Anda di halaman 1dari 10

KAJIAN SIRAH NABAWIYAH

MASA SEBELUM PERANG SALIB

Pembimbing:

dr. Risma Karlina Prabawati, Sp.S

Disusun oleh:

Ronggo Santoso – O34

202010401011084

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Perang salib adalah serangkaian perang agama selama hampir dua abad
sebagai reaksi Kristen Eropa terhadap Islam di Asia. Perang ini terjadi karena kota-
kota dan tempat suci kaum Kristen diduduki Islam di seperti Suriah, Asia Kecil,
Spanyol dan Sicilia terutama kota suci Baitul Maqdis (Yerussalem). Nama perang
Salib dia,bil karena militer pasukan Salib menggunakan Salib dalam peperangannya.

Perang Salib I dimulai ketika Paus Urbanus II yang terpilih pada tahun 1108
M. Dan menjadi penguasa yang dipatuhi semua kaum Kristen, ia mengajak semua
pemimpin Kuntuk melakukan peperangan melawan kaum Muslimin untuk merebut
Baitul Maqdis.

Angkatan pertama Perang Salib I bergerak dari Perancis dan Jerman pada
awal tahun 1096 M. Angkatan ini terdiri dari masyarakat jelata dan dipimpin oleh
seorang pendeta bernama Peter. Namun pasukan yang pertama ini tidak
berpengalaman, setelah beberapa kali konflik dengan penduduk Bulgaria dan
Byzantium serta melakukan penjarahan selama di perjalanan, pasukan yang tidak
berpengalaman ini akhirnya dihancurkan oleh pasukan Kilij Arslan di Asia Kecil.
Angkatan pertama ini dikenal sebagai People’s Crusade atau Popular Crusade.

Rombongan berikutnya yang berangkat pada tahun 1096 M. terdiri dari


pasukan yang lebih terlatih daripada sebelumnya dan dipimpin oleh banyak
bangsawan Perancis dan Norman, seperti Raymond of Saint-Gilles, Godfrey de
Bouillon, Baldwin, Bahemond of Taranto, dan Tancred pasukan ini berhasil
mengambil alih Nicaea (Iznik) dari tangan Kilij Arslan pada bulan Juni 1097 M
BAB II

KAJIAN SIRAH NABAWIYAH

Dilaporkan
No Kegiatan Judul Sumber
tgl
1 Kajian Masa sebelum  Buku: sirah nabawiyah 9 April 2021
Siroh perang salib Nabi Muhammad SAW
Nabawiyah dalam kajian ilmu social
humaniora 2014

Masa Sebelum Perang Salib

Pada saat Baghdad dan Andalusia (Spanyol dahulu) menjadi pusat peradaban
dan ilmu pengetahuan, bangsa Eropa yang menjadi penduduk asli Andalusia memakai
bahasa Arab dan adat-istiadat Arab dalam kehidupan sehari-hari. Institusi pendidikan
Arab menjadi pilihan sekolah mereka. Di Sicilia, raja Normandia Roger I,
menjadikan istananya sebagai tempat pertemuan para filsuf, dokter-dokter, dan ahli
Islam lainnya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Sementara itu, gerejanya dihiasi dengan ukiran dan tulisan Arab. Wanita
Kristen Sicilia meniru wanita Islam dalam mode pakaian. Peradaban Islam
berpengaruh sampai ke luar wilayah Eropa, sehingga banyak penuntut ilmu dari
Perancis, Inggris, Jerman, dan Italia yang tertarik untuk datang belajar ke perguruan
tinggi yang ada di Andalusia dan Sicilia.

Dalam suasana inilah, muncul orientalisme di kalangan Barat. Bahasa Arab


mulai dipandang sebagai bahasa yang harus dipelajari dalam bidang ilmiah dan
filsafat, sehingga dimasukkan ke dalam kurikulum berbagai perguruan tinggi di
Eropa. Dalam fase pertama ini, tujuan orientalisme ialah memindahkan ilmu
pengetahuan dan filsafat dari Dunia Islam ke Eropa. Ilmu pengetahuan tersebut
diambil sebagaimana adanya.
Kekejaman Tentara Salib dan Sikap Islam di Perang Salib

Perang Salib diawali saat Paus Ur banus II (1099 M) mengumumkan Perang

untuk membebaskan Yerusalem pada 1095. Seruan Paus itu mendapat sambutan

hangat di wilayah Prancis dan sekitarnya.

Ceramah Paus, menurut Edward Gibbon di dalam History of the Decline and

Fall of the Roman Empire, telah “menyentuh syaraf perasaan yang sangat halus” dari

masyarakat Eropa. Dengan dipimpin oleh beberapa pendeta dan bangsawan, mereka

kemudian berangkat melalui jalur darat, melewati Konstan tinopel, menuju ke

Yerusalem (al-Quds).

Wilayah Asia Minor (kini Turki), Suriah, dan Palestina yang saat itu berada di

bawah kendali Muslim satu per satu jatuh ke tangan tentara salib. Tentara dan

masyarakat Muslimin berusaha mempertahankan kota-kota tempat tinggal mereka

dari serangan orangorang Frank—sebutan untuk orang-orang Prancis atau Eropa

Barat ketika itu—tetapi pada Perang Salib yang pertama ini mereka lebih sering gagal

daripada berhasil.

Pada pertengahan 1099, tentara salib tiba di Yerusalem (al-Quds). Se telah

mengepungnya selama lima pekan pada 15 Juli Kota Yerusalem jatuh ke tangan

tentara salib. Orang-orang Frank sama sekali tidak punya rasa belas kasihan terhadap

orang-orang yang ditaklukkannya. Mereka melakukan pembunuhan terhadap

masyarakat Muslim dan Yahudi.


Seorang saksi sejarah di pihak Frank, yaitu Fulk of Chartes, mengatakan,

“Sungguh, jika kalian berada di sana, kalian akan melihat kaki-kaki kami ber warna

(merah) hingga ke lutut disebab kan darah korban .... Tak satu pun dari mereka yang

dibiarkan hidup; tak satu pun perempuan dan anak-anak yang disisakan ....”

Sementara Ibn al-At hir menulis, ”Selama satu pekan orang-orang Frank terus

menyembelih kaum Muslimin.” Tujuh puluh ribu Muslim menjadi korban dalam

peristiwa itu.

Meskipun satu amal mulia, tapi tanpa kemuliaan pelakunya, kemuliaan jihad

akan sirna. Jumlah besar juga tidak banyak membantu tercapainya ke menangan.

Jihad baru berfungsi dengan baik serta mampu menampakkan ke agungannya saat

para pelakunya telah melakukan jihad ke atas dirinya sendiri (jihad al-nafs).

Dengan begitu, mereka dapat tampil ke atas panggung sejarah dengan

kebersihan jiwa dan ketulusan pada Tuhannya. Inilah yang kemudian terjadi di dunia

Islam dan memungkin kan mereka untuk melakukan perubahan besar pada masa-

masa berikutnya.

Adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), salah satu ulama yang

berperan penting dalam melakukan inisiatif ini. Ia berusaha meluruskan

penyimpangan- penyimpangan yang terjadi di dunia Islam serta berusaha

menunjukkan jalan yang perlu diambil oleh kaum Muslimin

Al-Ghazali kemudian memilih jalan para sufi yang pada esensinya mengajak

pada jihad al-nafs. Ia tidak menyerukan jihad untuk berperang dengan musuh karena
tampaknya ia menyadari bahwa tanpa adanya kesuksesan dalam jihad al-nafs,

kemuliaan jihad militer akan sulit untuk dicapai.

Apa yang dilakukan al-Ghazali ini pada dekade-dekade berikutnya bergulir

menjadi gerakan perbaikan (islah) yang mencapai puncaknya pada satu generasi

berikutnya, yaitu pada era Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 1166).

Pada era tersebut, kebanyakan ulama menyatukan fikih dan kezuhudan di

dalam dirinya, perpecahan mazhab telah digantikan oleh ukhuwah Islamiyah, serta

berdiri banyak madrasah yang melahirkan generasi baru, generasi yang kemudian

melahirkan tokoh seperti Shalahuddin al-Ayyubi (w 1193)..

Hal ini dijelaskan dengan sangat baik oleh Dr Majid Irsan al-Kilani di dalam

bukunya, Hakadza Dzahara Jilu Shalahuddin. Generasi baru yang dilahirkan gerakan

islah itu kemudian menjalankan fungsi jihad dengan baik dan efektif serta mampu

menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ’alamin. Semua itu bermula dari jihad

al-nafs.

Dari Perang Salib Hingga Massa Pencerahan Di Eropa

Perang salib antara Kristen Barat dan Islam Timur pada 1096-1291 M

membawa kekalahan bagi golongan Kristen. Hal tersebut berlanjut dengan ekspansi

ke Eropa oleh Kesultanan Turki Utsmani yang berjaya membawa kesuksesan dengan

jatuhnya Adrianopel (1366 M), Constantinopel Istanbul (1453 M), bahkan

Yerussalem dan wilayah Balkan di bawah kekuasaan umat Islam (Kesultanan Turki

Utsmani).
Hal ini memberikan pengalaman pahit Kristen Eropa, sehingga raja-raja Eropa

bersumpah untuk mengusir kaum “kafir". Selain itu, kebencian mereka juga dilator

belakangi oleh pengingkaran umat Islam terhadap kepercayaan trinitas, penyaliban

Isa (Yesus), dan penebusan dosa, padahal ketiga itu merupakan asas agama mereka.

Maka muncullah semangat orang-orang Eropa untuk mengkritik, mengecam, dan

menyerang Islam dari berbagai kepentingan doktrin dan realitasnya.

Sebagai bias dari kebencian ini, pengarang-pengarang orientalis mulai

menulis buku-buku dengan gambaran yang salah terhadap Islam atau yang

bertentangan dengan ajaran Islam. Buku-buku yang mereka tulis di antaranya

menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang yang terserang penyakit

epilepsi, gila perempuan, penjahat, dan pendusta, sehingga agama yang dibawanya

bukanlah agama yang benar. Islam mewajibkan poligami, Islam disiarkan dengan

pedang, dan orang Islam diwajibkan membunuh orang Kristen sebanyak mungkin

sebagai jalan masuk surga.

Selain itu, para orientalis berupaya mempermudah dan memperlancar usaha-

usaha perpindahan agama. Ustad Mahmud al-Aqgad, dalam bukunya Haqaiq al-Islam

wa Abathil Khushumihi menamakan kaum orientalis sebagai "musuh profesional"

karena mereka menciptakan kondisi yang mencela dan membuat kebohongan-

kebohongan terhadap Islam dengan membuat tuduhan yang bukan-bukan. Upaya-

upaya yang mereka lancarkan tersebut menjadikan orientalisme identik atau sejalan

dengan kristenisasi
Orientalisme dan kristenisasi serta upaya pembaratan dan senjata perang

kebudayaan adalah fenomena yang paling mencolok pada periode ini. Keduanya,

orientalisme dan kristenisasi mempunyai medan sendiri-sendiri, namun saling

melengkapi. Orientalisme mempersiapkan racun yang disebarluaskan oleh

kristenisasi di lembaga-lembaga pendidikan dan perguruan-perguruan tinggi.

Sementara itu, kristenisasi dilakukan dengan jalan merangkul pelajar-pelajar,

mahasiswa, dan orang-orang sakit, kemudian mengubah akidah mereka,

mempengaruhi pemahaman-pemahaman mereka dan menghancurkan mentalitas

mereka. Imperialisme dan kolonialisme adalah senjata yang paling ampuh dalam

menopang kedua misi tersebut. Banyak generasi Muslim yang terbawa arus pada

periode ini. Kristenisasi seolah berupaya membentuk generasi yang

tertransformasikan, namun sebenarnya berakidah kacau, mengingkari nilai-nilai

Islam, mengingkari warisan budayanya, termasuk bahasa dan sejarahnya.

Dari Masa Pencerahan Hingga Sekarang

Sejarah masa lalu dari Perang Salib sebagai bentuk permusuhan antara Kristen

dan Islam mulai mereda setelah memasuki masa pencerahan di Eropa, dan diwarnai

oleh keinginan mencari kebenaran. Dengan demikian, yang diutamakan dalam fase

ini adalah kekuatan rasio. Sebuah tulisan yang dihasilkan kala itu bersifat obyektif,

bukan mengada-ngada." Dalam konteks ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa

seluruh orientalis adalah "budak-budak” kaum kolonialis. Tetapi tak dinafikan banyak

juga orientalis yang memiliki niat murni untuk mempelajari Islam dan ketimuran,

terutama pada masa-masa akhir generasi orientalisme.


Di samping itu, orientalisme setelah mengalami pembantaian" baik oleh

penulispenulis Timur seperti Tibawi, Anwar Abdul Malik, Abdallah Laroui dan

Edward Said, atau dari Barat sendiri seperti Foucault, Recour, dan Bordeau, tidak lagi

menjadi karier yang patut dibanggakan, bahkan sebaliknya, para pengkaji ketimuran

dari Barat akan merasa risih untuk menyebut dirinya sebagai orientalis, karena istilah

tersebut sangat pejoratif. Mereka lebih nyaman dipanggil islamolog, epylog, dan

sejenisnya.

Pada periode ini, tulisan-tulisan para orientalis ditujukan untuk mempelajari

Islam seobyektif mungkin. Orientalisme dijadikan sebagai usaha pemahaman

terhadap dunia Timur secara mendalam. Dalam tradisi ilmiah yang baru ini, bahasa

Arab dan pengenalan teks-teks klasik mendapat kedudukan utama.

Di antara para orientalis pada masa tersebut adalah Sir Hamilton A.R. Gibb,

Louis Massignon, W.C. Smith, dan Frithjof Schuon. Walaupun demikian, tidak

semua pendapat yang dikemukakan para orientalis modern tentang Islam dapat

diterima oleh rasa keagamaan umat Islam, meskipun secara rasional pendapat tersebut

mungkin benar secara akademik. Namun, beberapa di antara mereka tidak luput dari

kesalahan dalam memberikan interpretasi dan analisis terhadap ajaran Islam.

Kegiatan-kegiatan para orientalis tersebut meliputi: (a) mengadakan

kongreskongres secara teratur yang dimulai di Paris (1873 M) dan kota-kota lain di

dunia secara bergantian; (b) mendirikan lembaga-lembaga kajian ketimuran, di

antaranya Ecole des Langues Orientalis Vivantes (1975 M) di Perancis; (c)

mendirikan organisasi-organisasi ketimuran, misalnya American Oriental Society di


Inggris; dan (d) menerbitkan majalah-majalah, misalnya Journal of the Royal Asiatic

Society (1899) di London.

Singkatnya, motivasi awal orang Barat mempelajari Islam tidaklah untuk

menyerang Islam. Mungkin pada awalnya mereka benar-benar mempelajari Islam

sebagai suatu ilmu. Namun akhirnya, orientalisme tetap saja membawa aroma

sentimen Barat (baca: Kristen) terhadap Islam. Sehingga, jadilah kajian-kajian

orientalisme menjelma menjadi syubhat-syubhat yang menimbulkan keragu-raguan di

kalangan kaum Muslim terhadap ajaran Islam. Beberapa serangan mereka terhadap

Islam antara lain menghujat Al-Quran dan Nabi Muhammad, modernisasi syariat

Islam, dan menghidupkan sejarah jahiliyah.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Maryam Jamilah bahwa orientalisme

bukan kajian obyektif dan tidak memihak Islam maupun kebudayaannya. Langkah

yang diupayakan secara mendalam bukanlah untuk mendapatkan hasil penelitian

yang baik dan orisinal, melainkan hanya rencana jahat yang terorganisasi untuk

menghasut para pemuda kita agar memberontak terhadap agama mereka dan

mencemooh semua warisan sejarah Islam berikut kebudayaannya sebagai warisan

yang tidak berguna. Sasaran yang hendak dicapai oleh orientalisme adalah

menciptakan kekeliruan sebanyak-banyaknya di kalangan pemuda-pemuda yang

belum matang dan mudah ditipu dengan cara menanamkan keraguan, sinisme, dan

skeptisisme.

Anda mungkin juga menyukai