Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub
atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam
tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan
hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid,
berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun.
Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad
atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender
Masehi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya
Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan
pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari
kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun
runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya
Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third
Crusade.
Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of
Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa
menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika
Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu
ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.
Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil berkata, “Aku adalah
duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya.” Kepala Bernas dikirim ke setiap tenda
tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, “Ini sebab karena dulu ia melecehkan Rasulullah
SAW.” Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji, Bernas pernah berkata,
“Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!”….
———-
Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang
memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat
Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang
merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu
telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi
Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi
Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan
pantang menyerah yang ditunjukkan melalui “Siratun Nabawiyah”. Hingga kini peringatan
itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.
Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat
perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab
terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke
tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan
kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart
dari Inggris.
Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat
penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu
jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara
menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.
Seorang penulis Barat berkata, “Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang
paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam
ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan
umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh
Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila
bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan
bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan
berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat
itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit
dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin”.
“Setiap cara dan jalan ditempuh”, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi
seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan
gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.
Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh
ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang
serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya
yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman
yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu
mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.
“Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan
kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar” demikian tulis pengarang
Perancis Michaud.
Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut
pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling
dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna
melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin
dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan
pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka
lalui” kata Marbaid.
Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut
keterangan penulis Mill “terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi
buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok
dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik
pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.
Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah
Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka
ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak
bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.
John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal
penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: “Keluruhan usia
lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali
oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung
dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan
kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya
dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan
yang sangat berharga, termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur
itu. “Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,” kata Stuart
Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi
yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.
Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya
dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan
pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini
disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar
Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk
maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib
itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta
keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.
Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari
ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu
pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk
kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat
Raja Syria Nuruddin Mahmud.
Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang
Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh
memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer
seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis.
Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain
atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud memperlihatkan kehebatan
strategi tentara yang bernilai tinggi.
Ibnu Aziz Al Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: “Belum
pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara
gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda”.
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah
Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh
tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah
pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.
Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi
dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda
ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin.
Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya
dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam
khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini
tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang
penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada
tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang
gagah berani, Jenderal Sherkoh.
Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan
meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera
menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah
menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin
al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali
kota itu. Sultan Shalahuddin memanjatkan syukur yang dalam atas kegemilangan tersebut. Ia
merebut salib yang mereka klaim sebagai salib Nabi Isa. Salib besar itu berhias emas,
mutiara, dan permata. Dia bangun tenda besar dan dipasang di dalamnya singgasana raja
berhias bunga-bunga di kedua sisinya.
Shalahuddin mendudukkan para raja terbesar Salibis disamping kanan kirinya sesuai nomor
urut mereka. Ia memberikan air es sebagai minum raja-raja tersebut. Namun saat raja
Perancis Bernas merebut air itu dan hendak meminumnya, Shalahuddin naik darah dan
berteriak lantang, “Aku tidak memberi minum kepadanya!! Karena aku tidak punya
perjanjian dengannya!!” Karena kelaliman Bernas selama ini, Shalahuddin tidak memberi
grasi kepadanya. Ditawarkannya untuk masuk Islam agar terhindar dari hukuman, namun
Bernas menolaknya. Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil
berkata, “Aku adalah duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya.” Kepala Bernas
dikirim ke setiap tenda tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, “Ini sebab karena dulu ia
melecehkan Rasulullah SAW.” Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji,
Bernas pernah berkata, “Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!”
Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin
Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa
akan tingkah laku Malikus Saleh dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk
memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda
Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan
Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina,
tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: “Kaum Muslimin memegang teguh
perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi
peperangan.” Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud
atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya,
membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang
tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin
pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak
memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan
melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat
singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani,
termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian
juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang
diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.
Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib
pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya
dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam
yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan
menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-
menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran
tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat
bertahan untuk waktu yang singkat, mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh
kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang
langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum penyerbu itu yang terdengar hanyalah
erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak
tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan
diri. Raymond d’ Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.
Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk
melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah
beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata
Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong
karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa
ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman;
mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah;
mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan
mayat.
Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan
dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu
angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu.
Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang
hina dina.
Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Telah diputuskan, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke
tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada
buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-
lapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada
hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.
Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M,
dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya
para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan
yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang
tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan.
Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai
Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta
anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin
meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami.
Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan
mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan
mempunyai sandaran hidup.
Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan
dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan
kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan
Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana
kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem
dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara
Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah
dikalahkan itu.
Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota
yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill,
pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan
perlindungan kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka
menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan
keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini
terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi
ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut
sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya,
kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum
Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak
memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.
Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara
Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah
mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan
Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai,
termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu
balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang
ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini
mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan
yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.
Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa.
Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun
kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah
semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya
menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa
menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak
akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang
tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam
suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum
Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata
saudara sesama kaum Muslimin.
Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia
bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam
pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin
memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.
Akhirnya Richard Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai di
Ramla yang diterima oleh Sultan, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka
kepada para peziarah Kristen. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang
yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya
melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192
Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan
ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu tulis Michaud di mana gabungan
pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra
dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya
yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan
Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari
seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima
hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah
tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam
pertempuran ini.
Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa
bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. “Hari itu
merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum
Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin” demikian tulis seorang penulis
Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam
lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan
penuh kesedihan dan tangisan.
Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam
perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya
dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang
Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis
dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan
berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang
sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang
yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan
Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang
sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan
rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. “Di Eropa” tulis Philip K Hitti,
dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman
sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.
Disarikan dari:
1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil
Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)
NB:
- “Shalahuddin”, kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin,
atau Salahuddin.
- Saat ini, sineas Barat sedang membuat film berjudul “Kingdom of Heaven”. Film tersebut,
terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.
BAB IV
PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI
AL-AYYUBIYAH
Rangkuman materi:
1.1 Sejarah Pembentukan Dinasti Al-ayyubuyah (569-650/ 1174-1252 M)
1.1.1 Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah
Bani Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki
(Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di
Balbek.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan.
Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah
pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.
Perang yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama.
Selain itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi
terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:
a. Ketika beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
b. Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen
berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya
Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani
Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-
Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari
Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar
berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke
Mesir. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan
Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam.
Maka terjadilah peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan
Syawar yang dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin
berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh tentara salib yang
dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah
Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
a. Pertukaran tawanan perang
b. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
c. Amauri harus kembali ke Yerusalem
d. Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai
yang disepakati dahulu yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal
itu tentu saja sangat membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena:
a. Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir
b. Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada
tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri,
tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia.
Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri
menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri
beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana.
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun
1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan
dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun
lamanya.
1.1.2 Penguasa-penguasa Dinasti Al-Ayyubiah
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa
yakni sebagai berikut:
1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2. Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
3. Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
4. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
5. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
6. Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
7. Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
8. Malik Al-Mu’azzam Turansyah (1249-1250 M)
9. Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
Dalam uraian berikut akan dibahas mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:
1. Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2. Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
3. Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)