekarang, melain-
kan sebuah seni suara yang bersifat sangat personal dan dipenuhi emosi.
M. Hasan mengatakan, pada awal keberadaannya krinok hanya dilantun-
kan oleh kaum laki-laki saat mereka bekerja di ladang atau mencari kayu di
hutan. Krinok dapat dilantunkan sendiri atau juga berbalasan dengan pe-
lantun lain yang berjarak ratusan meter. Kesenian krinok generasi awal ini
sempat mendapat pertentangan dari kalangan ulama. Krinok dinilai kurang
sesuai dengan ajaran Islam karena lirik krinok pada umumnya berisi rata-
pan. Namun, kesenian ini tetap bertahan karena dianggap memiliki fungsi
tersendiri bagi masyarakat. Krinok pada masa ini memiliki tiga fungsi yaitu
sebagai penghibur diri, untuk mengusir binatang buas dan untuk menarik
hati perempuan yang ingin dinikahi. Karena fungsinya sebagai penghibur
diri, maka tidak ada lirik krinok yang baku. Setiap pelantun bebas menyu-
arakan isi hati mereka, entah senang ataupun duka.
Awalnya kelintang kayu dimainkan tanpa lagu, hanya alunan nada saja.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya seniman krinok di Rantau Pan-
dan memadukan vokal krinok dengan alunan nada kelintang kayu sehing-
ga menghasilkan seni musik yang lebih menarik. Pada fase ini krinok mulai
dimainkan saat bekerja di sawah, baik vokal solo maupun duet. Bahkan kri-
nok dengan iringan kelintang kayu menjadi hiburan wajib bagi muda-mudi
yang ikut serta dalam kegiatan beselang (gotong-royong) di sawah maupun
ladang.
44
BUNYI MERDEKA
dengan krinok seperti gong, gendang panjang serta biola. Keempat alat
musik tersebut kemudian menjadi pakem bagi musik pengiring krinok.
Dengan alat musik yang lebih lengkap, kesenian krinok semakin memikat
para penggemarnya. Fase ini dapat dikatakan sebagai fase penting dalam
perkembangan krinok, karena dengan bertambahnya musik pengiring kri-
nok menjadi suatu kesenian yang lebih dinamis. Sedikitnya ada lima poin
perkembangan yang terjadi pada fase ini selain penambahan alat musik,
yaitu: Pertama, ruang pementasan krinok semakin luas. Krinok tidak han-
ya dimainkan saat kegiatan beselang, tetapi juga menjadi hiburan pada pes-
ta perkawinan. Kedua, seniman krinok mulai membentuk sebuah kelom-
pok seniman dengan anggota relatif tetap dan mulai menjadikan krinok
sebagai sumber penghasilan sampingan. Ketiga, krinok mulai mengenal li-
rik baku yang dikenal umum dan terpola dalam setiap pertunjukannya. Ke-
empat, seniman krinok mulai menggunakan kostum dan tata rias. Kostum
pemain laki-laki terdiri dari peci hitam, baju teluk belango beserta celana
dan kain sarung sebagai kain pinggang. Sedangkan kostum untuk pemain
krinok perempuan adalah kerudung, baju kurung panjang yang dipadu-
kan dengan kain sarung. Warna kostum disesuaikan dengan selera pemain
musik. Kelima, hilangnya bentuk awal krinok sebagai seni vokal yang ber-
sifat ekspresif dan personal.
45
sejak agama Islam masuk. Sistem pemerintahan masyarakat Pekantan, se-
perti halnya masyarakat adat lainnya di Indonesia, adalah kerajaan. Jika
disebut bahwa masyarakat Pekantan mengenal sistem kerajaan, jangan
dibayangkan yang dimaksud dengan kerajaan adalah kerajaan modern
dengan wilayah dan kuasa yang luas. Budaya Pekantan mengenal banyak
raja, yang artinya raja mengatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat
adat atau suku. Jadi, lebih tepatnya, raja adalah semacam kepala suku yang
mengepalai suatu komunitas atau pemukiman.
13 Sistem kasta masyarakat Pekantan terbagi menjadi tiga kelas, yaitu bangsawan, masya-
rakat biasa dan budak.
14 Gordang sembilan tersusun dari sembilan gendang, perkusi berbahan metal atau metalo-
fon dan alat musik tiup dengan reed ganda.
15 Upacara keagamaan di sini berarti upacara menghormati leluhur atau upacara persem-
bahan untuk leluhur untuk berterima kasih atas keberhasilan panen, misalnya. Bukan ritual
keagamaan seperti yang kita kenal sekarang, tetapi ide dasarnya kurang lebih sama.
46
BUNYI MERDEKA
Ada sebelas komposisi yang digubah untuk tujuan upacara besar; lima di
antaranya untuk dimainkan dalam upacara-upacara utama, sedangkan
enam lainnya hanya dimainkan untuk upacara kematian, pernikahan dan
upacara untuk membangkitkan semangat. Orkes ansambel yang boleh di-
mainkan oleh anggota masyarakat Pekantan berbeda-beda tergantung
pada posisi kasta pemilik hajat. Apabila ada tiga kelas kasta dalam sistem
masyarakat Pekantan, maka ada tiga pula kelas orkes ansambel mengikuti
kelas kasta di mana gordang sembilan menempati posisi puncak. Jenis in-
strumen dalam setiap kelas orkes cenderung sama, yang berbeda adalah
jumlah gendang yang boleh dimainkan sehingga akhirnya dinamika dari
komposisi musik berbeda pula.17 Sudah jelas dari namanya, gordang sembi-
16 Dalam hal ini, kebudayaan musik masyarakat Pekantan tidak sendirian. Kebudayaan
musik barat juga mengenal pertentangan yang sama antara isi dan bentuk. Keseimbangan
terjadi bila bentuk dapat menyampaikan isi yang tepat. Musik yang hanya menekankan
bentuk tidak akan memiliki isi atau pesan, tetapi di sisi lain mustahil ada isi tanpa memiliki
bentuk. Oleh sebab itu, tegangan antara isi dan bentuk adalah dua jenis aspek yang harus
diperhatikan dalam menggubah sebuah karya seni, tidak hanya musik.
17 Dinamika dalam musik adalah tingkat kuatnya sebuah bagian dimainkan. Dinamika se-
buah komposisi bisa berubah-ubah tergantung dari orkestrasi atau komposisi. Sebuah kom-
posisi yang baik biasanya memiliki aneka rupa penanda dinamika yang akhirnya bisa diter-
jemahkan ketika karya tersebut ditampilkan. Sekalipun komponis memberikan petunjuk
dinamika dalam sebuah komposisi, adalah pengaba yang bebas menerjemahkan sejauh apa
47
lan memiliki sembilan jenis gendang maka dari itu, komposisi yang dimain-
kan dengan gordang sembilan cenderung lebih membahana.
Gordang sembilan dimainkan oleh lima orang yang bertugas menabuh de-
ngan sekuat tenaga sehingga menghasilkan suara menggelegar. Jumlah
gendang yang boleh dimainkan dalam musik adat Pekantan selalu berjum-
lah ganjil. Sama halnya dengan upacara pengorbanan kerbau yang juga ha-
rus berjumlah ganjil. Diperkirakan sembilan gendang yang sekarang dike-
nal pertama-tama hanya berjumlah tujuh saja. Hal ini diperkuat dengan
temuan di beberapa daerah yang masih menggunakan tujuh gendang.
Konon katanya, jumlah gendang dalam susunan instrumen gordang sem-
bilan pada awalnya hanya berjumlah lima sehingga dikenal dengan nama
gordang lima.18
Jika dulu gondang sembilan hanya boleh dimainkan atas persetujuan atau
permintaan raja, maka sekarang ini saudagar kaya boleh mengadakan pe-
ngorbanan kerbau dengan diiringi oleh orkes gondang sembilan.19 Prosesi
seharusnya amanat sang komponis dijalankan. Itulah sebabnya, kita sering kali mendengar
banyak variasi, terutama dalam dinamika dan tempo, meskipun lagu yang dimainkan sama.
18 Gordang lima sampai sekarang masih digunakan dalam upacara-upacara yang berkaitan
dengan sihir atau ilmu gaib.
19 Hanya rajalah pada waktu itu yang boleh dan mampu mengorbankan kerbau dengan
diiringi orkes gondang sembilan. Tentu saja ini wajar karena harga kerbau tidak murah.
Pengadaan upacara di zaman dahulu biasanya akan dimusyawarahkan dalam sebuah forum
masyarakat bertempat di sopo godang, di mana jenis dan kelas upacara itu akan ditentukan
48
BUNYI MERDEKA
upacara yang paling panjang adalah ketika raja atau keturunan bangsawan
meninggal dunia. Upacara kematian ini bisa memakan waktu beberapa
bulan dan selama itu pula jenazahnya tidak akan dikubur sampai semua
kerabatnya datang. Penundaan penguburan itu terutama dilakukan untuk
menunggu orang-orang yang berutang bisa hadir dan membawa persem-
bahan sesuai dengan kemampuan masing-masing.20
Masyarakat Parmalim Batak Toba adalah salah satu kelompok etnis yang
bersama-sama.
20 Aturan adat ini sedikit banyak mirip dengan yang terdapat di Toraja, di mana seseorang
baru akan dimakamkan bila jumlah pengorbanan sudah cukup.
21 Pada kala itu, para kerabat atau anggota masyarakat Pekantan akan datang dari penju-
ru negeri dengan membawa persembahan. Tidak jarang di antara mereka membawa he-
wan-hewan yang sekarang ini, terutama setelah Islam masuk, dilarang oleh agama seperti
babi dan anjing. Tidak diketahui pasti apakah semua hewan kurban itu, termasuk babi dan/
atau anjing, juga dimakan atau tidak.
22 Kasus harimau menyerang manusia biasanya disebabkan oleh pembakaran hutan demi
perluasan lahan pertanian. Harimau yang terganggu akan marah dan menyerang para
petani. Harimau akan ditangkap melalui upaya perburuan kolektif atau dengan bantuan
dukun. Dulu, setelah tertangkap, harimau tersebut akan diadili oleh sibaso (semacam me-
dium yang akan dirasuki arwah). Peran hakim ini kemudian berpindah kepada raja dan
lama kelamaan diputuskan bersama oleh seluruh warga. Soal bagaimana menentukan see-
kor harimau bersalah telah menyerang atau membunuh manusia belum diketahui dan tidak
dijelaskan dalam teks.
49
tersebar di Sumatra Utara. Meskipun terdapat kemiripan budaya antara
suku Batak Toba dan Mandailing, kedua kelompok etnis tersebut cende-
rung menolak kategorisasi tersebut dan menekankan bahwa kedua kelom-
pok tersebut berbeda. Kelompok etnis Batak Toba pada awalnya berasal
dari apa yang sekarang bernama Kabupaten Toba Samosir, meskipun po-
pulasinya tersebar di penjuru Sumatra Utara dan wilayah Nusantara lain-
nya. Dalam masyarakat Batak Toba terdapat sebuah kelompok kecil yang
dikenal dengan nama Parmalim yang merupakan sebuah komunitas re-
ligius atau lebih tepatnya spiritual.23 Masyarakat Parmalim masih mene-
rapkan kepercayaan leluhur yang sudah ada sebelum budaya Kristen ma-
suk melalui para misionaris. Oleh sebab itu, sampai sekarang masih bisa
ditemukan ritual-ritual yang belum terjamah oleh agama-agama samawi.
23 Biasanya antara religi dan spiritual dibedakan, dimana religi pada umumnya menunjuk
kepada sebuah sistem agama formal tertentu dengan kepercayaan kepada wahyu. Sedang-
kan kepercayaan spiritual tidak mengandung sebuah sistem formal sehingga cenderung
lebih dinamis.
24 Larangan agama merupakan salah satu hambatan besar bagi praktik-praktik kebu-
dayaan masyarakat Batak Toba. Kebanyakan anggota masyarakat Batak Toba modern lebih
mengimani musik liturgi yang dibawa oleh gereja ke tanah Batak. Sedangkan tradisi Batak
Toba asli, yang masih dipegang oleh masyarakat Parmalim, dianggap praktik kafir oleh a-
gama Kristen. Wajar saja, karena dalam praktiknya tidak jarang terjadi peristiwa kesurupan
yang mengikuti upacara-upacara kepercayaan asli masyarakat Batak Toba.
50
BUNYI MERDEKA
Musik-musik Indonesia yang direkam pada awal era 1900-an pada umum-
nya menggunakan bahasa Melayu terutama yang ditemui dalam irama
keroncong serta stambul. Genre dan subgenre musik yang berkembang
sejak 1903 adalah musik-musik Indonesia yang merupakan serapan dari
budaya Arab dan Cina serta yang tercerabut dari pola musik etnis mulai
dari Jawa, Bali, Cirebon, Sunda dan kemudian memasuki dasawarsa 1930an
mulai terdengar ragam etnis Tapanuli dan Minangkabau.25
Lalu siapa sajakah pemusik atau penyanyi Indonesia yang dikenal di era
ini? Di awal abad ke-20 ini ada beberapa pemusik yang tercatat menyita
perhatian antara lain Tio Tek Tjoe seorang penggesek biola andal hingga
Hasan Muna. Lalu penyanyi-penyanyi yang merekam suaranya pada label
Gramophone Company atau His Master Voices (HMV) saat itu adalah Miss
Jacoba Siregar dari Sumatra Utara tapi bermukim di Pulau Jawa, ada juga
Nji Raden Hadji Djoelaeha penyanyi Sunda dari Jawa Barat, serta Miss Nor-
lia.
Antara tahun 1926-1927 Beka Record menampilkan rekaman dari Miss Ri-
boet, penyanyi dan juga aktris layar lebar. Miss Riboet merekam sekitar
188 lagu pada label Beka Record ini. Selain Miss Riboet, penyanyi-penyanyi
yang berada di bawah naungan Beka Record antara lain adalah Aer Laoet
atau Herlaut, Toemina, juga ada Nji Moersih yang khusus menyanyikan
lagu-lagu Sunda serta penyanyi pria bernama Amat. Lalu pada label Odeon
bernaung sederet penyanyi yang dikategorikan sebagai second-rank stars
antara lain adalah Miss Alang, Siti Amsah, Miss Lee, Nji Resna dan Nji Iti Na-
rem, dua nama terakhir khusus menyanyikan lagu-lagu bernuansa Sunda.
Di label Odeon ada Mr. Jahri atau yang kerap dipanggil Jaar sebagai pemim-
pin ansambel yang mengiringi para artis Odeon. Di tahun 1928 muncul la-
bel Columbia Gramophone Company yang mengetengahkan para penyanyi
seperti Siti Aminah yang dikenal sebagai pelantun irama Melayu, Miss Julie
serta dua pemusik yang tampil sebagai pemimpin orkes yaitu Fred Beloni,
lelaki blasteran Eropa dan Asia serta pemimpin ansambel Abdul Rachman.
Di era 1920-an, genre musik populer pun mulai bisa disimak melalui gelom-
bang radio. Siaran pertama yang ada di negeri ini berasal dari siaran radio
25 Penjelasan tentang musik di masa kolonial ini diambil dari situs web https://denny-
sakrie63.wordpress.com/2013/10/22/industri-rekaman-di-zaman-hindia-belanda/
51
Bataviase Radio Vereeniging (BRV) di Batavia yang resminya mengudara
pada 16 Juni 1925 berstatus swasta. Lalu, berdirilah radio di daerah dengan
bantuan dari pemerintah Hindia Belanda. Dalam waktu singkat muncul-
lah perkumpulan-perkumpulan siaran radio bahasa Indonesia, yang tujuan
utamanya menyiarkan kesenian dan kebudayaan Indonesia. Tampaknya
Belanda berhasil dalam upaya mengalihkan titik perhatian masyarakat
dari masalah-masalah politik lewat budaya dan kesenian.
Di era 1920-an ini musik barat yang tengah populer adalah musik jazz yang
berasal dari Amerika Serikat. Musik jazz saat itu hanya dinikmati oleh ka-
langan tertentu saja mulai dari kalangan orang Belanda dan Eropa lainnya
serta segelintir kaum intelektual dan menengah ke atas Indonesia.
Di era 1920-an pula di Makassar juga terdengar kiprah musik jazz dengan
munculnya kelompok musik bernama Black and White Jazz Band yang ang-
gotanya terdiri dari orang-orang Belanda dan pribumi, satu di antaranya
adalah W.R. Soepratman yang kelak dikenal sebagai komposer lagu ke-
bangsaan Indonesia Raya.
Sebelum meletusnya Perang Dunia II, dikenal pula penyanyi bernama Bro-
er Nadus yang memiliki nama asli Bernardus Sapulette, putra Maluku yang
dikenal sebagai penyanyi Hawaiian di Makassar. Ada juga seorang remaja
bernama Tan Tjeng Bok yang dalam usia 14 tahun pada 1912 telah meniti
karier sebagai biduan atau penyanyi yang memiliki daya pikat.
Di era 1920an terdengar pula sosok lelaki Maluku bernama Bram Tutuheru
yang berkarier sebagai penyanyi dan pemimpin orkes di Batavia. Di tahun
1927 perempuan penyanyi tunanetra Annie Landauw berhasil menjuarai
kontes menyanyi di Surakarta, Jawa Tengah. Landouw kemudian diajak
ke dapur rekaman oleh perusahaan rekaman Beka Record dan menetap di
Batavia.
52
BUNYI MERDEKA
kan monopoli untuk rekaman piringan hitam 78 RPM (Rotation Per Minute)
yaitu Gramophone Company Limited yang merilis sederet lagu Melayu de-
ngan label His Masters Voice (HMV), di mana katalog berbahasa Inggris
diperuntukkan buat Malaysia serta yang menggunakan bahasa Belanda di-
rilis hanya untuk wilayah Hindia Belanda.
Ada tiga jenis orkes yang mencuat pada era 1930an yaitu orkes harmoni-
um, orkes gambus dan orkes Melayu. Sjech Albar, ayah kandung penyanyi
rock Achmad Albar, adalah pemusik gambus yang sangat kesohor dari
Surabaya. Sjech Albar ternyata sangat produktif merilis album-album baru,
salah satu di antaranya adalah Zakhratoel Hoesoen pada 1937. Juga terdengar
berkibar nama S. Abdullah, penyanyi dan pemusik yang merekam suara
emasnya pada Gramophone Company serta Canary Record. Nama lainnya
adalah penyanyi Menir Moeda yang kerap menyanyikan lagu-lagu Sunda
serta dikenal pula sebagai pelawak. Miss Eulis, Miss Soepija, Gadjali, Miss
Brintik, Mr. Hanapi, Leo Sapulitu dan Bram Titaley atau lebih dikenal de-
ngan nama panggung Bram Atjeh.
Di tahun 1936 muncul pemain biola berbakat bernama Mas Sardi yang ter-
gabung dalam Faroka Opera. Kelompok opera ini menggelar pertunjukan
hingga ke Singapura. Setahun kemudian, tepatnya pada 1937, Mas Sardi,
yang juga ayah Idris Sardi, bergabung dalam Sweet Java Opera. Sejak 1939,
Mas Sardi mulai terjun sebagai pembuat music score untuk film-film layar
lebar seperti Rentjong Atjeh, Alang-alang, Srigala Item maupun Sorga Palsoe. Di
samping itu juga dikenal penggesek biola sekaligus peniup klarinet Sastro-
dihardjo, ayah kandung dari peniup saksofon jazz Maryono. Lalu dikenal
juga pianis dan komposer ternama Ismail Marzuki serta beberapa pemusik
yang berjaya pada era tersebut, misalnya Kartolo, Abdullah, Jahja, Zahirud-
din, Atungan serta Hugo Dumas. Salah satu orkes keroncong yang disegani
saat itu adalah Lief Java yang dibentuk Hugo Dumas dan Abdullah.
Pada 1937 muncul perempuan penyanyi Roekiah yang juga meniti karier
dalam dunia teater dan perfilman. Penampilan penyanyi Roekiah kerap
diiringi orkes keroncong Lief Java pimpinan pemusik S. Abdullah dan Hugo
Dumas. Roekiah memopulerkan lagu-lagu seperti Terang Boelan hingga
Kerontjong Moritsko. Di tahun 1938 penyanyi populer Annie Landouw akhir-
nya bergabung juga dengan Lief Java ini. Selain itu, pada 1937 juga berdiri
sebuah kelompok musik jazz bernama Melody Makers yang didukung gi-
taris Jacob Sigarlaki hingga penabuh drum Boetje Pesolima. Mereka me-
mainkan musik dixie dan ragtime secara mengagumkan.
53
Jangan lupa pula sederet penyanyi lain yang tak kalah sohornya antara lain
Miss Netty, Jan Bon, Van Der Mul, Miss Lie, Moenah, Paulus Itam, Miss J.
van Salk, Harry King, John Iseger, Miss Ninja, Miss J. Luntungan, Moham-
mad Jasin Al Djawi, Miss C. Luardie, Miss Dewe serta Leo Spel. Gaya ber-
nyanyi mereka terinspirasi dengan gaya crooner Amerika Serikat. Di masa
ini musik keroncong, langgam, gamelan, gambus dan jazz merupakan genre
musik yang mendapat sambutan baik di kalangan masyarakat luas. Untuk
musik gamelan dikenal tiga pesinden langgam Jawa yaitu Njai Demang
Mardoelaras, Bok Bekel Mardoelaras dan M.A. Worolaksmi. Untuk gambus
maupun kasidah dikenal nama-nama seperti Sjech Albar, S.H. Alaidroes
dan Mohammad Jasin Al Djawi. Sementara untuk jenis keroncong dikenal
tiga penyanyi yang sangat terkenal yaitu Parmin, Sukarno dan Soeparto.
Para pemusik yang dianggap andal di era ini antara lain Hugo Dumas yang
memimpin dua kelompok musik sekaligus yaitu Lief Java yang cenderung
memainkan musik keroncong dan The Sweet Java Islanders yang memain-
kan musik Hawaii atau irama Lautan Teduh; F.H Belloni, komposer dan pe-
mimpin ansambel musik; S. Mohammad bin Jitrip yang memimpin orkes
gambus; dan S. Mohammad Alajdroes yang memimpin orkes harmonium;
H.E.L.W.E DeSizo yang memimpin De Sisos Strings Orchestra.
Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia dalam kurun waktu 1942 hing-
ga 1945, musik jazz nyaris tak terdengar gaungnya sama sekali. Tak satu
pun kelompok musik Indonesia yang memainkan repertoar jazz, termasuk
memutar rekaman musik jazz melalui siaran radio. Penyebabnya adalah
situasi politik yang tidak memperkenankan budaya Amerika berkembang
di Indonesia. Ruang gerak musik jazz terbendung dan musik yang diperke-
nankan bergaung waktu itu adalah musik bernuansa propaganda Jepang
serta lagu-lagu daerah termasuk di antaranya musik keroncong. Sebagian
besar orang Jepang yang menduduki Indonesia malah terpukau dengan
lagu Bengawan Solo karya Gesang.
54
BUNYI MERDEKA
lalu dimainkan oleh para pemusik Belanda, Tionghoa, Ambon dan Manado
melalui berbagai pertunjukan panggung. Lagu-lagu Amerika yang populer
dimainkan saat itu antara lain adalah Lazy Moon yang dinyanyikan Oliver
Hardy dalam film Pardon Us (1901), atau Mother OMine lagu yang diangkat
dari puisi karya Rudyard Kipling. Saat itu patut diakui kiblat bermusik
adalah ke Amerika Serikat. Para perempuan penyanyi yang ada di zaman
Hindia Belanda disebut crooner bukan singer, bahkan di depan nama para
perempuan penyanyi diberi embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet,
Miss Roekiah, Miss Dja dan seterusnya. Hal ini berlangsung hingga akhir
era 1940an. Mungkin ini hampir mirip dengan keadaan sekarang di mana
hampir semua perempuan penyanyi bersematkan predikat diva.
Lalu, bagaimana dengan kaum pergerakan pada masa itu? Pada 1913 saat
Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes Komite Perayaan Belanda, dan
kemudian diberangkatkan ke pengasingan, ia berseru Ayo kita nyanyi-
kan lagu kebangsaan Republik Transvaal. Republik Transvaal, di wilayah
Afrika Selatan berhasil merdeka dari pemerintahan Belanda, dan cerita
tentang Transvaal ini menginspirasi perjuangan kaum pergerakan di awal
abad ke-20. Lirik lagu kebangsaan tersebut jika diterjemahkan secara bebas
adalah sebagai berikut:
55
Pujikan kemenangan dari para pahlawan kita
Kita adalah bangsa merdeka
Kita yang merdeka untuk bangsa yang merdeka!
Dengan cara yang lain, Ki Hadjar Dewantara meyakini bahwa seni musik
adalah bentuk tertinggi dari ekspresi seni Eropa. Karenanya, demi menun-
jukkan kepada bangsa-bangsa Eropa bahwa kultur bumiputra, dalam hal
ini kultur Jawa sebagai bagian dari kultur yang setara dengan kultur Eropa,
Ki Hadjar menciptakan Kinanthie Sandoong. Tepatnya sebuah upaya men-
transformasikan gending tradisional Jawa ke dalam bentuk seni modern,
ke dalam olahan piano dan sopran. Karya itu pertama kali dicipta untuk
Kongres Pendidikan Kolonial Pertama dan ditampilkan oleh para siswa
Koninklijk Conservatorium Den Haag pada 28-30 Agustus 1916. Partitur
musik Kinanthie Sandoong lalu dimuat dalam berkala ilmiah prestisius Hin-
dia Belanda Nederlandsch Indie Oud en Nieuw (NION 1916: 378379).
Sampul Partitur
Kinanthie Sandoong
56
BUNYI MERDEKA
57
Halaman Kedua Partitur
Kinanthie Sandoong
58
BUNYI MERDEKA
Syair lagu
Internasionale
terjemahan
Ki Hadjar
Dewantara
59
lainnya yaitu Bendera Kita. Lagu ini adalah lagu yang digubah untuk mem-
pertebal kesadaran bangsa, juga sebagai lagu tandingan buatan Belanda
yang dikenal dengan Vlaggelied atau Strijdled. Peran Soepratman dengan
lagu Bendera Kita yaitu menyadarkan bangsanya, sadar batinnya untuk In-
donesia yang besar, Indonesia Raya.
Selain itu Soepratman juga menggubah sebuah lagu dalam tema pengan-
tar tidur anak atau tema Barcarolle dalam tradisi musik klasik yang berju-
dul Bangunlah Hai Kawan. Ia ingin agar pada saat tidur kaum ibu bisa mem-
berikan nyanyian yang dapat menggugah semangat jiwa anak-anak.
Kuplet I
Ulangan 2x
Kuplet II
Putra dan putri dari KBI/ Hidup damai bagi saudara/ Bekerja
dengan hati yang suci/ Menolong sesama manusia
Ulangan 2x
60
BUNYI MERDEKA
Kuplet III
Ulangan 2x
61
III
Indonesia tahun 1928. Sepuluh tahun setelah Perang Dunia I, dunia sedang
dilanda banyak huru-hara. Salah satunya adalah permulaan dari krisis
ekonomi panjang yang melanda negara-negara Eropa dan Amerika, salah satu
dampak besar dari Perang Dunia I. Belanda, meskipun tidak ikut serta dalam
perang tersebut terkena imbasnya karena perdagangan mereka terhenti aki-
bat rekan dagangnya hampir semuanya terseret ke dalam perang tersebut,
terutama Jerman. Akibat peristiwa itu, Belanda mulai takut akan kehilangan
kuasanya di negara jajahan. Beberapa inisiatif pun mereka lancarkan, teruta-
ma dalam kaitan untuk mempertahankan jajahannya.
Kemudian, kita tahu bahwa ada Joseph Conrad, pengarang novel yang bakat-
nya mendunia. Ia disebut-sebut sebagai salah satu pengarang modernis pada
masanya dan sekarang dianggap sebagai salah satu pengarang terbaik dunia.
Dalam novelnya yang berjudul Heart of Darkness ia merenungkan bagaimana
sebenarnya penjajah dan yang terjajah pada dasarnya tidak terlalu berbeda.
Novel itu menjadi salah satu novel politis yang cukup mengganggu dunia
pada saat pertama kali diterbitkan. Sampai sekarang, masih ada perdebatan
BUNYI MERDEKA
Dari dalam negeri, kebijakan Politik Etis yang dilakukan oleh pemerintah
kolonial mulai membuahkan hasil untuk anak bangsa. Dengan masuknya
pengetahuan dari negeri barat, para pejuang rakyat mulai menyadari bah-
wa perjuangan yang selama ini mereka lakukan ternyata kurang terpusat
dan berdampak. Apalah artinya satu atau dua gigitan nyamuk bagi seekor
Singa Oranye yang sedang kelabakan akibat beberapa runutan peristiwa
yang menimpanya? Oleh sebab itu, sang Singa akhirnya merelakan kebi-
jakan Politik Etisnya untuk kemudian mulai memerintah dengan teror di
daerah jajahan, terutama Hindia Belanda. Teror ini mewujud dalam bentuk
polisi rahasia Politieke Inlichtingen Dienst (PID) dan Zona Hadal bagi para
pembangkang dan penggerak revolusi, Boven Digul.
Pergerakan kebangsaan atau kerakyatan pada masa itu, seperti kita tahu
dari beberapa kajian sejarah, memang terserak di mana-mana. Salah
satu pergerakan yang mempersatukan masyarakat adalah perkumpulan
jawatan kereta api yang berulang kali mengadakan demonstrasi untuk
menuntut hak-hak mereka. Itu pun bukan benar-benar pergerakan ke-
bangsaan, karena mereka masih menuntut hak kelompok mereka sendiri
dengan ideologi sosialisme yang dibawa oleh Henk Sneevliet ke tanah air.
Tapi, pergerakan pegawai jawatan kereta api itu bisa dibilang merupakan
salah satu tonggak sejarah menuju masa depan pergerakan yang lebih ce-
rah. Karena, tidak lama setelah itu, berbagai kelompok pemuda mulai ber-
kumpul dan memutuskan untuk mengadakan kongres pemuda; sebuah wa-
dah bagi penyatuan dan pemusatan perjuangan pergerakan kebangsaan.
63
jar itu tidak hanya datang dari ibukota saja, melainkan dari seluruh penju-
ru Indonesia. Ketika mereka datang ke ibukota untuk belajar, mereka akan
membutuhkan rumah tinggal sementara selama belajar. Di rumah tinggal
itulah mereka berkumpul dan mulai berdiskusi tentang masa depan bang-
sa.
Para pemuda pelajar itu berkumpul di sebuah rumah yang bernama Gedung
Kramat Nomor 106, sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda. Sebe-
lumnya, mereka memondok di sebuah bangunan gedung di Jalan Kwitang
Nomor 3. Akan tetapi, karena anggota mereka semakin bertambah, kebu-
tuhan akan ruang yang lebih besar kian terasa oleh mereka. Oleh sebab itu
mereka memutuskan untuk memindahkan kegiatan diskusi bawah tanah
mereka ke Gedung Kramat No. 106 itu. Gedung Kramat No. 106 disebut oleh
para pelajar dari Jawa yang tergabung dalam Jong Java dengan nama la-
ngen siswo, yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kesenangan pe-
lajar atau siswa. Nama itu sekiranya memang cocok, karena pada awalnya
mereka hanya melakukan kegiatan yang mereka gemari, seperti kesenian.
Lama kelamaan, diskusinya semakin menajam sehingga nantinya melahir-
kan Sumpah Pemuda.
64
BUNYI MERDEKA
Tema-tema diskusi para pelajar itu semakin meruncing dan terarah ke-
pada tema-tema kemanusiaan, keadilan, berbagai revolusi dunia, seperti
Revolusi Amerika, Revolusi Prancis, Revolusi Rusia dan Revolusi Cina. Su-
dah dapat dipastikan, diskusi dan perdebatan mereka membawa kepada
benih-benih pergerakan kebebasan dari penjajahan. Berulang kali mereka
juga mengkaji pemikiran-pemikiran filsuf besar, seperti Plato, Aristoteles,
Machiavelli, Thomas Hobbes, Jean Jacques Rousseau dan John Stuart Mill.
Bukan pencapaian yang rendah, terutama mengingat nama-nama tersebut
sekarang sudah jarang terlintas dari mulut para pelajar.
Salah satu diskusi yang mereka lakukan pada waktu itu pernah dihadiri
oleh Sukarno. Sukarno merasa gemas dan konon pernah berkomentar ke-
pada para pemuda yang hadir, Sudahlah, tidak perlu banyak teori. Mari
kita pikirkan apa yang akan kita perbuat, bagaimana mempersiapkan
rakyat kita. Itu lebih baik kita pikirkan sekarang. Indonesische Clubge-
bouw atau Gedung Kramat No. 106 itulah yang akhirnya menjadi tempat
persemaian ide-ide pergerakan kemerdekaan Indonesia. Salah satu bentuk
perlawanan mereka pada waktu itu adalah dengan memasang papan nama
bertuliskan Indonesische Clubgebouw di halaman depan Gedung Kramat
No. 106 itu. Sekarang mungkin kita akan berpikir itu biasa saja, tetapi pada
waktu itu, di mana Indonesia belum ada, memasang papan nama bertulisan
Gedung Pertemuan Indonesia merupakan perlawanan yang tegas.
65
3. Tanpa persatuan yang kokoh dari berbagai unsur rakyat,
tujuan perjuangan itu sulit dapat dicapai.
Hasil dari pertemuan tersebut mewujud pada 30 April 1926 sampai 2 Mei
1926. Untuk melancarkan jalannya kongres, maka ditunjuklah sejumlah
nama sebagai panitia dengan susunan sebagai berikut:
66
BUNYI MERDEKA
Setelah itu, masih ada dua pertemuan lagi yang diadakan pada 3 Mei dan 12
Agustus 1928 yang diadakan di Indonesische Clubhuis atau Gedung Kramat
No. 106. Dari kedua pertemuan susulan itulah muncul gagasan untuk me-
ngadakan Kongres Pemuda Kedua. Diputuskanlah pada pertemuan terse-
but bahwa kongres kedua akan diadakan pada bulan Oktober di tahun yang
sama dan biaya kongres akan ditanggung oleh seluruh perserikatan yang
ikut serta dalam pertemuan. Tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 akhirnya di-
tentukan sebagai hari penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua. Kongres
Pemuda Kedua terdiri dari susunan kepanitiaan sebagai berikut:
Lain dengan Kongres Pemuda Pertama yang hanya bertempat di satu lokasi,
Kongres Pemuda Kedua mengambil tempat di tiga lokasi berbeda dan diba-
gi menjadi tiga sesi rapat. Selain itu, Kongres Pemuda Kedua juga dihadiri
67
oleh Patih Batavia dan elemen dari PID. Patih Batavia sendiri sempat mene-
gur para anggota kongres untuk melarang penggunaan kata kemerdekaan
dalam pidato. Anehnya, kata-kata seperti persatuan dan kesatuan sama
sekali tidak dilarang. Ini terbukti dari pidato Muhammad Yamin yang ber-
judul Persatuan dan Kesatuan. Dalam rapat ketiga inilah W.R. Soepratman
memainkan untuk pertama kali gubahannya yang berjudul Indonesia Raya.
Dilaporkan bahwa suasana pagi itu, menjelang rapat kedua pada 28 Okto-
ber 1928, sedikit tegang. Semua peserta kongres tampak tertegun dalam
pikirannya masing-masing. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang biasanya
bercengkerama pagi itu diam dan membisu. Semua sedang memikirkan
masa depan bangsa Indonesia. Semua sedang khusyuk membayangkan
bagaimana jalannya kongres pemuda ini dan apa yang akan disumbangkan
kepada perjuangan kemerdekaan. Kemungkinan juga para peserta kongres
pesimis akan kesuksesan diskusi kemerdekaan karena persis satu hari se-
belumnya Patih Batavia melarang penggunaan kata kemerdekaan.
Pada pukul 23.00, persis sebelum rapat ketiga Kongres Pemuda Kedua di-
tutup, Soepratman mengambil tempat ke depan. Dengan khusyuk jari je-
marinya bergerak di atas leher biolanya. Dari gesekannya terdengar na-
da-nada lagu yang pada waktu itu hanya dikenal dengan nama Indonesia.
Penonton terdiam, seakan-akan tenggelam dalam perasaan kolektif yang
sudah selama ini dipendam sejak dari nenek moyang mereka. Dengan
suara serak terbatuk-batuk, Soepratman juga berusaha menyanyikan li-
rik yang ia ciptakan seiring dengan permainan biolanya. Perlahan-lahan,
sebagai seorang komponis yang sepatutnya tahu bagaimana musiknya
seharusnya dimainkan, ditambah dengan penguasaan total terhadap in-
68
BUNYI MERDEKA
69
diom-idiom musik modern Romantik. Hal ini dibuktikan melalui lagu In-
donesia Raya yang dari segi musikal sarat dengan pakem-pakem yang bisa
ditemukan dalam musik-musik komponis barat seperti Richard Wagner,
Anton Bruckner, dan Gustav Mahler. Soepratman bukan seorang kompo-
nis yang kemarin sore belajar main musik, karena jelas musik gubahannya
sangat memerhatikan beraneka rupa aspek intrinsik maupun ekstrinsik.
Apabila di zaman romantik tinggi kita sering kali mendengar kiasan ma-
nusia yang memandang ke dalam palung, maka Indonesia Raya merupakan
perwujudan kehendak manusia yang menantang palung tersebut, meski-
pun palung tersebut kembali menatap dengan dingin. Masyarakat Indone-
sia adalah masyarakat yang dengan berani menatap palung dan menyata-
kan bahwa dirinya dengan palung itu setara. Soepratman tidak merasakan
akhir dari sebuah periode, melainkan berusaha membidani periode baru
di mana tatanan dunia Indonesia baru akan muncul. Dalam benaknya, per-
juangan politis harus terus ada. Musik hanya salah satu cara berjuang, se-
buah bahasa baru yang dapat dimaknai tanpa selubung tafsir.
Palung yang ditatap oleh masyarakat Indonesia adalah kehampaan dan ke-
gagalan retorika dan perjuangan gerilya melawan penjajahan. Dalam arti
itu, Soepratman menyadari kehampaan perjuangan tersebut dan berusaha
merumuskan idiom-idiom perjuangan baru melalui musik yang sepenuhn-
ya merupakan perwujudan dari perjuangan bangsa. Lirik musik Indonesia
Raya mendambakan masyarakat ideal yang bagi Soepratman sangat mung-
kin diwujudkan dalam kenyataan. Semua ini terjadi dalam bayang-bayang
pesimisme sebuah bangsa di bawah penindasan kolonial.
70
BUNYI MERDEKA
71
terbawa pada suasana khusyuk akhir zaman dengan berbagai perasaan
yang mengiringinya. Sedangkan pada Indonesia Raya, bisa dipastikan pen-
dengar akan terbawa oleh suasana yang diawali dengan perasaan persa-
tuan tanah dan darah, sebuah tema yang sering kali diulang dalam berba-
gai karya bersifat nasionalis, dan diakhiri dengan perasaan khusyuk ten-
tang masa depan bangsa Indonesia. Tidak ada tema-tema yang mengawang
seperti akhirat, surga dan alam ideal.
Jika dunia dengan penjajahan adalah dunia yang kejam dan penuh kengeri-
an, maka, dalam benak Soepratman, penyelesaian mengenai mimpi buruk
manusia itu bukan terletak dari baik buruknya dosa dan pahala duniawi
agar bisa selamat di akhirat. Soepratman hanya peduli pada keselamatan
dunia dan dunia yang ia maksudkan bukan dunia universal melainkan du-
nia Indonesia, bangsa yang pada waktu itu belum juga ada. Bahwa pada
kenyataannya pesan-pesan Soepratman dapat juga dirasakan oleh bangsa
lain, itu hanya sebuah efek samping dari musik, sebuah cabang kesenian
yang konon katanya lebih universal dibandingkan dengan karya seni lain.
Sebuah musik akan terasa aneh apabila bagian puncaknya, seperti yang
kita bisa pahami dari liriknya, diiringi dengan dinamika nada yang berbisik
pelan. Begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, kita bisa dan sering kali
mengiaskan rangkaian nada-nada tertentu dengan teriakan dan bisikan se-
bagai konsekuensi dari dinamika musik.
Kekuatan utama Indonesia Raya terletak pada musiknya, bukan pada lirik-
nya. Lirik musik itu bisa saja diganti, dan memang liriknya sudah berulang
72
BUNYI MERDEKA
kali disesuaikan. Akan tetapi, ini bukan berarti kita bisa mengganti lirik
Indonesia Raya, karena Soepratman memang dengan sengaja memilih lirik
tersebut untuk menjadi bagian dari lagu tersebut. Maka dari itu, kita ti-
dak bisa menalar dan menggambarkannya, kita hanya bisa merasakannya.
Indonesia Raya adalah sebuah perwujudan artistik di mana pilihan perju-
angan lain dirasa sudah tidak lagi memadai. Inilah yang dimaksud dengan
menatap palung kehampaan. Ketika bahasa, kata-kata dan perjuangan tu-
buh sudah sekian lama tidak membuahkan hasil, musiklah yang kemudian
merasuki sanubari manusia dan memberi semangat perjuangan baru.
Tentu saja kemerdekaan bangsa ini bukan merupakan akibat langsung dari
lagu Indonesia Raya. Banyak faktor lain yang menjadi penyebab utama ke-
merdekaan kita. Akan tetapi, itu bukan berarti kita bisa serta-merta meng-
anggapnya remeh. Pemerintah kolonial sempat dibuat kalang kabut dan
melarang Indonesia Raya dimainkan dalam setiap perkumpulan. Bahkan,
dalam penyangkalannya, pemerintah kolonial sampai menyebut Indonesia
Raya tidak lebih dari sebuah lagu perkumpulan saja, bukan lagu kebang-
saan. Inilah bukti dari kemampuan musik untuk merasuki sanubari ma-
nusia dan dalam kasus pemerintah kolonial, yang mereka rasakan adalah
ketakutan. Bagaimana tidak, Indonesia Raya bukan suara personal seseo-
rang. Indonesia Raya adalah suara seluruh rakyat Indonesia yang bersatu
melawan kekuatan kolonial.
73
Soepratman memang meniatkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu populis,
lagu rakyat. Untuk apa mempunyai lagu kebangsaan apabila rakyatnya
sendiri tidak bisa menyanyikannya?
Yang menarik dari gubahan Soepratman ini adalah pembagian suku kata
dalam lirik seturut dengan ketukan dua bait terakhir dari komposisi awal
Indonesia Raya. Apabila kita asumsikan Indonesia Raya dimainkan dengan
birama 4/4 dari awal, maka ketika kita masuk ke bagian puncaknya, yai-
tu, bagian di mana liriknya berbunyi Indonesia Raya Merdeka merdeka
ketukannya seakan-akan berubah menjadi 3/4. Perubahan ketukan itu
dapat kita lihat secara sederhana dari pencacahan suku kata In-do-ne-sia
Ra-ya Mer-de-ka Mer-de-ka menjadi tiga. Efek dari perubahan ketukan
itu luar biasa. Dua bait terakhir itu menegaskan kedaulatan Indonesia se-
bagai sebuah negara yang mandiri dan merdeka. Dalam sastra efek itu bisa
dicapai dengan kalimat-kalimat pendek yang dibubuhi dengan tanda seru.
Jika awal musik Indonesia Raya dimainkan dengan penekanan di setiap per-
74
BUNYI MERDEKA
mulaan kata sesuai dengan awal ketukan, maka di bagian puncaknya, seti-
ap suku kata diberikan tekanan mengikuti tiga ketukan tersebut.
Bagian puncak Indonesia Raya adalah pengembangan tema dari bait sebe-
lumnya yang berbunyi Marilah kita berseru Indonesia bersatu Jika kita
menggunakan tangga nada C sebagai dasar, maka rangkaian nada dari ba-
gian tersebut adalah A-A-A-E-E-E, sedangkan apabila kita menggunakan
tangga nada G, maka rangkaian nadanya akan menjadi E-E-E-C-C-C. Seka-
lipun lagu Indonesia Raya sudah diorkestrasi oleh Josef Cleber, semua ba-
gian tersebut, termasuk variasinya, tidak berubah sampai sekarang. Tugas
Cleber hanya orkestrasi, artinya hanya menambahkan beberapa rincian,
seperti tanda sukat, dinamik, harmonisasi instrumen, dan seterusnya.
Kerangka awal Indonesia Raya masih terjaga seperti yang diimpikan oleh
Soepratman, selain tentu saja, sekarang ketika kita mendengar lagu terse-
but, tidak lagi tersisa alunan keroncong. Di bawah ini kita akan menelusuri
dan mempelajari secara singkat tuntutan teknis yang ada dalam lagu Indo-
nesia Raya melalui analisa tempo, nada dan maknanya.
75
Sepertinya W.R. Soepratman menulis dua buah partitur untuk Indonesia
Raya karena ditemukan dua buah partitur dengan spesifikasi teknis yang
berbeda. Partitur pertama disebarkan ke masyarakat melalui bantuan ko-
ran Sin Po pada 10 November 1928. Tentu saja ini wajar. Ketika itu, Soeprat-
man tengah bekerja di majalah itu. Kemudian, ada satu lagi partitur yang
masih ada sampai sekarang, yang masih tersimpan di Arsip Nasional Re-
publik Indonesia. Partitur kedua ini mensyaratkan tanda sukat 4/4, sedang-
kan partitur pertama yang diterbitkan oleh majalah Sin Po menggunakan
tanda sukat 6/8. Agaknya Soepratman memang sengaja membuat dua buah
partitur supaya memudahkan pemain dalam menyanyikannya. Tentu, se-
karang, kedua partitur dapat dengan mudah dimainkan oleh orang dengan
pengetahuan musik sederhana. Tapi, kita bicara di lain waktu. Pada tahun
1928, kenyataannya mungkin berbeda.
Karena partitur yang ada di majalah Sin Po tidak dicetak terlalu jelas, maka
akan sulit bagi kita mempelajarinya. Misalnya, nada bernilai 1/8 dengan
notasi hampir tidak bisa dibedakan dengan nada bernilai 1/16 dengan
notasi . Oleh karena itu, lebih aman bagi kita untuk menggunakan par-
titur kedua dimana tanda sukat yang digunakan adalah 4/4 dan instruksi
temponya adalah Marcia.
Partitur Indonesia
Raya di koran Sin Po
(1928)
76
BUNYI MERDEKA
77
Indonesia Raya versi yang diterbitkan oleh Sin Po menggunakan tanda sukat
6/8, dan kita bisa berspekulasi bahwa itulah yang dimainkan oleh Supra-
tman pada Kongres Pemuda II. Sedangkan dalam partitur kedua buatan
Supratman dengan jelas kita bisa melihat tanda pada awal notasinya.
Huruf pada awal notasi menandakan bahwa birama yang digunakan
adalah 4/4. Huruf itu sendiri berarti common time atau birama jamak,
karena penggunaannya paling umum dalam komposisi musik. Sedangkan
tanda sukat yang tidak biasa contohnya seperti 2/3 atau bahkan pernah
juga ditemukan tanda sukat 2/32 yang biasanya ditemukan dalam kompo-
sisi musik klasik kontemporer.
Tanda sukat dapat kita pelajari dari jumlah nada yang terdapat dalam satu
birama yang tersebar dalam satu bar. Musik Indonesia Raya menggunakan
tanda sukat 4/4 yang artinya terdapat empat nada bernilai 1/4 dalam se-
tiap birama yang menyusun satu buah bar. Meskipun terdapat nada-nada
yang nilainya kurang dari 1/4, seperti misalnya 1/8 dan 1/16 dalam satu
birama, tetapi, jumlah keseluruhan nilai nada tersebut jika ditotal akan
menjadi empat nada bernilai 1/4 sehingga menjadikannya 4/4. Dengan
pengecualian tiga bar terakhir di mana terdapat nada-nada triplet dalam
pembilang empat, keseluruhan Indonesia Raya seharusnya dimainkan de-
ngan tanda sukat 4/4.
78
BUNYI MERDEKA
Sering kali terjadi kekeliruan dalam penghitungan ketukan 3/4 dan 6/8.
Mungkin, itulah sebabnya banyak yang mengira Indonesia Raya berada da-
lam hitungan 6/8. Ketika matra rangkap tiga itu digabungkan untuk men-
jadi enam nada dalam satu birama. Sedangkan, ketika didengar, kedua su-
kat itu sungguh berbeda. Apabila setiap nada dalam sukat 3/4 dibunyikan
dengan penekanan, maka dalam sukat 6/8 penekanan hanya diberikan
pada nada pertama dan keempat. Penekanan inilah yang kita kenal dengan
nama aksen. Penekanan pada sukat 6/8 akan dibagi seperti satu dua tiga
empat lima enam, satu dua tiga empat lima enam, sedangkan dalam su-
kat 3/4 semua nada akan ditekan, seperti satu dua tiga, satu dua tiga,
Contoh lagu nasional dengan sukat 6/8 adalah Desaku yang Kucinta karya L.
Manik dan contoh lagu dengan sukat 3/4 adalah Teguh Kukuh Berlapis Baja
karangan Cornel Simandjuntak.
79
Notasi pecahan di atas terlihat rumit, tapi, sebenarnya sederhana sekali.
|
Tanda adalah tanda pemisah birama. Angka 0 digunakan untuk menan-
dakan istirahat atau diam. Oleh sebab itu, 0 0 berarti diam yang nilainya
dua ketukan. Dari situ kita bisa melihat bahwa lagu Indonesia Raya memi-
liki awal yang tidak biasa, yaitu karena ia dimulai bukan di hitungan atau
ketukan pertama, tetapi di hitungan keempat, atau setelah hitungan keti-
ga. Di dalam setiap birama, karena Indonesia Raya menggunakan tanda su-
kat 4/4, maka jumlah total nada adalah satu nada penuh atau empat nada
1/4 sehingga menjadi 4/4 atau satu nada penuh. Titik yang ditempatkan
setelah sebuah nada berfungsi menambahkan nada yang bersangkutan de-
ngan nada yang bernilai setengah dari nada tersebut. Sebagai misal, bira-
80
BUNYI MERDEKA
81
Setelah kita bisa menghitung nilai satuan setiap nada, barulah kita bisa
menentukan total nilai nada yang ada dalam satu birama, dengan meng-
ambil contoh penggalan nomor 2 dari lagu Indonesia Raya. Meskipun peca-
han yang menyusun birama nomor 2 itu hanya memiliki satu nada bernilai
1/4, kita bisa menjumlahkan nilai pecahan lainnya. Dan, apabila kita meng-
hitungnya, dengan mengambil contoh dua nada pertama, maka kita akan
mendapatkan pecahan . Ketika kita menjumlahkan dua nada perta-
ma itu, bisa kita lihat bahwa jumlah totalnya adalah 2/8 atau jika diseder-
hanakan, 1/4. Lanjutkan penghitungan tersebut sampai seluruh nilai nada
tidak dapat disederhanakan lagi, maka kita akan mendapat rangkaian 1/4,
1/4, 1/4, 1/4, sehingga jika keseluruhannya dijumlahkan, maka kita akan
mendapat 4/4. Itulah mengapa, birama yang digunakan oleh Indonesia Raya
adalah 4/4, bukan 3/4 dan bukan juga 6/8.
Selanjutnya, mari kita ambil contoh dari penggalan nomor 3, persis setelah
penggalan nomor 2. Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan bahwa ada
nada yang sebelumnya tidak ada, yaitu nada dengan nilai 1/2, lambangnya,
. Kalau kita jabarkan, maka rangkaian nada itu akan terlihat seperti ini;
Begitu juga dengan bagian di mana terdapat rangkaian nada matra rang-
kap tiga di dalam sukat 4/4, di mana bila kita membaca dari notasi pecahan
di atas akan terletak di penggalan nomor 17. Penggalan nomor 17 itu ter-
tulis begini:
82
BUNYI MERDEKA
Bagian yang sama dalam notasi balok akan terlihat seperti ini:
Hiduplah tanahku,
Hiduplah negriku,
Bangsaku, jiwaku,
Semuanya.
Bangunlah rayatnya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya
83
lumnya.
Penggunaan matra rangkap tiga di dalam birama 1/4 sepertinya sulit. Akan
tetapi, hanya diperlukan proses matematis sederhana yang sudah diajar-
kan sejak Sekolah Dasar untuk memahami. Kedua ketukan akan bertemu
kembali di ketukan pertama di nada ke-12. Cara penghitungannya adalah
dengan mengalikan angka 3 yang merupakan satuan matra rangkap tiga
dan angka 4 yang merupakan penyebut dari birama 4/4. Tetapi, kesulitan
itu hanya terjadi apabila yang terlibat dalam permainan musik ada lebih
dari satu instrumen. Apabila instrumennya hanya satu, penghitungan da-
lam kepala tidak diperlukan, karena tidak ada rekan yang dikhawatirkan
akan melewatkan ketukan pertama yang akan dilakukan bersama-sama.
Berikut ini adalah notasi balok asli Indonesia Raya yang sudah disesuaikan
agar mengikuti faedah yang ada karena partitur aslinya sudah agak sulit
terbaca. Koreksi yang dilakukan sebenarnya hanya agar notasinya mengi-
kuti faedah-faedah penghitungan nilai nada yang ada.
84
BUNYI MERDEKA
Nada dasar Indonesia Raya adalah G Mayor, sebuah nada dasar yang paling
sering dipakai dalam komposisi lagu, baik lagu klasik atau lagu populer.
Mengapa demikian? Karena tentu saja sebuah lagu nasional harus bisa
dinyanyikan atau dimainkan oleh orang banyak. Rentang suara normal
manusia juga bisa dengan mudah menyanyikan lagu dengan nada dasar G
Mayor. Kemungkinan ini jelas dipertimbangkan oleh Soepratman ketika
menggubah Indonesia Raya. Nada-nada yang dikelompokkan dalam tangga
nada G Mayor adalah G, A, B, C, D, E dan F#. Dalam komposisi musik Barok,
tangga nada G Mayor merupakan tangga nada yang kudus. Komponis Jo-
hann Sebastian Bach sering menggunakan tangga nada ini dalam berbagai
komposisinya. Eine kleine Nachtmusik karya Wolfgang Amadeus Mozart juga
merupakan salah satu karya kenamaan yang menggunakan nada dasar G
Mayor.
Tangga nada yang digunakan oleh Indonesia Raya terbitan Sin Po adalah
tangga nada C mayor. C mayor adalah tangga nada paling umum dipa-
kai dalam musik-musik kebanyakan. Deret nada yang tergabung dalam C
Mayor adalah C, D, E, F, G, A dan B. Kita bisa mengetahui nada dasar yang
digunakan oleh Soepratman dalam partitur terbitan Sin Po dengan meli-
hat ketiadaan tanda kres. Bandingkan dengan tangga nada G Mayor yang
memiliki satu kres (#), yaitu F#. Dalam piano, tangga nada C Mayor sama
sekali tidak menekan tuts berwarna hitam. Nama Jean Sibelius dibuat ha-
rum oleh tangga nada C Mayor, karena ia berhasil memberikan warna baru
bagi tangga nada yang sudah sering kali dipakai dalam komposisi musik
barat, seperti yang bisa kita dengar melalui karya puncaknya, Simfoni No. 7.
85
gian pembukaan dan puncak bisa saja memiliki tempo yang berbeda jika
dilihat dari sudut pandang ini.
Kegunaan tempo yang berbeda dalam setiap bagian musik secara langsung
dapat dilihat sebagai cara menafsir. Salah satu hal penting yang bisa
diperhatikan dalam perubahan tempo ini adalah tegangan dalam musik.
Bayangkanlah, dalam hal ini, sebuah pesawat yang ingin lepas landas. Atau
lebih baik lagi, sebuah musik yang berusaha menggambarkan terbangn-
ya Ikarus. Awal mula musik itu, dalam bayangan kami, idealnya dilakukan
perlahan dan akan menambah kecepatan seiring dengan bertambahnya
momentum. Momentum itulah yang berusaha ditangkap oleh perubahan
tempo. Oleh sebab itu, penggunaan tempo yang berbeda-beda dalam satu
komposisi musik boleh dilakukan oleh penafsir agar mendapat momen-
tum, di mana akhirnya efek drama yang ingin ditampilkan dengan jelas
akan terekspresikan.
Indonesia Raya tidak diperbolehkan untuk diubah dalam bentuk apa pun,
termasuk temponya. Oleh sebab itu, tempo yang seharusnya digunakan da-
lam setiap kali lagu Indonesia Raya disajikan harus selalu tetap, yaitu Marcia,
apabila kita mengikuti partitur Soepratman dan Festoso e con bravura jika
kita mengacu kepada orkestrasi Cleber dengan revisi Soedjasmin. Ini dise-
babkan bahwa Indonesia Raya sudah selalu memiliki makna tertentu dan
makna itu dianggap universal. Hal ini juga tercermin dari liriknya yang
mengusung semangat kebebasan universal manusia yang seharusnya tidak
surut dimakan waktu.
86
BUNYI MERDEKA
Syair Lagu Indonesia Raya hampir tidak pernah dibahas secara serius, dan
atau diupayakan pemaknaan setiap kata, frasa, dan kalimat dari syairnya
secara utuh dan terinci. Karenanya di dalam bagian ini akan dituliskan
dua hal: pertama tentang makna sosio-historis dari kata-kata dalam syair.
Kedua adalah analisa umum dari syair lagu Indonesia Raya.
87
3.3.1. Glosarium Indonesia Raya
Indonesia
Pada Agustus 1939 tiga anggota Volksraad (Parlemen Hindia Belanda) Mo-
88
BUNYI MERDEKA
Tanah Air
Namun, jika ditilik lebih dalam lagi, hal tanah air ini adalah refleksi dari
konsepsi Hindu tentang lingga dan yoni yang mewujud dalam gunung dan
lautan. Gunung, sumber penghidupan dari makhluk tumbuh-tumbuhan,
binatang dan manusia menjulang tinggi ke angkasa. Sedangkan lautan
89
mengelilingi daratan memenuhi hampir seluruh permukaan bumi. Di da-
lam filosofi pendakian menuju puncak pencerahan rohani, di mana usaha
manusia untuk menjadi semakin dekat dengan-Nya sering diistilahkan de-
ngan memutar gunung sampai ke puncak-nya. Setelah sampai di puncak
turun lagi untuk menyelami kedalaman lautan samudra sampai ke dasar-
nya. Gunung sebagai perwujudan Lingga adalah tempat bersemayam
Dewa Siwa. Sedangkan lautan sebagai perwujudan Yoni adalah tempat
bersemayam saktinya Siwa. Pertemuan di antara keduanya adalah yang
menciptakan manusia dengan segala kekuatan supranatural yang meling-
kupinya.
Bahasa Jawa
Gunung Agung segara Serandil,
langit ingkang amengku buwana,
kawruhana ing artine,
gunung segara umung,
guntur sirna amangku bumi,
duk kang langit buwana,
dadya weruh iku,
mudya madyaning ngawiyat,
mangrasama ing gunung Agung sabumi,
candi-candi segara.
Bahasa Indonesia
Gunung Agung laut Serandil,
langit yang menyelimuti bumi,
pahamilah artinya,
gunung lautan gaduh,
guntur lenyap memenuhi bumi,
tatkala langit dan bumi,
jadi ketahuilah itu,
memuja tengahnya (pusat) langit,
membangun pondok satu negeri di gunung Agung,
candi-candi lautan.
Secara umum bait ini ditafsirkan sebagai bagian dari pencarian seorang
hamba pada keyakinan terhadap Yang Maha Kuasa dari waktu ke waktu.
90
BUNYI MERDEKA
Untuk itu ia bisa meninggalkan kehidupan yang penuh pesona dunia. Tak
ada yang tahu di mana istana Tuhan. Karenanya, Tuhan tidak mudah dike-
temukan, apabila sang manusia tidak bisa menaklukkan hawa nafsunya
yang setinggi gunung, bergelora bak laut pasang dan menggelegar bagaikan
guntur, meskipun ia berada di dalam rumah peribadatan yang disucikan.
Kini tanah air secara umum bermakna istilah yang digunakan bangsa In-
donesia untuk menyebut seluruh bumi Indonesia yang terdiri dari darat
dan lautan. Istilah ini didasarkan pada konsep Wawasan Nusantara yang
terbentuk dari kondisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di du-
nia. Istilah ini membedakan Indonesia dari bangsa lain yang sering me-
manggil wilayahnya dengan sebutan motherland atau fatherland. Di samping
itu, bumi Indonesia juga sering disebut dengan panggilan Ibu Pertiwi dan
Nusantara.
Makna dari tanah tumpah darah sebenarnya merujuk pada salah satu tem-
bang mocopat Jawa yang berbunyi: Lamun sira dumadi prajurit, nganggo we-
waton. Kang sepisan, labuh negarane. Kaping pindho sira kudu eling. Duk nalika
lahir. Wutah getihupun. (Jika engkau menjadi prajurit, pakailah dasar-dasar
etikanya. Yang pertama, membela negaramu. Yang kedua, engkau harus
ingat. Ketika engkau lahir. Darahnya tumpah). Ini semacam pengingat
kepada setiap orang Indonesia untuk selalu ingat kepada ibu yang telah
menumpahkan darahnya bagi kelahiran anak-anak Indonesia, dan tempat
tinggal ibu. Disederhanakan kemudian oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
menjadi tanah tempat kelahiran, atau kampung halaman.
Merdeka
Kata merdeka berasal dari bahasa Sansekerta mardika yang artinya pandai,
terhormat, bijaksana dan tidak tunduk kepada seseorang selain raja dan
Tuhan. Dalam bahasa Melayu merdika berarti bebas, baik dalam penger-
tian fisik, kejiwaan, maupun dalam arti politik. Dalam kitab Nitisastra IV.19,
berbunyi: Lwirning mangdadi madaning jana, surupa dhana kalakulina yowana.
Lawan tan sura len kasuran, agawe wereh i manahikang sarat kabeh. Yan wwanten
sira sang dhaneswara, surupa guna dhanakulina yowana. Yan tan mada, mahar-
ddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita, artinya hal-hal yang menjadi-
kan manusia itu mabuk ialah paras yang bagus, kekayaan, kebangsawanan
dan keremajaan. Juga minuman keras dan keberanian itu dapat membuat
91
hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, tampan wajahnya, pandai, ba-
nyak mempunyai harta benda, bangsawan dan muda, tetapi tak mabuk ka-
renanya, ia adalah orang bijaksana yang berbudi maharddhika (bebas dari
soal keduniawian).
Pada bagian ini akan coba dijelaskan bagaimana paduan antara kata dan
nada dalam lagu Indonesia Raya melahirkan pengertian yang dalam dan
meluas.
92
BUNYI MERDEKA
93
negeri, bangsa, dan rakyat. Tetapi penting dipahami makna kata tanah
dalam baris ini berbeda dengan tanah pada baris-baris awal stanza ini. Ia
bukan tanah air, dan bukan juga tanah tumpah darah, melainkan tanah
yang dapat dihidupkan, yang dapat melahirkan sesuatu, yang bisa meng-
hidupi negeri, bangsa, dan rakyat. Artinya lagi-lagi ini sebuah pernyataan
politik kepada kolonialisme yang merampas tanah-tanah rakyat Indonesia
melalui sistem tanam paksa. Dengan kata lain, W.R. Soepratman mencoba
menegaskan kepada kolonialisme bahwa aku akan mengambil kembali
tanah yang kau rampas, agar tanah itu dapat hidup dan menghidupi ne-
geri, bangsa, dan rakyatku semuanya.
Dalam stanza ini, syair baris pertama berbunyi : Indonesia tanah yang
mulia, tanah kita yang kaya. Sekilas pengertiannya bisa serupa, Indone-
sia mulia karena Indonesia kaya. Tetapi mulia di sini lebih dari sekadar
soal kekayaan. Pengertian tentang tanah yang mulia perlu disandingkan
baik dengan tanah air, tanah tumpah darah maupun sebagai kelanjutan
dari tanah yang hidup. Karenanya ke-mulia-annya adalah abstraksi dari
tanah air dan tanah tumpah darah, sedang ke-kaya-annya adalah simpulan
94
BUNYI MERDEKA
Baris ketiga yang berbunyi Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua-
nya adalah sebuah penegasan ulang yang lebih fundamental. Setelah ia
adalah Tanah Air, Tanah Tumpah Darah, Tanah yang Hidup, Tanah Mulia,
maka Indonesia adalah pusaka. Pengertiannya di sini Indonesia adalah
warisan leluhur bangsa Indonesia yang oleh karena berbagai sebab menja-
di satu ikatan persaudaraan Indonesia. Karenanya, ke-pusaka-an Indonesia
mengandaikan sifat-sifat hubungan-hubungan sosial yang erat di antara
keragaman suku, bangsa, dan bahasa.
Karenanya dalam baris akhir dari stanza kedua yang berbunyi: Sadarlah
hatinya, sadarlah budinya, untuk Indonesia Raya, ini lebih serupa raungan
pengingat kepada rakyat Indonesia untuk kembali menyadari hakekatnya
95
sebagai manusia yang merdeka.
Baris pertama dari stanza ketiga berbunyi Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti. Pengertiannya hampir sama dengan Indonesia
tanah yang mulia dalam stanza kedua. Hanya saja tambahan unsur sakti
di sini lebih serupa simpulan dari ke-mulia-an dan ke-pusaka-an Indonesia.
Ke-sakti-an di sini juga tidak sama arti dengan tingkat keahlian seseorang,
melainkan sebuah cita-cita akan Indonesia yang kokoh dan berjaya.
Baris kedua yang berbunyi, Di sanalah aku berdiri, Njaga ibu sejati, adalah
sebuah penegasan dari baris sebelumnya, bahwa oleh karena ke-sakti-an-
nya maka adalah tugasku sebagai rakyat Indonesia untuk menjaganya.
96
BUNYI MERDEKA
Dari seluruh gambaran pemaknaan tentang syair lagu Indonesia Raya tam-
pak jelas bahwa lagu Indonesia Raya memiliki semangat anti kolonialisme
yang tinggi. Ini tentunya bukan sesuatu yang luar biasa mengingat W.R.
Soepratman lahir dan dibesarkan di dalam alam kolonialisme. Akan tetapi
hal yang paling mengemuka dari lagu Indonesia Raya adalah bahwa banyak
dari kata-kata dalam lirik tersebut adalah pernyataan politik yang tegas,
walau dibahasakan secara simbolik. Hal kedua yang juga mengemuka ada-
lah bahwa lirik lagu Indonesia Raya juga membawa nuansa arahan politik
kepada rakyat Indonesia tentang apa yang harus dilakukan secara praktis
di dalam menghadapi kolonialisme. Bahkan, lirik lagu tersebut meminta
rakyat Indonesia menyadari keberadaannya sebagai bagian dari wilayah
yang bersejarah dan pengalaman sejarah yang sama, pengalaman kolonial-
isme. Karenanya menjadi penting kemudian untuk mengeja dan menala
Indonesia Raya dalam cahaya kebangkitan dari kehancuran akibat kolonial-
isme.
97
IV
Rosihan Anwar mengaku pada waktu itu ia masih buta politik. Karena jalan
yang sempit itu, kedua truk tersebut terpaksa melaju sangat pelan. Dari ke-
jauhan ia sudah bisa mendengar sekelompok pemuda yang menumpang
truk tersebut bernyanyi sambil menyerukan slogan-slogan kemerdekaan.
Ketika kedua truk itu berjalan berdampingan secara perlahan karena jalan
yang sempit, ia bisa mendengar dengan jelas bahwa yang mereka nyanyikan
adalah lagu Indonesia Raya. Rosihan Anwar lahir pada 1922. Andaikan ketika
peristiwa itu terjadi, ia masih berusia sepuluh tahun, sebuah kemungkinan
yang amat kecil, berarti ia mengalami kejadian itu pada 1932. Artinya, paling
tidak empat tahun setelah pertama kali dimainkan oleh Soepratman, Indone-
sia Raya masih menggema dalam sanubari para pejuang kemerdekaan.
Bahkan jauh setelah itu, sekitar tahun 1955, seorang eksekutif perusahaan
rekaman yang berkantor di Cikini menulis surat kepada Presiden Sukarno.
Isinya adalah permohonan merekam lagu Indonesia Raya untuk dijual kepada
rakyat yang menginginkannya. Ia menyatakan bahwa pembeli hanya perlu
membayar ongkos produksinya tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan
untuk kutipan keuntungan perusahaan rekaman itu. Ternyata, banyak orang
datang ke perusahaan rekaman itu yang menanyakan perihal ketersediaan
rekaman Indonesia Raya. Kongres Pemuda Kedua sudah berselang 27 tahun
BUNYI MERDEKA
Tentu saja, permohonan itu ditolak oleh Sukarno. Menurutnya, lagu Indo-
nesia Raya adalah milik bangsa Indonesia, bukan untuk diperjual-belikan.
Sukarno pun sudah mengurus perihal royalti kepada keluarga Soepratman
dan Yo Kim Can yang diberikan hak cipta lagu tersebut untuk diperbanyak
oleh Soepratman sendiri. Sukarno menerangkan perihal Jos Cleber yang
pada waktu itu merekam Indonesia Raya atas perintahnya bahwa Cleber
berlaku sebagai pegawai pemerintah, maka dari itu ia diperbolehkan me-
rekam Indonesia Raya.
Pada 1928, Soepratman pernah merekam lagu Indonesia Raya dengan meng-
gunakan biola dan suaranya. Yo Kim Can pada waktu itu bertindak sebagai
produser. Perekaman dilakukan di Indonesia dan rencananya piringan hi-
tam itu akan dicetak di luar negeri untuk mendapat hasil yang maksimal.
Ketika pencetakan sudah selesai dan saatnya membawa kembali piringan
hitam untuk disebarluaskan di Indonesia, kapal yang memuat rekaman
tersebut ditahan oleh pemerintah kolonial. Seluruh piringan hitam yang
memuat lagu Indonesia Raya dihancurkan oleh pemerintah kolonial. Kenda-
ti demikian, Yo Kim Can berhasil menyimpan satu-satunya piringan hitam
yang ia produksi bersama Soepratman.
99
sebagai pemersatu bangsa, terutama bila kekuatan liriknya juga dipertim-
bangkan. Ketika menghadiri pemakaman salah seorang temannya, Gustav
Mahler mendapat ilham untuk menggubah sebuah simfoni yang mengi-
sahkan kehidupan setelah kematian. Setelah simfoni itu rampung, ia pun
memimpin sebuah orkes di Eropa untuk memainkannya. Begitu simfoni itu
selesai dimainkan, seorang perempuan menghampiri Mahler dan bertan-
ya, Jadi, Tuan Mahler, ada apa setelah kita mati?
Kisah Mahler ini mirip dengan cerita kekuatan musik Indonesia Raya. Apa-
bila perempuan itu menganggap Mahler yang sudah berhasil menggu-
bah karya begitu agung paling tidak pernah merasakan keberadaan yang
melampaui kehidupan, maka pemerintah kolonial merasa bahwa Soeprat-
man tahu bahwa tidak lama lagi negara yang ia impikan akan menjadi ke-
nyataan. Ketakutan akan ramalan Soepratman itulah yang menghantui
pemerintah kolonial. Ramalan Soepratman menjadi benar-benar menjadi
kenyataan dan pemerintah kolonial sudah menyadari bahwa akhir ceng-
keramannya sudah bisa terlihat di cakrawala. Kemungkinan itulah yang
menakutkan bagi pemerintah kolonial. Terutama tatkala kondisi ekonomi
Belanda pada waktu itu sedang berada pada titik yang rendah. Mereka ha-
rus menanggapi persoalan lagu ini dengan serius.
Peran lagu Indonesia Raya pada masa sebelum kemerdekaan sudah jelas.
Pada masa penjajahan Belanda, lagu Indonesia Raya terbukti menjadi mim-
pi buruk kolonial. Ketika Belanda diusir oleh pemerintahan Jepang, hu-
bungan lagu tersebut dengan rakyat Indonesia juga berubah. Radio NHK
100
BUNYI MERDEKA
dari Jepang, ketika perang Pasifik pecah, selalu mengawali dan mengakhiri
siarannya dengan lagu Indonesia Raya, meskipun tidak jelas rekaman siapa
yang digunakan. Pada 1942 ketika tentara Jepang berhasil merebut kekua-
saan dari Belanda, sikap itu perlahan-lahan berubah. Lagu tersebut yang
tadinya diputar setiap hari oleh Radio NHK akhirnya dilarang. Baru setelah
Jepang mulai merasakan kekalahan demi kekalahan dalam teater Perang
Pasifik, lagu Indonesia Raya mulai boleh dimainkan kembali.
Jauh setelah itu, pada 1998, mahasiswa yang berhasil menduduki gedung
MPR/DPR menyanyikan lagu tersebut dalam rangka merayakan keme-
nangan rakyat atas tumbangnya Rezim Suharto. Dalam setiap demonstrasi
lagu tersebut sering diulang untuk meresapi makna yang tertuang dalam
liriknya. Menurut para mahasiswa, Rezim Orde Baru telah menyeleweng
dari amanat yang ada di balik lagu Indonesia Raya. Belakangan, lagu Indone-
sia Raya juga kembali dinyanyikan oleh orang banyak di Gedung Balai Kota
Jakarta dipimpin oleh Addie M.S.. Masyarakat menyanyikan lagu Indonesia
101
Raya sebagai protes keputusan hakim kepada Gubernur Basuki Tjahaja Pur-
nama yang menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas tuduhan menis-
takan agama.
Sebagai lagu pergerakan, lagu Indonesia Raya memuat banyak nilai yang
mencerminkan falsafah kehidupan masyarakat Indonesia. Tetapi, lebih
dari itu, Indonesia Raya adalah musik universal yang mengekspresikan se-
mangat anti kolonial. Kita sudah membahas bahwa sebagai musik, Indonesia
Raya tidak bisa memiliki semangat apa pun, tetapi dengan jelas mengeks-
presikan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan. Hal ini bisa ditarik
dari liriknya yang secara eksplisit menjelaskan hal tersebut. Pertama-ta-
ma, pesan tentang kebebasan dapat kita temukan dari kata pertama yang
membuka lagu tersebut: Indonesia. Ketika pertama kali dimainkan pada
tahun 1928, Indonesia belum menjadi sebuah negara. Bagaimana mungkin,
merdeka saja belum, apalagi menjadi negara? Indonesia masih menjadi ba-
gian dari Belanda yang bernama Hindia Belanda.
Kata-kata kedua dalam lagu Indonesia Raya adalah tanah airku. Pada di-
rinya sendiri, kata-kata tersebut berarti ikrar kepada ibu pertiwi. Jika di-
gabung dengan kata pertama, maka kalimat tersebut akan berarti ikrar
kepada Ibu Pertiwi Indonesia. Di balik itu ada makna perjuangan sampai
habis. Bahwa rakyat Indonesia sudah berjanji kepada Ibu Pertiwi untuk
mempertahankan kebebasannya, identitasnya. Terutama apabila kita me-
nilik kepada kata-kata dari bait kedua yang berbunyi tanah tumpah da-
rahku. Makna dari kedua kalimat tersebut, Indonesia tanah airku dan
tanah tumpah darahku berarti penekanan kepada pemisahan identitas
102
BUNYI MERDEKA
Tentu saja makna fatalistik di balik dua bait lirik pertama itu sudah mena-
kutkan bagi pemerintah kolonial. Betapa pun banyaknya keuntungan yang
diraup oleh pemerintah kolonial, kemungkinan perjuangan sampai akh-
ir zaman tidak akan pernah bisa dipikirkan oleh mereka sebagai investasi
yang menguntungkan. Itulah yang siap diberikan oleh rakyat Indonesia
pada waktu itu. Pernyataan itu semacam pertaruhan yang dijalankan oleh
orang yang tidak rugi apa pun ketika kalah, tetapi menang banyak sewak-
tu-waktu mereka berjaya. Pertempuran macam itulah yang dihadapi oleh
pemerintah kolonial. Mungkin pada waktu itu mereka juga belum men-
yadari hal itu, tapi mungkin juga sudah.
Bait kedua dari kuplet pertama semakin menekankan hal identitas terse-
but. Bait tersebut berbunyi, Indonesia kebangsaanku dan konsekuensi-
nya sekali lagi pemisahan kewarganegaraan dari negara yang belum ada.
Kata-kata terakhir dari bait ketiga adalah untuk Indonesia Raya, yang
bisa berarti bahwa segala sesuatu yang dilakukan rakyatnya, seperti mem-
bangun jiwanya, membangun badannya adalah untuk kedaulatan Indone-
sia, untuk Indonesia Raya. Intinya, setiap bait dalam kuplet pertama adalah
perumusan mengenai kebebasan dan perjuangan untuk mencapai kebe-
basan dari jerat kuasa penjajahan. Penjajahan dalam hal ini bisa berarti
banyak hal.
103
generasi pemusik baru. Di Jawa generasi berikutnya ialah Ismail Marzuki,
Kusbini, Bintang Sudibyo, R. Soenarjo, H. Mutahar, R.A.J. Soedjasmin dan
lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul pula para pemusik asal Tapan-
uli dengan latar belakang pengetahuan dan praktisi musik klasik barat
yang cukup andal. Para pemusiknya ialah Cornel Simandjuntak, Amir Pas-
aribu, J.A. Dungga, Liberty Manik, Binsar Sitompul dan W. Lumban Tobing.
Awalnya mereka, bersama sejumlah seniman bidang lainnya bergabung
dalam Badan Pusat Kesenian Indonesia (BPKI) yang diresmikan pada 6 Ok-
tober 1942. Organisasi ini terdiri atas anggota pengurus, antara lain Sanoe-
si Pane (Ketua), Mr. Soemanang (Sekretaris), Winarno, Armijn Pane, Sutan
Takdir Alisjahbana, Kusbini, Bintang Sudibyo, Kamajaya, S. Sudjono, Basuki
Abdullah, Dr. Poerbatjaraka, Mr. Djoko Sutomo (Ketua Perhimpunan Ke-
senian Jawa Anggono Raras), Ki Hadjar Dewantara, Mr. Achmad Subar-
djo, Soetardjo Kartohadikoesoemo, K.H. Mas Mansur, dan seorang bangsa
Jepang Ichiki, yang masing-masing sebagai anggota dan badan pengawas.
Tetapi kemudian badan ini dilebur menjadi Pusat Kebudayaan (Keimin
Bunka Shidosho) milik pemerintah Jepang. Maksudnya, lembaga itu dapat
mengawasi dan menguasai organisasi itu dengan fasilitas subsidi dari pe-
merintah Jepang. Melalui organisasi inilah, para seniman Indonesia terli-
bat langsung membuat lagu-lagu propaganda Asia Timur Raya. Para seni-
man ditugasi mengadakan konser keliling di seluruh tanah air menghibur
penduduk sambil menyebarluaskan propaganda Jepang-Indonesia demi
suksesnya Negara Kesatuan Asia Timur Raya.26
26 Wisnu Mintargo. Lagu Propaganda dalam Revolusi Indonesia: 1945-49 dimuat dalam
situs web https://media.neliti.com/media/publications/11749-ID-lagu-propaganda-da-
lam-revolusi-indonesia-1945-1949.pdf
27 Hersri Setiawan. Cornel Simanjuntak Cahaya, Datanglah!, dimuat dalam situs web
https://indoprogress.com/2014/06/cornel-simandjuntak-cahaya-datanglah/
104
BUNYI MERDEKA
Lagu Darah Rakyat dinyanyikan oleh ratusan ribu massa yang mengikuti
rapat raksasa di Lapangan Ikada, di samping lagu Indonesia Raya, Maju Tak
Gentar, dan Bagimu Negeri. Liriknya adalah sebagai berikut:
Lagu ini populer hingga keluar Jawa. Seperti diceritakan oleh Amiruddin
Noer dalam bukunya, Putri Melayu: Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Ga-
dis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian, lagu Darah Rakyat juga populer
di Sumatra, tepatnya di daerah Sumatra Utara. Lagu ini dinyanyikan oleh
pemuda revolusioner, laskar rakyat, dan gerakan buruh. Hampir di semua
truk yang mengangkut pejuang menuju medan perang bergema lagu ini.
105
Rakyat memobilisasi diri untuk rapat raksasa di Lapangan Ikada
29 Sekilas Sejarah Lagu Darah Rakyat, diambil dari situs web http://www.berdikarion-
line.com/sekilas-sejarah-lagu-darah-rakyat/
106
BUNYI MERDEKA
107
Semboyan kami angkasawan RRI/ Sekali di udara tetap di
udara
Semenjak Empat Lima tak pernah berhenti
Patuh dan setia berjiwa Pancasila
Tri Prasetya landasan kerjanya/ Ampera tujuan utama
Penuh pengabdian pada revolusi/ Demi Tuhan demi pertiwi
Sekali di udara tetap di udara
Poster Revolusi 45
(gambar Affandi
dan teks Chairil
Anwar)
108
BUNYI MERDEKA
Memasuki periode Orde Baru, nyaris tidak ada lagu-lagu perjuangan yang
baru. Lagu Puing yang ditulis oleh Nortier Simanungkalit, komponis seang-
katan Subronto Atmodjo, pada tahun 1966 tidak cukup kuat menggam-
barkan kehendak cinta tanah air, baik dari segi melodi maupun lirik se-
bagaimana berikut ini:
Bahkan, jika ingin ditelisik lebih jauh, tema perjuangan bangsa dan cinta
tanah air pada masa Orde Baru lebih mengarah pada tema pembangunan
109
dan seruan berbakti pada negara. Ini tampak pada misalnya Mars Pemilu
yang ditulis oleh komponis angkatan 45 Mochtar Embut pada 1971:
Begitu juga dengan lagu Mars Keluarga Berencana, yang ditulis pula oleh
Mochtar Embut:
Warna yang sama ditunjukkan pula oleh lagu Mars Angkatan Bersenjata Re-
publik Indonesia:
110
BUNYI MERDEKA
Keadaan yang demikian ini melahirkan semacam reaksi dari banyak musisi
maupun pecinta musik, yang tidak melihat adanya keindahan dalam lagu-
lagu mars tersebut. Orientasi kepada alam sebagai representasi dari cinta
tanah air yang hilang pada lagu lagu mars Orde Baru, dihidupkan melalui
lagu-lagu populer kritik sosial dengan cita rasa musikalitas progressive rock
atau art rock. Guruh Sukarnoputra dengan Guruh Gypsy hadir di periode
awal Orde Baru dengan mengajukan komposisi paduan musik-musik tradi-
sional dan orkestrasi barat. Seolah-olah Guruh menggugat orientasi indi-
vidual Orde Baru dengan orientasi kealaman musik.
Namun musik Guruh Gypsy tidaklah mudah dipahami, dan kelewat canggih
bagi rakyat Indonesia kebanyakan. Gugatan kritik sosial yang mengemuka
sebenarnya muncul di tahun 1979 dalam sebuah lagu Bahana Jelata yang
dibawakan oleh Rudi Damhudi. Sebagian dari lagu tersebut menyatakan:
Pertanyaan yang senada dengan Rudi Damhudi lalu diajukan lagi oleh God
Bless pada 1982 dalam lagu Balada Sejuta Wajah: Adakah hari esok mak-
mur sentosa bagi wajah wajah yang menghiba. Pertanyaan-pertanyaan
dari lagu-lagu kritik sosial ini menjadi penting oleh karena situasi so-
sial-ekonomi yang berlangsung pada masa Orde Baru berseberangan de-
ngan semangat lagu-lagu mars yang diperdengarkan oleh pemerintah.
Semangat keutamaan individual yang digaungkan oleh pemerintah Orde
Baru seperti ditertawakan oleh Iwan Fals dalam lirik lagu Sore Tugu Pan-
coran. Lagu ini bercerita tentang si Budi, anak kecil yang bersusah payah
berjualan koran di dekat Tugu Pancoran. Refrein dari lagu itu berbunyi:
111
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu/ Dipaksa pecahkan
karang lemah jarimu terkepal
Dalam hal ini, Iwan Fals seperti melakukan pembalikan tentang konsep
alam yang pada masa Sukarno dipuja sebagai sumber ke-mulia-an Indo-
nesia, lalu pada masa Orde Baru diabaikan, maka konsekuensinya alam itu
sesuatu yang menindas anak-anak.
Nada kritik sosial yang lebih tajam muncul dari lagu-lagu aktivis maha-
siswa di era akhir 1980an. Salah satunya adalah lagu Aku Anak Indonesia
yang digubah oleh seniman aktivis Yayak Kencrit Yatmaka. Lirik lagu itu
berbunyi demikian:
Keadaan di muka di dalam banyak hal lalu disuarakan oleh puisi-puisi Ren-
dra, seperti misalnya yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa yang salah
satu baitnya berbunyi:
112
BUNYI MERDEKA
113
kembali ruang cinta tanah air, ruang ke-alam-an yang terkubur, ditimbun
oleh lagu-lagu mars pemerintah Orde Baru yang mengabaikan alam. Se-
mentara Sumpah Mahasiswa menegaskan kembali hakikat kepemudaan
yang pernah tumbuh di awal masa pergerakan di awal abad ke-20. Kon-
tan, tuduhan dan stigma pemberontak atau komunis dilekatkan kepada
semua aktivitas mahasiswa yang menyuarakan kedua nyanyian perju-
angan itu, kendati para aktivis tersebut juga menyanyikan Indonesia Raya
dan mengibarkan bendera Merah-Putih. Bahkan, di dalam banyak aktivitas
demonstrasi yang dilakukan oleh aktivis mahasiswa pada periode 1990-an,
berbagai penangkapan dan pemenjaraan dilakukan oleh aparat kepolisian
ataupun aparat militer pemerintah Orde Baru. Singkatnya, semangat cinta
tanah air, semangat perjuangan direbut oleh aktivis tahun 1990an, dan se-
mangat ini semakin diperkuat dengan munculnya puisi Wiji Thukul yang
berjudul Peringatan:
Peringatan
Ruang merebut kembali ini bisa tercipta sebenarnya oleh karena ke-
beradaan pemerintah Orde Baru yang cenderung melemahkan demokrasi
114
BUNYI MERDEKA
dan partisipasi rakyat, dan mencipta kesenjangan sosial yang tajam. Di per-
mukaan kondisi sosial perkotaan terlihat tidak ada masalah, dan semuanya
seperti berjalan aman-aman saja. Tetapi di balik itu semua, berlangsung se-
jumlah pengekangan kebebasan dan pengawasan terhadap siapa pun yang
berani melancarkan kritik terhadap keberadaan pemerintah Orde Baru.
Kekerasan yang dijalankan sebagai cara untuk melancarkan pembangunan
banyak berpengaruh pada munculnya ketidakpuasan dari kalangan masya-
rakat bawah. Politik kekerasan dan intimidasi terhadap kritisisme berkem-
bang sebagai sebuah kultur politik resmi negara Orde Baru.
115
dengan operasi pemerintah untuk memenangkan pemilu 1997.
116
V
Coda Kebangsaan
Cerita tentang Indonesia Raya di dalam banyak hal telah melahirkan beragam
pengetahuan baru. Kerap tumpuan pengetahuan masyarakat tentang lagu
Indonesia Raya berhenti pada kejelasan identitas nama pencipta lagu. Teta-
pi siapakah W.R. Soepratman, dan atas dasar apa dirinya tetiba bersemangat
mencipta lagu Indonesia Raya tidak banyak yang mengetahuinya. Sekalipun
terdapat banyak literatur cetak, maupun informasi ringkas dari berbagai si-
tus web tentang Indonesia Raya dan W.R. Soepratman, tetapi belum keliha-
tan jelas bagaimana dampaknya terhadap masyarakat. Apalagi terkait telisik
terhadap gerak nada, irama serta syair lagu Indonesia Raya, nyaris senyap.
Pendeknya, dengan tanpa mengurangi rasa hormat terhadap banyak pihak
yang berupaya memberikan penjelasan tentang Indonesia Raya semuanya be-
lum mampu menegaskan logika dan signifikansi lagu Indonesia Raya.
Kerangka dasar untuk mengerti Indonesia Raya, untuk adanya kejelasan ten-
tang Indonesia Raya, adalah pemahaman bahwa lagu Indonesia Raya adalah hasil
karya perjuangan rakyat Indonesia di dalam mewujudkan kemerdekaannya.
Tentunya pertanyaan kemudian muncul, Bukannya W.R. Soepratman yang
bikin lagu itu?. Benar, tidak ada yang salah dengan W.R. Soepratman. Teta-
pi bagaimana lagu tersebut menjadi bagian dari gerak perjuangan rakyat
Indonesia, itu bukan hasil karya W.R. Soepratman seorang. Mulai dari ide
menciptakan lagu Indonesia Raya, sampai dengan bagaimana Indonesia Raya
itu lalu menjadi masalah bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan
penetapannya kemudian sebagai lagu kebangsaan Republik Indonesia, se-
muanya adalah kerja banyak orang, kerja rakyat Indonesia. W.R. Soeprat-
man tidak mungkin iseng-iseng membuat lagu tersebut, karena fakta se-
jarah menunjukkan bahwa dirinya terpikat dengan semacam sayembara
menulis lagu di sebuah surat kabar di masa itu. Pada saat ingin menampil-
kan lagu itu di Kongres Pemuda Kedua pada 1928, W.R. Soepratman perlu
berbicara dengan Soegondo Djojopoespito, salah satu tokoh pergerakan
nasional di masa itu. Ini mengingat syair lagu tersebut banyak menggu-
nakan kata Indonesia dan merdeka, sehingga timbul kekhawatiran akan
membuat masalah terhadap jalannya kongres (penghentian) maupun pe-
serta kongres (penangkapan). Begitu juga ketika lagu tersebut mulai bere-
dar di pasaran melalui perusahaan rekaman piringan hitam Yo Kim Tjan,
dan kemudian para pandu menyiul-nyiulkannya untuk mengolok-olok
aparat keamanan kolonial, semuanya adalah bagian dari kehendak rakyat
untuk Merdeka.
Akan tetapi, kritik ataupun keraguan terhadap Indonesia Raya sebagai se-
buah karya musik bukannya tidak pernah muncul. Tidak lama setelah lagu
Indonesia Raya diperdengarkan di tahun 1928, muncul kritik dari para mu-
sisi Jawa yang sudah lama berinteraksi dengan sejumlah seniman Eropa.
Salah satu kritiknya mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya terlalu bernu-
ansa Eropa, kurang membawa nilai-nilai ketimuran. Kritik tersebut bisa di-
mengerti, karena situasi musik klasik dunia pada masa itu sedang bergerak
ke arah nasionalisme musik. Keterpikatan Debussy pada suara gamelan
Jawa saat tampil di Paris, hingga komponis Leopold Godowsky berkunjung
ke tanah Jawa dan membuat komposisi The Java Suite yang semacam me-
nerjemahkan gamelan ke dalam piano, semuanya membesarkan hati para
seniman musik Jawa. Tetapi perlu juga dipahami bahwa W.R. Soepratman
bermusik dengan disiplin musik Eropa melalui karya-karya Chopin, Bee-
thoven, Liszt, Tchaikovsky dan sebagainya, yang dipelajarinya saat berla-
tih biola. Karenanya tidak mungkin juga menuntut W.R. Soepratman mem-
buat lagu kebangsaan yang bernada Jawa, sementara para musisi Jawa itu
tidak turut dalam sayembara membuat lagu kebangsaan.
118
BUNYI MERDEKA
nyak nada dari lagu Pinda Pinda Lekka Lekka, sehingga kurang elok jika lagu
tersebut dipertahankan sebagai lagu kebangsaan. Komponis Kusbini yang
kemudian menyampaikan kritik Amir Pasaribu kepada Presiden Sukarno,
dan Sukarno menjawab, Sebaiknya yang sudah diputuskan secara politis
jangan dianulir karena hal yang estetis.
Sementara pilihan pada aras kedua, ada konsekuensi nilai estetis dari musik
menjadi runduk, dengan pilihan-pilihan nada yang sederhana, ritmis yang
sederhana, pun harmoni yang begitu-begitu saja. Harmoni tiga jurus,
kata salah seorang veteran pengajar musik Institut Kesenian Jakarta. Yang
dimaksud beliau adalah harmoni akor C, F, G, dan variasi minornya yaitu
akor Am, Dm, Em yang digunakan secara silih berganti dalam sebuah lagu.
Tetapi itu bukan masalah bagi para komponis lagu-lagu perjuangan rakyat,
karena yang lebih penting adalah apakah lagu tersebut membangkitkan
semangat rakyat untuk berjuang atau tidak.
W.R. Soepratman yang terdidik oleh disiplin musik klasik Eropa, dan ber-
main musik untuk sebuah klub jazz, pasti paham dengan pilihan-pilihan
dari kedua aras di muka. Beliau mencoba membuat komposisi dengan va-
riasi permainan melodi yang menggambarkan semacam panorama seseo-
rang yang hendak meloncat terbang bebas. Itulah sebabnya lagu Indonesia
119
Raya, jika diperhatikan, didengarkan lamat-lamat adalah yang serupa gra-
dasi dari nada-nada tengah ke nada-nada tinggi.
Sayang sesudah kritik Amir Pasaribu terhadap Indonesia Raya, tidak ada
komponis ataupun peneliti musik lain yang mencoba mengajukan kera-
guan yang lebih tajam, ataupun memeriksa karya-karya W.R. Soepratman
yang lain. Setidaknya dari sana bisa dilihat secara lebih mendalam bagaima-
na Indonesia Raya dan karya-karya W.R. Soepratman yang lain berperan di
dalam membentuk kesadaran politik anti kolonialisme, sekalian menguji
pengetahuan musik yang terdapat dalam karya-karya W.R. Soepratman.
Ini agar terdapat garis batas yang cukup tegas antara W.R. Soepratman
dengan Chrisye yang diduga menjiplak lagu Footlose karya Kenny Logins,
melalui lagu Hip Hip Hura; ataupun dengan Fahmi Shahab diduga mencon-
tek lagu Coffee Rumba untuk lagu Kopi Dangdut.
120
BUNYI MERDEKA
Dalam kondisi yang berlangsung saat ini, di tengah ancaman krisis so-
sial-ekonomi, maupun terorisme internasional, lagu Indonesia Raya men-
jadi semakin penting untuk diajarkan secara lengkap tiga stanza. Bukan
hanya berlatih untuk menyanyikannya pada setiap kesempatan pembu-
kaan acara-acara resmi atau saat kelas-kelas sekolah dimulai, tetapi juga
mempelajari makna di balik lirik-lirik yang tertulis di sana. Hampir semua
frasa dalam lagu Indonesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman seja-
121
rah pembentukan bangsa Indonesia.
Kedua, nilai-nilai yang terkandung dalam Indonesia Raya perlu selalu diper-
temukan dengan realitas sosial. Dalam hal ini pengertiannya adalah men-
gupayakan agar nilai-nilai seperti kesadaran akan kebangsaan, kesadaran
akan kebebasan dan kesetaraan, keadilan sosial, dan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa mewujud dalam keseharian. Ini bukan hal yang mudah, meng-
ingat perkembangan situasi sosial-budaya saat ini cenderung mengarah
pada munculnya kesadaran yang menolak keberagaman, dan atau yang
biasa disebut politik identitas. Arahan W.R. Soepratman agar setiap warga
negara menyelamatkan putra-putri Indonesia sama sekali tidak mengan-
daikan identitas suku, bangsa, bahasa, maupun agama tertentu. Sebaliknya
arahan itu mensyaratkan penerimaan dan pengakuan bahwa semua yang
berada di wilayah Indonesia adalah yang bebas, yang sama dan sederajat.
Karenanya sekali lagi Indonesia Raya adalah Pandu Bunyi Merdeka.
122
Hampir semua frasa dalam lagu kebangsaan Indo-
nesia Raya merupakan refleksi dari pengalaman
sejarah pembentukan bangsa Indonesia. Indonesia
Raya merupakan pandu bagi segenap warga nega-
ra Republik Indonesia untuk mulai belajar mema-
hami Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila sebagai
dasar negara. Bahkan lebih praktis lagi, Indonesia
Raya adalah pandu bagi Trisakti yang menegaskan
perihal Kedaulatan Politik, Kemandirian Ekonomi
dan Kebudayaan yang Berkepribadian. Karenanya
Indonesia Raya adalah pandu bagi bunyi merdeka,
pandu Ibu Pertiwi.