Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEJARAH PERADABAN ISLAM

PERANG DUNIA ISLAM

Dosen Pengampu: Dr.Endah Wirnanti M.Pd.I

Oleh:

Citra Khaerun Nisa/200605110132

Adelia Tasya Vanessa/200605110152

Jurusan Teknik Informatika

Fakultas Sains dan Teknologi

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah terdapat peristiwa yang melibatkan agama Islam dan Kristen,
yaitu peristiwa Perang Salib. Perang akbar di abad pertengahan itu, menurut
sejarawan Barat merupakan salah satu “episode paling gila dalam catatan sejarah.”1
Perang yang bermotif latar belakang agama ini adalah retetan “catatan sejarah kelam”
yang pernah terjadi, sekaligus mengorbankan masyarakat sipil dari dua belah pihak
agama
Pada 1099 M sebuah kekejaman bermula, tatkala 40.000 tentara Perang
Salib yang dipimpin Peter The Hermit menyerbu tanah suci Palestina yang
sebelumnya telah dikuasai oleh umat Islam. Para serdadu Salib mendapat suntikan
motifasi dari Peter untuk menyerang pasukan Muslim dan membalaskan dendam
pasukan-pasukan lain yang telah gugur sebelumnya. Sebagai imbalan atas
penyerangan tersebut, Peter meyakinkan mereka “bahwa siapa pun (pasukan Salib)
yang menenteng tiang salib dan turut andil dalam peristiwa akbar itu akan mendapat
penebusan dosa dari pihak gereja di akhirnya.

Selain itu, ada juga peristiwa serangan yang dilakukan oleh Mongol yang
merupakan salah satu peristiwa yang bisa dikatakan kelam juga. Jatuhnya Baghdad
sebagai pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah pada 10 Februari 1258 oleh bangsa
Mongol membuat dunia Islam menjadi porak-poranda dan mengakhiri kekhalifahan
Islam yang sudah berkuasa 5 abad lamanya. Dengan demikian, peninggalan-
peninggalan khazanah keilmuan yang pada masa puncaknya dijuluki sebagai (golden
age) masa keemasan peradaban dunia dan Islam yang diciptakan oleh dinasti
Abbasiyah khususnya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan
anaknya Al-Makmun (813-833 M) hilang seketika dibumihanguskan oleh pasukan
Mongol pimpinan Hulagu Khan.Dengan dihancurkannya dinasti Abbasiyah oleh
bangsa Mongol, kekuasaan Islam mencapai titik-terendah dalam suatu peradaban,
Baghdad yang pada masa jayanya sebagai jantung dari peradaban dunia, menjadi kota
yang mengalami kehancuran dari berbagai arah.

B. Rumusan Masalah
i. Bagaimana terjadinya peristiwa Perang salib?
ii. Bagaimana terjadinya serangan Mongol?
iii. Apa saja dampak dari persitiwa-peristiwa tersebut?
C. Tujuan
i. Untuk mengetahui kronologi terjadinya peristiwa perang salib.
ii. Untuk mengetahui tentang terjadinya serangan Mongol.
iii. Untuk mengetahui dampak atau pengaruh dari peristiwa perang salib dan
serangan mongol.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Perang Salib
a. Pengertian
Perang Salib merupakan sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat serta
Eropa yang terjadi antara abad ke-11 hingga abad ke-17 yang disokong dan diarahkan
oleh gereja katolik. Perang salib ini berbeda dengan konflik-konflik keagamaan
lainnya karena orang-orang yang ikut serta dalam perang ini meyakini bahwa
perjuangan mereka ialan sebagai laku silih untuk memperoleh ampunan dari dosa-
dosa yang telah dilakukan.
Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095
dalam esame Konsili Clermont. Ia mengimbau orang-orang yang hadir untuk angkat
senjata membawa Kaisar Romawi Timur melawan orang Turki Seljuk serta untuk
melakukan ziarah bersenjata ke Yerussalem. Perang salib yang paling terkenal adalah
perang perebutan Tanah Suci melawan kaum muslim di kawasan timur mediterania
yang terjadi pada tahun 1096-1271.
b. Sebab-sebab Perang Salib
Perang salib berlangsung kurang lebih selama dua abad, yang dimulai dari
perang salib I hingga VIII yaitu dari tahun 1095-1291. Perang yang terjadi ini timbul
karena reaksi orang Kristen terhadap umat Islam yang dianggap sebagai pihak
penyerang. Berdasarkan sejarah, sejak tahun 632 hingga meletusnya perang salib
beberapa kota penting dan tempat suci umat Kristen dikuasai oleh umat Islam sepeti
Suriah, Asia Kecil, Spanyol dan Sicillia1. Perang ini disebabkan oleh beberapa factor
lain yakni factor agama, politik, serta sosial-ekonomi.
1. Faktor Agama
Direbutnya Baitul Maqdis (471 H / 1070 M) oleh Dinasti Seljuk dari
kekuasaan Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir menyebabkan kaum Kristen
merasa tidak bebas dalam menunaikan ibadah. Hal ini dikarenakan Dinasti Seljuk

1
Dr.H.Anwar Sewang,MA, Sejarah Peradaban Islam, hlm 424
yang menerapkan peraturan yang sangat ketat kepada para umat Kristiani ketika
hendak berubadah di Tanah Suci (Baitul Maqdis).
Bani Seljuk telah menjalankan kebijakan-kebijakan yag mempersulit hingga
menganiaya umat Kristiani yang akan berziarah ke Yerussalem. Kebijakan-kebijakan
yang merugikan ini terdengar hingga ke Eropa, rakyat Eropa menjadi gempar, gusar
dan bersedih hati. Peristiwa ini secara tidak langsung menumbuhkan semangat
keagamaan dan loyalitas terhadap esame umat Kristiani untuk memberikan
perlindungan dan pembelaan. Mereka bergerak bersama untuk menuntut balas atas
perampasan kemerdekaan dalam menjalankan ajaran agama mereka. Visi mereka satu
yaitu merebut Baitul Maqdis dari genggaman kaum Muslimin (Bani Saljuk) dengan
keyakinan bila berziarah ke tanah suci mendapat pahala yang besar, sudah barang
tentu melepaskan dan memerdekakan Yerussalem dari kekuasaan Kaum Muslimin
jauh lebih besar pahalanya2.
2. Faktor Politik
Posisi-posisi kunci di sekitar Asia kecil telah di kuasai Bani Saljuk dan
bahkan dijadikan sebagai basis kekuatan dan pertahanan. Kondisi ini memposisikan
kota Konstantinopel terancam akan jatuh ke tangan umat Islam (Bani Saljuk). Untuk
menghindari jatuhnya kota Konstantinopel ke tangan umat Islam, Kaisar Alexius
penguasa Byzantium (Konstantinopel) tidak memiliki pilihan lain kecuali meminta
dukungan dan bantuan politik Keuskupan Agung di Roma3. Pihak Keuskupan Agung
sendiri menyambut baik kerja sama ini, karena mereka juga berkewajiban membela
kepentingan agama, di samping itu sesungguhnya kepentingan politik bagi
Keuskupan juga sangat menggiurkan. Karena itu mulailah pihak Keuskupan
mengatur rencana kerja perebutan kembali Baitul Maqdis.
Dengan perkembangan serta kemajuan yang pesat menimbulkan kecemasan
pada tokoh-tokoh Barat, sehingga mereka melancarkan serangan terhadap ummat

2
Philip K. Hitti, The Arab a Short History, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P. Sihombing, Dunia Arab:
Sejarah Ringkas, (Cet VII; Bandung Sumur Bandung, t.th), hlm 211
3
Ibid, Selanjutnya lihat Said Abdul Fattah Asyur, Al-Harakah Ash Shalihiyah, diterjemahkan oleh
Muhammad Marhrus Muslim, Kronologi Perang Salib, Cet I, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993), hlm 25
Islam. Situasi yang demikian mendorong penguasa-penguasa Kristen di Eropa untuk
merebut satu-persatu daerah-daerah kekuasaan Islam, seperti Mesir, Yerussalem,
Damascus, Edessca dan lain-lainnya.
Selain itu, kondisi kekuasaan Islam pada saat itu sedang melemah. Sehingga
orang-orang Kristen Eropa berani untuk melakukan pemberontakan dengan cara
Perang Salib, yajni ketika Dinasti Seljuk di Asia Kecil sedang mengalami
perpecahan, Dinasti Fatimiyah di Mesir sedang dalam keadaan lumpun, sedangakan
Islam di Spanyol semakin goyah. Keadaan ini semakin parah dengan pertentangan
segitiga antara kholifah Fatimiyah di Mesir, kholifah Abbasiyah di esame, dan
kholifah Umayyah di Cordoba4.
3. Faktor Sosial-Ekonomi
Adanya keinginan bangsa Barat menguasai tata niaga di kawasan Laut Tengah
sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai sentral perdagangan Barat di Timur.
Kawasan ini memang sangat strategis, sebagai pintu pengembangan perdagangan
esame timur melalui Laut Merah5.
Sejak abad ke-X, kaum muslimin telah menguasai jalur perdagangan di laut
tengah, dan para pedagang Eropa yang mayoritasnya Kristen merasa tergannggu atas
kehadirian pasukan muslimin, sehingga mereka memiliki rencana untuk mendesak
kekuatan kaum muslimin dari laut itu.
Hal ini didukung dengan adanya ambisi yang luar biasa dari para pedagang-
pedagang besar yang berada di pantai Timur laut tengah (Venezia, Genoa dan Piza)
untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan
laut tengah, sehingga dapat memperluas jaringan dagang mereka, Untuk itu mereka
rela menanggung sebagian dana Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan
itu sebagai pusat perdagangan mereka, karena jalur Eropa akan bersambung dengan
rute-rute perdagangan di Timur melalui jalur strategis tersebut.
Perang Salib merupakan perang suci bagi umat Kristiani, akan tetapi Perang
Salib sebagai perang suci hanyalah sebagai kedok pemimpin gereja Roma, karena

4
Dr.H.Anwar Sewang,MA, Sejarah Peradaban Islam, hlm 428
5
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hlm 241
sebenarnya esame dan tujuan Perang Salib adalah karena Politik dan Ekonomi.
Sehingga beberapa relawan Perang Salib juga tidak hanya perang atas nama Tuhan,
akan tetapi karena kepentingan masing-masing.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa ada beberapa esame yang


menyebabkan terjadinya Perang Salib dan esame-faktor tersebut terealisasi dengan
baik karena didukung oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Lemahnya persatuan umat Islam


Sebelum esameng Perang Salib berbunyi, dunia Islam tampak dalam kondisi
lemah. Bani Saljuk (Daulah Salajikah kehilangan kekuatan sepeninggal Malik Syah
(1092 M). Perebutan daerah Syiria antara Bani Saljuk dan Bani Fatimiyah tidak dapat
dielakkan yang menyebabkan terjadinya permusuhan berkepanjangan antara dua
kerajaan Islam ini. Akibatnya dinasti-dinasti Islam khususnya dua dinasti tersebut
dalam keadaan lemah karena sudah terkuras kekuatan militer maupun finansialnya
dalam perang saudara. Kondisi lemah umat Islam ini merupakan peluang emas bagi
dunia Eropa untuk melancarkan serangannya6.
2. Berdirinya Kerajaan-kerajaan Eropa yang Baru
Bermunculannya kerajaan-kerajaan Eropa yang baru seperti Kerajaan Venesia,
Genua dan berkuasanya bangsa Normandia di selatan Italia dan di Kepulauan Sicilia
yang semuanya itu merupakan peluang emas bagi dunia Eropa melancarkan
serangannya7.
c. Periodisasi Perang Salib
1. Periode Pertama
Hasil kerja keras dari dua juru kampanye (jurkam) Perang Salib yaitu Paus
Urbanus II dan Peters Amin, maka dimulai pada 1096 tepatnya musim semi,
berkumpullah sebanyak 150.000 tentara Eropa yang sebagian besar berasal dari
Perancis dan Normandia. Pasukan Perang Salib ini berkumpul di Konstantinopel.
Dalam perjalanan mereka menuju Palestina melalui Asia Kecil, banyak pasukan

6
Syukur Syamzan, Perang Salib dalam Bingkai Sejarah, Jurnal Al-Ulum, Vol.11 No.1, Hlm 194
7
Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruhnya di Eropa, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), hlm 5
bergabung, sehingga jumlah pasukan mencapai 300.000 orang. Namun sangat
disayangkan, pasukan sebanyak ini tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik,
mereka banyak melakukan perbuatan brutal, perampokan, mabuk-mabukan dan
perzinahan pada tempat-tempat yang mereka lalui. Tindakan pasukan Salib ini
menyebabkan kemarahan bangsa Bulgaria dan Hongaria, yang segera memberikan
serangan hingga pasukan Salib berantakan dan sisanya dihadapi langsung oleh
pasukan Bani Saljuk. Pada perang pertama ini, rombongan tentara Salib seluruhnya
binasa sebelum mereka dapat membebaskan Baitul Maqdis8.
Periode pertama, disebut periode penaklukan (1009- 1144). Hassan Ibrahim
Hassan dalam buku Tarikh Al-Islam menggambarkan pasukan salib pertama yang
dipimpin oleh Pierre I’ermite sebagai gerombolan rakyat jelata yang tidak memiliki
pengalaman perang, tidak disiplin, dan tanpa persiapan. Pasukan salib ini dapat
dikalahkan oleh pasukan Dinasti Saljuk.
2. Periode Kedua
Periode ini merupakan periode kebangkitan umat Islam setelah menderita
kekalahan melawan kekuatan tentara Salib yang dapat menguasai wilayah Syiria dan
Palestina pada tahun 1144 M. Dibawa pimpinan Imad al-Din Zanki, tentara Islam
berjuang dengan sungguhsungguh merebut kembali beberapa kota yang jatuh ke
tangan tentara Salib antara lain; Aleppo, Hamimah dan kota-kota lainnya hingga
Edessa9
Dalam perang salib ini pihak Richard dan pihak Saladin sepakat untuk
melakukan gencatan senjata dan membuat pejanjian. Perjanjian perdamaian
ditetapkan di atas kertas pada 2 November 1192, dengan ketentuan bahwa daerah
pantai menjadi milik bangsa latin sedangkan daerah pedalaman menjadi milik umat
Islam, dan peziarah yang esame ke kota Suci tidak boleh diganggu. Tahun berikutnya
19 Pebruari 1193 Shalah sakit demam di Damaskus dan pada tanggal 2 Maret 1193
Shalah meninggal dalam usia 55 tahun. Pusaranya yang berdekatan dengan masjid
Umayyah, hingga kini masih menjadi daya tarik bagi ibukota Suriah.
8
Joesoef Syou’yb, Op.Cit., hlm 89-90
9
Hasan Ibrahim Hasan, Tarîkh Al-Islâm, Juz IV, (Kairo: Maktabah AlNahdah Al-Misriyah, 1967), hlm 248.
Ahmad Syalabi, Op.Cit., hlm 43.
Ekspedisi perang Salib ini dibagi beberapa divisi, Ekspedisi ini dilakukan pada
tahun 1189 M sebagian menempuh jalur jalan darat dan sebagian lagi menempuh
jalur laut. Frederick yang memimpin divisi jalur darat ini tewas ketika menyerangi
sungai Armenia, dekat kota Ruba (Edessa). Sebagian tentaranya kembali, kecuali
beberapa orang yang masih hidup melanjutkan perjalannya. Dua divisi lainnya yang
menempuh jalur laut bertemu di Sisilia. Mereka berada di Sisilia hingga musim
dingin berlalu. Richard menuju Ciprus dan mendudukinya di sana. Sedangkan Philip
langsung ke Arce, dan pasukannya berhadapan dengan pasukan Saladin, sehingga
terjadi pertempuran sengit. Namun, dengan pasukan Saladin memilih mundur dan
mengambil langkah untuk mempertahankan Mesir. Dalam keadaan demikian, pihak
Richard dan pihak Saladin sepakat untuk melakukan genjatan senjata dan membuat
perjanjian. Perjanjian ini disebut dengan Shulh al-Ramlah.
3. Periode Ketiga
Periode ketiga lebih dikenal dengan periode perang saudara kecil-kecilan atau
periode kehancuran didalam pasukan salib. Skala prioritas pasukan Salib pada
periode ini adalah menguasai Mesir. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, bahwa jika
Mesir dapat di kuasai, mereka dapat memperoleh keuntungan besar dalam
peperangan, sebab dari Mesir akan terbuka kesempatan untuk memasuki Laut Merah
dan mengembangkan perdagangan ke Hindia dan kepulauan Hindia sebelah Timur
(sekarang Indonesia)10.
Pada periode ini, peperangan disebabkan oleh ambisi politik untuk
memperoleh kekuasaan dari sesuatu yang bersifat materialisti daripada motivasi
agama. Dalam periode ini, muncul pahlawan wanita dari kalangan kaum muslimin
yang terkenal gagah berani yaitu Syajar Ad-Durr. Ia beerhasil menghancurkan
pasukan Raja Louis IX dari Perancis sekaligus menangkap raja tersebut. Pada tahun
1219 M, meleteus kembali peperangan, pada waktu itu tentara Kristen berada di
bawah kekuasaan Raja Jerman, Frederick II, mereka berusaha merebut Mesirterlebih
dahulu sebelum merebut ke wilayah Palestina, dengan harapan mereka mendapatkan
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi.

10
Ahmad Syalabi, Op.Cit., hlm 476
d. Dampak atau Pengaruh Perang Salib terhadap Peradaban Islam
1) Bertambahnya wilayah kerajaan Byzantium, sehingga sanggup mengerem
dan menghalang-halangi penyerangan Bani Saljuk ke Eropa. Seandainya
kerajaan Byzantium goyah, maka besar peluang Bani Saljuk manaklukan
sebagian Eropa.
2) Pasukan Salib dapat berkenalan dengan kebudayaan Islam yang sudah sangat
maju11 terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, sehingga orang Barat
berdatangan ke Timur untuk belajar dan menggali ilmu untuk kemudian
mereka sebar luaskan di Eropa.
3) Manusia mulai kritis terhadap berita-berita pembukaan negeri baru yang
dibawa oleh kaum Salib ke Eropa. Sebagai bukti keinsafan mereka itu ialah
perjalanan Marcopolo dalam mencari benua Amerika di abad ke-13 sebagai
langkah awal bagi perjalanan Colombus ke Amerika pada tahun 149212.
4) Kontak perdagangan antara Timur dan Barat semakin pesat. Mesir dan Syiria
sangat besar artinya bagi lintas perdagangan Barat. Kekayaan kerajaan dan
rakyat kian melimpah ruah. Keadaan seperti ini kian tahun bertambah pesat,
sehingga membuka jalan perdagangan sampai ke Tanjung Harapan dan lama
kelamaan perdagangan dan kemajuan Timur berpindah ke Barat13.
2. Serangan Mongol

Jatuhnya Baghdad sebagai pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah pada 10 Februari


1258 oleh bangsa Mongol membuat dunia Islam menjadi porak-poranda dan
mengakhiri kekhalifahan Islam yang sudah berkuasa 5 abad lamanya. Dengan
demikian, peninggalan-peninggalan khazanah keilmuan yang pada masa puncaknya
dijuluki sebagai (golden age) masa keemasan peradaban dunia dan Islam yang
diciptakan oleh dinasti Abbasiyah khususnya pada masa khalifah Harun Ar-Rasyid
(786-809 M) dan anaknya Al-Makmun (813-833 M) hilang seketika
11
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Cet II; Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 1998), hlm 228
12
Yahya harun, Op.Cit., hlm 35.
13
Ibid
dibumihanguskan oleh pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan.Dengan
dihancurkannya dinasti Abbasiyah oleh bangsa Mongol, kekuasaan Islam mencapai
titik-terendah dalam suatu peradaban, Baghdad yang pada masa jayanya sebagai
jantung dari peradaban dunia, menjadi kota yang mengalami kehancuran dari
berbagai arah14.

Sebelum Baghdad ditaklukan, keganasan bangsa Mongol sudah dirasakan oleh


wilayah-wilayah Islam lain yang ditaklukannya seperti daerah Turkistan pada tahun
1218, menaklukan Transoxania tahun 1219-1220 yang terdapat kota Bukhara di
Samarkand, Balkh dan kota-kota lain yang mempunyai peradaban Islam yang tinggi
di Asia Tengah tidak luput dari penghancuran. Satu-satunya wilayah Islam yang
terbebas dari kerusakan yang diakibatkan oleh tentara Mongol adalah daerah Mesir
dan berhasil menghalau serangannya adalah dinasti Mamluk di Mesir yang dipimpin
oleh Jenderal Baybars dan Qutuz. Ketika khalifah Al Mu’tasim bersama beberapa
orang pembesar negara dan tokoh-tokoh masyarakat keluar untuk menjumpai mereka
(pasukan Mongol), semuanya dipancung lehernya, termasuk Al-Mu’tasim sendiri
yang setelah dibunuh lalu diseret-seret dengan kuda. Pasukan Mongol kemudian
membludak memasuki Baghdad lewat semua arah. Tiga puluh empat hari lamanya
pedang mereka merajalela, hanya sedikit saja penduduk yang selamat. Kaum
muslimin yang gugur akibat keganasan pasukan Mongol jumlahnya lebih dari satu
juta delapan ratus ribu orang. Setelah itu pasukan Mongol menyerukan perdamaian.
Peristiwa tersebut menjadikan dunia Islam hancur berkeping-keping seperti ombak
besar yang menyapu bersih daratan.

Mayoritas bangsa Mongol memeluk Islam menjadikan agama ini menjadi


agama yang mampu menghadapi terpaan badai yang menghadangnya. Dalam kasus
ini fakta yang terjadi pada bangsa Mongol dalam pandangan ilmu sejarah, kajian ini
dikategorikan sebagai sejarah yang bersifat deskriptif-analitis. Kajian sejarah
deskriptif-analitis membutuhkan suatu approach sebagai media dalam membantu

14
Sujati Budi dan Astuti,Nila Yuli, Politik Penguasaan Bangsa Mongol terhadap Negeri-Negeri Muslim pada
Masa Dinasti Ilkhan(1260-1343), hlm 47
menganalisa. Pemahaman sejarah sendiri akan sangat bergantung pada approach atau
pendekatan yang digunakan dalam kajian tersebut.

a. Asal-Usul Bangsa Mongol


Bangsa Mongol adalah merupakan salah satu bagian dari bangsa-bangsa
besar dalam sejarah perjalanan dunia yang mampu mengubah tataran keadaan
ekonomi, politik, sosial dan budaya suatu bangsa15. Dalam rentang waktu yang
sangat panjang, kehidupan bangsa Mongol tetap sederhana. Mereka mendirikan
kemah-kemah dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menggembala
kambing dan hidup dari hasil buruan. Mereka juga hidup dari perdagangan
tradisional, yaitu mempertukarkan kulit binatang dengan binatang yang lain, baik
diantara esame mereka maupun dengan bangsa Turki dan China yang menjadi
tetangga mereka. Sebagaimana umumnya bangsa nomad, orang-orang Mongol
mempunyai watak yang kasar, suka berperang, berani menghadang maut demi
mencapai keinginannya. Akan tetapi, mereka sangat patuh kepada pemimpinnya.
Sistem keagamaan bangsa Mongol yang tetap mengakui adanya yang maha
kuasa akan tetapi mereka tidak beribadah kepadanya, melainkan menyembah
kepada arwah, terutama roh jahat. Mereka menganggap roh jahat dapat
mendatangkan malapetaka dan bencana, dengan memberikan berbagai sesajen
persembahan dan memuliakan roh arwah nenek moyangnya akan menjadikan
kehidupan mereka lebih baik serta terhindar dari malapetaka. Selain menyembah
kepada para bintang dan sujud kepada matahari serta roh, masyarakat bangsa
Mongol sangat memuliakan arwah nenek moyang yang dianggap masih berkuasa
mengatur hidup keturunannya.
Kemajuan bangsa Mongol secara besar-besaran terjadi pada masa
kepemimpinan Yesugay (Yasugi Bahadur Khan). Ia berhasil menyatukan tiga belas
kelompok suku yang ada pada waktu itu. Setelah Yasugi meninggal, putranya
Temujin atau Chinggis yang masih berusia tiga belas tahun tampil sebagai

15
Sujati Budi dan Astuti,Nila Yuli, Politik Penguasaan Bangsa Mongol terhadap Negeri-Negeri Muslim pada
Masa Dinasti Ilkhan(1260-1343), hlm 50
pemimpin. Dalam rentang waktu tiga puluh tahun, ia berusaha memperkuat
angkatan perangnya dengan menyatukan bangsa Mongol dengan suku bangsa lain,
sehingga menjadi satu pasukan yang utuh, teratur dan tangguh. Pada tahun 1206 M,
ia mendapat gelar Jengis Khan, raja yang Perkasa. Jengis Khan juga mengatur
kehidupan beragama dengan tidak boleh merugikan antara satu pemeluk agama
dengan yang lainnya. Mereka mempercayai super kekuatan, yakni satu tahun
meskipun mereka tidak menyembahnya.
Dalam hal militer, wanita mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki
dalam kemiliteran. Pasukan perang dibagi kedalam beberapa kelompok besar kecil,
seribu, dua ratus, dan sepuluh orang. Tiap-tiap kelompok dipimpin oleh seorang
komandan. Dengan demikian bangsa Mongol mengalami kemajuan pesat di bidang
militer yang mampu mengungguli kekuatan militer bangsa lain dengan rapih
terorganisir16.
Dengan wilayah kekuasaan Jengis Khan yang amat luas itu sesuai dengan
adat istiadat kekuasaan bangsa Mongol maka kekuasaannya harus diserahkan
kepada para keturunannya. Oleh karenanya dibagilah tiap-tiap wilayah tersebut
untuk ke empat orang putranya sebelum ia meninggal dunia pada tahun 1227
dengan suksesi pembagian yang dianggap berhasil karena tiap anak-anaknya
mendapatkan daerah taklukan Jengis Khan tanpa menghasilkan pertumpahan darah
setetes pun.
Pertama ialah Jochi, anak yang sulung mendapat wilayah Siberia bagian
Barat dan Stepa Qipchaq yang membentang hingga ke Rusia Selatan, di dalamnya
terdapat Khawarizm. Namun ia meninggal dunia sebelum wafat ayahnya dan
wilayah warisan itu diberikan kepada anak Jochi yang bernama Batu dan Orda. Batu
mendirikan Horde (kelompok Biru) di Rusia Selatan sebagai pilar dasar
berkembangnya Horde Keemasan (Golden Horde).
Kedua adalah Chagatay, mendapat wilayah yang membentang ke Timur,
sejak Transoxiana hingga ke Turkistan Timur atau Turkistan China. Cabang-cabang
dari keturunan Chagatay yang bermukim di Transoxiana segera masuk ke dalam

16
Badri Yatim, Op.Cit., hlm. 112.
lingkungan pengaruh Islam, namun pada akhirnya dikalahkan oleh kekuasaan Timur
Lenk (Dinasti Timuriyah).
Ketiga bernama Ogedey, adalah putra Jengis Khan yang terpilih oleh dewan
pemimpin Mongol untuk menggantikan ayahnya sebagai Khan Agung yang
mempunyai wilayah di Pamirs dan T’ien Syan. Tetapi dua generasi kekhanan
tertinggi jatuh ke tangan keturunan Toluy.
Keempat ialah Toluy, si bungsu mendapat bagian wilayah Mongolia sendiri.
Anak-anaknya yakni Mongke dan Qubilay Khan menggantikan Ogedey sebagai
Khan Agung. Mongke bertahan di Mongolia yang beribukota di Qaraqarum.
b. Dampak Penguasaan Bangsa Mongol terhadap Negeri-negeri Muslim
Kehancuran tampak jelas dimana-mana dari serangan Mongol sejak wilayah
Timur hingga ke wilayah Barat. Kehancuran kota-kota dengan bangunan-bangunan
yang inda-indah dan perpustakaan-perpustakaan yang mengoleksi banyak buku
memperburuk situasi umat Islam. Pembunuhan terhadap umat Islam terjadi, bukan
masa Hulagu Khan saja yang membunuh khalifah Abbasiyah dan keluarganya,
tetapi pembunuhan dilakukan juga terhadap umat Islam yang tidak berdosa.
Bangsa Mongol yang asal mulanya memeluk agama nenek moyang mereka,
lalu beralih memeluk agama Budha rupanya bersimpati kepada orang-orang Kristen
yang bangkit kembali pada masa itu dan menghalang-halangi dakwah Islam di
kalangan Mongol. Yang lebih fatal lagi ialah hancurnya pusat Baghdad pusat
sebagai dinasti Abbasiyah yang di dalamnya terdapat berbagai macam tempat
belajar dengan fasilitas perpustakaan, hilang lenyap di bakar oleh Hulagu Khan.
Adapula dampak positif dengan berkuasanya dinasti Ilkhaniyah sebagai
pengganti kekuasaan bangsa Mongol ini setelah para pemimpinnya memeluk Islam.
Disebabkan karena mereka berasimilasi dan bergaul dengan masyarakat Muslim
dalam jangka panjang, seperti yang dilakukan oleh Ghazan Khan (1295-1304) yang
menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaannya, walaupun pada awalnya ia
beragama Budha. Rupanya ia telah mempelajari ajaran agama-agama sebelum
menetapkan keislamannya, dan yang lebih mendorongnya masuk Islam ialah karena
pengaruh seorang menterinya, Rasyidudin yang terpelajar dan ahli sejarah yang
terkemuka yang selalu berdialog dengannya, dan Nawruz, seorang gubernurnya
untuk beberapa provinsi Suriah. Ia menyuruh kaum Kristen dan Yahudi untuk
membayar Jizyah, dan memerintahkan untuk mencetak uang yang bercirikan Islam,
melarang riba, dan menyuruh para pemimpinnya menggunakan sorban.
Sepeninggal Ghazan Khan digantikanlah oleh Uljatu Khuda Banda (1305-
1316) yang memberlakukan aliran Syiah sebagai hukum resmi kerajaannya. Ia
mendirikan ibukota baru yang bernama Sultaniyah dekat Qazwain yang dibangun
dengan arsitektur khas Ilkhaniyah. Banyak koloni dagang Italia terdapat di Tabriz,
dan dinasti Ilkhaniyah menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan antara
dunia Barat dan India serta Timur Jauh. Namun perselisihan dalam keluarga dinasti
Ilkhaniyah menyebabkan runtuhnya kekuasaan mereka17.
Dengan serangan bangsa Mongol ke pusat kekuasaan Islam pada dinasti
Abbasiyah mengakibatkan umat Islam mengalami kehancuran peradaban
total,karena bangunan-bangunan megah, perpustakaan-perpustakaan yang
menyimpan buku-buku berharga, sekolah-sekolah, dihancurkan. Tak lupa para ahli
agama, para sarjana, dan warga tak berdosa juga tidak luput dari pembunuhan
bangsa Mongol yang mengakibatkan dunia Islam mengawali kekosongan kekuasaan
untuk pertama kalinya dalam sejarah. Dengan kekosongan kekuasaan tersebut,
maka bangsa Mongol mengambil alih kekuasaan Islam dengan Hulagu Khan
sebagai pemimpinnya dengan mendirikan dinasti Ilkhaniyah.

17
Ibid., hlm. 134
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Perang Salib merupakan sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat
serta Eropa yang terjadi antara abad ke-11 hingga abad ke-17 yang disokong dan
diarahkan oleh gereja katolik. Perang salib ini berbeda dengan konflik-konflik
keagamaan lainnya karena orang-orang yang ikut serta dalam perang ini meyakini
bahwa perjuangan mereka ialan sebagai laku silih untuk memperoleh ampunan dari
dosa-dosa yang telah dilakukan.
Bangsa Mongol adalah merupakan salah satu bagian dari bangsa-bangsa besar
dalam sejarah perjalanan dunia yang mampu mengubah tataran keadaan ekonomi,
politik, sosial dan budaya suatu bangsa. Keganasan bangsa Mongol sudah dirasakan
oleh wilayah-wilayah Islam seperti daerah Turkistan pada tahun 1218, menaklukan
Transoxania tahun 1219-1220 yang terdapat kota Bukhara di Samarkand, Balkh dan
kota-kota lain yang mempunyai peradaban Islam yang tinggi di Asia Tengah tidak
luput dari penghancuran.
Baik peristiwa perang salib maupun serangan mongol merupakan peristiwa
yang kelam bagi sejarah. Hal tersebut karena kedua peristiwa yang memakan banyak
korban jiwa serta menyebabkan hancurnya tempat-tempat seperti sekolah,
perpustakaan dan sebagainya.
Daftar Pustaka

Dr.H.Anwar Sewang,MA, Sejarah Peradaban Islam

Philip K. Hitti, The Arab a Short History, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P.
Sihombing, Dunia Arab: Sejarah Ringkas, (Cet VII; Bandung Sumur Bandung, t.th)
Ibid, Said Abdul Fattah Asyur, Al-Harakah Ash Shalihiyah, diterjemahkan oleh Muhammad
Marhrus Muslim, Kronologi Perang Salib, Cet I, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1993)
Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993)
Sujati Budi dan Astuti,Nila Yuli, Politik Penguasaan Bangsa Mongol terhadap Negeri-
Negeri Muslim pada Masa Dinasti Ilkhan(1260-1343)
Syukur Syamzan, Perang Salib dalam Bingkai Sejarah, Jurnal Al-Ulum, Vol.11 No.1
Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruhnya di Eropa, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987)
Hasan Ibrahim Hasan, Tarîkh Al-Islâm, Juz IV, (Kairo: Maktabah AlNahdah Al-Misriyah,
1967), hlm 248. Ahmad Syalabi, Op.Cit
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Cet II;
Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)
Sujati Budi dan Astuti,Nila Yuli, Politik Penguasaan Bangsa Mongol terhadap Negeri-
Negeri Muslim pada Masa Dinasti Ilkhan(1260-1343)

Anda mungkin juga menyukai