Anda di halaman 1dari 21

 

Biografi Salahudin Al-Ayubi (1138 - 1193 M) 

Shalahuddin Al-Ayubi terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit


(140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya
selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid
yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi.

Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub
atau Saladin/salahadin (menurut lafal orang Barat) adalah salah satu pahlawan besar dalam
tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan
hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid,
 berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun.
Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad
atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender 
Masehi.

Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya
Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan
 pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari
kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).

Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya


 Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih
Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih
Ismail dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih
Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada
tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di
Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan


serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin
sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem
(kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin
tersebut mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem
memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang
digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald
mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang
kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, sekaligus
 

mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.

Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun
runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya
Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third
Crusade.

Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of 
Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa
menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika
Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu
ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.

Salahuddin Al-Ayyubi dan Perang Salib


Posted by seva  November 1, 2007  Tinggalkan sebuah Komentar 

Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil berkata, ³Aku adalah
duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya.´ Kepala Bernas dikirim ke setiap tenda
tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, ³Ini sebab karena dulu ia melecehkan Rasulullah
SAW.´ Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji, Bernas pernah berkata,
³Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!´«.

 ²²²-

Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, namanya telah terpateri di hati sanubari pejuang Muslim yang
memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat
Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan tentara salib yang
merupakan gabungan pilihan dari seluruh benua Eropa.
 

Konon guna membangkitkan kembali ruh jihad atau semangat di kalangan Islam yang saat itu
telah tidur nyenyak dan telah lupa akan tongkat estafet yang telah diwariskan oleh Nabi
Muhammad saw., maka Salahuddinlah yang mencetuskan ide dirayakannya kelahiran Nabi
Muhammad saw. Melalui media peringatan itu dibeberkanlah sikap ksatria dan kepahlawanan
 pantang menyerah yang ditunjukkan melalui ³Siratun Nabawiyah´. Hingga kini peringatan
itu menjadi tradisi dan membudaya di kalangan umat Islam.

Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat
 perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar itu. Rasa tanggung jawab
terhadap agama (Islam) telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan tentara ke
tanah suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan
kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Lionheart
dari Inggris.

Hendaklah diingat, bahwa Perang Salib adalah peperangan yang paling panjang dan dahsyat
 penuh kekejaman dan kebuasan dalam sejarah umat manusia, memakan korban ratusan ribu
 jiwa, di mana topan kefanatikan membabi buta dari Kristen Eropa menyerbu secara
menggebu-gebu ke daerah Asia Barat yang Islam.

Seorang penulis Barat berkata, ³Perang Salib merupakan salah satu bagian sejarah yang
 paling gila dalam riwayat kemanusiaan. Umat Nasrani menyerbu kaum Muslimin dalam
ekspedisi bergelombang selama hampir tiga ratus tahun sehingga akhirnya berkat kegigihan
umat Islam mereka mengalami kegagalan, berakibat kelelahan dan keputusasaan. Seluruh
Eropa sering kehabisan manusia, daya dan dana serta mengalami kebangkrutan sosial, bila
 bukan kehancuran total. Berjuta-juta manusia yang tewas dalam medan perang, sedangkan
 bahaya kelaparan, penyakit dan segala bentuk malapetaka yang dapat dibayangkan
 berkecamuk sebagai noda yang melekat pada muka tentara Salib. Dunia Nasrani Barat saat
itu memang dirangsang ke arah rasa fanatik agama yang membabi buta oleh Peter The Hermit
dan para pengikutnya guna membebaskan tanah suci Palestina dari tangan kaum Muslimin´.

³Setiap cara dan jalan ditempuh´, kata Hallam guna membangkitkan kefanatikan itu. Selagi
seorang tentara Salib masih menyandang lambang Salib, mereka berada di bawah lindungan
gereja serta dibebaskan dari segala macam pajak dan juga untuk berbuat dosa.

Peter The Hermit sendiri memimpin gelombang serbuan yang kedua terdiri dari empat puluh
ribu orang. Setelah mereka sampai ke kota Malleville mereka menebus kekalahan gelombang
serbuan pertama dengan menghancurkan kota itu, membunuh tujuh ribu orang penduduknya
yang tak bersalah, dan melampiaskan nafsu angkaranya dengan segala macam kekejaman
yang tak terkendali. Gerombolan manusia fanatik yang menamakan dirinya tentara Salib itu
mengubah tanah Hongaria dan Bulgaria menjadi daerah-daerah yang tandus.

³Bilamana mereka telah sampai ke Asia Kecil, mereka melakukan kejahatan-kejahatan dan
kebuasan-kebuasan yang membuat alam semesta menggeletar´ demikian tulis pengarang
Perancis Michaud.

Gelombang serbuan tentara Salib ketiga yang dipimpin oeh seorang Rahib Jerman, menurut
 pengarang Gibbon terdiri dari sampah masyarakat Eropa yang paling rendah dan paling
dungu. Bercampur dengan kefanatikan dan kedunguan mereka itu izin diberikan guna
melakukan perampokan, perzinaan dan bermabuk-mabukan. Mereka melupakan Konstantin
dan Darussalam dalam kemeriahan pesta cara gila-gilaan dan perampokan, pengrusakan dan
 

 pembunuhan yang merupakan peninggalan jelek dari mereka atas setiap daerah yang mereka
lalui´ kata Marbaid.

Gelombang serbuan tentara Salib keempat yang diambil dari Eropa Barat, menurut
keterangan penulis Mill ³terdiri dari gerombolan yang nekat dan ganas. Massa yang membabi
 buta itu menyerbu dengan segala keganasannya menjalankan pekerjaan rutinnya merampok 
dan membunuh. Tetapi akhirnya mereka dapat dihancurkan oleh tentara Hongaria yang naik 
 pitam dan telah mengenal kegila-gilaan tentara Salib sebelumnya.

Tentara Salib telah mendapat sukses sementara dengan menguasai sebagian besar daerah
Syria dan Palestina termasuk kota suci Yerusalem. Tetapi Kemenangan-kemenangan mereka
ini telah disusul dengan keganasan dan pembunuhan terhadap kaum Muslimin yang tak 
 bersalah yang melebihi kekejaman Jengis Khan dan Hulagu Khan.

John Stuart Mill ahli sejarah Inggris kenamaan, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal
 penduduk Muslim ini pada waktu jatuhnya kota Antioch. Mill menulis: ³Keluruhan usia
lanjut, ketidakberdayaan anak-anak dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali
oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung
dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan
kekejaman. Tentara Salib menghancurleburkan kota-kota Syria, membunuh penduduknya
dengan tangan dingin, dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan
yang sangat berharga, termasuk ³Kutub Khanah´ (Perpustakaan) Tripolis yang termasyhur 
itu. ³Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,´ kata Stuart
Mill. Mereka yang cantik rupawan disisihkan untuk pasaran budak belian di Antioch. Tetapi
yang tua dan yang lemah dikorbankan di atas panggung pembunuhan.

Lewat pertengahan abad ke-12 Masehi ketika tentara Salib mencapai puncak kemenangannya
dan Kaisar Jerman, Perancis serta Richard Lionheart Raja Inggris telah turun ke medan
 pertempuran untuk turut merebut tanah suci Baitul Maqdis, gabungan tentara Salib ini
disambut oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi (biasa disebut Saladin), seorang Panglima Besar 
Muslim yang menghalau kembali gelombang serbuan umat Nasrani yang datang untuk 
maksud menguasai tanah suci. Dia tidak saja sanggup untuk menghalau serbuan tentara Salib
itu, akan tetapi yang dihadapi mereka sekarang ialah seorang yang berkemauan baja serta
keberanian yang luar biasa yang sanggup menerima tantangan dari Nasrani Eropa.

Siapakah Shalahuddin? Bagaimana latar belakang kehidupannya?

Shalahuddin dilahirkan pada tahun 1137 Masehi. Pendidikan pertama diterimanya dari
ayahnya sendiri yang namanya cukup tersohor, yakni Najamuddin al-Ayyubi. Di samping itu
 pamannya yang terkenal gagah berani juga memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk 
kepribadian Shalahuddin, yakni Asaduddin Sherkoh. Kedua-duanya adalah pembantu dekat
Raja Syria Nuruddin Mahmud.

Asaduddin Sherkoh, seorang jenderal yang gagah berani, adalah komandan Angkatan Perang
Syria yang telah memukul mundur tentara Salib baik di Syria maupun di Mesir. Sherkoh
memasuki Mesir dalam bulan Februari 1167 Masehi untuk menghadapi perlawanan Shawer 
seorang menteri khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan tentara Perancis.
Serbuan Sherkoh yang gagah berani itu serta kemenangan akhir yang direbutnya dari Babain
atas gabungan tentara Perancis dan Mesir itu menurut Michaud memperlihatkan kehebatan
strategi tentara yang bernilai tinggi.
 

Ibnu Aziz Al Athir menulis tentang serbuan panglima Sherkoh ini sebagai berikut: ³Belum
 pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara
gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda´.

Pada tanggal 8 Januari 1169 M Sherkoh sampai di Kairo dan diangkat oleh Khalifah
Fathimiyah sebagai Menteri dan Panglima Angkatan Perang Mesir. Tetapi sayang, Sherkoh
tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya. Dua bulan setelah
 pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah.

Sepeninggal Sherkoh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi diangkat jadi Perdana Menteri


Mesir. Tak seberapa lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang
 pemurah dan adil bijaksana itu. Pada saat khalifah berpulang ke rahmatullah, Shalahuddin
telah menjadi penguasa yang sesungguhnya di Mesir.

Di Syria, Nuruddin Mahmud yang termasyhur itu meninggal dunia pada tahun 1174 Masehi
dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh. Sultan muda
ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya terutama (khususnya) Gumushtagin.
Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya
dan ketaatannya. Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam
khotbah-khotbah Jumatnya dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini
tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang
 penuh ambisi itu. Suasana yang meliputi kerajaan ini sekali lagi memberi angin kepada
tentara Salib, yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang
gagah berani, Jenderal Sherkoh.

Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan
meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis. Tentara Salib dengan segera
menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk menghancurkan kota itu setelah
menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin
al-Ayyubi yang segera ke Damaskus dengan suatu pasukan yang kecil dan merebut kembali
kota itu. Sultan Shalahuddin memanjatkan syukur yang dalam atas kegemilangan tersebut. Ia
merebut salib yang mereka klaim sebagai salib Nabi Isa. Salib besar itu berhias emas,
mutiara, dan permata. Dia bangun tenda besar dan dipasang di dalamnya singgasana raja
 berhias bunga-bunga di kedua sisinya.

Shalahuddin mendudukkan para raja terbesar Salibis disamping kanan kirinya sesuai nomor 
urut mereka. Ia memberikan air es sebagai minum raja-raja tersebut. Namun saat raja
Perancis Bernas merebut air itu dan hendak meminumnya, Shalahuddin naik darah dan
 berteriak lantang, ³Aku tidak memberi minum kepadanya!! Karena aku tidak punya
 perjanjian dengannya!!´ Karena kelaliman Bernas selama ini, Shalahuddin tidak memberi
grasi kepadanya. Ditawarkannya untuk masuk Islam agar terhindar dari hukuman, namun
Bernas menolaknya. Hingga akhirnya Shalahuddin memancung raja besar tersebut sambil
 berkata, ³Aku adalah duta Rasulullah SAW untuk menolong umatnya.´ Kepala Bernas
dikirim ke setiap tenda tawanan musuh dan dikatakan pada mereka, ³Ini sebab karena dulu ia
melecehkan Rasulullah SAW.´ Sebelumnya, saat mencegat dan menganiaya rombongan haji,
Bernas pernah berkata, ³Suruh Nabi kalian datang ke sini agar menolong kalian!´

Setelah ia berhasil menduduki Damaskus dia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin
Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa
akan tingkah laku Malikus Saleh dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk 
 

memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda
Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan
Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.

Diadakanlah gencatan senjata antara Sultan Shalahuddin dan tentara Perancis di Palestina,
tetapi menurut ahli sejarah Perancis Michaud: ³Kaum Muslimin memegang teguh
 perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi
 peperangan.´ Berlawanan dengan syarat-syarat gencatan senjata, penguasa Nasrani Renanud
atau Reginald dari Castillon menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya,
membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.

Lantaran peristiwa itu Sultan sekarang bebas untuk bertindak. Dengan siasat perang yang
tangkas Sultan Shalahuddin mengurung pasukan musuh yang kuat itu di dekat bukit Hittin
 pada tahun 1187 M serta menghancurkannya dengan kerugian yang amat besar. Sultan tidak 
memberikan kesempatan lagi kepada tentara Nasrani untuk menyusun kekuatan kembali dan
melanjutkan serangannya setelah kemenangan di bukit Hittin. Dalam waktu yang sangat
singkat dia telah dapat merebut kembali sejumlah kota yang diduduki kaum Nasrani,
termasuk kota-kota Naplus, Jericho, Ramlah, Caosorea, Arsuf, Jaffa dan Beirut. Demikian
 juga Ascalon telah dapat diduduki Shalahuddin sehabis pertempuran yang singkat yang
diselesaikan dengan syarat-syarat yang sangat ringan oleh Sultan yang berhati mulia itu.

Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Jerusalem yang


diduduki tentara Salib dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Ternyata tentara
salib ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan dan menyerah pada tahun 1193.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan tentara Nasrani itu
merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan
 pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh
tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.

Menurut penuturan ahli sejarah Michaud, pada waktu Jerusalem direbut oleh tentara Salib
 pada tahun 1099 Masehi, kaum Muslimin dibunuh secara besar-besaran di jalan-jalan raya
dan di rumah-rumah kediaman. Jerusalem tidak memiliki tempat berlindung bagi umat Islam
yang menderita kekalahan itu. Ada yang melarikan diri dari cengkeraman musuh dengan
menjatuhkan diri dari tembok-tembok yang tinggi, ada yang lari masuk istana, menara-
menara, dan tak kurang pula yang masuk masjid. Tetapi mereka tidak terlepas dari kejaran
tentara Salib. Tentara Salib yang menduduki masjid Umar di mana kaum Muslimin dapat
 bertahan untuk waktu yang singkat, mengulangl lagi tindakan-tindakan yang penuh
kekejaman. Pasukan infanteri dan kavaleri menyerbu kaum pengungsi yang lari tunggang
langgang. Di tengah-tengah kekacaubalauan kaum penyerbu itu yang terdengar hanyalah
erangan dan teriakan maut. Pahlawan Salib yang berjasa itu berjalan menginjak-injak 
tumpukan mayat Muslimin, mengejar mereka yang masih berusaha dengan sia-sia melarikan
diri. Raymond d¶ Angiles yang menyaksikan peristiwa itu mengatakan bahwa di serambi
masjid mengalir darah sampai setinggi lutut, dan sampai ke tali tukang kuda prajurit.

Penyembelihan manusia biadab ini berhenti sejenak, ketika tentara Salib berkumpul untuk 
melakukan misa syukur atas kemenangan yang telah mereka peroleh. Tetapi setelah
 beribadah itu, mereka melanjutkan kebiadaban dengan keganasan. Semua tawanan kata
Michaud, yang tertolong nasibnya karena kelelahan tentara Salib yang semula tertolong
karena mengharapkan diganti dengan uang tebusan yang besar, semua dibunuh dengan tanpa
ampun. Kaum Muslimin terpaksa menjatuhkan diri mereka dari menara dan rumah kediaman;
 

mereka dibakar hidup-hidup, mereka diseret dari tempat persembunyiannya di bawah tanah;
mereka dipancing dari tempat perlindungannya agar keluar untuk dibunuh di atas timbunan
mayat.

Cucuran air mata kaum wanita, pekikan anak-anak yang tak bersalah, bahkan juga kenangan
dari tempat di mana Nabi lsa memaafkan algojo-algojonya, tidak dapat meredakan nafsu
angkara tentara yang menang itu. Penyembelihan kejam itu berlangsung selama seminggu.
Dan sejumlah kecil yang dapat melarikan diri dari pembunuhan jatuh menjadi budak yang
hina dina.

Seorang ahli sejarah Barat, Mill menambahkan pula: Telah diputuskan, bahwa kaum
Muslimin tidak boleh diberi ampun. Rakyat yang ditaklukkan oleh karena itu harus diseret ke
tempat-tempat umum untuk dibunuh hidup-hidup. Ibu-ibu dengan anak yang melengket pada
 buah dadanya, anak-anak laki-laki dan perempuan, seluruhnya disembelih. Lapangan-
lapangan kota, jalan-jalan raya, bahkan pelosok-pelosok Jerusalem yang sepi telah dipenuhi
oleh bangkai-bangkai mayat laki-laki dan perempuan, dan anggota tubuh anak-anak. Tiada
hati yang menaruh belas kasih atau teringat untuk berbuat kebajikan.

Demikianlah rangkaian riwayat pembantaian secara masal kaum Muslimin di Jerusalem


sekira satu abad sebelum Sultan Shalahuddin merebut kembali kota suci, di mana lebih dari
tujuh puluh ribu umat Islam yang tewas.

Sebaliknya, ketika Sultan Shalahuddin merebut kembali kota Jerusalem pada tahun 1193 M,
dia memberi pengampunan umum kepada penduduk Nasrani untuk tinggal di kota itu. Hanya
 para prajurit Salib yang diharuskan meninggalkan kota dengan pembayaran uang tebusan
yang ringan. Bahkan sering terjadi bahwa Sultan Shalahuddin yang mengeluarkan uang
tebusan itu dari kantongnya sendiri dan diberikannya pula kemudian alat pengangkutan.
Sejumlah kaum wanita Nasrani dengan mendukung anak-anak mereka datang menjumpai
Sultan dengan penuh tangis seraya berkata: Tuan saksikan kami berjalan kaki, para istri serta
anak-anak perempuan para prajurit yang telah menjadi tawanan Tuan, kami ingin
meninggalkan negeri ini untuk selama-lamanya. Para prajurit itu adalah tumpuan hidup kami.
Bila kami kehilangan mereka akan hilang pulalah harapan kami. Bilamana Tuan serahkan
mereka kepada kami mereka akan dapat meringankan penderitaan kami dan kami akan
mempunyai sandaran hidup.

Sultan Shalahuddin sangat tergerak hatinya dengan permohonan mereka itu dan
dibebaskannya para suami kaum wanita Nasrani itu. Mereka yang berangkat meninggalkan
kota, diperkenankan membawa seluruh harta bendanya. Sikap dan tindakan Sultan
Shalahuddin yang penuh kemanusiaan serta dari jiwa yang mulia ini memperlihatkan suasana
kontras yang sangat mencolok dengan penyembelihan kaum Muslimin di kota Jerusalem
dalam tangan tentara Salib satu abad sebe1umnya. Para komandan pasukan tentara
Shalahuddin saling berlomba dalam memberikan pertolongan kepada tentara Salib yang telah
dikalahkan itu.

Para pelarian Nasrani dari kota Jerusalem itu tidaklah mendapat perlindungan oleh kota-kota
yang dikuasai kaum Nasrani. Banyak kaum Nasrani yang meninggalkan Jerusalem, kata Mill,
 pergi menuju Antioch, tetapi panglima Nasrani Bohcmond tidak saja menolak memberikan
 perlindungan kepada mereka, bahkan merampasi harta benda mereka. Maka pergilah mereka
menuju ke tanah kaum Muslimin dan diterima di sana dengan baik. Michaud mcmberikan
keterangan yang panjang lebar tentang sikap kaum Nasrani yang tak berperikemanusiaan ini
 

terhadap para pelarian Nasrani dari Jerusalem. Tripoli menutup pintu kotanya dari pengungsi
ini, kata Michaud. Seorang wanita karena putus asa melemparkan anak bayinya ke dalam laut
sambil menyumpahi kaum Nasrani yang menolak untuk memberikan pertolongan kepadanya,
kata Michaud. Sebaliknya Sultan Shalahuddin bersikap penuh timbang rasa terhadap kaum
 Nasrani yang ditaklukkan itu. Sebagai pertimbangan terhadap perasaan mereka, dia tidak 
memasuki Jerusalem sebelum mereka meninggalkannya.

Dari Jerusalem Sultan Shalahuddin mengarahkan pasukannya ke kota Tyre, di mana tentara
Salib yang tidak tahu berterima kasih terhadap Sultan Shalahuddin yang telah
mengampuninya di Jerusalem, menyusun kekuatan kembali untuk melawan Sultan. Sultan
Shalahuddin menaklukkan sejumlah kota yang diduduki oleh tentara Salib di pinggir pantai,
termasuk kota Laodicea, Jabala, Saihun, Becas, dan Debersak. Sultan telah melepas hulu
 balang Perancis bernama Guy de Lusignan dengan perjanjian, bahwa dia harus segera pulang
ke Eropa. Tetapi tidak lama setelah pangeran Nasrani yang tak tahu berterima kasih ini
mendapatkan kebebasannya, dia mengingkari janjinya dan mengumpulkan suatu pasukan
yang cukup besar dan mengepung kota Ptolemais.

Jatuhnya Jerusalem ke tangan kaum Muslimin menimbulkan kegusaran besar di kalangan


dunia Nasrani. Sehingga mereka segera mengirimkan bala bantuan dari seluruh pelosok 
Eropa. Kaisar Jerman dan Perancis serta raja Inggris Richard Lion Heart segera berangkat
dengan pasukan yang besar untuk merebut tanah suci dari tangan kaum Muslimin. Mereka
mengepung kota Akkra yang tidak dapat direbut selama berapa bulan. Dalam sejumlah
 pertempuran terbuka, tentara Salib mengalami kekalahan dengan meninggalkan korban yang
cukup besar.

Sekarang yang harus dihadapi Sultan Shalahuddin ialah berupa pasukan gabungan dari Eropa.
Bala bantuan tentara Salib mengalir ke arah kota suci tanpa putus-putusnya, dan sungguh pun
kekalahan dialami mereka secara bertubi-tubi, namun demikian tentara Salib ini jumlah
semakin besar juga. Kota Akkra yang dibela tentara Islam berbulan-bulan lamanya
menghadapi tentara pilihan dari Eropa, akhirnya karena kehabisan bahan makanan terpaksa
menyerah kepada musuh dengan syarat yang disetujui bersama secara khidmat, bahwa tidak 
akan dilakukan pembunuhan-pembunuhan dan bahwa mereka diharuskan membayar uang
tebusan sejumlah 200.000 emas kepada pimpinan pasukan Salib. Karena kelambatan dalam
suatu penyelesaian uang tebusan ini, Raja Richard Lionheart menyuruh membunuh kaum
Muslimin yang tak berdaya itu dengan dan hati yang dingin di hadapan pandangan mata
saudara sesama kaum Muslimin.

Perilaku Raja Inggris ini tentu saja sangat menusuk perasaan hati Sultan Shalahuddin. Dia
 bernadzar untuk menuntut bela atas darah kaum Muslimin yang tak bersalah itu. Dalam
 pertempuran yang berkecamuk sepanjang 150 mil garis pantai, Sultan Shalahuddin
memberikan pukulan-pukulan yang berat terhadap tentara Salib.

Akhirnya Richard Raja Inggris yang berhati singa itu mengajukan permintaan damai di
Ramla yang diterima oleh Sultan, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka
kepada para peziarah Kristen. Raja itu merasakan bahwa yang dihadapinya adalah seorang
yang berkemauan baja dan tenaga yang tak terbatas serta menyadari betapa sia-sianya
melanjutkan perjuangan terhadap orang yang demikian itu. Dalam bulan September 1192
Masehi dibuatlah perjanjian perdamaian. Tentara Salib itu meninggalkan tanah suci dengan
ransel dengan barang-barangnya kembali menuju Eropa.
 

Berakhirlah dengan demikian serbuan tentara Salib itu tulis Michaud di mana gabungan
 pasukan pilihan dari Barat merebut kemenangan tidak lebih daripada kejatuhan kota Akkra
dan kehancuran kota Askalon. Dalam pertempuran itu Jerman kehilangan seorang kaisarnya
yang besar beserta kehancuran tentara pilihannya. Lebih dari enam ratus ribu orang pasukan
Salib mendarat di depan kota Akkra dan yang kembali pulang ke negerinya tidak lebih dari
seratus ribu orang. Dapatlah dipahami mengapa Eropa dengan penuh kesedihan menerima
hasil perjuangan tentara Salib itu, oleh karena yang turut dalam pertempuran terakhir adalah
tentara pilihan. Bunga kesatria Barat yang menjadi kebanggaan Eropa telah turut dalam
  pertempuran ini.

Sultan Shalahuddin mengakhiri sisa-sisa hidupnya dengan kegiatan-kegiatan bagi


kesejahteraan masyarakat dengan membangun rumah sakit, sekolah-sekolah, perguruan-
 perguruan tinggi serta masjid-masjid di seluruh daerah yang diperintahnya. Dalam
kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan
 pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju
dan dipercaya.

Tetapi sayang, dia tidaklah ditakdirkan untuk lama merasakan nikmat perdamaian. Beberapa
 bulan kemudian dia pulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Maret tahun 1193. ³Hari itu
merupakan hari musibah besar, yang belum pernah dirasakan oleh dunia Islam dan kaum
Muslimin, semenjak mereka kehilangan Khulafa Ar-Rasyidin´ demikian tulis seorang penulis
Islam. Kalangan Istana seluruh daerah kerajaan berikut seluruh umat Islam tenggelam dalam
lautan duka nestapa. Seluruh isi kota mengikuti usungan jenazahnya ke kuburan dengan
 penuh kesedihan dan tangisan.

Demikianlah berakhirnya kehidupan Sultan Shalahuddin, seorang raja yang sangat dalam
 perikemanusiaannya dan tak ada tolok bandingannya, jiwa kepahlawanan yang dimilikinya
dalam sejarah kemanusiaan. Dalam pribadinya, Allah telah melimpahkan hati seorang
Muslim yang penuh kasih sayang terhadap kemanusiaan dicampur dengan sangat harmonis
dengan keperkasaan seorang genius dalam medan pertempuran. Utusan yang menyampaikan
 berita kematiannnya itu ke Baghdad membawa serta baju perangnya, kudanya, uang
sebanyak satu dinar dan 36 dirham sebagai milik pribadinya yang masih ketinggalan. Orang
yang hidup satu zaman dengannya, serta segenap ahli sejarah sama sependapat bahwa Sultan
Shalahuddin adalah seorang yang sangat lemah lembut hatinya, ramah tamah, sabar, seorang
sahabat yang baik dari kaum cendekiawan dan golongan ulama yang diperlakukannya dengan
rasa hormat yang mendalam serta dengan penuh kebajikan. ³Di Eropa´ tulis Philip K Hitti,
dia telah menyentuh alam khayalan para penyanyi maupun para penulis novel zaman
sekarang, dan masih tetap dinilai sebagai suri teladan kaum kesatria.

Semoga Allah melapangkan kuburnya.

Disarikan dari:

1. Shalahuddin al-Ayyubi, oleh Kwaja Jamil Ahmad (Lihat: Suara Masjid No. 91, Jumadil
Akhir-Rajab 1402 H/April 1982 M)

2. The Preaching of Islam, oleh Thomas W. Arnold.

 NB:
 

- ³Shalahuddin´, kadang ditulis dengan ejaan: Saladin (biasanya oleh Barat), Sholahuddin,
atau Salahuddin.

- Saat ini, sineas Barat sedang membuat film berjudul ³Kingdom of Heaven´. Film tersebut,
terlepas benar atau tidaknya isi cerita, berkaitan dengan tokoh Shalahuddin ini.

Diambil dari situs Hudzaifah

BAB IV
PERKEM BANGAN PERADABAN ISLAM
PADA MASA PEMERINTAHAN DINASTI
AL-AYYUBIYAH 

A. Pembentukan dan Perkembangan Dinasti al-Ayyubiyah.. 


Al-Ayyubiyah adalah sebuah dinasti yang berkuasa di Mesir, Suriah, Dyarbakr, dan Yaman. Berdirinya
Daulah al-Ayyubiyah ini memiliki kaitan erat dengan ke¬kua¬saan Ima¬duddin Zangi, seorang atabeg
(panglima) Tutusy, penguasa Dinasti Seljuk di Aleppo (Halab). Setelah Tutusy meninggal, Imaduddin
diangkat sebagai penguasa Aleppo, Mosul, al-Jazirah, dan Harran, selama kurang lebih sepuluh tahun
(512H/ 1118M-522H/1128M).  
Dalam catatan sejarah, Imaduddin dikenal sebagai salah seorang panglima yang mengerahkan
kekuatan umat Islam untuk menghadapi tentara Salib. Setelah ia meninggal, kekuasaan Imaduddin
terbagi di antara dua putranya, Nuruddin, yang menguasai utara syam dan menjadi penerus ayahnya
dalam menghadapi tentara Salib, dan Saifuddin Gazi yang menguasai Mosul dan daerah lain di Irak. 
Dalam perkem-bangan selanjutnya, Nuruddin berhasil memperluas ke¬kua¬saannya, yang
mem¬ben¬tang dari Damaskus ke Mesir. Sepeninggalnya, kepe¬mimpinan keluarga Imaduddin Zangi
 jatuh ketangan anaknya, Ismail. 
Tercatat dalam sejarah bahwa pada masa pemerintahan Zangi, terdapat seorang bernama Bahruz
yang hidup di sebuah kota di Azerbaijan, dan kemudian berpindah ke I rak untuk bekerja kepada
Sultan Seljuk, Masud bin Giyatuddin.  Bahruz diberikan kekuasaan sebagai gubernur di wilayah
Baghdad, dan diberikan iqta di kota Takrit. Dalam mengelola iqta di kota itu, ia di bantu oleh
seorang Kurdi yang bernama Syadi dan dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Syirkuh. 
Ketika meninggal, Syadi digantikan oleh Najmuddin sebagai gubernur di Takrit. Di kota inilah
Salahuddin lahir dari ayahnya, Najmuddin. 
Pengaruh Najmuddin dilatarbelakangi oleh kekuasaan Imaduddin Zangi, yang membantu Sultan
Masud dalam mengahadapi khalifah Abbasiyah, al-Mustarsid. Ketika perlawanan itu gagal,
Imaduddin mundur ke Tarkit.  Di kota inilah ia men¬dapat dukungan dari Najmuddin. Dalam
aliansinya dengan kekuasaan Imaduddin, Najmuddin berhasil memperluas pengaruhnya. Ia ditunjuk
menjadi penguasa Baala-bek. Ketika Imaduddin terbunuh, terjadi pertentangan dikalangan
keluarganya untuk merebut puncak kekuasaan. Akhirnya Nuruddin, salah seorang putra Imaduddin,
bersekutu dengan Syirkuh, yang kemudian berhasil menguasai Aleppo dan Damaskus.  Di samping
itu, ia berpandangan bahwa Mesir sangat penting untuk menghadapi tentara Salib. Karena itu, di
bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin, pasukan Nuruddin menyerang Mesir pada tahun
559H/1163M. serangan ini berakhir dengan kegagalan akibat campur tangan tentara Salib. Serangan
kedua kemudian dilancarkan pada tahun 562 H/1166 M. Dalam pertempuran ini, Nuruddin
mengalahkan tentara Salib, akan tetapi akhirnya kedua pihak sepakat untuk membebaskan Mesir. 
Meskipun demikian, serangan ke tiga dilaksanakan pada atahun 564H/1168M sebagai jawaban atas
 

permintaan khalifah al-Adid untuk melawan tentara Salib. Kemenangan atas entara Salib dalam
pertempuran itu melapangkan jalan bagi tampilnya Salahuddin sebagai wazir bagi khalifah
Fatimiyah. 
Salahuddin sebenarnya mulai menguasai Mesir pada tahun 564H/1169M, akan tetapi baru dapat
menghapuskan kekuasaan Daulah Fatimiyah pada tahun 567H/ 1171M. Dalam masa tiga tahun itu, ia
telah menjadi penguasa penuh, namun tetap tunduk kepada Nuruddin Zangi dan tetap mengakui
kekhalifahan Daulah Fatimiyah. Jatuhnya Daulah Fatimiyah ditandai dengan penagkuan Salahuddin
atas khalifah Abbasiyah, al-Mustadi, dan penggantian Qadi Syiah dengan Sunni. Bahkan pada bulan
Mei 1175, Salahuddin mendapat pengakuan dari Khilafah Abbasiyah sebagai penguasa Mesir, Afrika
Utara, Nubia, Hejaz dan Suriah. Kemudian ia menyebut dirinya sebagai Sultan. Sepeluh tahun
kemudian ia menaklukan Mesopotamia dan menjadikan para penguasa setempat sebagai
pemimpinnya. 
Selain memperluas daerah kekuasaannya, sebagian besar usaianya juga dihabiskan untuk melawan
kekuatan tentara Salib. Dalam kaitan itu, maka pada tahun 1170 M Salahuddin telah berhasil
menaklukan wilayah Masyhad dari tangan Rasyidin Sinan. Kemudian pada bulan Juli 1187 M ia juga
berhasil merebut Tiberias, dan melancarkan perang Hattin untuk menangkis serangan tentara Salib. 
Dalam peperangan ini, pasukan Perancis dapat dikalakan, Yerussalem sendiri kemudian menyerah
tiga bulan berikutnya, tepatnya pada bulan Oktber 1187 M, pada saat itulah suara azan menggema
kembali di Mesjid Yerussalem. 
Jatunya pusat kerajaan Haatin ini memberi peluang bagi Salahuddin al-Ayyubi untuk menakkan kota-
kota lainya di Palestina dan Suriah . Kota-kota di sini dapat ditaklukkan pada taun 1189 M, sementara
kota-kota lainnya, seperti Tripol, Anthakiyah,Tyre an beberapa kota kecil lainnya masih berada di
bawah kekuasaan tentara Salib. 
Setelah perang besar memperebutkan kota Acre yang berlangsung dari 1189-1191 M, kedua
pasukan hidup dalam keadaan damai. Untuk itu, kedua belah pihak mengadakan perjanjian damai
secara penuh pada bulan 2 November 1192 M.  Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa daerah
pesisir dikuasai tentara Salib, sedangkan daerah pedalaman dikuasai oleh kaum muslim. Dengan
demikian, tidak ada lagi gangguan terhadap umat Kristen yang akan berziarah ke Yerussalem. 
Keadaan ini benar-benar membawa kedamaian dan dapat dinikmati oleh Salahuddin al-Ayyubi
hingga menjelang akhir hayatnya, karena pada 19 Februari 1193 ia jatuh sakit di Damaskus dan
wafat dua belas hari kemudian dalam usia 55 tahun. 
Dalam catatan sejarah, Salahuddin tidak hanya dikenal sebagai panglima perang yang ditakuti, akan
tetapi lebih dari itu, ia adalah seorang yang angat memperhatikan kemajuan pendidikan, mendorong
studi keagamaan, membangun bendungan, menggali terusan, seta mendirikan seklah dan masjid. 
Salah satu karya yang sangat monmetal adalah Qalah al-Jabal, sebuah benteng yang dibangun di
Kairo pada tahun 1183. 
Secara umum, para Wazirnya adalah orang-orang terdidik, seperti al-Qadi al-Fadl dan al-Katib al-
Isfahani. Sementara itu, sekretaris pribadinya bernama Bahruddin ibn Syaddad kemudian juga
dikenal sebagai penulis biografinya. 
Setelah Salahuddin al-Ayyubi meninggal, daerah kekuaannya yang terben-tang dari sungai Tigris
hingga sunagi Nil i tu kemdian dibagi-bagikan kepada keturunannya. Al- Malik al-Afdhal Ali, putera
Salahuddin memperoleh kekuasaan untuk memerintah di Damaskus, al-Aziz berkuasa di Kairo, al-
Malik al-Jahir berkuasa di Aleppo (Halab) , dan al-Adil, adik Salahuddin, memperoleh kekuasaan di al-
Karak dan asy-Syaubak. Antara tahun 1196 dan 1199, al-Adil berhasil menguasai beberapa daerah
lainnya, sehingga ia menjadi penguasa tunggal untuk Mesir dan sebagian besar Suriah. Al-Adil yeng
 

bergelar Saifuddin itu mengutamakan politik perdamaian dan mmajukan perdagangan dengan koloni
Perancis. Setelah ia wafat pada 1218 M, beberapa cabang Bani Ayyub menegakkan kekuasaan
sendiri di Mesir, Damaskus, Mesopotamia, Hims, Hamah, dan Yaman. Sejak itu, sering terjadi konflik
internal di anara keluarga Ayyubiyah di Mesir dengan Ayubiyah di Damaskus untuk memperebutkan
Suriah. 
Kemuaian al-Kamil Muhammad, putera alAdil, yang menguasai Mesir ( 615  635 H/ 1218  1238 M)
termasuk tokoh Bani Ayub yang paling menonjol. Ia bangkit untuk melindungi daerah kekuasaannya
dari rongrongan tentara Salib yang telah menaklukkan Dimyat, tepi sungai Nil, utara Kairo pada masa
pemerintahan ayahnya.  
Tentara Salib memang ampaknya terus berusaha menaklukan Mesir dengan bantuan
Italia. penaklukan Mesir menjadi sangat penting, karena dari negeri itulah mereka akan dapat
menguaai jalur peragangan Samudera Hindia melalui Laut Merah. Setelah hampir dua tahun (
November 1219 hingga Agustus 1221 M) terjadi konflik antara tentara salib dengan pasukan Mesir,
tetapi al-Kamil dapat memaksa tentara Sali untuk meningalkan Dimyati . Di samping memberikan
perhatian seius pada dalam bidang politikdan mliter, al-Kamil juga dikenal sebagai seorang penguasa
yang memberikan perhatian terhadap pembangunan dalam negeri. Program pemerintahannya ang
cukup menonjol ialah membangun saluran irigasi dan membuka lahan-lahan pertanian serta
menjalin hubungan perdagangan dengan Erpa. Selain itu, ia juga dapat menjaga kerukunan hidup
beragama antra umat Islam dengan Kristen Koptik, dan bahkan sering mengadakan diskusi
keagamaan dengan para pemimpin Koptik. 
Pada masa it kota Yerussalem masih tetap berada di bawah kekuasaan tentara Salib sampai 1244 M. 
Ketika al- Malik al-Saleh, putera Malik al- Kamil, memerintah ada tahun 1240  1249 , pasukan Turki
dari Khawarizm mengembalikan kota itu ke tangan Islam. Pada 6 Juni 1249 M pelabuhan Dimyati di
tepi sungai Nl ditaklukan kembali oleh tentara alib ang dipimpin oleh Raja Louis IX ari Perancis. 
Ketika pasukan Salib hendak menuju Kairo, sungai Nil dalam keadaan pasang, sehingga mereka
menghadapi kesulitan dan akhirnya dapat dikalakan oleh pasukan Ayyubiyah pada April 1250. Raja
Louis IX dan beberapa bangsawan Perancis ditawan, tetapi kemudian mereka dibebaskan kembali
setelah Dimyati dikembalikan ke tangan tentara muslim, disertai dengan sejumlah bahan makanan
sebagai bahan tebusan. 
Kemudian pada bulan November 1249 M, Malik al-Saleh meninggal dunia. Semula ia akan digantikan
oleh putera mahkota, Turansyah. Untuk itu, Turansyah dipanggil pulang dari Mesopotamia ( Sutiah)
untuk menerima tampuk kekuasaan ini. Untuk menghidari kevakuman kekuasaan, sebelum
Turansyah tiba di Mesir, ibu tirinya yaitu Sajaratuddur.  Akan tetapi, ketika Turansyah akan
mengambil alih kekuasan ia mendapat tantangan dai para Mamluk, amba sahaya yang dimiliki
tuannya, yan tidak menyenanginya. Belum genap satu tahun uransyah berkuasa, ia kemudian
dibunuh oleh para mamluk tersebut atas perintah ibu tirinya, Sajaratuddur. Sejak saat itu,
Sajaratddur menyatakan dirinya sebagai Sultanah pertama di Mesir. Pada saat yang bersamaan,
seorang pemimpin Ayubiyah bernama al-Asyraf Musa dari Damaskus juga menyataka dirinya sebagai
sultan Ayyubiyah meskipun hanya sebatas lambang saja tanpa kedauoatan atau kekuasaan yang riel. 
Kekuasaan yang sebenarnya justeru berada di tangan seorang mamluk bernama Izzuddin Aybak,
pendiri dinasti Mamluk (1250-1257 ) . Akan tetapi, sejak al-Asyraf Musa meninggal pada 1252 M,
beakhirlah masa pemerintahan dinasti al-Ayubiyah, dan kekuasaan beralih ke pmerintahan Dinasti
Mamluk ( 1250-121517 M)

B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan al-Azhar


 

Al-Azhar didirikan oleh seorang panglima dinasti Fatimiyah bernama Jauhar al-Katib al-Siqili pada
tahun 970 M. atas perintah khalifah al-Muiz Lidin illah, seba¬gai tempat ibadah (masjid) yang
sekaligus tempat melakukan propaganda ajaran Syiah dan lambang kepemimpinan spiritual umat
Islam. 
Sebelumnya, masjid al-Azhar bernama masjid al-Qahirah atau al-Jami al Qahirah, yang di zaman
modern ini dikenal dengan al-Azhar. Pembangunan masjid ini di mulai pada tanggal 4 April 970M/24
Jumadi al-Ula tahun 359 H dan selesai pada tanggal 7 Ramadhan 361H/22 Juni 972 M. dan pada
tanggal itu pula dires¬mi¬kan sebagai masjid yang dapat dipergunakan sebagai tempat peribadatan.
Bentuk peresmian itu ditan¬dai dengan pelaksanaan shalat Jumat bersama. Luas bangunan masjid
ini menurut perkiraan para sejarawan sekitar 6356 kaki. 
Tidak dapat diketahui secara pasti mengapa masjid al-Qahirah dalam perjalanan sejarahnya berubah
nama menjadi masjid al-Azhar. Menurut sebahagian para ahli, seperti Saniyah Quraah mengatakan
bahwa penamaan tersebut berawal dari usulan Yakub Ibn Killis, seorang wazir khalifah al-Aziz billah,
untuk merubah nama masjid tersebut. Penamaan yang diusulkan itu dinisbatkan dengan nama
istana khalifah, al-Qhusur al-Zahirah, atau dikaitkan dengan nama putri Nabi Muhammad Fatimah al-
Zahrah.  
Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa penamaan tersebut dikait-kan dengan nama
sebuah planet (Venus) yang memiliki cahaya cemerlang. Penamaan tersebut jelas mempunyai
maksud tertentu yang diingini para pendiri dan pelindung masjid al-Azhar. Diharapkan masjid ini
membawa sinar terang dan kejayaan umat Islam yang dapat menyinari dunia.  Harapan itu dapat
disaksikan dalam perjalaana sejarah masjid ini saat fungsinya digandakan, tidak lagi hanya sebagai
tempat ibadah dan propaganda ajaran Syiah, tetapi berfungsi pula sebagai Madrasah Tinggi di Kairo,
Mesir. 
Setelah al-Azhar resmi menjadi masjid negara, kegiatan ilmiah pertama kali dilakukan ketika para
ilmuan yang terdiri dari para Fuqoha terkenal dan pejabat pemerintahan Fatimiyah berkumpul di al-
Azhar untuk mendengarkan ceramah umum (Studium Generalle) yang disampaikan oleh Abu al-
Hasan Numan Ibn Muhammad al-Qirawaniy yang bergelar Hakim Agung (Qadi al-Qudat) dinasti
Fatimiyah. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 975M /Shafar 365H. 
Dalam acara stadium generalle itu, al-Qirawaniy menguraikan tentang prinsip-prinsip fiqh Syiah
yang terdapat di dalam kitab al-Ikhtishar. Kitab ini berisikan propaganda Syiah, tujuan dan
sasarannya. Kegiatan kuliah umum ini merupakan awal proses terbentuknya Kuttab (tempat belajar)
dan Halaqah (lingkaran study) di al-Azhar. 
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, al-Azhar terus difungsikan sebagai pusat kegiatan belajar, baik
di Halaqah atau di Kuttab yang berada di al-Azhar itu. Para pengajarnya berasal dari Bani Numan
yang mengajar di tempat tersebut sampai tahun 369M/979M, saat Halaqah itu berubah menjadi
sebuah lembaga Tinggi yang memiliki sistem pendidikan tinggi, ketika Yakub ibn Killis menjadi wazir
dan memimpin lembaga tersebut.
Hal itu terjadi setelah Ibn Killis memberikan ceramah umum yang dihadiri oleh para ulama dan
umara. Dalam kesempatan itu Ibn Killis melihat ada keseriusan mereka untuk terus mengkaji bidang-
bidang ilmu seperti fiqh, sastra dan sebagainya. Untuk itu, Ibn Killis tahun 988 M/378H, memohon
kepada khalifah al-Aziz bi Allah untuk memperhatikan 37 orang faqih yang melakukan kajian ilmiah
di al-Azhar setelah shalat jumat hingga datang waktu ashar. Atas permintaan itu, al-Aziz
membuatkan mereka tempat tinggal dekat al-Azhar. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-
hari, Yakub Ibn Killis memberikan sebagian uangnya untuk mereka. 
Para fuqoha ini merupakan guru-guru pertama yang mengajar di al-Azhar. Sejak saat itulah al-Azhar
 

tampak kelihatan karakteristikya sebagai sebuah lembaga ilmiah sebenarnya, yang memiliki cirri
akademis. Hal itu semua terjadi karena perhatian serius dari khalifah al-Aziz dan wazirnya Ibn Killis,
yang selalu memperhatikan kehidupan ilmu dan ilmuan. Peristiwa ini dinilai Hasan Langgulung
sebagai suatu tindakan yang tepat dan bijaksana, karena tindakan itu merupakan bukti kepedulian
penguasa terhadap perkembangan al-Azhar untuk menemukan ciri-ciri akademik dan ilmiah dengan
sistem belajar klasikal secara umum dan metode diskusi, dan ini merupakan awal dari timbulnya
sistem pendidikan tinggi di al-Azhar. 
Dengan demikian, al-Azhar dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubah-an-perubahan sangat
penting bagi pertumbuhan ilmu dan kemajuan hasil yang dicapainya, saat masjid itu mengalami
penambahan fungsi, dari hanya sekedar tempat ibadah dan pusat propaganda ajaran Syiah, menjadi
sebuah lembaga atau madrasah tinggi dengan sistem baru. Peristiwa itu terjadi pada masa
kepemimpinan khalifah al-Aziz billah dan wazir Yakub Ibn Killis tahun 988M/399H. 
Kedatangan para ulama dan pencari ilmu untuk belajar di al-Azhar, karena tertarik dengan sistem
yang digunakan Ibn Killis. Literatur yang dijadikan bahan kajian adalah kitab al-Iktishar, karya Abu
Numan, yang berisi tentang doktrin dan propaganda Syiah. Kitab Daaim al-Islam fi al-Hakak wa al-
Haram, karya Abu Numan dan Kitab al-Risalah al- Waziriah, karya Ibn Killis. Dua kitab yang disebut
belakangan merupakan kitab yang menjadi bahan rujukan utama pada masa khalifah al-Zahir. 
Mereka yang memperlajari dan mengahapal kitab tersebut, di j amin biaya hidupnya oleh Khalifah. 
Kelompok-kelompok studi yang terdapat di al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah, menurut Dodge
ada tiga kelompok. Pertama, kelompok yang terdiri dari murid yang semata-mata mendengar,
membaca dan menjelaskan al-Quran. Kedua, mereka yang duduk melingkar mengelilingi guru, dan
guru duduk di lantai. Guru itu mendiktekan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
murid-murid (al-Mujawirin) mengenai pelajaran yang diberikan. Ketiga, kelompok yang sudah
dianggap mampu untuk menjadi tenaga pengajar dan menjadi propagandis-propagandis. 
Hubungan antara guru dengan murid, terjalin begitu akrab. Guru sangat dihormati dan dimuliakan,
tidak hanya oleh para murid, juga dihormati penguasa, karena kedudukan dan peranannya sebagai
ilmuan. Oleh karena itu mereka sering disebut sebagai al-Janib al Syarif, al-Imami, al-Alimi,  Umdat
al-Muhaqqiqien, dan Facr al-Mudarrisin. 
Sebagai penghargaan khalifah Fatimiyah kepada para guru al-Azhar, mereka mendapat tunjangan
rutin dari pemerintah, begitu juga para murid yang belajar di sana. Sistem ini berlangsung hingga
pada masa al-Hafidz. Pada masa kekuasaan khalifah al-Hafidz li Dinillah (1130-1149M), al-Azhar
mengalami pengembangan fisik. Pada masanya di bangun Maqsurat Fatimah (Serambi Fatimah). 
Akan tetapi, pada waktu al-Adid berkuasa (1160-1171 M), terjadi konflik intern. Syirkuh, salah
seorang menteri yang ambisius yang bekerjasama dengan Salahuddin al-Ayyubi, bersama-sama
berusaha mengendalikan keadaan pemerintahan. Akan tetapi setelah al-Adid meninggal dunia,
terjadi masa kekosongan kekuasaan (Vacum of Power). Kesempatan itu dimanfaatkan oleh
Salahuddin al-Ayyubi untuk mengambil kekuasaan.

C. Al-Azhar Pada Masa Pemerintahan Dinasti al-Ayyubiyah.  


Segera setelah dinasti Fatimiyah runtuh (1171M) Salahuddin al-Ayyubi meng-hapuskan dinasti
tersebut dan secara jelas ia menyatakan dirinya sebagai penguasa baru atas Mesir, dengan nama
dinasti Ayyubiyah.  Dinasti ini lebih berorientasi ke Baghdad, yang Sunni. 
Nasib al-Azhar pada masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah, sebenarnya tidak lebih baik dari masa
pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sebab, setelah Salahuddin berkuas, ia mengeluarkan beberapa
kebijaksanaan baru mengenai al-Azhar. Kebijak¬an itu antara lain, penutupan al-Azhar. Al-Azhar
 

tidak boleh lagi dipergunakan untuk shalat Jumat dan Madrasah, juga dilarang dijadikan sebagai
tempat belajar dan mengkaji ilmu-ilmu, baik agama, maupun ilmu umum. Alasannya, menurut Hasan
Langgulung, penutupan itu diberlakukan karena al-Azhar pada masa dinasti Fatimiyah dijadikan
sebagai alat atau wadah untuk mempropaganda ajaran Syiah. Hal itu amat berlawanan dengan
mazhab resmi yang dianut dinasti Ayyubiyah, yaitu mazhab Sunni. 
Kebijakan lain yang diambilnya adalah menunjuk seorang Qadi, Sadr al Din Abd al-Malik ibn Darabas
untuk menjadi Qadi tertinggi, yang nantinya berhak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang hukum-
hukum mazhab Syafii. Di antaran fatwa yang dikeluarkan adalah melarang umat Islam saat itu untuk
melakukan shalat Jumat di masjid al-Azhar, dan hanya boleh melakukannya di masjid al-Hakim. 
Alasannya, masjid al-Hakim lebih luas. Selain itu, dalam mazhab Syafii tidak boleh ada dua khutbah
Jumat dalam satu kota yang sama. 
Masjid al-Azhar tidak dipakai untuk shalat Jumat dan kegiatan pendidikan selama lebih kurang
seratus tahun, yaitu sejak Salahuddin berkuasa sampai khutbah Jumat dihidupkan kembali pada
zaman pemerintahan Sultan Malik al-Zahir Baybars dari Dinasti Mamluk yang berkuasa atas Mesir. 
Meskipun begitu, pentupan al-Azhar sebagai masjid dan perguruan tinggi pada masa dinasti
Ayyubiyah, bukanlah berarti dinasti ini tidak memperhatikan bidang-bidang agama dan pendidikan. 
Bahkan pendidikan mendapat perhatian serius dari para penguasa dinasti ini. Indikasinya adalah
pembangunan madrasah-madrasah di hampir setiap wilayah kekuasaan, mengadakan pengajian
tinggi (kulliyat) dan universitas pun digalakkan. Oleh karena itu, tidak kurang dari 25 kulliyat didirikan
oleh kerajaan Ayyubiyah. Diantara kulliyat-kuliyyat yang terkenal adalah Manazil al-Iz, al-Kulliyat al-
Adiliyah, al-Kulliyat al-Arsufiyah, al-Kulliyat al- Fadiliyah, al-Kulliyat al- Azkasyiayah, dan al-kulliyat al-
Asuriyah . Semua nama-nama itu dinisbatkan kepada nama-nama pendirinya, yang biasanya
sekaligus pemberi wakaf bagi murid-murid dan guru-gurunya. 
Meskipun ada semacam larangan untuk tidak mengunakan al-Azhar sebagai pusat kegiatan, masjid
itu tidak begitu saja ditinggalkan oleh murid-murid dan guru-guru, karena hanya sebagian mereka
yang pergi meninggalkan tempat itu. Itu pun karena al-Azhar tidak mendapat subsidi (wakaf dari
pemerintah). Dengan demikian, al-Azhar praktis mengalami masa-masa surut. 
Keadaan demikain tidak selamanya terjadi, sebab pada masa pemerintahan Sultan al-Malik al-Aziz
Imaduddin Usman, putra Salahuddin al Ayyubi datang seorang alim ke tempat ini (al-Azhar), ia
bernama Abd al-Latif al-Baghdadi yang datang ke Mesir tahun 1193M/589H. Beliau mengajar di al-
Azhar selama Sultan al-Malik al-Aziz berkuasa. Materi yang diajarkannya meliputi mantiq dan Bayan.  
Kedatangan al- Baghdadi menambah semangat beberapa ulama yang masih menetap di al-Azhar, di
antara merka adalah Ibn al-Farid, ahli sufi terkenal, Syeikh Abu al-Qosim al-Manfaluti, Syeikh Jama
al-Din al- Asyuti, Syeikh Shahabu al-Din al-Sahruri, dan Syams al-Din Ibn Khalikan, seorang ahli
sejarah yang mengarang kitab wafiyyat al-Ayan. 
Selain mengajar mantiq dan bayan, al- Baghdadi juga mengajar hadits dan fiqh. Materi itu diajarkan
kapada para muridnya pada pagi hari. Tengah hingga sore hari ia mengajar kedokteran dan ilmu-ilmu
lainnya. Selain itu, al- Baghdadi juga memberi kelas-kelas privat di tempat-tempat lain. Ini
merupakan upaya al- Baghdadi untuk memberikan informasi dan sekaligus mensosialisasikan
mazhab Sunni kepada masyarakat Mesir
Selama masa pemerintahan dinasti Ayyubiyah di Mesir (1171-1250M), perkembangan aliran atau
mazhab Sunni begitu pesat, pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan tidak bisa lepas dari
kontrol penguasa yang beraliran Sunni, sehingga al-Azhar dan masa-masa berikutnya merupakan
lembaga tinggi yang sekaligus menjadi wadah pertahanan ajaran Sunni. Para penguasa dinasti
Ayyubiyah yang sunni masih tetap menaruh hormat setia kepada pemerintahan khalifah Abbasiyah
 

di Baghdad. Oleh karena itu, di bawah payung khalifah Abbasiyah mereka berusaha sungguh-
sungguh menjalankan kebijaksanaan untuk kembali kepada ajaran Sunni. Salah satu lembaga
strategis yang dapat diandalkan sebagai tempat pem¬be¬lajaran dan penyebaran ajaran mazhab
Suni adalah al-Azhar. 

Diposkan oleh odiemha di 21:47 

Rangkuman materi:
1.1  Sejarah Pembentukan Dinasti Al-ayyubuyah (569-650/ 1174-1252 M)  
1.1.1  Berdirinya dinasti Al-ayyubiyah 
Bani Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub suku Kurdi. Pendiri dinasti ini adalah
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi putra dari Najamuddin bin Ayyub. Pada masa Nuruddin Zanki
(Gubernur Suriah dari bani Abbasiyah), Salahuddin diangkat sebagai kepala garnisum di
Balbek.
Kehidupan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi penuh dengan perjuangan dan peperangan.
Semua itu dilakukan dalam rangka menunaikan tugas negara untuk memadamkan sebuah
 pemberontakan dan juga dalam menghadapi tentara salib.
Perang yang dilakukannya dalam rangka untuk mempertahankan dan membela agama.
Selain itu Salahuddin Yusuf al-Ayyubi juga seorang yang memiliki toleransi yang tinggi
terhadap umat agama lain, hal ini terbukti:
a.  Ketika beliau menguasai Iskandariyah ia tetap mengunjungi orang-orang kristen
 b.  Ketika perdamaian tercapai dengan tentara salib, ia mengijinkan orang-orang kristen
 berziarah ke Baitul Makdis.
Keberhasilan beliau sebagai tentara mulai terlihat ketika ia mendampingi pamannya
Asaduddin Syirkuh yang mendapat tugas dari Nuruddin Zanki untuk membantu Bani
Fatimiyah di Mesir yang perdana menterinya diserang oleh Dirgam. Salahuddin Yusuf al-
Ayyubi berhasil mengalahkan Dirgam, sehingga beliau dan pamannya mendapat hadiah dari
Perdana Menteri berupa sepertiga pajak tanah Mesir. Akhirnya Perdana Menteri Syawar 
 berhasil menduduki kembali jabatannya pada tahun 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi kembali menyertai pamannya ke
Mesir. Hal ini dilakukan karena Perdana Menteri Syawar bersekutu/ bekerjasama dengan
Amauri yaitu seorang panglima perang tentara salib yang dulu pernah membantu Dirgam.
Maka terjadilah peperangan yang sangat sengit antara pasukan Salahuddin dan pasukan
Syawar yang dibantu oleh Amauri. Dalam. Dalam peperangan tersebut pasukan Salahuddin
 berhasil menduduki Iskandariyah, tetapi ia dikepunt dari darat dan laut oleh tentara salib yang
 

dipimpin oleh Amauri. Akhirnya peperangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada bulah
Agustus 1167 M, yang isinya adalah sebagai berikut:
a.  Pertukaran tawanan perang
 b. Salahuddin Yusuf al-Ayyubi harus kembali ke Suriah
c.  Amauri harus kembali ke Yerusalem
d.  Kota Iskandariyah diserahkan kembali kepada Syawar.
Pada tahun 1169, tentara salib yang dipimpin oleh Amauri melanggar perjanjian damai
yang disepakati dahulu yaitu Dia menyerang Mesir dan bermaksud untuk menguasainya. Hal
itu tentu saja sangat membahayakan keadaan umat islam di Mesir, karena:
a.  Mereka banyak membunuh rakyat di Mesir 
 b.  Mereka berusaha menurunkan Khalifah al-Adid dari jabatannya
Khalifah al-Addid mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri Mesir pada
tahun 1169 M. ini merupakan pertama kalinya keluarga al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri,
tetapi sayang beliau menjadi Perdana Menteri hanya dua bulan karena meninggal dunia.
Khalifal al-Adid akhirnya mengangkat Salahuddin Yusuf al-Ayyubi menjadi Perdana Menteri
menggantikan pamannya Asaduddin Syirkuh dalam usia 32 tahun. Sebagai Perdana Menteri
 beliau mendapati gelah al-Malik an-Nasir artinya penguasa yang bijaksana.
Setelah Khalifah al-Adid (Khalifah Dinasti Fatimah) yang terakhir wafat pada tahun
1171 M, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi berkuasa penyh untuk menjalankan peran keagamaan
dan politik. Maka sejak saat itulah Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa hingga sekitar 75 tahun
lamanya.
1.1.2  Penguasa-penguasa Dinasti Al-Ayyubiah  
Selama lebih kurang 75 tahun dinasti Al-Ayyubiyah berkuasa, terdapat 9 orang penguasa
yakni sebagai berikut:
1.  Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)
2.  Malik Al-Aziz Imaduddin (1193-1198 M)
3.  Malik Al-Mansur Nasiruddin (1198-1200 M)
4.  Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
5.  Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)
6.  Malik Al-Adil Sifuddin, pemerintahan II (1238-1240 M)
7.  Malik As-Saleh Najmuddin (1240-1249 M)
8.  Malik Al-Mu¶azzam Turansyah (1249-1250 M)
9.  Malik Al-Asyraf Muzaffaruddin (1250-1252 M)
Dalam uraian berikut akan dibahas mengenai penguasa-penguasa yang menonjol, yaitu:
 

1.  Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)


2.  Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)
3.  Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)

1.  Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi (1171-1193 M)


Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak hanya dikenal sebagai seorang panglima perang yang
gagah berani dan ditakuti, akan tetapi lebih dari itu, beliau adalah seorang yang sangat
memperhatikan kemajuan pendidikan. Salah satu karya monumental yang disumbangkannya
selama beliau menjabat sebagai sultan adalah bangunan sebuah benteng pertahanan yang
diberi nama Qal¶atul Jabal yang dibangun di Kairo pada tahun 1183 M.
Selain itu beliau juga merupakan salah seorang Sultan dari dinasti Ayyubiyah yang
memiliki kemampuan memimpin. Hal ini diketahui dari cara Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi
dalam mengangkat para pembantunya (Wazir) yang terdiri dari orang-orang cerdas dan
terdidik. Mereka antara lain seperti Al-Qadhi Al-Fadhil dan Al-Katib Al-Isfahani. Sementara
itu sekretaris pribadinya bernama Bahruddin bin Syadad, yang kemudian dikenal sebagai
  penulis Biografinya.
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi tidak membuat suatu kekuasaan yang terpusat di Mesir.
Beliau justru membagi wilayak kekuasaannya kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal
ini mengakibatkan munculnya beberapa cabang dinast Ayyubiyah berikut ini:
a.  Kesultanan Ayyubiyah di Mesir 
 b.  Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus
c.  Keamiran Ayyubiyah di Aleppo
d.  Kesultanan Ayyubiyah di Hamah
e.  Kesultanan Ayyubiyah di Homs
f.  Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafaiqin
g.  Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar 
h.  Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa
i.  Kesultanan Ayyubiyah di Yaman
 j.  Keamiran Ayyubiyah di Kerak 

Salahuddin Yusuf al-Ayyubi dianggap sebagai pembaharu di Mesir karena dapat


mengembalikan mazhab sunni. Melihat keberhasilannya itu Khlaifah al-Mustadi dari Bani
Abbasiyah memberi gelar kepadanya al-Mu¶izz li Amiiril mu¶miniin (penguasa yang mulia).
Khalifah al-Mustadi juga memberikan Mesir, an-Naubah, Yaman, Tripoli, Suriah dan
 

Maghrib sebagai wilayah kekuasaan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi pada tahun 1175 M. sejak 
saat itulah Salahuddin dianggap sebagai Sultanul Islam Wal Muslimiin (Pemimpin umat ilam
dan kaum muslimin).
Di antara orang-orang yang iri dan melakukan pemberontakan terhadap Salahuddi Yusuf 
al-Ayyubi adalah sebagai berikut:
a.  Pemberontakan yang dilakukan Nuruddin Zanki, ia memberontak karena kebesaran namanya
tersaingi oleh Salahuddin Yusuf al-Ayyubi
 b.  Pemberontakan yang dilakukan Hijab (Kepala rumah tangga Khalifah al-Adid), ia
memberontak karena merasa hak-haknya banyak dikurangi.
c.  Pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Asassin yang dipimpin oleh Syakh Sinan karena
merasa tersaingi.
d.  Pemberontakan yang dilakukan Zanki, kelompok ini merupakan permbela Al-Malik as-Salih
yang bersekongkol dengan al-Gazi (penguasa Mosul dan paman Malik as-Salih Ismail) yang
 beusaha menjatuhkan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi karena merasa tersaingi.
Perang melawan tentara salib yang pertama adalah melawan Amalric 1, taja Yerusalem,
yang kedua melawan Baldwin IV (putra Amalric 1), yang ketiga melawan Raynald de
Chatillon (penguasa benteng Karak di sebelah tidur laut mati), yang keempat melawan Raja
Baldwin V sehingga kota-kota seperti Teberias, Nasirah, Samaria, Suweida, Beirut, Batrun,
Akra, Ramalah, Gaza Hebron dan Baitul Maqdis berhasil dikuasai oleh Salahuddin Yusuf al-
Ayyubi.
Selain Clement III, para penguasa Eropa yang membantu dalam perang melawan
Salahuddin Yusuf al-Ayyubi adalah:
a.  Philip II, Raja Prancis
 b.  Rivhard I, The Lion Heart (Hati Singa), Raja Inggris
c.  William, raja Sisilia
d.  Frederick Barbafossa, Kaisar Jerman
Setelah perang melawan tentara salib selesai, Salahuddin Yusuf al-Ayyubi memindahkan
 pusat pemerintahannya dari Mesir ke Damaskus, dan dia meninggal di sana pada tahun 1193
M dalam usia 57 tahun.

2.  Malik Al-Adil Saifuddin, pemerintahan I (1200-1218 M)


Sering dipanggil Al-Adil nama lengkapnya adalah al-Malik al-Adil saifuddin Abu Bakar 
 bin Ayyub. Dari nama Sifuddin inilah tentara salib memberi julukan Saphadin. Beliau putra
 Najmuddin Ayyub yang merupakan saudara muda Salahuddin Yusuf al-Ayyubi.
 

Setelah kematian Salahuddin, Ia menghadapi pemberontakan dari Izzuddin di Mosul. Ia


  juga menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa ketika terjadi perselisihan diantara
anak-anak Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yaitu al-Aziz dan al-Afdal. Setelah kematian al-
Aziz. al-Afdal berusaha meduduki jabatan Sultan, akan tetapi al-Adil beranggapan al-Afdal
tidak pantas menjadi Sulatan. Akhirnya terjadilah peperangan antara keduanya, al-Adil
nberhasil mengalahkan al-Afdal dan beliau menjadi Sultan di Damaskus.
Al-Adil merupakan seorang pemimpin pemerintahan danpengatur strategi yang berbakat
dan efektif.

3.  Malik Al-Kamil Muhammad (1218-1238 M)


 Nama lengkap al-Kamil adalah al-Malik al-Kamil Nasruddin Abu al-Maali Muhammad.
Selain dipuja karena mengalahkan dua kali pasukan salib ia juga dicaci maki karena
menyerahkan kembali kota Yerusalem kepada orang Kristen.
Al-Kamil adalah putra dari al-Adil. Pada tahun 1218 al-Kamil memimpin pertahanan
menghdapi pasukan salib yang mengepung kota Dimyat (Damietta) dan kemudian menjadi
Sulatan sepeninggal ayahnya. Pada tahun 1219, Ia hampir kehilangan takhtanya karena
konserpasi kaum kristen koptik. Al-Kamil kemudian pergi ke Yaman untuk menghindari
konspirasi itu, akhirnya konspirasi itu berhasil dipadamkan oleh saudaranya bernama al-
Mu¶azzam yang menjabat sebagai gubernur Suriah.
Pada bulan Februari tahun 1229 M, al-Kamil menyepakati perdamaian selama 10 tahun
denga Federick II, yang berisi antara lain:
a.  Ia mngembalikan Yerusalem dan kota-kota suci lainnya kepada pasukan salib
 b.  Kaum muslimin dan yahudi dilarang memalsuki kota itu kecuali disekitar Masjidil Aqsa dan
Majid Umar.
Al-Kamil meninggal dunia pada tahun 1238 M. Kedudukannya sebagai Sultan
digantikan oleh Salih al-Ayyubi.

1.1.3  Berakhirnya dinasti Ayyubiyah  


Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa pemerintahan Sultan As-Salih. Setelah
As-Salih meniggal pada tahun 1249 M, kaum Mamluk mengangkati estri As-Salih,
Syajaratud Durr sebagai Sultanah. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Dinasti
Ayyubiah di Mesir. Medkipun demikian dinasti Ayyubiyah masih berkuasa di Suriah. Pada
tahun 1260 M. tentara Mongol hendak menyerbu Mesir. Komando tentara Islam dipegang
oleh Qutuz, panglima perang Mamluk. Dalam pertempuran di Ain Jalut, Qutuz berhasil
 

mengalahkan tentara Mongol dengan gemilang. Selanjutnya, Qutuz mengambil alih


Kekuasaan Dinasti Ayyubiyah. Sejak itu, berakhirlah kekuasaan Dinasti Ayyubiyah.
Diposkan oleh Iwan Subhan's Blog di 07:28 

Anda mungkin juga menyukai