Anda di halaman 1dari 7

Cut Nyak Dhien

16 bahasa
 Halaman
 Pembicaraan
 Baca
 Sunting
 Sunting sumber
 Lihat riwayat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk film Indonesia tahun 1988, lihat Tjoet Nja' Dhien (film).

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien

Lahir 1848
 Lampadang, Kesultanan Aceh

Meninggal 6 November 1908 (1848 – 1908; umur 59–60

tahun)
 Sumedang, Hindia Belanda

Sebab meninggal Meninggal karena sakit-sakitan setelah diasingkan

oleh Belanda.

Komplek Makam Cut Nyak


Tempat
Dhien, Sumedang, Jawa Barat
pemakaman
6°51′47.7″S 107°54′59.1″EKoordinat:  6°51′
47.7″S 107°54′59.1″E

Nama lain Ibu Perbu / Ibu Ratu / Ibu Suci (Sumedang)

Dikenal atas Pahlawan Nasional Indonesia

Gerakan politik Perang Aceh dengan Belanda

Lawan politik  Belanda

Suami/istri Ibrahim Lamnga,

Teuku Umar

Anak Cut Gambang

Orang tua Teuku Nanta Seutia

Kerabat Teuku Mayet Di Tiro (Menantu)

Hasan Di Tiro (Cicit)

Keluarga Teuku Rayut (Saudara Kandung)

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan


Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908;[1] dimakamkan di Gunung
Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur
melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29
Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih jauh dalam perlawanannya
terhadap Belanda.
Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah
sebelumnya ia dijanjikan dapat ikut turun di medan perang jika menerima lamaran
tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien memiliki seorang anak yang diberi
nama Cut Gambang.[2] Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien
bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda. Namun, pada
tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien
berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Usia Cut
Nyak Dien yang saat itu sudah relatif tua serta kondisi tubuh yang digrogoti berbagai
penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang
Laot melaporkan keberadaannya karena iba.[3][4] Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke
Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Keberadaan Cut
Nyak Dhien yang dianggap masih memberikan pengaruh kuat terhadap perlawanan
rakyat Aceh serta hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap
membuatnya kemudian diasingkan ke Sumedang. Cut Nyak Dhien meninggal pada
tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama
Cut Nyak Dhien kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan
Raya di Meulaboh.[5]

Kehidupan Awal[sunting | sunting sumber]


Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh
Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum
Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari
Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman
pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[6] Datuk Makhudum Sati mungkin
datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan
Jamalul Badrul Munir.[3][7] Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. [3] Ia memperoleh
pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama)
dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan
sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada
Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah
dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga,[3]
[7]
 putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh[sunting | sunting sumber]


Rencong merupakan senjata tradisional milik Suku Aceh. Cut Nyak Dhien menggunakan Rencong sebagai
salah satu alat perang untuk melawan para tentara Kerajaan Belanda pada saat Kerajaan Belanda
menyerang Kerajaan Aceh dan membakar Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1873.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai


melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh
yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur
melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda
mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai
Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya
Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat
memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak
pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI
Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh
pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu
dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29
Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
menghancurkan Belanda.[3]
Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut
bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan moral
semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut
Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar
tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan
hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30
September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi
ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena
musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan
Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit
pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana
untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun,
Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk
mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan
tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan
mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. [2]

Teuku Umar, suami kedua Cut Nyak Dhien.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini
disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan
Teuku Umar.[2][3] Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti.
Penggantinya, Jend. Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, dengan cepat
terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. [2] Belanda lalu mencabut
gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. [3]
Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan
Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti
jenderal yang bertugas.[2] Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka
dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu,
kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang
menghancurkan semua yang ada di jalannya.[2] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda
merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De
Marsose".[2] Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena
banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan
ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh. [2]
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan
sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh
pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru.
Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia
ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

“ ”
Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
sudah syahid[2]

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman
Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan
ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena
tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut
Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit
encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh
makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. [3][4]
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya
kepada Belanda karena iba.[3][4] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak
Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien
berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi
Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. [8][9] Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut
Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah
dilakukan oleh ayah dan ibunya.[2]

Masa Tua dan Kematian[sunting | sunting sumber]


Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ.
Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak
Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa
kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus
berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik
perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian
mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan
identitas tahanan.[2] Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari
bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki
sebagai "Ibu Perbu".[2]
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang
sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan.[9] "Ibu Perbu" diakui oleh
Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[2][3]

Makam[sunting | sunting sumber]

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959
berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan
berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. [9] Masyarakat Aceh
di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta
berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[9] Menurut
pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara
tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh
dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui
monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam
yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7
Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam
bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di
sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan sebagai makam
keluarga ulama H. Sanusi.[9]
Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa
Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh
Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia.
Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. [9] Kini, makam ini
mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah
Sumedang tidak memberikan dana.[9]

Apresiasi[sunting | sunting sumber]
Biografi dalam Seni[sunting | sunting sumber]

Poster Film Tjoet Nja' Dhien

Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja'


Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine
Hakim sebagai Tjoet Nja' Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet
Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini
memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia
pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
Pada 13 April 2014, sebuah karya seni untuk mengenang semangat perjuangan dan
perjalanan hidup Cut Nyak Dhien (CND) dalam bentuk teater monolog yang
dimainkan dan disutradarai oleh Sha Ine Febriyanti; dipentaskan pertama kali di
Auditorium Indonesia Kaya, Jakarta. Naskah berdurasi 40 menit yang ditulis oleh
Prajna Paramita tersebut kemudian dipentaskan kembali pada 2015 di Jakarta,
Pekalongan, Magelang, Semarang, dan Banda Aceh. Rencananya, teater monolong
CND juga akan dipentaskan di Australia dan Belanda.
Biografi beliau juga pernah dituangkan dalam bentuk cerita bergambar secara
berseri dalam majalah anak-anak Ananda.[10]

Anda mungkin juga menyukai