KONTRIBUSI ISLAM DALAM PENGEMBANGAN PERADABAN DUNIA
A. Menelusuri Pertumbuhan dan Perkembangan Peradaban Islam
Tidak diragukan lagi, berbicara tentang peran Islam dalam membangun peradaban dunia pasti akan melibatkan diskusi tentang sejarah budaya Islam. Pengkaji sejarah Islam biasanya menggambarkan evolusi dan perkembangan peradaban Islam dari zaman Yunani dan Islam hingga zaman Barat. Dimensi peradaban berbeda satu sama lain pada masing-masing periode perkembangan. Sebagai Muslim, kita pasti ingin mengetahui bagaimana peradaban Islam berkembang dan bagaimana Islam berdampak pada peradaban dunia. Sejarah peradaban dunia telah dipengaruhi oleh perkembangan agama Islam selama empat belas abad. Beberapa bukti kemajuan tersebut termasuk: 1. Kehadiran perpustakaan dan lembaga keilmuan Islam seperti Baitul Hikmah, Masjid Al-Azhar, dan Masjid Qarawiyyin. 2. Kehadiran karya sarjana muslim seperti Ibnu Sina, Ibn Haytam, Imam Syafii, Ar-Razi, Al-Kindy, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan lainnya. 3. Penemuan-penemuan intelektual yang berpotensi mengubah budaya dan tradisi manusia, seperti penemuan kertas, karpet, kalender Islam, penggunaan hari-hari, seni arsitektur dan tata kota 4. Pengarus utama nilai-nilai kebudayaan asasi sebagai manifestasi dari konsep Islam, iman, ihsan, dan taqwa. Harun Nasution membagi sejarah Islam menjadi tiga periode: periode klasik (650–1250 M), periode pertengahan (1250–1800 M), dan periode modern (1800–2000 M). Dalam setiap periode, ada dimensi unik yang muncul dalam setiap perkembangannya. Dua fase periode klasik adalah masa kemajuan Islam I (650–1000 M) dan masa disintegrasi (1000–1250 M). Saat-saat ini dapat dianggap sebagai awal era keemasan Islam. Menurut agama Islam, seseorang hanya boleh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Konsep tauhid Islam inilah yang mengawali integrasi umat manusia. Misi Rasulullah saw. ialah membawa kedamaian, persatuan, dan kasih sayang sesama manusia; ini sangat berbeda dengan budaya dan kebiasaan Arab Jāhiliyah yang selalu mengutamakan kepentingan kelompok tertentu. Para sahabat mengembangkan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Kemajuan Islam I (bagian dari periode klasik) ditandai oleh kisah empat sahabat Nabi Muhammad, yang dikenal sebagai Khulafā'ur Rāsyidīn dalam kajian Islam. Pada saat ini, Islam mulai menyebar di luar Semenanjung Arab. Beberapa penaklukan dilakukan terhadap Damaskus, Mesir, Irak, Palestina, Syiria, dan Persia. Dinasti Umayyah (661-750 M) mengambil alih. Syiria, Palestina, Afrika Utara, Irak, Semenanjung Arabia, Persia, Afghanistan, dan Asia Tengah (Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan) adalah negara Islam saat ini. Selain itu, saat ini juga ditandai dengan perkembangan kebudayaan Arab. Setelah Khalifah Abdul Malik memutuskan untuk mengubah bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab, perhatian masyarakat pada bahasa tersebut meningkat. Peralihan kekuasaan dari Dinasti Bani Umayyah ke Dinasti Bani Abbasiyah mendorong kemajuan peradaban Islam. Dengan berkembangnya sektor pertanian dan pertambangan pada masa ini, ekonomi negara mulai berkembang. Ilmu pengetahuan mulai menjadi lebih penting di masa Bani Abbasiyah, terutama di bawah kepemimpinan Harun Al-Rasyid (785–809 M) dan Al-Ma’mun (813–833 M). Penerjemahan buku Yunani dan Bizantium ke dalam bahasa Arab menunjukkan perhatian ilmu pengetahuan ini. Bait al-Hikmah didirikan oleh Khalifah Al-Ma'mun untuk membantu menerjemahkan buku-buku ini. Bait al- Hikmah mengutamakan cabang-cabang ilmu seperti kedokteran, fisika, geografi, astronomi, optik, sejarah, dan filsafat. Pada era Islam, beberapa disiplin ilmu terintegrasi. Karya-karya ArRazi dalam ilmu kedokteran dikenal dengan nama Rhazes di Eropa, dan karya- karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin untuk digunakan di sana. Ibnu Sina, seorang filsuf dan dokter, juga terkenal seperti Ar-Razi. Ia menulis kanon kedokteran, Al-Qānūn fī AthThibb. Sampai pertengahan kedua abad XVII, buku ini masih digunakan di Eropa. Selain itu, integrasi terjadi dalam bahasa, kebudayaan, astronomi, optik, ilmu kimia, geografi, dan filsafat. Yang menarik adalah bahwa pada periode ini pula ilmu keagamaan Islam mulai disusun. Imam Bukhari dan Muslim adalah nama-nama terkenal dalam bidang penulisan hadis. Imam-imam seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal sangat terkenal dalam bidang fikih. Imam Ath-Thabari terkenal karena tafsirnya, dan Ibnu Hisyam terkenal karena sejarahnya. Washil bin Atha', Ibnu Huzail Al-Allaf, dan orang lain dari golongan Muktazilah berkontribusi pada perumusan konsep teologi. Dalam hal Ahlu Sunnah, Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi terkenal. Ada nama-nama seperti Husain bin Mansur Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami dalam tasawuf. Pada periode ini, peradaban Islam mencapai puncaknya. Setelah itu, Islam mengalami kerusakan politik dan perpecahan di kalangan umat, yang mengakibatkan pengunduran dirinya dari peradaban dunia. Selain upaya untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat para ahli dan filsuf Islam ke dalam bahasa Eropa pada abad ke-12 M, berakhirnya fase kemajuan Islam I (650–1000 M). Masa disintegarsi (1000–1250 M) menandai berakhirnya fase kemajuan Islam I. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan independen berusaha memisahkan diri dari khalifah. keretakan politik tersebut yang memicu konflik di kalangan masyarakat Islam. Periode pertengahan (1250–1800 M) juga ada. Pada zaman ini, peradaban Islam tidak mengalami perkembangan yang signifikan selain memperluas kekuasaan Islam ke beberapa wilayah, seperti Mesir, India, Persia, dan Turki. Penaklukkan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih (1451-1481 M) dari Kerajaan Bizantium pada tahun 1453 M adalah peristiwa sejarah yang paling terkenal dan paling dikenal orang pada zaman ini. Saat itu, ada tiga kerajaan besar: Kerajaan Utsmani di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Kerajaan-kerajaan ini tidak memberikan kontribusi yang signifikan kepada peradaban Islam. Pada masa tiga kerajaan besar ini, peperangan demi peperangan bahkan sering terjadi untuk menguasai wilayah. Dibandingkan dengan periode Bani Abbasiyah, kerusakan politik saat ini semakin parah. Ini menandai akhir perkembangan peradaban Islam. Di Barat, kesadaran untuk memprioritaskan ilmu pengetahuan meningkat saat Islam sibuk menanggapi konstelasi politik yang kompleks itu. Oleh karena itu, umat Islam tidak hanya menerima kegemilangan dunia Barat, tetapi mereka juga mengubah orientasi pengetahuan mereka, beralih dari peradaban Yunani ke peradaban Barat. Periode modern (1800 M–Sekarang) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan periode ini. Saat ini juga dikenal sebagai kebangkitan dunia Islam. Untuk mengembalikan kejayaan Islam, beberapa tokoh Islam melakukan pembaharuan atau modernisasi Islam. Tokoh pembaru yang terkenal di Mesir termasuk Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Jamaluddin Al-Afghani. Muhammad Iqbal, Sir Sayyid Ahmad Khan, dan Sayyid Amir Ali adalah contoh pemulihan di India. K.H Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy'ari dari Nahdhatul Ulama memperkenalkan ide pembaruan ke Indonesia. B. Menanyakan Faktor Penyebab Kemajuan dan Kemunduran Peradaban Islam Masa kejayaan Bani Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Al- Rasyid dan anaknya Al-Ma’mun. Pada masanya ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum berkembang pesat. Perkembangan ilmu agama meliputi, pembukuan sejumlah bidang agama, yaitu fikih, tafsir, hadis, kalam, dan tasawuf. Adapun bidang ilmu pengetahuan umum meliputi filsafat, ilmu kedokteran, ilmu astronomi, farmasi, geografi, sejarah, dan bahasa. Kemajuan ini disebabkan pada orientasi peradaban yang diarahkan pada kemajuan ilmu pengetahuan, dan bukan pada ekspansi perluasan wilayah. Dua faktor menentukan kemajuan Islam di masa Bani Abbasiyah: asimilasi bangsa Arab dengan bangsa lain yang mengalami perkembangan ilmu pengetahuan dan gerakan penerjamahan karya kebudayaan Yunani ke dalam bahasa Arab. Islam menjadi lebih maju dan lebih unggul dalam hal peradaban ketika ia terbuka untuk peradaban lain. Ketika kerajaan Bani Abbasiyah runtuh, kejayaan Islam mulai memudar. Periode pertengahan Dinasti Abbasiyah (1000–1800 M) menandai penurunan peran Islam dalam kemajuan peradaban. Hal ini disebabkan fakta bahwa umat Islam secara eksklusif terlibat dalam perang untuk mempertahankan kekuasaan dan merebutnya. Penyerahan Konstatinopel kepada Kerajaan Turki Utsmani oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453 M adalah prestasi dalam hal ekspansi wilayah. Namun, ini hanya merupakan keberhasilan Islam dalam hal perluasan wilayah kekuasaan, bukan perkembangan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, perlu dicatat bahwa Abdurrahman Ad-Dakhil, yang melarikan diri ke Spanyol dari serbuan Bani Abbasiyah, mendirikan Dinasti Umayyah di Spanyol. Selama periode ini, umat Islam di Spanyol melihat kemajuan dalam bidang intelektual, kebudayaan, politik, agama, dan bidang lainnya. Selama periode ini, orang-orang seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Batuthah muncul. C. Menggali Sumber Historis, Sosiologis, Filosofis dan Teologis Kontribusi Islam bagi Peradaban Dunia 1. Menggali Sumber Historis Banyak peradaban hancur bukan karena konflik dengan kekuatan luar. Karena peradaban tersebut tidak dibangun di atas nilai-nilai spiritualitas yang teguh, mereka hancur. Karena kekuatan spiritualitasnya, peradaban Islam saat itu tumbuh dan tersebar dengan cepat, membedakannya dari peradaban lain. Dengan semangat spiritual yang tinggi, umat Islam bekerja keras untuk membangun peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Akibatnya, aspek spiritual sangat penting untuk mempertahankan peradaban Islam. Fokus pada spiritualitas pada masa Bani Umayyah telah mendorong pengharagaan terhadap pluralitas, sehingga berbagai macam ide tumbuh dan berkembang dalam rangka kedaulatan Islam yang memungkinkan setiap golongan memiliki tempat. Amroeni Drajat menunjukkan bahwa, menurut Margaret Smith dalam Studies in Early Mysticism in the Near and Middle East, di daerah Syria, misalnya, ada aliran Helenistik. Di sisi lain, aliran Sabean berkembang di Alexandria, Beirut, Jundisyapur, Nissibis, Harran, dan Antioch. Ada bukti yang menunjukkan bahwa orang- orang yang tidak beragama Islam diizinkan untuk bereksperimen dengan ide-ide intelektual dan mengejar karir dalam berbagai bidang. Pemerintahan Islam secara keseluruhan, khalifah Bani Umayyah, seperti Abu Hasyim Khalid ibn Yazid, memulai penerjemahan karya Yunani di Syria. Selain itu, pada masa Bani Abbasiyah, kegiatan intelektual sangat diminati, yang menyebabkan proses tranformasi intelektual berjalan cepat. Pada tahun 830 M, Khalifah Al-Ma'mun mendirikan Bait alHikmah, sebuah pusat penerjemahan dan penelitian di Baghdad. Banyak penerjemah handal dan ahli menerjemahkan, dan banyak dari mereka bukan Muslim, seperti Tsabit ibn Qurrah Al-Harrani, yang berasal dari Sabean di Harran. Margaret Smith menyatakan bahwa perbedaan kepercayaan (agama) tidak menghalangi mereka untuk bekerja sama, karena para penguasa Islam lebih mengutamakan profesionalisme dan memiliki visi yang maju. Rasyid; sarjana yang memiliki prestasi besar seperti Ar-Razi , dokter klinis terbesar di dunia Islam dan Barat yang mendapat julukan «Galennya Arab»; filsuf muslim pertama yang menguasai filsafat Yunani, Al-Kindi dan masih banyak lagi tokoh Islam yang memiliki prestasi gemilang dari pelbagai bidang ilmu. Jadi, kita sebagai umat Islam yang bergerak di dunia modern saat ini harus tidak memandang sejarah peradaban yang pernah dicapai pada masa lalu sebagai prestasi yang selalu diagung-agungkan. 2. Menggali Sumber Sosiologis Secara kultural agama Islam yang lahir di luar hegemoni dua dinasti yang berkuasa yakni Romawi dan Persia menjadikan umat Islam memiliki sikap terbuka sehinggga sikap mereka positif terhadap pelbagai budaya bangsa-bangsa lain itu. Sebelum peradaban Islam, ilmu pengetahuan memang telah ada, namun sifat dan semangatnya sangat nasionalistis dan parokialistis, dengan ketertutupan masing-masing bangsa dari pengaruh luar karena merasa paling benar. Bertrand Russel, misalnya, cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang matematika dan ilmu kimia. Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan masih berkembang. Buku-buku filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filsuf Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi memberikan kontribusi yang berbeda kepada peradaban Yunani. Ada dua pendapat mengenai kontribusi ini. Hoesin dengan tegas menolak pendapat pertama. Hoesin menyatakan bahwa, bersama dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara, salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories, dan Porphyry telah dihapus oleh pemerintah Romawi. Sebagaimana diketahui, Socrates (469–399 SM) adalah orang pertama yang belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500–400 SM). Kemudian, Plato (457–427 SM) mengikutinya. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Aristoteles (384–322 SM). Hingga Al-Kindi muncul pada tahun 801 M, tidak ada lagi generasi setelah Aristoteles. Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat Plato dan Aristoteles. Pada zaman Abbasiyah, Raja Al-Ma'mun dan Raja Harun Al- Rasyid meminta Al-Kindi menyalin karya Plato dan Aristoteles ke dalam bahasa Arab. Haeruddin, tahun 2008. 3. Menelusuri Sumber Filosofis dan Teologis Umat Islam pada masa lalu telah bersungguh-sungguh menjalani “mission sacred”. Mereka sebagai umat penengah (wasath) dan saksi atas- manusia serta saksi untuk Allah, yang adil, fair, objektif, dan ḫanīf (penuh kerinduan dan pemihakan kepada yang benar). Semangat ajaran Islam, yang meminta orang-orangnya untuk belajar tentang semua hal, seperti yang digariskan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad, mendorong para filsuf dan ilmuwan Islam untuk menemukan lebih banyak pengetahuan. Ini menjadi dasar teologis untuk penelitian yang lebih sistematis tentang sumber-sumber ajaran agama dan penghargaan yang lebih baik, sambil tetap kritis terhadap warisan kultural umat, dan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang tuntutan zaman yang semakin berkembang cepat. Secara filosofis, semangat Islam untuk membangun peradaban diterjemahkan oleh Nabi Muhammad ke dalam masyarakat sipil sebagai "Masyarakat Madani" atau "Masyarakat Medinah" selama masa hidupnya. Selama hidupnya, rasul terus membangun kerjasama dengan masyarakat Medinah yang luas dan berhasil membentuk "platform umum" atau kalimatun sawā. Umat Islam sering menghadapi hambatan sendiri saat membangun peradaban. Hambatan pertama berasal dari sikap anti-Barat yang disebabkan oleh pengalaman sejarah, baik lama maupun baru. Yang kedua adalah perselisihan yang terjadi antara kaum filsuf dan kaum tasawuf mengenai alat yang digunakan untuk mencari kebenaran yang terus berlanjut hingga saat ini. Jika kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah memberikan akal dan hati/hati manusia, konflik tidak akan terjadi. Seseorang mungkin memiliki kedua potensi itu dalam jumlah yang sama, tetapi ada kemungkinan bahwa salah satu potensi lebih berkembang daripada yang lainnya. Ada individu yang mengembangkan potensi akalnya. Ia senang menggunakan akalnya itu untuk memecahkan masalah. Orang ini sangat berbakat untuk menjadi pemikir atau filsuf karena mereka lebih suka melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam mencari kebenaran yang sebenarnya. Selain itu, ada individu yang berkembang dengan potensi jiwa atau hati mereka. Untuk memecahkan masalah, dia sangat suka menyelidiki perasaannya. Orang ini sangat berbakat menjadi seniman atau ahli tasawuf, dan dia sangat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio untuk menemukan kebenaran sejati.