Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dwiaji Suryo Andrea

Kelas : XI IPS 2 / No absen : 14

Mapel : Sejarah Wajib

“Karya Tulis Heroisme Cut Nyak Dien”

Cut Nyak Dien adalah wanita kelahiran Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun
1848. Sayangnya, tidak diketahui dengan pasti mengenai tanggal lahir dari Cut
Nyak Dien.

Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang memang sangat taat dalam
beragama. Keluarga dari Cut Nyak Dien bertempat tinggal di Aceh Besar,
wilayah VI Mukim.

Ayah dari Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Setia, yang merupakan seorang
uleebalang VI Mukim, dan merupakan keturunan Machmoed Sati, seorang
perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati datang ke Aceh sekitar abad ke
18 di saat kesultanan Aceh kala itu diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul
Munir. Jadi tidak heran jika ayah dari Cut Nyak Dien masih merupakan
keturunan Minangkabau. Beda halnya dengan ibu dari Cut Nyak Dien. Ibu Cut
Nyak Dien merupakan seorang putri uleebalang Lampagar.

Di masa kecilnya, Cut Nyak Dien dikenal sebagai seorang gadis yang cantik.
Dirinya memperoleh pendidikan pada bidang agama dan juga pendidikan rumah
tangga. Tidak heran jika kala itu Cut Nyak Dien disukai oleh banyak laki-laki.
Bahkan, karena kecantikannya, banyak laki-laki yang berusaha melamarnya.

Pada tahun 1863, tepatnya ketika Cut Nyak Dien tepat berusia 12 tahun, dirinya
dinikahkan oleh orang tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pria tersebut
merupakan putra tunggal dari uleebalang Lamnga XIII.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh.


Belanda melalu armada kapal Citadel van Antwerpen, mulai melepaskan
tembakan meriam ke daratan. Kemudian pada tanggal 8 April 1873, Belanda di
bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler berhasil mendarat di Pantai
Ceureumen dan langsung menguasai Masjid Raya Baiturrahman kemudian
membakarnya.

Perlakuan Belanda tersebut memicu perang Aceh yang saat dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan 3.198 prajurit Belanda.
Namun, Kesultanan Aceh bisa memenangkan perang pertama melawan Belanda
tersebut dengan tewas tertembaknya Köhler.

Kemudian pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van


Swieten, wilayah VI Mukim berhasil diduduki Belanda begitu juga dengan
Keraton Sultan yang akhirnya harus mengakui kekuatan Belanda.

Hal tersebut memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama ibu-ibu
serta rombongan lain pada tepatnya pada 24 Desember 1875. Namun, suami
dari Cut Nyak Dien tetap bertekad untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Sayangnya, ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, dirinya tewas
bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1878. Hal tersebut akhirnya membuat Cut
Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda.

Kemudian, setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien dilamar oleh Teuku
Umar, yang merupakan tokoh pejuang Aceh. Awalnya Cut Nyak Dien menolak,
akan tetapi karena Teuku Umar memperbolehkan Cut Nyak Dien untuk
bertempur, akhirnya Cut Nyak Dien menerima pinangan Teuku Umar dan
mereka menikah pada tahun 1880.

Bergabungnya kedua insan tersebut menyebabkan moral dan semangat para


pejuang Aceh semakin berkobar. Akhirnya perang tersebut berlanjut dengan
gerilya, lalu tercetuslah perang fi’sabilillah.

Seakan tidak ingin menyianyiakan kesempatan, pada tahun 1875 Teuku Umar
mencoba untuk mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang
Belanda. Hal tersebut berlanjut dengan Teuku Umar beserta pasukannya yang
berjumlah 250 orang, pergi menuju Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada
Belanda pada tanggal 30 September 1893.

Strategi dari Teuku Umar akhirnya berhasil mengelabui Belanda hingga mereka
memberi Teuku Umar gelar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan
Teuku Umar sebagai komandan unit pasukan Belanda yang memiliki kekuasaan
penuh.

Demi melancarkan aksinya, Teuku Umar rela dianggap sebagai penghianat oleh
orang Aceh. Tidak terkecuali Cut Nyak Meutia yang datang menemui Cut Nyak
Dien kemudian memakinya. Namun, meski begitu Cut Nyak Dien tetap
berusaha menasehatinya untuk fokus kembali melawan Belanda.

Akhirnya, di saat kekuasaan Teuku Umar dan pengaruhnya cukup besar, Teuku
Umar memanfaatkan momen tersebut untu mengumpulkan orang Aceh di
pasukannya. Ketika jumlah orang Aceh di bawah komando Teuku Umar sudah
cukup, kemudian Teuku Umar melakukan rencana palsu ke orang Belanda dan
mengklaim jika dirinya ingin menyerang basis Aceh.

Kemudian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan seluruh pasukan serta
perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda. Tapi, mereka tidak pernah
kembali ke markas Belanda. Strategi penghianatan tersebut disebut Het verraad
van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Strateg dari Teuku Umar untuk mengkhianati Belanda membuat Belanda marah
dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan
Teuku Umar. Tapi para gerilyawan Aceh saat ini sudah dilengkapi
perlengkapan dari Belanda.

Ketika Jenderal Van Swieten diganti, orang yang menggantikan posisinya yaitu
Jenderal Jakobus Ludovicius Hubertus Pel dengan cepat terbunuh oelah
geriliyawan Aceh, hingga akhirnya membuat para pasukan Belanda berada
dalam kondisi yang sangat kacau.

Setelah penghianatan tersebut, Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan
membakar rumahnya. Demi melancarkan aksinya untuk menangkap Cut Nyak
Dien dan Teuku Umar, Belanda akhirnya mengirim unit “Maréchaussée”. Unit
ini didominasi orang Tionghoa-Ambon yang dikenal susah ditaklukkan oleh
orang Aceh.

Bahkan, karena saking kuatnya unit tersebut, Belanda merasa iba terhadap
rakyat Aceh, hingga akhirnya Van der Heyden membubarkan unit
“Maréchaussée” tersebut. Pasca bubarnya unit tersebut, jenderal yang
memimpin perang dengan Aceh selanjutnya bisa dengan mudah mencapai
kesuksesan, sebab banyak orang Aceh yang tidak ikut melakukan jihad karena
takut kehilangan nyawa mereka.

Ketakutan orang Aceh tersebut dimanfaatkan Jendral Joannes Benedictus van


Heutsz dan akhirnya menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan
pemberontak. Hingga akhirnya Belanda berhasil mendapatkan informasi bahwa
Teuku Umar berencana untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari
1899 di mana akhirnya Teuku Umar gugur karena tertembak peluru.

Meski begitu Cut Nyak Dien tetap memimpin perlawanan terhadap Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Pasukan Cut Nyak Dien
terus bertempur hingga kalah pada tahun 1901, karena tentara Belanda sudah
sangat terbiasa untuk berperang di daerah Aceh.
Di sisi lain, Cut Nyak Dien sudah semakin tua dan matanya mulai rabun.
Dirinya juga sudah menderita encok dan jumlah pasukannya terus berkurang.
Bahkan beliau dan pasukannya kesulitan untuk memperoleh makanan.

Seorang pengawal Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi
markas Cut Nyak Dien kepada Belanda. Hal tersebut membuat Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Pasukan Cut Nyak
Dien terkejut dan bertempur mati-matian, hingga akhirnya Cut Nyak Dien
ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Sehabis tertangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda
Aceh. Penyakit rabun dan encoknya berangsur sembuh. Tapi sayangnya Cut
Nyak Dien pada akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien dibawa ke Sumedang bersama tahanan politik Aceh lain dan
menarik perhatian salah satu orang yaitu bupati Suriaatmaja. Tahanan laki-laki
lainnya juga turut menyatakan perhatian mereka kepada Cut Nyak Dien, namun
tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.

Cut Nyak Dien ditahan bersama ulama bernama Ilyas dan ulama tersebut segera
menyadari bahwa Cut Nyak Dien adalah ahli dalam agama Islam. Hal tersebut
membuat Cut Nyak Dien dijuluki “Ibu Perbu”.

Tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena faktor
usia yang sudah tua. Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun
1959, itupun karena permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan. Cut Nyak
Dien sendiri baru diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional
Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei
1964.

Anda mungkin juga menyukai