Anda di halaman 1dari 5

Biografi Cut Nyak Dien:

Kelahiran Cut Nya Dien dan Pernikahannya dengan Teuku Ibrahim


Cut Nyak Dien termasuk keturunan dari bangsawan Aceh. Beliau lahir tahun 1848 di
kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI Mukim, Aceh Besar. Semasa kecil, Cut
Nyak Dien dikenal sebagai gadis yang cantik. Kecantikan itu semakin lengkap dengan
pintarya Cut Nyak Dien dalam bidang pendidikan agama.
Pada tahun 1863, saat itu Cut Nyak Dien berusia 12 tahun, ia dijodohkan dengan Teuku
Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat, Uleebalang Lam Nga XIII. Suaminya adalah
pemuda yang wawasannya luas dan taat agama. Cut Nyak Dien dan Teuku Umar menikah
dan memiliki buah hati seorang laki-laki.
Riwayat sejarah Aceh mencatatkan bahwa Teuku Ibrahim berjuang melawan kolonial
Belanda. Teuku Ibrahim sering kali meninggalkan Cut Nyak Dien dan anaknya karena
melakukan tugas mulia yaitu berjuang melawan kolonial Belanda. Berbulan-bulan setelah
meninggalkan Lam Padang, Teuku Ibrahim kembali datang untuk menyerukan perintah
mengungsi dan mencari perlindungan di tempat yang aman. Atas seruan dari suaminya itu,
Cut Nyak Dien bersama penduduk lainnya kemudian meninggalkan daerah Lam Padang pada
29 Desember 1875.
Kabar duka menimpa Cut Nyak Dien, pada 29 Juni 1878, Teuku Ibrahim wafat.
Kematian suaminya itu membuat Cut Nyak Dien terpuruk. Namun, kejadian itu tidak
membuatnya putus asa, justru sebaliknya menjadi alasan kuat Cut Nyak Dien melanjutkan
perjuangan sosok suaminya yang sudah wafat.

Cut Nyak Dien dan Meletusnya Perang Aceh


Pada 26 Maret 1873, Belanda memulai perang dengan Aceh. Belanda melalui armada
kapal Citadel van Antwerpen, mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh.
Selanjutnya, pada tanggal 8 April 1873, Belanda di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf
Köhler berhasil mendarat di Pantai Ceureumen dan langsung menguasai dan membakar
Masjid Raya Baiturrahman, Aceh.
Apa yang dilakukan oleh Belanda tersebut kemudian memicu terjadinya perang Aceh
yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan sekitar 3.198 prajurit
Belanda. Tetapi, Kesultanan Aceh bisa memenangkan perang pertama melawan Belanda
tersebut dengan tertembaknya Köhler hingga tewas.
Pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten, wilayah VI Mukim
berhasil diduduki oleh Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui
kekuatan hebat dari kolonial Belanda.
Dengan kejadian tersebut, memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama penduduk
serta rombongan lain pada 24 Desember 1875. Namun, Teuku Ibrahim tetap bertekad untuk merebut
kembali daerah VI Mukim. Sayangnya, ketika Teuku Ibrahim bertempur di Gle Tarum, dirinya tewas
pada 29 Juni 1878. Hal itu akhirnya membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk
menghancurkan Belanda.
Cut Nya Dien Bersama Teuku Umar
Selepas kematian Teuku Ibrahim, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, seorang
tokoh pejuang Aceh. Bukan hanya diikatkan dengan tali pernikahan saja, tetapi keduanya bersatu
untuk melawan penjajah. Pernikahan antara Cut Nyak Dien dengan Teuku Umar terbilang merupakan
kisah yang menarik.
Cut Nyak Dien beralasan ingin berjuang bersama dengan laki-laki yang mengizinkannya turun
ke medan perang untuk melawan kolonial Belanda, bukan hanya ingin mendapatkan sosok kepala
rumah tangga saja. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, karena Teuku Umar memperbolehkan Cut
Nyak Dien untuk melawan penjajah, akhirnya Cut Nyak Dien menerima pinangan dari Teuku Umar
dan mereka menikah pada tahun 1880.
Dengan bersatunya Cut Nyak Dien dan Teuku Umar, meningkatkan moral dan semangat para
pejuang Aceh semakin berkobar. Seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Teuku Umar
mencoba untuk mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda. Pada
tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah sekitar 250 orang
kemudian pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada kolonial Belanda.
Strategi dari Teuku Umar akhirnya berhasil untuk mengelabui Belanda hingga mereka memberi
gelar pada Teuku Umar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan Teuku Umar sebagai
komandan unit pasukan Belanda yang memiliki kekuasaan penuh.
Cut Nyak Dien bersama Teuku Umar menguatkan barisan para pejuang untuk kembali
mengusir Belanda dari bumi Aceh. Keduanya, melakukan pertempuran dengan semangat juang yang
membara. Salah satu keberhasilan yang telah mereka lakukan yaitu merebut kembali kampung
halaman Cut Nyak Dien dari kolonial Belanda. Selain itu, Teuku Umar juga berpura-pura tunduk
kepada Belanda demi mendapatkan pasokan persenjataan yang kemudian mereka gunakan untuk
kembali menyerang penjajah.

Cut Nyak Dien dan Strategi Teuku Umar Mengalahkan Belanda


Demi memuluskan strategi mengalahkan Belanda, Teuku Umar rela dianggap sebagai
penghianat oleh orang Aceh. Tidak terkecuali oleh Cut Nyak Meutia yang datang menemui dan
memarahi Cut Nyak Dien. Meskipun begitu, Cut Nyak Dien tetap berusaha menasihatinya Teuku
Umar untuk fokus kembali melawan dan mengalahkan Belanda.
Saat kekuasaan Teuku Umar dan pengaruhnya cukup besar, Teuku Umar memanfaatkan
momen itu untuk mengumpulkan orang Aceh di pasukannya. Ketika jumlah orang Aceh di bawah
komando Teuku Umar sudah cukup, lalu Teuku Umar melakukan rencana palsu ke orang Belanda dan
mengklaim jika dirinya ingin menyerang basis Aceh.
Setelah itu, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan seluruh pasukan serta perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda. Namun, mereka tidak pernah kembali lagi ke markas Belanda.
Strategi pengkhianatan yang dilakukan oleh Teuku Umar disebut Het verraad van Teukoe
Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Strategi yang apik oleh Teuku Umar untuk mengkhianati Belanda ini membuat Belanda marah
dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Tetapi,
para gerilyawan Aceh saat ini sudah dilengkapi perlengkapan dari Belanda dan cukup untuk melawan
Belanda.
Ketika Jenderal Van Swieten diganti, orang yang menggantikan posisinya yaitu Jenderal
Jakobus Ludovicus Hubertus Pel dengan cepat terbunuh oleh gerilyawan Aceh itu, hingga akhirnya
membuat para pasukan kolonial Belanda dalam kondisi yang sangat sulit dan kacau.

Cut Nyak Dien Berjuang Sampai Pengasingan


Waktu demi waktu berlalu, Teuku Umar gugur dalam medan perang di Meulaboh. Suami kedua
Cut Nyak Dien itu gugur karena itikad penyerangannya telah diketahui oleh pasukan Belanda sejak
awal.
Walaupun orang-orang yang disayanginya telah meninggalkannya, Cut Nyak Dien masih terus
melanjutkan pertempurannya selama enam tahun. Ia bergerilya dari satu wilayah ke wilayah lain.
Dalam waktu itu, ia bersama rakyat dan pejuang lainnya, dihadapkan pada kesulitan hidup:
penderitaan, kehabisan makanan, uang, dan pasokan senjata.
Cut Nyak Dien dengan keadaan fisiknya yang mulai renta terus berupaya melarikan diri dari
serangan Belanda. Walaupun Cut Nyak Dien dan pasukan tempurnya mulai melemah karena ancaman
demi ancaman yang datang dari Belanda. Sayangnya, panglima pasukannya, Pang Laot berkhianat.
Pengkhianat bersama pasukan Belanda lain kemudian mencari keberadaan Cut Nyak Dien. Mereka
berhasil menemukan persembunyian Cut Nyak Dien dan kemudian membawa Cut Nyak Dien ke
Kutaradja.
Pang Laot meminta kepada Belanda agar Cut Nyak Dien mendapat perlakuan baik oleh
Belanda. Gubernur Belanda di Kutaradja, Van Daalen, tidak menyenangi hal tersebut sehingga Cut
Nyak Dien diasingkan ke pulau Jawa, tepatnya di Sumedang, Jawa Barat, pada 1907.
Setahun masa pengasingannya, Cut Nyak Dien mengakhiri perjuangan selama masa hidupnya.
Cut Nyak Dien menjadi salah satu sosok wanita Indonesia yang patut dicontoh keberaniannya. Sejak 2
Mei 1964, Cut Nyak Dien dianugerahi sebagai pahlawan nasional Indonesia melalui SK Presiden RI
No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. Cut Nyak Dien merupakan seorang perempuan Aceh
yang tidak kenal menyerah dalam berjuang, ia terus berjuang hingga akhir hayatnya.

Akhir Hayat Cut Nyak Dien


Pang Laot, seorang pengawal Cut Nyak Dien melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien kepada
Belanda. Hal tersebut membuat Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu.
Pasukan Cut Nyak Dien terkejut dan bertempur dengan mati-matian, hingga akhirnya Cut Nyak Dien
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.
Setelah tertangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda Aceh. Penyakit
rabun dan encoknya berangsur sembuh. Namun, malangnya Cut Nyak Dien dibuang ke tanah
Sumedang, Jawa Barat.
Cut Nyak Dien dibawa ke Sumedang, Jawa Barat, bersama tahanan politik Aceh lain dan
menarik perhatian salah satu orang yaitu bupati Suriaatmaja. Tahanan laki-laki lainnya juga turut
menyatakan perhatian mereka kepada Cut Nyak Dien, namun tentara Belanda dilarang mengungkap
identitas tahanan.
Cut Nyak Dien ditahan bersama seorang ulama bernama Ilyas dan ulama tersebut segera
menyadari bahwa Cut Nyak Dien merupakan ahli dalam agama Islam. Hal itu membuat Cut Nyak
Dien dijuluki sebagai “Ibu Perbu”.

Makam Cut Nyak Dien


Cut Nyak Dien meninggal pada 6 November 1908 karena usianya yang sudah tua dan
kondisinya yang sering sakit-sakitan. Setelah itu, Cut Nyak Dien dimakamkan di daerah
pengasingannya di Sumedang. Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959, itu
juga karena permintaan Ali Hasan, Gubernur Aceh saat itu.
Presiden Soekarno melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106 Tahun
1964 menetapkan Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Nasional pada 2 Mei 1962. Sementara rumah Cut
Nyak Dien di Aceh dibangun kembali oleh pemerintah daerah setempat sebagai simbol perjuangannya
di Tanah Rencong. Hingga sekarang, cerita tentang perjuangan Cut Nyak Dien masih sering
diperbincangkan dan dipelajari sebagai bagian dari sejarah di sekolah-sekolah dan pengetahuan
umum.

Anda mungkin juga menyukai