Anda di halaman 1dari 2

PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO

Pada tahun 1821, warga Keraton Yogyakarta hidup dibawah penjajahan Belanda. Sistem
pemerintahan Keraton seakan dicampur tangani oleh penguasa Belanda, jadilah kehidupan
warga Keraton dibuat menderita oleh itu. Sayangnya, tak ada yang berdaya untuk melawan
penindasan para penjajah Belanda.
warga Keraton Yogyakarta hidup dibawah penjajahan belanda. Sistem pemerintahan Keraton
dicampur tangani oleh penguasa Belanda, sehingga kehidupan warga keraton semakin
menderita. Sayangnya, tak ada yang berdaya melawan semua penindasan penjajah Belanda.
Namun tidak dengan putra Raja HB III dari selir R.A Mangkarawati, yang bernama
P.Diponegoro, dia tak seperti yang lainnya, dia geram atas semua perbuatan yang dilakukan
penjajah Belanda. Geramnya telah mencapa puncak ketika para penjajah Belanda memasang
patok-patok untuk membuat rel kereta api diatas tanah makam para leluhurnya. Lalu,
P.Diponegoro bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang.
Hingga disuati hari, pada tanggal 20 Juli 1825, keraton memerintahkan dua senopati untuk
menangkap P.Diponegoro. Mereka mengerahkan pasukan untuk menangkap P.Diponegoro,
sehingga terjadinya pengepungan dikediaman P.Diponegoro. P.Diponegoro yang tau bahwa
dirinya menjadi incaran para senopati, melarikan diri dari kejaran pasukan bersama para
pengikutnya. Ia dan para pengikutnya berhasil meloloskan diri dari kejaran tersebut. Senopati
yang geram dengan P.Diponegoro karna berhasil meloloskan diri dari kejaran pasukannya, ia
memerintahkan para pasukannya untuk membumi hanguskan kediaman P.Diponegoro.
P.Diponegoro beseerta para pasukannya melarikan diri kearah barat dan sampailah di
Desa Dekso dikecamatan Kulonprogo, lalu melanjutkan perjalanannya kearah selatan hingga
keesokan paginya tiba di sebuah goa yang bernama Goa Selarong yang letaknya lima
kilometer dari arah barat kota bantul. Goa itu berada di Dusun Kentolan Lor, Guwosari
Pajangan Bantul, dan dijadikanlah Goa itu sebagai markas P.Diponegoro beserta para
pengikutnya.
Mulailah pertempuran sengit itu berlangsung selama kurun waktu lima tahun,
P.Diponegoro yang memimpin perang dari kalangan petani hingga kalangan priyayi, mereka
telah menyumbangkan harta-harta mereka untuk menunjang kebutuhan selama peperangan.
Para penjajah memakai sistem benteng untuk menyandra dan menyiksa warga untuk menarik
perhatian P.Diponegoro yang berhasil meloloskan diri dari pengejaran. Warga P.Diponegoro
disiksa secara kejam, tidak berperi kemanusiaan, dan membabi buta.
Demi menyelamatkan para warga dan pengikutnya, P.Diponegoro menyerahkan dirinya
kepada para penjajah. Tapi dengan satu syarat yang harus dipenuhi oleh para penjajah, bahwa
sisa anggota laskarnya yang tertawan oleh para penjajah harus dilepaskan, hanya itu yang
P.Diponegoro syaratkan. Akhirnya permintaan itu dikabulkan oleh para penjajah.
Akhirnya, P.Diponegoro ditawan dan diasingkan ke Manado seorang diri, lalu ia
dipindahkan ke Makassar. Saat dalam penawanan tersebut, P.Diponegoro terjangkit penyakit
malaria, dan hingga penghabisan nafas terakhirnya, ia habiskan di Benteng Rotterdam,
Makassar.

Anda mungkin juga menyukai