Anda di halaman 1dari 13

KONTRIBUSI ISLAM DALAM PENGEMBANGAN PERADABAN DUNIA

A. Menelusuri Pertumbuhan dan Perkembangan Peradaban Islam

Tidak diragukan lagi, berbicara tentang peran Islam dalam membangun


peradaban dunia pasti akan melibatkan diskusi tentang sejarah budaya Islam.
Pengkaji sejarah Islam biasanya menggambarkan evolusi dan perkembangan
peradaban Islam dari zaman Yunani dan Islam hingga zaman Barat. Dimensi
peradaban berbeda satu sama lain pada masing-masing periode perkembangan.
Sebagai Muslim, kita pasti ingin mengetahui bagaimana peradaban Islam
berkembang dan bagaimana Islam berdampak pada peradaban dunia.

Sejarah peradaban dunia telah dipengaruhi oleh perkembangan agama


Islam selama empat belas abad. Beberapa bukti kemajuan tersebut termasuk:

1. Kehadiran perpustakaan dan lembaga keilmuan Islam seperti Baitul


Hikmah, Masjid Al-Azhar, dan Masjid Qarawiyyin.
2. Kehadiran karya sarjana muslim seperti Ibnu Sina, Ibn Haytam, Imam
Syafii, Ar-Razi, Al-Kindy, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan lainnya.
3. Penemuan-penemuan intelektual yang berpotensi mengubah budaya dan
tradisi manusia, seperti penemuan kertas, karpet, kalender Islam,
penggunaan hari-hari, seni arsitektur dan tata kota
4. Pengarus utama nilai-nilai kebudayaan asasi sebagai manifestasi dari
konsep Islam, iman, ihsan, dan taqwa.

Harun Nasution membagi sejarah Islam menjadi tiga periode: periode


klasik (650–1250 M), periode pertengahan (1250–1800 M), dan periode modern
(1800–2000 M). Dalam setiap periode, ada dimensi unik yang muncul dalam
setiap perkembangannya. Dua fase periode klasik adalah masa kemajuan Islam I
(650–1000 M) dan masa disintegrasi (1000–1250 M). Saat-saat ini dapat dianggap
sebagai awal era keemasan Islam.
Menurut agama Islam, seseorang hanya boleh menyembah Tuhan Yang
Maha Esa. Konsep tauhid Islam inilah yang mengawali integrasi umat manusia.
Misi Rasulullah saw. ialah membawa kedamaian, persatuan, dan kasih sayang
sesama manusia; ini sangat berbeda dengan budaya dan kebiasaan Arab Jāhiliyah
yang selalu mengutamakan kepentingan kelompok tertentu.

Para sahabat mengembangkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad


saw. Kemajuan Islam I (bagian dari periode klasik) ditandai oleh kisah empat
sahabat Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai Khulafā'ur Rāsyidīn dalam kajian
Islam. Pada saat ini, Islam mulai menyebar di luar Semenanjung Arab. Beberapa
penaklukan dilakukan terhadap Damaskus, Mesir, Irak, Palestina, Syiria, dan
Persia.

Dinasti Umayyah (661-750 M) mengambil alih. Syiria, Palestina, Afrika


Utara, Irak, Semenanjung Arabia, Persia, Afghanistan, dan Asia Tengah
(Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan) adalah negara Islam saat ini.

Selain itu, saat ini juga ditandai dengan perkembangan kebudayaan Arab.
Setelah Khalifah Abdul Malik memutuskan untuk mengubah bahasa administrasi
dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab, perhatian masyarakat
pada bahasa tersebut meningkat. Peralihan kekuasaan dari Dinasti Bani Umayyah
ke Dinasti Bani Abbasiyah mendorong kemajuan peradaban Islam. Dengan
berkembangnya sektor pertanian dan pertambangan pada masa ini, ekonomi
negara mulai berkembang.

Ilmu pengetahuan mulai menjadi lebih penting di masa Bani Abbasiyah,


terutama di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid (785–809 M) dan Al-Ma’mun
(813–833 M). Penerjemahan buku Yunani dan Bizantium ke dalam bahasa Arab
menunjukkan perhatian ilmu pengetahuan ini. Bait al-Hikmah didirikan oleh
Khalifah Al-Ma'mun untuk membantu menerjemahkan buku-buku ini. Bait al-
Hikmah mengutamakan cabang-cabang ilmu seperti kedokteran, fisika, geografi,
astronomi, optik, sejarah, dan filsafat.
Pada era Islam, beberapa disiplin ilmu terintegrasi. Karya-karya ArRazi
dalam ilmu kedokteran dikenal dengan nama Rhazes di Eropa, dan karya-
karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk digunakan di sana. Ibnu
Sina, seorang filsuf dan dokter, juga terkenal seperti Ar-Razi. Ia menulis kanon
kedokteran, Al-Qānūn fī AthThibb. Sampai pertengahan kedua abad XVII, buku
ini masih digunakan di Eropa. Selain itu, integrasi terjadi dalam bahasa,
kebudayaan, astronomi, optik, ilmu kimia, geografi, dan filsafat.

Yang menarik adalah bahwa pada periode ini pula ilmu keagamaan Islam
mulai disusun. Imam Bukhari dan Muslim adalah nama-nama terkenal dalam
bidang penulisan hadis. Imam-imam seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'i,
dan Ahmad bin Hanbal sangat terkenal dalam bidang fikih. Imam Ath-Thabari
terkenal karena tafsirnya, dan Ibnu Hisyam terkenal karena sejarahnya. Washil bin
Atha', Ibnu Huzail Al-Allaf, dan orang lain dari golongan Muktazilah
berkontribusi pada perumusan konsep teologi. Dalam hal Ahlu Sunnah, Abu
Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi terkenal. Ada nama-nama seperti Husain bin
Mansur Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami dalam tasawuf. Pada periode ini,
peradaban Islam mencapai puncaknya.

Setelah itu, Islam mengalami kerusakan politik dan perpecahan di


kalangan umat, yang mengakibatkan pengunduran dirinya dari peradaban dunia.
Selain upaya untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat para
ahli dan filsuf Islam ke dalam bahasa Eropa pada abad ke-12 M, berakhirnya fase
kemajuan Islam I (650–1000 M). Masa disintegarsi (1000–1250 M) menandai
berakhirnya fase kemajuan Islam I. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan independen
berusaha memisahkan diri dari khalifah. keretakan politik tersebut yang memicu
konflik di kalangan masyarakat Islam.

Periode pertengahan (1250–1800 M) juga ada. Pada zaman ini, peradaban


Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan selain memperluas
kekuasaan Islam ke beberapa wilayah, seperti Mesir, India, Persia, dan Turki.
Penaklukkan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih (1451-1481 M)
dari Kerajaan Bizantium pada tahun 1453 M adalah peristiwa sejarah yang paling
terkenal dan paling dikenal orang pada zaman ini.
Saat itu, ada tiga kerajaan besar: Kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan
Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Kerajaan-kerajaan ini tidak
memberikan kontribusi yang signifikan kepada peradaban Islam. Pada masa tiga
kerajaan besar ini, peperangan demi peperangan bahkan sering terjadi untuk
menguasai wilayah. Dibandingkan dengan periode Bani Abbasiyah, kerusakan
politik saat ini semakin parah. Ini menandai akhir perkembangan peradaban Islam.

Di Barat, kesadaran untuk memprioritaskan ilmu pengetahuan meningkat


saat Islam sibuk menanggapi konstelasi politik yang kompleks itu. Oleh karena
itu, umat Islam tidak hanya menerima kegemilangan dunia Barat, tetapi mereka
juga mengubah orientasi pengetahuan mereka, beralih dari peradaban Yunani ke
peradaban Barat. Periode modern (1800 M–Sekarang) adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan periode ini.

Saat ini juga dikenal sebagai kebangkitan dunia Islam. Untuk


mengembalikan kejayaan Islam, beberapa tokoh Islam melakukan pembaharuan
atau modernisasi Islam. Tokoh pembaru yang terkenal di Mesir termasuk
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin Al-Afghani. Muhammad
Iqbal, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan Sayyid Amir Ali adalah contoh pemulihan di
India. K.H Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy'ari dari
Nahdhatul Ulama memperkenalkan ide pembaruan ke Indonesia.

B. Menanyakan Faktor Penyebab Kemajuan dan Kemunduran


Peradaban Islam

Masa kejayaan Bani Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Al-
Rasyid dan anaknya Al-Ma’mun. Pada masanya ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum berkembang pesat. Perkembangan ilmu agama meliputi,
pembukuan sejumlah bidang agama, yaitu fikih, tafsir, hadis, kalam, dan tasawuf.
Adapun bidang ilmu pengetahuan umum meliputi filsafat, ilmu kedokteran, ilmu
astronomi, farmasi, geografi, sejarah, dan bahasa. Kemajuan ini disebabkan pada
orientasi peradaban yang diarahkan pada kemajuan ilmu pengetahuan, dan bukan
pada ekspansi perluasan wilayah.
Dua faktor menentukan kemajuan Islam di masa Bani Abbasiyah:
asimilasi bangsa Arab dengan bangsa lain yang mengalami perkembangan ilmu
pengetahuan dan gerakan penerjamahan karya kebudayaan Yunani ke dalam
bahasa Arab. Islam menjadi lebih maju dan lebih unggul dalam hal peradaban
ketika ia terbuka untuk peradaban lain.

Ketika kerajaan Bani Abbasiyah runtuh, kejayaan Islam mulai memudar.


Periode pertengahan Dinasti Abbasiyah (1000–1800 M) menandai penurunan
peran Islam dalam kemajuan peradaban. Hal ini disebabkan fakta bahwa umat
Islam secara eksklusif terlibat dalam perang untuk mempertahankan kekuasaan
dan merebutnya. Penyerahan Konstatinopel kepada Kerajaan Turki Utsmani oleh
Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M adalah prestasi dalam hal
ekspansi wilayah. Namun, ini hanya merupakan keberhasilan Islam dalam hal
perluasan wilayah kekuasaan, bukan perkembangan ilmu pengetahuan.

Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa Abdurrahman Ad-Dakhil, yang


melarikan diri ke Spanyol dari serbuan Bani Abbasiyah, mendirikan Dinasti
Umayyah di Spanyol. Selama periode ini, umat Islam di Spanyol melihat
kemajuan dalam bidang intelektual, kebudayaan, politik, agama, dan bidang
lainnya. Selama periode ini, orang-orang seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan
Ibnu Batuthah muncul.

C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Filosofis dan Teologis


Kontribusi Islam bagi Peradaban Dunia
1. Menggali Sumber Historis

Banyak peradaban hancur bukan karena konflik dengan kekuatan luar.


Karena peradaban tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai spiritualitas
yang teguh, mereka hancur. Karena kekuatan spiritualitasnya, peradaban
Islam saat itu tumbuh dan tersebar dengan cepat, membedakannya dari
peradaban lain. Dengan semangat spiritual yang tinggi, umat Islam bekerja
keras untuk membangun peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama.
Akibatnya, aspek spiritual sangat penting untuk mempertahankan
peradaban Islam.

Fokus pada spiritualitas pada masa Bani Umayyah telah mendorong


pengharagaan terhadap pluralitas, sehingga berbagai macam ide tumbuh
dan berkembang dalam rangka kedaulatan Islam yang memungkinkan
setiap golongan memiliki tempat. Amroeni Drajat menunjukkan bahwa,
menurut Margaret Smith dalam Studies in Early Mysticism in the Near
and Middle East, di daerah Syria, misalnya, ada aliran Helenistik. Di sisi
lain, aliran Sabean berkembang di Alexandria, Beirut, Jundisyapur,
Nissibis, Harran, dan Antioch. Ada bukti yang menunjukkan bahwa orang-
orang yang tidak beragama Islam diizinkan untuk bereksperimen dengan
ide-ide intelektual dan mengejar karir dalam berbagai bidang.

Pemerintahan Islam secara keseluruhan, khalifah Bani Umayyah,


seperti Abu Hasyim Khalid ibn Yazid, memulai penerjemahan karya
Yunani di Syria. Selain itu, pada masa Bani Abbasiyah, kegiatan
intelektual sangat diminati, yang menyebabkan proses tranformasi
intelektual berjalan cepat. Pada tahun 830 M, Khalifah Al-Ma'mun
mendirikan Bait alHikmah, sebuah pusat penerjemahan dan penelitian di
Baghdad. Banyak penerjemah handal dan ahli menerjemahkan, dan
banyak dari mereka bukan Muslim, seperti Tsabit ibn Qurrah Al-Harrani,
yang berasal dari Sabean di Harran. Margaret Smith menyatakan bahwa
perbedaan kepercayaan (agama) tidak menghalangi mereka untuk bekerja
sama, karena para penguasa Islam lebih mengutamakan profesionalisme
dan memiliki visi yang maju.

Rasyid; sarjana yang memiliki prestasi besar seperti Ar-Razi , dokter


klinis terbesar di dunia Islam dan Barat yang mendapat julukan «Galennya
Arab»; filsuf muslim pertama yang menguasai filsafat Yunani, Al-Kindi
dan masih banyak lagi tokoh Islam yang memiliki prestasi gemilang dari
pelbagai bidang ilmu. Jadi, kita sebagai umat Islam yang bergerak di dunia
modern saat ini harus tidak memandang sejarah peradaban yang pernah
dicapai pada masa lalu sebagai prestasi yang selalu diagung-agungkan.
2. Menggali Sumber Sosiologis

Secara kultural agama Islam yang lahir di luar hegemoni dua dinasti
yang berkuasa yakni Romawi dan Persia menjadikan umat Islam memiliki
sikap terbuka sehinggga sikap mereka positif terhadap pelbagai budaya
bangsa-bangsa lain itu. Sebelum peradaban Islam, ilmu pengetahuan
memang telah ada, namun sifat dan semangatnya sangat nasionalistis dan
parokialistis, dengan ketertutupan masing-masing bangsa dari pengaruh
luar karena merasa paling benar. Bertrand Russel, misalnya, cenderung
meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filsafat, namun
tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang
matematika dan ilmu kimia.

Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan masih berkembang.


Buku-buku filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh filsuf Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi memberikan kontribusi
yang berbeda kepada peradaban Yunani. Ada dua pendapat mengenai
kontribusi ini. Hoesin dengan tegas menolak pendapat pertama. Hoesin
menyatakan bahwa, bersama dengan eksekusi mati terhadap Boethius,
yang dianggap menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara, salinan
buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah
dihapus oleh pemerintah Romawi.

Sebagaimana diketahui, Socrates (469–399 SM) adalah orang pertama


yang belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau
sophists (500–400 SM). Kemudian, Plato (457–427 SM) mengikutinya.
Kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles (384–322 SM). Hingga
Al-Kindi muncul pada tahun 801 M, tidak ada lagi generasi setelah
Aristoteles. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat Plato dan
Aristoteles. Pada zaman Abbasiyah, Raja Al-Ma'mun dan Raja Harun Al-
Rasyid meminta Al-Kindi menyalin karya Plato dan Aristoteles ke dalam
bahasa Arab. Haeruddin, tahun 2008.
3. Menelusuri Sumber Filosofis dan Teologis

Umat Islam pada masa lalu telah bersungguh-sungguh menjalani


“mission sacred”. Mereka sebagai umat penengah (wasath) dan saksi atas-
manusia serta saksi untuk Allah, yang adil, fair, objektif, dan ḫanīf (penuh
kerinduan dan pemihakan kepada yang benar).

Semangat ajaran Islam, yang meminta orang-orangnya untuk belajar


tentang semua hal, seperti yang digariskan dalam Al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad, mendorong para filsuf dan ilmuwan Islam untuk menemukan
lebih banyak pengetahuan. Ini menjadi dasar teologis untuk penelitian
yang lebih sistematis tentang sumber-sumber ajaran agama dan
penghargaan yang lebih baik, sambil tetap kritis terhadap warisan kultural
umat, dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang tuntutan
zaman yang semakin berkembang cepat. Secara filosofis, semangat Islam
untuk membangun peradaban diterjemahkan oleh Nabi Muhammad ke
dalam masyarakat sipil sebagai "Masyarakat Madani" atau "Masyarakat
Medinah" selama masa hidupnya. Selama hidupnya, rasul terus
membangun kerjasama dengan masyarakat Medinah yang luas dan
berhasil membentuk "platform umum" atau kalimatun sawā.

Umat Islam sering menghadapi hambatan sendiri saat membangun


peradaban. Hambatan pertama berasal dari sikap anti-Barat yang
disebabkan oleh pengalaman sejarah, baik lama maupun baru. Yang kedua
adalah perselisihan yang terjadi antara kaum filsuf dan kaum tasawuf
mengenai alat yang digunakan untuk mencari kebenaran yang terus
berlanjut hingga saat ini. Jika kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan
telah memberikan akal dan hati/hati manusia, konflik tidak akan terjadi.
Seseorang mungkin memiliki kedua potensi itu dalam jumlah yang sama,
tetapi ada kemungkinan bahwa salah satu potensi lebih berkembang
daripada yang lainnya.
Ada individu yang mengembangkan potensi akalnya. Ia senang
menggunakan akalnya itu untuk memecahkan masalah. Orang ini sangat
berbakat untuk menjadi pemikir atau filsuf karena mereka lebih suka
melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam mencari kebenaran yang
sebenarnya. Selain itu, ada individu yang berkembang dengan potensi jiwa
atau hati mereka. Untuk memecahkan masalah, dia sangat suka
menyelidiki perasaannya. Orang ini sangat berbakat menjadi seniman atau
ahli tasawuf, dan dia sangat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio
untuk menemukan kebenaran sejati.

A. Membangun Argumen tentanf Kontribusi Islam Bagi Peradaban


Dunia

Salah satu kata kunci yang memungkinkan Islam berkontribusi pada


peradaban dunia adalah optimalisasi potensi akal. Tuhan telah memberikan akal
manusia dan hati atau kalbu. Seseorang mungkin memiliki kedua potensi itu
dalam jumlah yang sama, tetapi ada kemungkinan bahwa salah satu potensi lebih
berkembang dari pada yang lainnya.

Orang yang potensi akalnya sangat berkembang senang menggunakan


kemampuan itu untuk memecahkan masalah. Orang-orang seperti ini sangat
berbakat menjadi pemikir atau filosof, dan mereka lebih suka melakukan olah
rasio daripada olah rasa dalam mencari kebenaran sejati. Di sisi lain, mereka yang
potensi hati atau kalbunya sangat berkembang, sangat senang mengeksplorasi
perasaan mereka untuk memecahkan masalah. Orang-orang seperti ini sangat
berbakat untuk menjadi seniman atau ahli tasawuf dan sangat suka melakukan
olah rasa daripada olah rasio untuk menemukan kebenaran sejati.

Jika kita menekankan pada sebab normatif, kita akan sampai pada
kesimpulan bahwa ajaran profetik Islam Muhammadlah yang menginspirasi
kemampuan komunitas Islam klasik pada masa itu. Namun, kesimpulan ini akan
tidak masuk akal jika kita tidak memeriksa sebab-sebab historisnya. Namun
demikian, komunitas Islam klasik pada masa itu hanyalah salah satu dari banyak
pihak yang bekerja sama untuk membangun peradaban yang maju. Di sisi lain,
kita harus mengakui bahwa ilham-ilham dari sumber-sumber ilmu di luar
komunitas Islam juga muncul.

Perjalanan komunitas pengikut Muhammad dalam membantu kemajuan


peradaban dunia tampaknya lancar dan tanpa hambatan. Tidak diragukan lagi,
perselisihan akan selalu terjadi dalam sejarah. Sampai saat ini, sulit untuk
mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pandangan dalam Islam karena pasca-
wafatnya Nabi Muhammad mulai terjadi perselisihan akademik-ideologis.

Seperti yang dikatakan oleh peraih Nobel fisika Pakistan Abdus Salam,
"tidak diragukan lagi bahwa dari seluruh peradaban di planet ini, sains menempati
posisi yang paling lemah di dunia Islam." Kelemahan ini sangat berbahaya, karena
keberlangsungan masyarakat abad ini sangat bergantung pada penguasaan sains
dan teknologi (Hoodbhoy: 1996). Ini adalah ungkapan yang kiranya cukup
simbolis untuk mengingatkan betapa situasi sains kita saat ini sangat
memprihatinkan.

Sebagaimana dinyatakan oleh Abdus Salam dalam Hoodbhoy (1996),


"Ortodoksi agama dan semangat intoleransi merupakan dua faktor utama yang
bertanggung jawab atas musnahnya lembaga ilmu pengetahuan yang pernah jaya
dalam Islam." Sains hanya dapat bertahan jika ada praktisi yang memadai yang
dapat bekerja dengan tenang, didukung oleh infrasruktur eksperimental dan
pustaka yang lengkap, dan dapat saling memberi kritik secara terbuka setiap
bidang. Ironisnya, keadaan ini tidak ada dalam masyarakat Islam modern.

Kita harus menyadari bahwa pelepasan belenggu gereja merupakan salah


satu faktor yang menyelamatkan Eropa dan Barat dari kegemilangan sains. Para
ilmuwan dan pemikir bebas dulu menganggap ortodoksi agama, yang diwakili
oleh gereja Katolik, begitu menakutkan dan mencekam. Ini disebabkan oleh upaya
gereja untuk mendominasi perdebatan yang berkembang, termasuk perdebatan
tentang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tidak mengherankan bahwa
Copernicus dan Galileo Galilei harus bersedia menjadi martir (syahid) di hadapan
gereja karena pendapat dan tesis ilmiah mereka dianggap melanggar fatwa gereja.
Sebaliknya, kita akan sangat terkejut jika "ketertinggalan" yang dulu
menimpa Eropa terjadi pada kita. Sangat menyedihkan bahwa Islam sebagai
komunitas tidak memiliki kelembagaan gereja atau kependetaan, yang berarti
bahwa hanya mereka (gereja dan pendeta) yang memiliki kebenaran mutlak.
Menurut Hoodbhoy (1996), Abdus Salam menyatakan, "Islam tidak memiliki
gereja dan tidak memiliki penguasa agama tirani sebagai pusat agama resmi."
Secara paradoks, hak setiap orang untuk menafsirkan doktrin tanpa bantuan
pendeta tampaknya telah menyebabkan kelemahan sistemik dalam organisasi.
Dalam jangka panjang, kelemahan ini akan berbahaya bagi kekuasaan politik dan
ekonomi Islam, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selanjutnya, Abdus Salam berkata, "Menurut saya, ini terjadi karena


adanya pengucilan." Seringkali, keputusan pengucilan hanya dibuat oleh
sekelompok kecil orang. Meskipun keputusan ini terjadi dalam Islam Suni, tidak
ada lembaga imāmah yang terstruktur. Menurut Abul-Kalam Azad, ketika dia
menceritakan kesyahidan Sarmad, "Dengan demikian, tidak adanya lembaga
kependataan dalam Islam Suni tidak banyak menolong, karena ulama cenderung
menggunakan senjata pengucilan dan memaksa para pemimpin dan masyarakat
umum untuk mengikuti mereka."
KESIMPULAN

Kesimpulan 1
Banyak aspek peradaban dunia dibangun oleh Islam. Peradaban Islam
memberikan kontribusi besar dalam bidang matematika, astronomi, kedokteran,
arsitektur, seni, dan filsafat. Ini termasuk pengembangan sistem angka Arab, ilmu
pengetahuan Moorish di Aljazair, Irak, dan Spanyol, serta perlindungan dan
penyebaran karya klasik Yunani dan Romawi. Bagian penting dari kontribusi
Islam terhadap peradaban dunia adalah kesadaran akan keberagaman budaya,
keilmuan, dan keahlian yang terus berkembang.

Kesimpulan 2
Secara keseluruhan, kontribusi Islam terhadap pengembangan peradaban
dunia sangat signifikan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, matematika, dan
astronomi, pemikir Muslim seperti Al-Kindi, Al-Khwarizmi, dan Ibn al-Haytham
memberikan kontribusi besar dengan meletakkan dasar-dasar pengetahuan
modern. Sistem numerik Arab dan konsep nol dari dunia Islam menjadi tulang
punggung matematika kontemporer.Dalam kedokteran, karya Ibnu Sina
(Avicenna) dalam "Canon of Medicine" menjadi panduan standar untuk praktik
medis di Eropa selama berabad-abad. Selain itu, peradaban Islam memainkan
peran penting dalam melestarikan karya-karya klasik Yunani dan Romawi melalui
proses penerjemahan, yang pada gilirannya mempertahankan dan
mengembangkan warisan ilmu pengetahuan. Seni dan arsitektur Islam
mencerminkan keindahan dan kompleksitas melalui masjid-masjid megah, istana,
dan karya seni kaligrafi. Kejayaan ini menciptakan gaya arsitektur yang unik dan
menjadi inspirasi bagi peradaban lainnya. Pentingnya pendidikan dalam Islam
juga tercermin dalam pendirian madrasah, pusat pembelajaran yang memberikan
kontribusi pada perkembangan sistem pendidikan. Sistem pendidikan ini
mempromosikan penelitian, pengajaran ilmu pengetahuan, dan penyebaran
pengetahuan. Dengan demikian, kontribusi Islam dalam pengembangan peradaban
dunia tidak hanya mencakup aspek ilmiah dan teknis, tetapi juga mencakup nilai-
nilai pendidikan, seni, dan budaya, yang bersama-sama membentuk fondasi bagi
perkembangan masyarakat manusia secara keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai