Anda di halaman 1dari 17

Perang Aceh, Dalam Ingatan Bangsa Belanda

Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa


berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang
sudah berperang dengan kita begitu lama di
masa lalu. Pada tahun 1873 kita
mengumandangkan perang pada Aceh. Tetapi
perdamaian dengan Aceh tidak pernah
tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya
untuk menyatakan penyesalan kepada Aceh.
Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati
yang terdalam...
-------Penulis oleh Nico Vink

Tahun 1600, serangan di Nieuwpoort. Siapa yang masih membicarakan Perang Aceh? Siapa yang tahu
mengapa Gubernur Jendral Loudon di Batavia (Jakarta) yang otokratis, keras kepala, impulsif dan gigih
memulai perang melawan Aceh tahun 1873? Berapa tahun perang ini berlangsung? Siapa yang tahu di
sungai mana, di benteng Aceh yang mana, di semak belukar yang mana, di bukit dan gunung yang mana,
di kampung yang terbakar mana serta kebun kelapa yang mana tempat para serdadu Belanda dan Aceh
saling melemparkan klewang satu sama lain?

Siapa yang masih ingat nama kampung-kampung di Aceh tempat para pejuang Aceh dapat berleha-leha
dengan 70 bidadari yang cantik setelah pasifikasi, ekskursi, pendisiplinan Belanda? Masih ingatkah kita
bagaimana Jendral Khler, komandan pasukan invasi Belanda tahun 1873, terbunuh di bawah pohon
geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja? Tentang Jendral van der Heijden, alias Kareltje Enoog, yang
bersujud kepada orang-orang Aceh menyatakan terima kasihnya karena dia masih bisa selamat?

Siapa pula yang masih ingat tentang Belanda yang sebelum melancarkan Perang Aceh Kedua
mengaktifkan kembali Jendral van Swieten yang sudah pensiun? Siapa yang tidak pernah mendengar
bertahun-tahun kemudian, setelah Perang Aceh yang kesekian-kalinya, cerita Jendral Van Heutz tentang
para serdadu KNIL yang runtuh semangatnya, namun kemudian terinspirasi oleh pemikiran Snouck
Hurgronje, seorang Belanda yang mendalami Islam, maka semangat bertempur para serdadu itu bangkit

kembali? Yang dengan tenang mengejar dan membuat kaget orang-orang Aceh di gunung-gunung dengan
senjata modern, klewang dan taktik anti-gerilya yang baru.

Van Heutsz yang menangkap orang Aceh yang pemberani dan pecinta kemerdekaan, pertama-tama
kakinya dulu, kemudian lehernya dan dengan hati-hati dipukulnya lalu kemudian mencoba mengambil hati
mereka. Terakhir, siapa yang tidak mengenal saya hanya menyebut satu nama saja sementara ini Van
Daalen yang kejam, seorang militer yang memandang rendah pribumi.

Pada aksi kontra terorisnya, kekejaman dan kesadisan bukan hanya sesekali tetapi sistematis.
Sebagaimana yang ditulis seorang polisi militer dengan nama samaran Wekker yang pernah
dipermalukan oleh Van Daalen pada tahun 1907 melalui 17 artikel di koran De Avondpost (Koran
Malam) yang terbit di Den Haag , para tahanan dibunuh (sebagai pelajaran lalu jasad mereka dijajarkan),
kaum wanita dan anak-anak ditembak, para pemberi informasi yang ragu-ragu disiksa, para sandera
disekap dalam kurungan, rumah tinggal, mesjid dan kampung-kampung dibakar habis. (1)

Sesudah Van Heutsz diangkat menjadi gubernur jendral bersama dengan komandan militer Belanda saat
itu atas perintah Menteri di Den Haag, maka kritik di parlemen pun mereda. Van Daalen dibebaskan dari
segala tuduhan (harusnya diadili dulu oleh pihak yang netral). Angkat topi.

Nama-nama para pemimpin besar Aceh saat itu seperti Tiro, Panglima Polim, Teuku Umar dan istrinya
yang penuh semangat perjuangan, Cut Nya Dien, saya rasa tidak perlu dipertanyakan lagi. Ambil
contohnya Teuku Umar. Pada awalnya beliau membiarkan dirinya didekati oleh Belanda, mendapat titel
yang baik dan ribuan prajurit Aceh di bawah komandonya dilatih dan dipersenjatai oleh Belanda yang
tidak beragama. Setelah itu beliau menyeberang ke kubu Aceh, musuh Belanda. Di mata penjajah
tindakannya dianggap sebagai sebuah pengkhianatan besar.

Tetapi orang Aceh yang bertelanjang kaki menilainya tidak demikian. Di mata mereka, Belanda terperosok
dalam perangkap Teuku Umar. Janda Teuku Umar, Cut Nya Dien, juga mempunyai semangat berjuang
yang berkobar. Dengarlah bagaimana beliau mengimbau agar rakyat Aceh berjuang melawan penjajah.

Rakyatku, orang-orang Aceh, ingatlah ini, jangan pernah lupakan! Mereka menentang Allah
dan membakar Mesjid Raya (di Kutaraja)! Jangan pernah lupakan dan jangan pernah
memaafkan para kafir Belanda!! Perlawanan Aceh tidak hanya dalam kata-kata. (2)

Tentu saja di Belanda ada sekitar 44 atau 444 orang Belanda asli, Indo, para pensiunan KNIL di Bronbeek.
Belum lagi orang Maluku, anggota Yayasan Kerkhof Pecut, dosen universitas yang muda dan tua, para
pelajar asal Aceh, kelompok pecinta literatur Indische Letteren, keturunan para pegawai pemerintah
Belanda dan para pengajar sekolah dasar Eropa di Hindia-Belanda, dulu, yang tahu soal Perang Aceh.

Kadang mereka malah sangat banyak tahu hingga membuat kita terkejut. Tetapi lebih dari itu saya kira
hanya tinggal sejarah. Menyedihkan.

Dari mereka yang menganggap Perang Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kisah tentang perang
ini. Logis. Yang lainnya, Bagi mereka yang menganggap Perang Aceh belum sepenuhnya mati,
masih sesekali menulis, bahwa peringatan tentang Perang Aceh tampaknya sudah mati,
sebuah masa lalu yang sudah mati, (3)

Mereka tidak menyesalinya sama sekali, karena kita tidak bisa belajar apa-apa lagi dari perang ini, begitu
pendapat mereka. Sementara yang setengahnya lagi, para ahli literatur dan sejarawan, dengan fakta-fakta
kosong juga telah membuat perang ini seolah-olah mati.

Contohnya adalah Menke de Groot. Untuk merehabilitasi nama Kapten Borel yang memimpin Pasukan
Hindia-Belanda dan membebaskan tuduhan terhadap Jendral Swieten, pemimpin KNIL yang dituduh
bersalah melakukan pembakaran dan pembunuhan massal, maka pada tahun 2009 beliau menulis sebuah
buku tebal tentang Perang Aceh Kedua membahas kedua pemimpin tersebut (4).

Bagaimana

orang

dapat

percaya

padanya,

diperlukan

penjelasan. Hati-hati

dengan pendapat

sembrono orang-orang seperti Multatuli dengan pemikiran filantropisnya yang menyesatkan


tentang Perang Aceh, demikian serunya. Sayang sekali bahwa de Groot dalam buku edisi cetak
ulangnya hanya menyebut lembaga militerdalam Perang Aceh Kedua. Padahal Perang Aceh Pertama,
Ketiga dan Keempat sama sekali tidak identik dengan Perang Aceh Kedua.

Akan sangat menarik sekali jika de Groot menempatkan Perang Aceh nya dalam konteks kolonial, dengan
sudut pandang saat itu dan sudut pandang saat ini. Sayang sekali beliau tidak menangkap kesempatan
itu.

Berbagai lagu rakyat Belanda menunjukkan bagaimana pada saat terjadinya Perang Aceh kita melihat diri
kita sendiri sebagai penjajah Belanda yang beradab dan Aceh yang barbar, serta bagaimana beruntungnya
saat itu bagi Aceh karena kita ingin menciptakan perdamaian di sana.

Paasman mencatat, banyak tentang lagu-lagu tersebut adalah lagu untuk membangkitkan semangat, lagu
tentang keadilan, lagu tentang polisi militer, lagu perpisahan, lagu peringatan, lagu tentang pahlawan,
lagu jalanan, lagu cinta mendayu-dayu dan lagu-lagu kabaret (5).. Contohnya lagu Militair Atchinlied karya
P Haagsma, (6)

Naar Atchin, de Kraton! Daar zetelt het kwaad.


Schuilt ontrouw, broeit zeeroof en smeulde verraad;
Roeit uit dat geboredsel, verneder die klant;

Met Nederlands driekleur beschavinggeplant.


Ke Aceh, Kerajaan! Disanalah bersarangnya kejahatan.
Sembunyikan kepalsuan, sarang bajak laut dan penuh pengkhianatan;
Teriakilah kekacauan itu, permalukanlah;
Dengan peradabanBelanda tiga warna.

Setiap pembunuh muda menyanyikan lagu jalanan yang populer ini, (7)
En Teuku Oemar, die moet hangen;
Aan een touw, aan een touw,
Teuku Oemar en zjn vrouw.
Dan Teuku Umar, harus digantung;
Dengan tali, dengan tali,
Teuku Umar dan istrinya.

Para pahlawan Hindia-Belanda yang gagah berani pun tak dilupakan, (8)
Wie kent er niet die brave zielen
Die aan het verre Atjehstrand
Al voor de eer van Nederland vielen
't Rood, Wit, Blauw in hun verstijfde hand?
We zullen hunnen assche eeren, wreken,
En waar ik ga of sta of zit, zal ik hun naam met eerbied spreken
Want dat waren jongens van Jan de Witt.
Siapa yang tidak kenal jiwa-jiwa yang berani
Yang berjuang di pantai Aceh yang jauh
Gugur demi kehormatan Belanda
Warna merah, putih dan biru di tangan mereka yang sudah kaku?
Kita akan menghormati dan membela jasad mereka,
Dimanapun aku berada, berdiri atau duduk, aku akan menyebut nama mereka dengan penuh hormat.
Karena mereka adalah para pemuda Jan de Witt.

Kumpulan puisi yang sesungguhnya untuk orang dewasa. Puisi bertema kepahlawanan yang benar-benar
khas Belanda, termasuk lagu pengantar tidur tentang Perang Aceh, sejauh yang saya tahu belum pernah
ditulis.

Tentu saja ada juga suara-suara yang kritis tentang Perang Aceh, di antaranya dari Multatuli yang sudah
kita kenal, yang tanpa basa-basi menulis sebuah surat 'kepada Raja' sebagai berikut, Gubernur Jendral
Anda (James Loudon-Red) saat ini berada pada posisi untuk memaksakan kehendaknya dengan
mengumandangkan perang pada Sultan Aceh, dengan alasan yang dibuat-buat, seolah-olah sebagai suatu

tindakan yang wajar dilakukan, dengan tuntutan agar Sultan Aceh menyerahkan kedaulatannya. Hal ini
sama sekali tidak terhormat, tidak bermartabat, tidak dapat dipahami. (9)

Saya juga sudah menyebut tentang Wekker, seorang polisi menulis 17 artikel kritis di koran Den Haag De
Avondpost. Artikel-artikel yang menimbulkan keresahan di Belanda, setidaknya di parlemen. Namun
persoalan ini dianggap tidak ada dan tidak dicari pemecahannya. Para penulis seperti Zentgraff sebelum
Perang Dunia Kedua (10) dan van t Veer (11) dan Bossenbroek (12) tidak menghargai keterlibatan KNIL
dalam Perang Aceh. Salah satu kutipannya, Kampung Kuto Reh yang diserang, 11 Juni 1904. Dua Belanda
tewas. Aceh kehilangan 313 pria, 189 wanita, 59 anak-anak.

Komandan Van Daalen memerintahkan agar jenazah yang bergelimpangan difoto. Seorang Letnan
bernama Colijn yang beragama Kristen menulis kepada istrinya dalam Bahasa Belanda sehari-hari,
Pekerjaan yang tidak menyenangkan tetapi tidak ada pilihan lain. Para serdadu berpesta menghujani
mereka dengan bayonet..

Setelah tahun 1945 muncul perhatian dari berbagai pihak tentang Perang Aceh. Misalnya Madelon SzkelyLulofs yang menulis roman tentang pejuang Aceh Cut Nya Dien (14). Atau roman yang menggugah
berjudul Wisselkind yang terbit tahun 1998 yang ditulis Basha Fabers (15). Paul van t Veers dengan
karyanya yang menawan berjudul De Atjeh-oorlog (Perang Aceh) tahun 1869 (16). Atau buku De
verbeelding van een koloniale oorlog (Gambaran sebuah perang kolonial) tahun 2001 yang disusun oleh
Liesbeth Dolk (17) berisi tulisan sepuluh penulis yang menggambarkan Aceh melalui pers, literatur, seni
dan film.

Ingatan tentang Perang Aceh sesudah 2001 tidak berhenti begitu saja, oleh sebab itu perlu ditelaah
aktualisasinya. Pada tahun 2004 muncul skripsi doktoral yang tidak begitu dikenal yang ditulis oleh Lucia
Hogervorst, van etnocentrisme naar cultuurrelativisme (18) (Dari Etnosentrisme ke Relativitas Budaya).
Isinya mengenai pendapat umum di Belanda setelah tahun 1945 tentang sejarah kolonial. Beliau
mendasarkan penelitiannya antara lain pada buku sejarah di sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama pada tahun 1950-an, 70-an dan 90-an tentang Perang Aceh.

Setelah itu ia mengukuhkan pendapatnya sekali lagi melalui tulisannya De (niet te) vergeten oorlog in
Atjeh (Perang di Aceh yang (tidak untuk) Dilupakan) melalui penerbitan khusus pada tahun 2010 untuk
memperingati 65 tahun berakhirnya Perang Dunia Kedua(19). Pendidikan Protestan pada tahun 1950-an
menceritakan kisah tentang seorang Sultan Aceh (seorang bangsawan yang berdaulat - Red) yang tidak
mau tunduk pada Pemerintah Belanda dan masyarakat Aceh yang dipandang sebagai para bajak laut yang
beringas, oleh sebab itu mereka harus dikoreksi.

Maka anggapan harus dikoreksi inilah yang menjadi alasan mengapa Belanda menduduki Aceh
(menduduki bagi Aceh sama dengan menyerang dan menjajah- Red). Buku sejarah di sekolah Katolik
nyaris tidak memberi informasi tentang Perang Aceh itu sendiri tetapi menceritakan ratusan kali tentang
Pendeta Verbraak yang bertahun-tahun bertugas menangani jiwa-jiwa damai para pemberani.

Buku itu memuji perjuangan para serdadu Pasukan Hindia-Belanda yang pemberani. Dengan perjuangan
berat para serdadu Belanda berhasil mengembalikan ketentraman di Aceh sementara orang Aceh sendiri
sesekali masih melawan Belanda (mengembalikan ketentramanseolah-olah Aceh yang pribumi sudah
secara sah menjadi bagian dari Kerajaan Belanda- Red).

Tetapi murid sekolah sebenarnya tidak belajar bagaimana Belanda selama bertahun-tahun menjadi bagian
dari petualangan keserakahan, bersaing dan berseteru dengan sesama negara Eropa lain untuk mencari
keuntungan dan kekayaan di belahan dunia lain yang jauh dan belum dikenal. Orang Belanda yang baik
harus mencari keuntungan, bukan dengan jalan kebaikan tetapi dengan menimbulkan banyak kerusakan.
Maka Aceh pun menjadi korban dari keserakahan itu.

Kepada rakyat Belanda dikatakan bahwa pendudukan dilakukan untuk mengakhiri bajak laut di Aceh.
Kepada Amerika dan negara Eropa lain menurut kabar burung (yang tidak diuji kebenarannya) dikatakan
bahwa tindakan itu dilakukan untuk mempersiapkan kesepakatan yang menguntungkan dengan Sultan
Aceh dan untuk mengambil alih wilayah kekuasaannya.

Maka Gubernur Jendral di Batavia secara tergesa mengumumkan perang dengan Sultan Aceh dan
mendaratlah pasukan ekspedisi Belanda pada tanggal 8 April 1873 di Aceh. Tetapi ketika Jendral Belanda,
Khler, yang berkuasa tewas terbunuh di bawah pohon geulumpang dekat Masjid Raya di Kutaraja maka
tewas pula kekuasaannya dan ekspedisi pertama itu pun gagal.

Pada tahun 1874 terjadilah Perang Aceh Kedua di bawah pimpinan Jendral van Swieten yang pensiun
namun diaktifkan kembali. Ketika kerajaan milik Sultan Aceh diduduki, dengan penuh kemenangan beliau
mengirim pesan ke Belanda kerajaan sudah kita duduki, tetapi yang sebenarnya terjadi adalah kerajaan
itu kosong melompong dan burung-burung pun beterbangan dari dalamnya.

Sesudah itu diikuti oleh tahun-tahun penuh kritik terbuka dari para bawahan di antara yang menonjol
adalah Kapten Borel. Muncul lagi seorang jenderal baru, kali ini dengan taktik pertahanan 16 benteng di
sekitar Kutaraja. Mereka bertahan selama bertahun-tahun dengan cara bersembunyi di benteng-benteng
tersebut, demikian menurut Snouck Hurgronje.

Kemudian muncul Jendral Karel van der Heijden, alias Kareltje Enoog (Karel Bermata Satu), setelah
beliau kehilangan satu matanya dalam peperangan. Taktiknya adalah hukuman sebagai pelajaran, dengan
kata lain ribuan orang Aceh dibunuh dan ratusan kampung di Aceh habis dibakar, tetapi kemenangan
perang tetap tidak tercapai. Kemudian diikuti oleh Jendral Van Heutsz yang kali ini mendapat giliran.

Terinspirasi oleh visi spesialis Islam asal Belanda, Snouck Hurgronje, beliau menjalankan taktik aksi kontra
gerilya yang bergerak ofensif secara berkala ke pedalaman Aceh yang bergunung-gunung, yang untuk
beberapa waktu lamanya belum terjamah manusia.

***

Anda bisa membayangkan Van Heutsz, dengan tangan di belakang, perut buncit, memberi kesan sebagai
seorang militer superior yang arogan.Tetapi di bawah kepemimpinan penerus Van Heutsz, yaitu Van
Daalen,

baru

terjadi

perubahan.

Selama ekspedisinya ke pedalaman Gayo dan Alas, semua isi kampung dibunuh. Van Daalen dan
pasukannya memerintahkan agar apa yang mereka lakukan diabadikan melalui foto, dengan penuh
kebanggaan, yaitu tumpukan mayat dengan seorang anak lelaki yang kebetulan selamat dari huru-hara itu
disampingnya.

Para pejabat Belanda yang dipermalukan oleh Van Daalen menulis secara
anonim kenyataan yang mencengangkan itu di koran-koran Belanda. Para
anggota Parlemen yang terkejut (di antaranya Victor de Stuers) mengkritik
bahwa Pemerintah menyebutnya ekskursi, tetapi saya menyebutnya sejarah
pembunuhan. Koran Het Volkmenulis pada tanggal 17 Juli 1904 sebuah negara
yang beradab dan berperikemanusiaan tidak seharusnya menyanjung
seseorang (Van Heutsz) yang telah menumpahkan darah.

Maka dalam sekejap berubahlah gambaran tentang negara Belanda yang


beradab yang bukan melancarkan perang melainkan pasifikasi dan
mengembalikan ketenangan serta menegakkan peraturan, menjadi negara
Belanda yang berkhianat, tidak dapat dipercaya, terbius oleh opium dan
seks. Tiba-tiba orang-orang Belanda bukan pahlawan lagi melainkan para
pembunuh massal.
Sejak tahun 1970-an buku-buku sejarah tidak lagi menampilkan kisah-kisah
kepahlawanan melainkan informasi berdasarkan fakta yang ditulis secara
singkat, contohnya setelah perjuangan berdarah selama bertahun-tahun maka
Aceh berhasil dikuasai. Banyak korban pribumi yang jatuh. Pada tahun 1990-an
ditulis demikian hingga tahun 1900 orang Belanda hanya ingin mencari untung
di Indonesia.
Lalu pada tahun 1873 orang Belanda ingin menguasai Aceh karena di sana
banyak sumber minyak dan gas sehingga orang Belanda harus melancarkan
perang. Orang Aceh melakukan perlawanan (yang benar adalah orang Aceh
yang pecinta kemerdekaan ingin tetap merdeka, maka dengan segala kekuatan
mereka menolak agresi Belanda. Itu berbeda artinya dengan melakukan
perlawanan- Red).

Ketika akhirnya orang Aceh berhenti melawan, hal itu bukan menyerah seperti
yang dipikirkan Belanda, tetapi mereka mencuri waktu untuk kelak bersamasama dapat bangkit lagi dan mengusir Belanda dari Kutaraja sesaat sebelum
Jepang menyerang Aceh pada bulan Maret 1942. Sebagaimana yang dicatat
sejarah.
Pameran Van heldendaad tot schandvlek het Nederlands koloniaal verleden in
de geschiedenisboekjes (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang memalukan
- Penjajahan Belanda di masa lalu dalam buku sejarah) di Museum Pendidikan
Nasional di Rotterdam tahun 2005 mendapat inspirasi dari skripsi doktoral Lucia
Hogervorst. Pameran yang sama pada tahun 2006 digelar di Museum Bronbeek
di Arnhem dengan menggunakan judul Het Nederlands koloniaal verleden in de
geschiedenisboekjes(Pejajahan Belanda di Masa Lalu dalam Buku Sejarah).

Foto (1) Kontroversi - (Klik untuk memperbesar)

Judul Van heldendaad tot schandvlek (Dari tindakan patriotik menjadi noda yang
memalukan) tampaknya tidak dapat diterima di Arnhem karena dianggap terlalu
peka untuk para pejuang Bronbeek. Kepekaan yang sama juga tercermin
melalui komentar-komentar pers tentang pameran di Rotterdam seperti dalam
koran NRC danNederlands Dagblad yang berkiblat Protestan.
Bagaimana di Aceh? Pada awalnya Aceh bersikap antusias setelah Perang Dunia
Kedua dengan dinyatakannya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945. Tetapi tak lama kemudian Aceh segera menyadari munculnya
kolonialisme Jakarta. Maka dimulai lagi perjuangan kemerdekaan yang sengit
selama bertahun-tahun. Tiba-tiba terjadi tsunami tahun 2004, sebuah tragedi di
luar batas kemanusiaan.
Tetapi Perang Kolonial Belanda di Aceh tampaknya berhasil bertahan dari
bencana itu. Puisi-puisi kepahlawanan masih ditemukan (20). Contoh yang
menarik misalnya Hikayat Perang Sabil dari Abad ke-19. Hikayat bercerita
tentang perang mempertahan diri yang terjadi di Aceh melawan penjajah
Belanda yang agresif dan dengan cepat menarik simpati orang Aceh yang
beragama Islam. Pesan Hikayat yang kuat sangat sesuai dengan jiwa
perjuangan rakyat Aceh.
Hikayat menyerukan agar rakyat Aceh melancarkan perang jihad melawan
orang Belanda yang tidak beragama. Di bawah kekuasaan Belanda yang tidak
beragama maka rakyat Aceh tidak dapat lagi menjalankan keyakinan mereka.
Pembunuhan dan kematian akan terjadi di mana-mana. Keyakinan mereka,
Islam, akan diancam oleh penjajah. Adat istiadat mereka juga akan dilarang.
Belum lagi persoalan perilaku para serdadu Belanda yang tidak bermoral,
pemerkosaan dan lain-lain.
Setiap orang Aceh, setiap pria dan wanita dan anak-anak dengan demikian
harus berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajah. Perang melawan
Belanda adalah perang seluruh rakyat. Imbalannya, surga. Jika tidak
berpartisipasi maka hukumannya adalah api neraka. Satu hari bertempur
melawan Belanda mendapat pahala jauh lebih besar daripada seribu hari naik
haji di Mekah. Jihad adalah cara kematian yang terindah. Karena setiap orang
ikut bertempur maka sulit untuk memisahkan para pejuang dengan yang bukan
pejuang.
Tetapi ketika orang-orang Belanda setelah perang selama 30 atau 40 tahun
menjadi semakin kuat dan tampaknya dekat dengan kemenangan, maka Aceh
menyerahkan diri pada Belanda, namun dengan syarat bahwa orang-orang
Belanda pertama-tama harus mengakui Islam sebagai agama mereka. Jika Aceh
menyerahkan diri, tidak berarti sebagaimana yang kita pahami sebelumnya

bahwa mereka juga rela dikuasai. Penyerahan diri itu hanya merupakan taktik
untuk membenahi kekuatan.

Ini sebagian dari puisi kepahlawanan Aceh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda: (21)

Daarom,

teungkoes,

Volbrengt

de

O,

De

Eerst

er

is

Heilige

broeders.

enkele

goede

oorlogvoeren

Oorlog

is

dat

komt

nalatig.

geen

het

Begrijpt

niet

godsdienstplichten,

vrienden,

Die

weest

overtreft.

als

plicht

goed,

de

geloofsbelijdenis,

(dagelijks

daad,

opgelegd,
broeders!

dan

de

5x

sembahjang
bidden-Red),

Ten derde het oorlogvoeren tegen de Hollanders.


Oleh

sebab

Kerjakanlah
Oh,
Yang
Perang
Pahamilah

Pertama

itu,

tengku,

kewajiban
kawan,

tidak

beragama,

tidak

melebihi

jangan

ada

o
satu

perjuangan
jihad
hal

membaca

saudaraku
pun

dalam
adalah

itu,

syahadat,

peduli

kebaikan,
peperangan
kewajibanmu

kemudian

saudaraku!

shalat,

Ketiga berperang melawan Belanda.

Sementara Teuku Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda, sang istri, Cut Nya Dien, menyanyikan
lagu pengantar tidur untuk bayi mereka: (22)

H, mijn kleine jongen, mijn beminde zoon, je bent een man,

Je vader, je grootvader zijn ook mannen, toon je manlijkheid,De Christenhonden willen ons land
bezetten,Zij

willen

onze

godsdienst

inruilen

coor

hun

godsdienst, De

godsdienst

van

de

christenhonden.Verdedig de rechten van ons Atjenees volk,Verdedig onze godsdienst, de Islamitische


godsdienst. O, mijn zoon, volg de voetsporen van je vader,Teuku Ibarhim Lamnga, nu hij niet thuis
is.Denk maar niet dat je vader met zn vrienden op stap isOm de komst van de Christenhonden te
vieren,Hij is op weg om hen te verjagen uit het land Atjeh.
Hai, anak lelakiku, anak lelaki kesayanganku, kau seorang lelaki,
Ayahmu, kakekmu juga laki-laki, tunjukkan keperkasaanmu,Anjing-anjing Kristen ingin menguasai negara
kita,Mereka ingin menukar agama kita dengan agama mereka,Agama para anjing Kristen.Belalah hak
rakyat Aceh,Belalah agama kita, agama Islam.O, anak lelakiku, ikutilah jejak ayahmu,Teuku Ibrahim
Lamnga, yang sekarang tidak di rumah,Jangan kira ayahmu sedang bersenang-senang dengan
temannya,Untuk merayakan kedatangan para anjing Kristen, Beliau pergi untuk mengusir mereka dari
tanah Aceh.

Sampai sekarang hikayat masih tetap aktif dihidupkan. Pada tahun 2007 terbit versi kartun kisah hikayat
untuk anak-anak sekolah di Aceh. Sampai sekarang para ibu juga masih menyanyikan lagu pengantar tidur
untuk bayi-bayi mereka. Lagu-lagu dodaidi mengajarkan pada anak-anak Aceh agar kelak harus
membantu para pejuang Aceh. Ini salah satu lagu dodaidi: (23)

Tiada

Tuhan

selain

Rasul

telah

Kembali
Beliau

Allah

ke
meninggalkan

Do

pangkuan
Al

idi

Tali

layang-layang

Jadilah

anak

berpulang

Quran
ku

di
yang

untuk
doda

udara
kuat,

Allah

oh

kita
idang

telah

putus

Banta

Seudang

Ikutlah bertempur dalam peperangan, selamatkan Aceh.

Apakah Perang Aceh yang di Aceh disebut sebagai Perang Penjajahan Belanda masih diingat? Mehmet
Ozay membantu saya pada Januari 2010 mewawancarai lebih dari 25 murid sekolah, mahasiswa dan
dosen di Banda Aceh (24). Bagaimana mereka mengenang Perang Aceh?

Jakarta tidak pernah mempunyai perhatian terhadap sejarah daerah, tetapi memusatkan perhatian
hanya pada sejarah Jawa dan hanya mengakui pahlawan-pahlawan nasional yang di dalamnya termasuk

Teuku Umar dan Cut Nya Dien. Bagi Jakarta, Aceh merupakan hal yang peka. Generasi muda Aceh tidak
diperkenankan untuk menjadi patriot Aceh.

Oleh sebab itu seberapa jauh pelajaran tentang Perang Penjajahan Belanda diberikan di sekolah di Aceh
sangat bergantung pada pengajarnya. Sejak penandatanganan Kesepakatan Helsinki antara Aceh dan
Jakarta tahun 2005 maka ketertarikan secara terbuka di Aceh terhadap Perang Penjajahan Belanda
semakin meningkat. Para kakek tanpa rasa takut dapat menceritakan kembali kisah perjuangan mereka
kepada cucu-cucu. Para pengajar sekolah dasar dan sekolah menengah menceritakan dalam pelajaran
sejarah bagaimana rakyat Aceh dengan gagah berani melawan penjajah Belanda hanya dengan
bersenjatakan bambu, rencong dan klewang.

Di sekolah menengah atas, tugas mata pelajaran Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia merujuk
pada perang tersebut. Di tingkat universitas di jurusan sejarah diperbandingkan visi para sejarawan Aceh
dengan visi para sejarawan Belanda. Bagaimana Jendral Belanda Khler pada Perang Aceh Pertama tahun
1873 dibunuh oleh rakyat Aceh di bawah pohon geulumpang dekat Mesjid Raya di Kutaraja sangat populer
untuk dibahas.

Dan bagaimana Teuku Umar mengelabui Belanda juga dengan sendirinya berada dalam urutan teratas
pembahasan. Mereka selalu memandang ahli Islam asal Belanda bernama Snouck Hurgronje dengan
pengetahuannya tentang Aceh sebagai pengkhianat. Sebagaimana Belanda mengenal Van Heutsz, para
murid dan mahasiswa Aceh juga mengenal para pahlawan mereka.

Mereka telah melihat pameran foto tentang Perang Belanda di Museum Aceh dan mereka juga mengenal
Hikayat Perang Sabil. Dan dengan wisata sekolah ke Makam Belanda Kerkhof di Banda Aceh, makam
militer Belanda terbesar di Aceh tempat bersemayam sekitar 2.200 militer KNIL, mereka melihat dengan
mata kepala sendiri bahwa Perang Belanda di Aceh bagi Belanda sendiri bukan hal yang ringan.

Di makam ini mereka juga melihat nama-nama asal Ambon, Menado dan Jawa yang menjadi bukti betapa
kreatifnya Belanda untuk saling mengadu domba orang Indonesia antara satu dengan lainnya. Sementara
Jawa sudah beberapa ratus tahun menjadi jajahan Belanda, maka Aceh setelah 70 tahun berperang
sebenarnya belum benar-benar berhasil dikuasai oleh Belanda.

Hal ini sampai sekarang masih diceritakan oleh orang Aceh dengan penuh kebanggaan. Pastilah bukan
tanpa sebab bahwa orang Aceh masih mengingat Perang Penjajahan Belanda yang terjadi antara 70
hingga 140 tahun yang lalu di samping tragedi tsunami tahun 2004. Kursus tambahan bagi para pengajar
tentang perang tersebut akan dilakukan di masa depan dan sebuah pameran foto besar-besaran pada
tahun 2011 tentang perang tersebut juga sedang dalam tahap persiapan.

***

Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Yahudi oleh Nazi memang sudah
selayaknya mendapat tempat dalam pendidikan sekolah kita di Belanda. Kedua
subyek sejarah tersebut beruntung mendapat tempat yang dominan dalam otak
generasi muda kita. Tetapi hal itu juga sayangnya menimbulkan beberapa
dampak negatif. Kapasitas otak relatif kecil dan kita khawatir tidak ada tempat
lagi untuk subyek sejarah yang penting seperti Perang Aceh yang berlangsung
selama 30, 40 atau bahkan 70 tahun. Juga terlalu sedikit, sangat sedikit
perhatian yang diberikan para dosen untuk episode yang sangat berarti ini
dalam sejarah kita.
Akibatnya adalah ingatan yang semakin terpinggirkan tentang perang ini. Hal ini
diperburuk oleh banyaknya monumen kenangan dan peringatan di negara kita
tentang Perang Dunia Kedua namun sangat sedikit sekali tentang Perang Aceh.
Monumen dan tempat-tempat bersejarah di Aceh buat kita jauh letaknya dan
dengan demikian juga tidak mudah untuk dikunjungi secara massal dari negara
kita.
Begitu banyak monumen bertema Perang Dunia Kedua namun monumen
Perang Aceh sampai sekarang nyaris tidak mendapat perhatian. Tampaknya ada
kecenderungan kuat bahwa kecintaan kita pada kemerdekaan hanya berlaku
untuk diri kita sendiri. Orang lain selalu salah dan harus merasa malu jika
mereka mengancam dan merebut kemerdekaan kita, tetapi jika kita merampas
kemerdekaan orang lain (misalnya rakyat Aceh), maka kita dengan sendirinya
segera menerapkan standar keadilan yang berbeda atau kita mengalihkan
perhatian ke arah lain.

Untungnya hal itu akan segera berakhir karena sejak tahun ini perubahan akan
terjadi. Sekarang Komite 4 & 5 Mei (Komite di Belanda untuk memperingati Hari
Kemerdekaan Belanda dari Pendudukan Jerman) bukan hanya memikirkan
tentang kemerdekaan kita tetapi juga kemerdekaan semua orang di seluruh
dunia. Juga rakyat Aceh sekarang (dan juga pada masa lalu jika boleh saya
tambahkan).
Bicara tentang monumen, kita pernah memiliki monumen Van Heutsz di
Amsterdam. Tetapi karena Van Heutsz merupakan simbol perdebatan (Peter van
Zonneveld telah merumuskannya dengan baik) (25), maka nama monumen
tersebut diganti menjadi Monumen Inde-Nederland(Indonesia-Belanda) dan
berubah maknanya menjadi kenang-kenangan tentang hubungan antara
Belanda dan Indonesia pada masa kolonial.
Tetapi monumen itu tidak terfokus pada Perang Aceh. Juga ketika monumen itu
masih bernama Monumen Van Heutsz, nyaris tidak seorang pun yang tahu
bahwa itu adalah monumen Aceh milik kita. Van Heutsz adalah komandan

militer di Aceh dan Gubernur Aceh antara tahun 1890-1904. Perang Aceh
dimulai tahun 1873 dan berlangsung hingga 1942 (ada berbagai pendapat
tentang hal ini).
Jadi ada Perang Aceh sebelum dan sesudah Van Heutsz. Sekitar empat atau lima
Perang Aceh seluruhnya, setiap kali dengan komandan militer yang berbeda.
Sudah saatnya dibangun sebuah monumen yang khusus untuk memperingati
Perang Aceh, yang dimulai sejak invasi di Aceh tahun 1873 dan berakhir dengan
perlawanan seluruh rakyat Aceh hingga keluarnya Belanda dari Aceh tahun
1942. Sebuah monumen tentang agresi dan pendudukan Belanda serta
pembebasan Aceh.
Sebuah monumen yang menggambarkan sisi kemanusiaan dan kebiadaban
Belanda dan Aceh yang terjadi selama masa itu. Kisah-kisah dalam buku sejarah
juga harus lebih kaya, lebih menarik, lebih menghanyutkan, lebih komunikatif.
Tentang Aceh dan Perang Aceh harus disediakan bukan lagi dana melainkan
kreativitas yang informatif. Harus ada film atau serial televisi yang menarik
tentang Perang Aceh yang sungguh-sungguh menggambarkan daerah dan
rakyatnya, yang menggambarkan Aceh seratus tahun yang lalu sebagaimana
aslinya.

Otentik. Menampilkan bukan hanya orang Belanda tetapi juga para serdadu
KNIL asal Ambon, Menado dan Jawa, para pejuang Aceh serta wanita dan anakanak. Jadi bukan semacam tokoh karikatur pemberani yang diromantisasi ala
Filipina sebagaimana film NCRV tahun 1996. Aceh dan Perang Aceh harus
dihidupkan
kembali.
Untungnya
pada
tahun
2009
het Indisch
Herinneringscentrum (Lembaga untuk memperingati sejarah tentang Indonesia)
atau disebut juga IHCB di Bronbeek dibuka. Pertengahan Agustus 2010 akan
diselenggarakan pameran berjudul Het verhaal van Indi (Kisah tentang
Indonesia) di
Bronbeek.

Artinya setelah esai ini selesai ditulis. Apakah IHCB menampilkan kisah Perang
Aceh dengan baik dan pameran tersebut berhasil, saya tidak dapat
menjawabnya saat ini, tetapi saya harap akan demikian. Maka cukup banyak hal
besar yang masih bisa dilakukan. Salah satunya tentu saja masih harus kita
tunggu bagaimana seorang ilmuwan NIOD (Lembaga Dokumentasi Perang
Belanda) bernama Elly Touwen-Nouwsma (26) yang mencintai kebaikan KNIL
(dan para pahlawannya) (27) menyebut monumen KNIL, sebuah patung dada
Van Heutsz dari perunggu, sebuah bangku dengan plakat bertuliskan Jendral
van der Heijden (atau Kareltje Enoog) dan patung tentang Perang Aceh di
Taman Bronbeek untuk menggambarkan bagaimana seorang Aceh diancam
akan dibunuh oleh seorang prajurit KNIL (yang heroik-Red).

Jika Elly-Touwen-Bouwsma merasa gelisah, maka saya ingin menenangkan


beliau. Patung yang sebaliknya juga ada. Patung penembak kanon Belanda yang
gagah berani namun tidak terkenal yang pada peperangan di Mesjid Raya di
Kutaraja digorok lehernya (oleh seorang pejuang Aceh) hingga jatuh dari tangga
dan tewas di tangan teman-temannya (28). Tidak ada yang menentang
sanjungan setinggi langit terhadap para jendral Belanda dan para serdadu
mereka yang heroik dan berusaha menciptakan ketentraman dan kedamaian,
juga tidak ada yang menentang Monumen Van Heutsz yang bombastis di
Amsterdam, yang diresmikan dengan penuh keartistikan.

Jika saja di seberang bekas Monumen Van Heutsz ke arahAmsterdams


Lyceum (Sekolah Menengah Amsterdam) di Valeriusplein sebuah tempat
disediakan untuk sebuah monumen yang mencerminkan harapan, misalnya
patung seorang anak lelaki Aceh yang duduk di bawah kerindangan bambu
sebagai satu-satunya orang yang selamat ketika pembantaian terjadi di
kampungnya di Kuto Rh tahun 1904.
Disebelahnya patung seorang serdadu KNIL yang besar dan tinggi sebagai latar
belakang, mendongak, yaitu komandan KNIL Van Daalen yang memandang
rendah pribumi. Terinspirasi oleh foto saat itu yang terkenal (29).Amsterdam,
masyarakat Amsterdam, Belanda, niatkanlah bahwa patung tentang harapan itu
akan dibangun. Siapa yang menyelamatkan seorang anak lelaki Aceh,
maka menyelamatkan juga seluruh Aceh (30).

Kita juga seharusnya bersikap jelas dan tidak terlambat menyadari bahwa kita
masih bisa belajar banyak dari Perang Aceh. Belajar untuk tidak tergesa-gesa
dan melakukan persiapan yang baik sebelum memulai perang. Belajar untuk
memeriksa kebenaran dari berita yang kita terima (Irak hingga Aceh!) Ancaman

yang muncul tidak harus selalu diselesaikan melalui perang (Aceh yang di
seberang lautan hingga bajak laut Somalia).

Bahwa orang lain juga mempunyai hak kemerdekaan yang sama dengan kita.
Bahwa kita, orang Belanda, menggunakan standar keadilan ganda dalam usaha
untuk menguasai dan menjajah bangsa lain sebagaimana halnya musuh dan
lawan-lawan kita (Belanda melawan Aceh tahun 1873 hingga Nazi-Jerman
melawan Belanda tahun 1940)-(31). Dan sejak serangan Belanda ke Aceh tahun
1873, terutama sejak tahun 1890-an ketika Snouck Hurgronje dan muridnya
yang militer yaitu Van Heutsz terlibat maka semakin jelas bagi pihak Belanda
bahwa bertempur dan meraih kemenangan di Aceh adalah sesuatu yang
khusus, lebih daripada menyerang musuh di lapangan terbuka.
Usaha lebih diarahkan untuk bagaimana caranya mendapat dukungan dari
masyarakat lokal, pegawai pemerintah dan para pemimpin spiritual. Untuk
mempersempit ruang gerak para pejuang Aceh. Untuk diakui bahwa mereka
telah melindungi masyarakat setempat. Untuk membantu tugas-tugas
kepemerintahan. Untuk membangun jembatan dan jalan-jalan, untuk
memperbaiki kampung-kampung, untuk membantu para petani, membangun
mesjid dan ruang-ruang pertemuan masyarakat.
Setelah Irak dan Afghanistan kini Departemen Pertahanan Belanda
mengeluarkan buku panduan doktrin baru yang diterbitkan dengan penuh
kebanggaan, padahal pelajaran berharga yang sama sudah lama ada.
Pengalaman 70 tahun Perang Aceh tidak berarti apa-apa bagi Departemen
Pertahanan.

Sekarang akhir Periode Pemerintahan Beatrix semakin mendekat, maka saya ingin menyerukan hal ini
pada Sang Ratu: Ratu, akan sangat indah sekali jika kita bisa berbaik kembali dengan rakyat Aceh, yang
sudah berperang dengan kita begitu lama di masa lalu. Pada tahun 1873 kita mengumandangkan perang
pada Aceh. Tetapi perdamaian dengan Aceh tidak pernah tercapai. Tidak pernah. Kini tiba waktunya untuk
menyatakan penyesalan kepada Aceh. Permintaan maaf sejujur-jujurnya dari hati yang terdalam. Ingatan
akan Perang Aceh sama sekali belum mati.

Anda mungkin juga menyukai