Anda di halaman 1dari 7

- Cut Nyak Dien adalah seorang pejuang perempuan perang asal Aceh yang lahir di Lampadang,

Aceh pada tahun 1848. Mari simak perjuangan pahlawan perempuan yang ditakuti Belanda,
berikut sejarah Cut Nyak Dien.

Kisah hidup Cut Nyak Dien sangat sederhana bahkan menderita. Walaupun demikian, dirinya
tetap gigih berjuang untuk mempertahankan kebebasan rakyat Aceh dari penjajahan Kolonial
Belanda. Diketahui Cut Nyak Dien membela rakyat Aceh dalam melawan Belanda bersama.
Dirinya sejajar dengan para pejuang lainnya yaitu, Panglima Polim, Teungku Cik di Tiro dan
sang suami, Teuku Umar.

Berikut ini biografi Cut Nyak Dien, pejuang perempuan perang asal Aceh yang ditakuti Belanda.

Perjuangan Cut Nyak Dien Melawan Belanda

Cut Nyak Dien, ikut serta dalam berperang langsung bersama para pejuang lainnya melawan
penjajah. Meskipun seorang wanita, namun Cut Nyak Dien tidak gentar dan terus memimpin
perlawan melawan Belanda. Cut Nyak Dien, merupakan sosok yang ditakuti oleh Belanda karena
dirinya mampu mengobarkan semangat perlawanan rakyat Aceh.

Cut Nyak Dien mulai ikut mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda pada tahun 1880.
Itu tidak lepas dari tewasnya suami Cut Nyak Dien, yaitu Teuku Cek Ibrahim Lamnga saat
bertempur pada tanggal 29 Juni 1878. Kematian suaminya tersebut membuat Cut Nyak Dien
sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Kemudian pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar dan mempersilahkan
ikut bertempur di medan perang. Bergabungnya Cut Nyak Dien berhasil meningkatkan moral
semangat perjuangan Aceh dalam melawan Belanda, kemudian perang dilanjutkan secara
gerilya.

Bergerilya untuk mengusir Belanda dari hari ke hari membuat kekuatan fisik Cut Nyak Dien
menurun. Sehingga dirinya tidak lagi gesit berlarian dari hutan ke hutan. Karena pantang
menyerah, Cut Nyak Dien tetap maju dalam medan pertempuran untuk memimpin rakyat Aceh
meskipun sambil ditandu. Semangatnya naik dan semakin bergejolak meskipun tubuhnya
melemah.

Walaupun demikian, Belanda akhirnya berhasil untuk menangkap dan mengasingkan Cut Nyak
Dien ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat baru, dirinya diberi julukan sebagai Ibu Perbhu atau
Ratu. Di Sumedang, Cut Nyak Dien mengajar ilmu agama seperti Al-Quran sampai akhir
hayatnya. Dirinya wafat di sana pada tanggal 6 November 1908.

Kehidupan Awal
Rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Aceh Besar

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah
VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI
Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau.
Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan
perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.[6]
Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh
diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.[3][7] Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang
Lampageu.

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.[3] Ia memperoleh pendidikan pada
bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak,
melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang
tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia
12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim
Lamnga,[3][7] putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh


Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan
Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf
Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda
mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid
Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama.
Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara
Köhler tewas tertembak pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak
Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24
Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.[3]

Cut Nyak Dien, setelah tertangkap oleh pihak Belanda

Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien
menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan
perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun
1880. Hal ini meningkatkan moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda
Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut
Gambang.

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku
Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda
semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah
250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang
karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku
Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda
dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun
ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Cut Nyak Dien berusaha menasihatinya untuk
kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda.
Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti
sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada
pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan
mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.[2]

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata,
dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van
Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi
besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar.[2][3] Namun, gerilyawan
kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend.
Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel, dengan
cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan.[2] Belanda lalu mencabut gelar
Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.[3]

Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh
(bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jenderal yang bertugas.[2]
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan
oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-
Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya.[2] Akibat dari hal ini, pasukan Belanda
merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose".[2]
Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak
ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk
Aceh.[2]
Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang
Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda
menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien,
menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang
“ sudah syahid[2]

Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh
bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur
sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di
medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun,
dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit
memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.[3][4]

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada
Belanda karena iba.[3][4] Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le
Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan
mencoba untuk melawan musuh. Namun, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.[8][9] Cut
Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan
meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.[2]

Masa Tua dan Kematian

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati
Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak
Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[2] Ia ditahan bersama
ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam
agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".[2]

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh
saat itu, Ali Hasan.[9] "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.[2][3]

Makam

Perangko Peringatan 100 Tahun Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan
permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di
Belanda.[9] Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara
tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer.[9]
Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara
tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta
melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen
peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani
oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam
terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nisan yang dikatakan sebagai
makam keluarga ulama H. Sanusi.[9]

Pada batu nisan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-
Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.

Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka
melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah
makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat.[9] Kini, makam ini mendapat biaya perawatan
dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.[9]
Cerita Teuku Umar melamar Cut Nyak Dhien

Merdeka.com - Nama pahlawan nasional dari Aceh Cut Nyak Dien mendadak ramai
dibicarakan. Belakangan ini beredar foto kalau sosok Cut Nyak Dhien yang selama ini beredar
adalah palsu. Yang asli adalah Cut Nyak Dhien merupakan wanita berjilbab.

Terlepas dari polemik itu, ternyata kisah asmara Cut Nyak Dien cukup menarik. Dia
dipersunting oleh Teuku Umar yang juga merupakan tokoh pahlawan nasional.

Cerita cinta mereka berawal saat Cut Nyak Dien marah besar karena suaminya Teuku Ibrahim
Lamnga tewas dalam perang melawan Belanda di Gle Tarum ada 28 Juni 1878. Cut Nyak Dhien
sangat marah besar dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Cut Nyak Dien pun berjanji akan bersedia menikahi laki-laki yang dapat membantunya
menuntut balas kematian Teuku Ibrahim.

Selama menjanda bertahun-tahun, Cut Nyak Dhien memimpin sendiri pasukan perang. Namun,
rupanya dia gelisah mencari sosok pendamping sekaligus memimpin pasukan perang.

Akhirnya munculah seorang pria dari Meulaboh. Ya dia adalah Teuku Umar.

Teuku Umar jatuh hati pada pandangan pertama saat pertama kali melihat Cut Nyak Dhien.

"Saya bersedia menjadi panglima perang pasukan ini. Namun, dengan syarat Cut Nyak Dhien
bersedia menjadi istri saya," kata Umar.

Cut Nyak Dhien terkejut mendengar pernyataan Teuku Umar. Cut Nyak Dhien pun menolak
mentah-mentah lamaran Teuku Umar.

Teuku Umar pun hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Hanya itu yang bisa dia lakukan
setelah cintanya ditolak Cut Nyak Dhien.

Namun, Teuku Umar tak putus asa. Dia berusaha keras mendapatkan cinta Cut Nyak Dhien.
Saking besarnya cinta itu, dia membuat adegan rekayasa demi mendapatkan perhatian dari Cut
Nyak Dhien.

Ceritanya begini. Suatu hari Cut Nyak Dhien sedang melatih pasukan berpedang. Tiba-tiba ramai
orang lewat dan mengangkat Teuku Umar berlumuran darah yang ditandu.

Cut Nyak Dhien: Kenapa ini?

Teuku Umar: Saya mau pulang

Cut Nyak Dhien: Jangan, kita obati dulu, harus kita obati ini, jangan putus asa begitu

Teuku Umar: Biar saya mati saja, Cut Nyak pun menolak cinta saya
Cut Nyak Dhien: Kita obati dulu, nanti baru kita urus yang itu

Teuku Umar: Tak apa, Cut Nyak beri saja obat itu ke saya

Setelah beberapa hari, Teuku Umar kemudian sembuh dari 'luka' itu. Dia pun menagih janji ke
Cut Nyak Dhien. Karena merasa berjanji, Cut Nyak Dhien akhirnya memenuhi janjinya dan
akhirnya menikah.

Bersatunya kedua orang itu kembali mengobarkan semangat juang rakyat Aceh.

Belakangan Cut Nyak Dhien curiga dengan luka Teuku Umar. Akhirnya Teuku Umar berkata
jujur dan mereka berdua pun tertawa.

Perang hebat terus terjadi. Teuku Umar akhirnya tewas tertembak. Cut Nyak Dhien kembali
berjuang sendirian hingga akhirnya dia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sumedang hingga
akhirnya menutup usia. [mtf]

Polemik foto Cut Nyak Dhien berjilbab

Bukti Cut Nyak Dhien tak berjilbab dalam foto sejarah


Salah satu forum di Kaskus membuktikan kalau Cut Nyak Dhien memang bukan sosok wanita
berhijab. Penelusuran mereka, dalam foto yang disimpan dalam KITLV Belanda (semacam bank
foto sejarah) sosok Cut Nyak Dhien memang tidak berjilbab.

Dari satu foto yang disimpan, tergambar sosok Cut Nyak Dhien yang duduk lemas dan sudah tua
tanpa berjilbab. Foto itu diambil saat Cut Nyak Dhien ditawan oleh Letnan E Firing dari
Belanda.

"Jadi, secara singkat saja, bahwa klaim mengenai sejarah atau Foto / lukisan Cut Nyak Dhien
yang bersanggul dianggap hasil skenario penjajah dan pemerintah sekuler adalah salah dan jelas
hoax," kata mereka. [e

Anda mungkin juga menyukai