Anda di halaman 1dari 11

Biografi singkat Cut Nyak Dien dimulai dari masa kelahiran dan latar belakang keluarga

beliau. Cut Nyak Dien adalah wanita kelahiran Lampadang, Kerajaan Aceh pada tahun 1848.
Sayangnya, tidak diketahui dengan pasti mengenai tanggal lahir dari Cut Nyak Dien.

Cut Nyak Dien lahir dari keluarga bangsawan yang memang sangat taat dalam beragama.
Keluarga dari Cut Nyak Dien bertempat tinggal di Aceh Besar, wilayah VI Mukim.

Ayah dari Cut Nyak Dien bernama Teuku Nanta Setia, yang merupakan seorang uleebalang
VI Mukim, dan merupakan keturunan Machmoed Sati, seorang perantau dari Sumatera Barat.
Machmoed Sati datang ke Aceh sekitar abad ke 18 di saat kesultanan Aceh kala itu diperintah
oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Jadi tidak heran jika ayah dari Cut Nyak Dien masih
merupakan keturunan Minangkabau. Beda halnya dengan ibu dari Cut Nyak Dien. Ibu Cut
Nyak Dien merupakan seorang putri uleebalang Lampagar.

Di masa kecilnya, Cut Nyak Dien dikenal sebagai seorang gadis yang cantik. Dirinya
memperoleh pendidikan pada bidang agama dan juga pendidikan rumah tangga. Tidak heran
jika kala itu Cut Nyak Dien disukai oleh banyak laki-laki. Bahkan, karena kecantikannya,
banyak laki-laki yang berusaha melamarnya.

Pada tahun 1863, tepatnya ketika Cut Nyak Dien tepat berusia 12 tahun, dirinya dinikahkan
oleh orang tuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Pria tersebut merupakan putra
tunggal dari uleebalang Lamnga XIII.

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Belanda melalu
armada kapal Citadel van Antwerpen, mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan.
Kemudian pada tanggal 8 April 1873, Belanda di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf
Köhler berhasil mendarat di Pantai Ceureumen dan langsung menguasai Masjid Raya
Baiturrahman kemudian membakarnya.

Perlakuan Belanda tersebut memicu perang Aceh yang saat dipimpin oleh Panglima Polim
dan Sultan Machmud Syah melawan 3.198 prajurit Belanda. Namun, Kesultanan Aceh bisa
memenangkan perang pertama melawan Belanda tersebut dengan tewas tertembaknya
Köhler.
Kemudian pada tahun 1874-1880, di bawah kepemimpinan Jenderal Jan van Swieten,
wilayah VI Mukim berhasil diduduki Belanda begitu juga dengan Keraton Sultan yang
akhirnya harus mengakui kekuatan Belanda.

Hal tersebut memaksa Cut Nyak Dien dan bayinya mengungsi bersama ibu-ibu serta
rombongan lain pada tepatnya pada 24 Desember 1875. Namun, suami dari Cut Nyak Dien
tetap bertekad untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Sayangnya, ketika Ibrahim Lamnga
bertempur di Gle Tarum, dirinya tewas bertepatan dengan tanggal 29 Juni 1878. Hal tersebut
akhirnya membuat Cut Nyak Dien sangat marah dan bersumpah untuk menghancurkan
Belanda.

Kemudian, setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien dilamar oleh Teuku Umar, yang
merupakan tokoh pejuang Aceh. Awalnya Cut Nyak Dien menolak, akan tetapi karena Teuku
Umar memperbolehkan Cut Nyak Dien untuk bertempur, akhirnya Cut Nyak Dien menerima
pinangan Teuku Umar dan mereka menikah pada tahun 1880.

Bergabungnya kedua insan tersebut menyebabkan moral dan semangat para pejuang Aceh
semakin berkobar. Akhirnya perang tersebut berlanjut dengan gerilya, lalu tercetuslah perang
fi’sabilillah.

Seakan tidak ingin menyianyiakan kesempatan, pada tahun 1875 Teuku Umar mencoba untuk
mendekati Belanda dan mempererat hubungannya dengan orang Belanda. Hal tersebut
berlanjut dengan Teuku Umar beserta pasukannya yang berjumlah 250 orang, pergi menuju
Kutaraja dan “menyerahkan diri” kepada Belanda pada tanggal 30 September 1893.

Strategi dari Teuku Umar akhirnya berhasil mengelabui Belanda hingga mereka memberi
Teuku Umar gelar yaitu Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikan Teuku Umar sebagai
komandan unit pasukan Belanda yang memiliki kekuasaan penuh.

Demi melancarkan aksinya, Teuku Umar rela dianggap sebagai penghianat oleh orang Aceh.
Tidak terkecuali Cut Nyak Meutia yang datang menemui Cut Nyak Dien kemudian
memakinya. Namun, meski begitu Cut Nyak Dien tetap berusaha menasehatinya untuk fokus
kembali melawan Belanda.

Akhirnya, di saat kekuasaan Teuku Umar dan pengaruhnya cukup besar, Teuku Umar
memanfaatkan momen tersebut untu mengumpulkan orang Aceh di pasukannya. Ketika
jumlah orang Aceh di bawah komando Teuku Umar sudah cukup, kemudian Teuku Umar
melakukan rencana palsu ke orang Belanda dan mengklaim jika dirinya ingin menyerang
basis Aceh.

Kemudian Teuku Umar dan Cut Nyak Dien pergi dengan seluruh pasukan serta perlengkapan
berat, senjata, dan amunisi Belanda. Tapi, mereka tidak pernah kembali ke markas Belanda.
Strategi penghianatan tersebut disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku
Umar).

Strateg dari Teuku Umar untuk mengkhianati Belanda membuat Belanda marah dan
melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar. Tapi
para gerilyawan Aceh saat ini sudah dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Ketika Jenderal Van Swieten diganti, orang yang menggantikan posisinya yaitu Jenderal
Jakobus Ludovicius Hubertus Pel dengan cepat terbunuh oelah geriliyawan Aceh, hingga
akhirnya membuat para pasukan Belanda berada dalam kondisi yang sangat kacau.

Setelah penghianatan tersebut, Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar
rumahnya. Demi melancarkan aksinya untuk menangkap Cut Nyak Dien dan Teuku Umar,
Belanda akhirnya mengirim unit “Maréchaussée”. Unit ini didominasi orang Tionghoa-
Ambon yang dikenal susah ditaklukkan oleh orang Aceh.

Bahkan, karena saking kuatnya unit tersebut, Belanda merasa iba terhadap rakyat Aceh,
hingga akhirnya Van der Heyden membubarkan unit “Maréchaussée” tersebut. Pasca
bubarnya unit tersebut, jenderal yang memimpin perang dengan Aceh selanjutnya bisa
dengan mudah mencapai kesuksesan, sebab banyak orang Aceh yang tidak ikut melakukan
jihad karena takut kehilangan nyawa mereka.

Ketakutan orang Aceh tersebut dimanfaatkan Jendral Joannes Benedictus van Heutsz dan
akhirnya menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak. Hingga akhirnya
Belanda berhasil mendapatkan informasi bahwa Teuku Umar berencana untuk menyerang
Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 di mana akhirnya Teuku Umar gugur karena
tertembak peluru.

Meski begitu Cut Nyak Dien tetap memimpin perlawanan terhadap Belanda di daerah
pedalaman Meulaboh dengan pasukan kecilnya. Pasukan Cut Nyak Dien terus bertempur
hingga kalah pada tahun 1901, karena tentara Belanda sudah sangat terbiasa untuk berperang
di daerah Aceh.

Di sisi lain, Cut Nyak Dien sudah semakin tua dan matanya mulai rabun. Dirinya juga sudah
menderita encok dan jumlah pasukannya terus berkurang. Bahkan beliau dan pasukannya
kesulitan untuk memperoleh makanan.

Seorang pengawal Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markas Cut
Nyak Dien kepada Belanda. Hal tersebut membuat Belanda menyerang markas Cut Nyak
Dien di Beutong Le Sageu. Pasukan Cut Nyak Dien terkejut dan bertempur mati-matian,
hingga akhirnya Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh.

Sehabis tertangkap oleh Belanda, Cut Nyak Dien dibawa dan dirawat di Banda Aceh.
Penyakit rabun dan encoknya berangsur sembuh. Tapi sayangnya Cut Nyak Dien pada
akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Cut Nyak Dien dibawa ke Sumedang bersama tahanan politik Aceh lain dan menarik
perhatian salah satu orang yaitu bupati Suriaatmaja. Tahanan laki-laki lainnya juga turut
menyatakan perhatian mereka kepada Cut Nyak Dien, namun tentara Belanda dilarang
mengungkapan identitas tahanan.

Cut Nyak Dien ditahan bersama ulama bernama Ilyas dan ulama tersebut segera menyadari
bahwa Cut Nyak Dien adalah ahli dalam agama Islam. Hal tersebut membuat Cut Nyak Dien
dijuluki “Ibu Perbu”.

Tepat pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena faktor usia yang
sudah tua. Makam Cut Nyak Dien sendiri baru ditemukan pada tahun 1959, itupun karena
permintaan Gubernur Aceh kala itu, Ali Hasan. Cut Nyak Dien sendiri baru diakui oleh
Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106
Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Sultan Tamjid diangkat menjadi Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang berhak naik tahta saat
itu adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak disukai oleh rakyat karena terlalu memihak
kepada Belanda.

Belanda sengaja memberikan dukungannya pada Sultan Tamjid. Hal ini menunjukkan
intervensi Belanda sudah sangat meresahkan, bahkan, dalam pengangkatan seorang sultan
pun merekalah yang menentukan.

Sebagai salah seorang keturunan raja Banjarmasin yang dibesarkan di luar istana, Pangeran
Antasari merasa prihatin dengan situasi tersebut. Walaupun ia keluarga Sultan Banjar, tetapi
tidak pernah hidup dalam lingkungan istana.

Antasari dibesarkan di tengah-tengah rakyat biasa dan menjadi dekat dengan rakyat. Dia
mengenal perasaan dan mengetahui penderitaan mereka. Pada waktu itu, kekuasaan kolonial
Belanda sedang giat berusaha melemahkan Kerajaan Banjar.

Untuk melemahkan kerajaan tersebut, Belanda mengadu domba golongan-golongan yang ada
dalam istana, sehingga mereka terpecah-pecah dan bermusuhan. Maka ia pun berinisiatif
untuk mengusir penjajah dari Kerajaan Banjar tanpa kompromi. Pangeran Antasari berusaha
membela hak Pangeran Hidayat, lalu bersekutu dengan kepala-kepala daerah Hulu Sungai,
Martapura, Barito, Pleihari, Kahayan, Kapuas, dan lain-lain.

Mereka bersatu dan bertekad untuk mengangkat senjata mengusir Belanda dari kerajaan
Banjar. Sikap anti-Belanda pun muncul akibat pergantian kekuasaan di istana yang
menimbulkan keresahan di antara rakyat. Oleh karena itu, Pangeran kelahiran Banjarmasin
tahun 1809 ini, membuat persiapan untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Niatnya untuk melakukan penyerangan terhadap penjajah kolonial Belanda mendapat


dukungan penuh dari segenap masyarakat daerah tersebut. Perang Banjar yang merupakan
pertempuran pertama melawan Belanda meletus mulai 18 April 1859 ketika pasukan
Pangeran Antasari menyerang tambang batu bara di Pengaron.
Berbekal dukungan dari sejumlah pihak, jumlah pasukan Pangeran Antasari yang semula
berjumlah 6.000 prajurit makin lama makin bertambah besar. Tentu saja, dukungan rakyat
yang sedemikian besar itu sangat menyulitkan kubu Belanda.

Pangeran Antasari berhasil mengerahkan tenaga rakyat dan mengobarkan semangat mereka
sehingga Belanda menghadapi kesulitan. Karena hebatnya perlawanan, Belanda membujuk
Antasari dengan janji yang muluk-muluk asal bersedia menghentikan perang. Semua bujukan
itu ditolaknya.

Dalam peperangan, Belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu
menangkap dan membunuh Pangeran Antasari berupa imbalan 10.000 gulden. Namun,
sampai perang selesai tidak seorang pun mau menerima tawaran ini.

Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-


tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu
Belanda pada 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia
lebih kurang 75 tahun.

Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh
pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23
Maret 1968.

Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan
yaitu Bumi Antasari.
Nasionalisme Soekarno mulai tumbuh pesat ketika bersekolah di Surabaya dan tinggal di
rumah Tjokroaminoto. Di sana Soekarno mulai berkenalan dengan pemikiran barat dan
pemikiran Islam. Pada 4 Juli 1927, Soekarno memutuskan untuk merumuskan ajaran
Marhaenisme dan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Usaha yang dilakukan
Soekarno membuat PNI tumbuh dan berkembang di Jawa maupun diluar Jawa. Akibatnya
Belanda menangkap Soekano dan memenjarakannya di penjara Sukamiskin, Bandung pada
29-Desember-1929.

Menurut buku Perjuangan dan Pengasingan Pejuang Indonesia (1986) oleh Sagimun, karena
kemarahan Belanda, PNI dibubarkan pada 19430 dan diganti namanya menjadi Partindo.
Setelah bebas, Soekarno bergabung dengan Partindo dan memimpinnya. Hal ini
mengakibatkan dirinya kembali ditangkan Belanda dan dibuang ke Ende, Flores pada 1933.
Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu. Di Bengkulu Soekarno berhasil kabur dan
menuju Padang. Kemudian menyeberangi Selat Sunda dan kembali ke Jakarta pada Juli 1942.
Perjuangan panjang Soekarno tidak sia-sia untuk membuat Indoensia merdeka dari
penjajahan. Bersama dengan Bung Hatta, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan
Republik’Indonesia’pada’17Agustus’1945.

Dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945, Soekarno memberikan gagasan dasar negara Indonesia,
yaitu Pancasila. Kemudian dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945, Soekarno terpilih sebagai
Presiden’Republik’Indonesia’yang’pertama.

Sakit dan meninggal

Kesehatan Soekarno mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Setelah bertahan selama lima
tahun dengan penyakitnya, Soekarno meninggal dunia di RSPAD pada tanggal 21 Juni 1970.
Soekarno disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar dekat makan
ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Presiden Soeharto memberikan gelar Pahlawan Proklamator
kepada Soekarno pada peringatan Hari Pahlawan tahun 1986 berdasarkan Keppres 81/1986.
Kartini memang bukan pahlawan yang namanya besar karena ikut angkat senjata dalam suatu
peperangan. Kepahlawanannya tak dinilai dari perjuangan fisik. Nama Kartini besar lewat
pemikiran, ide, dan gagasannya tentang emansipasi perempuan. Maka, tak berlebihan jika
dikatakan bahwa kemajuan yang diraih perempuan Indonesia hingga di titik ini merupakan
buah dari pemikiran dan kepahlawanan Kartini. Sejak lama Kartini ingin agar perempuan
Indonesia menjadi berani dan mandiri.

Sosok yang Menginspirasi RA Kartini Impian itu tercermin salah satunya melalui surat-surat
yang Kartini tulis. Ya, sedari muda Kartini gemar bersurat dengan sejumlah sahabat pena.
Melalui surat-surat itu Kartini banyak bertukar pikiran. Bahkan, sebagian besar pemikiran
dan gagasannya tentang emansipasi perempuan didapat setelah berkorespondensi dengan para
sahabat pena. Adalah Estella Zeehandelar, pegawai pos di Belanda yang menjadi salah
seorang sahabat pena Kartini. Kepada Stella, demikian perempuan itu disapa, Kartini
mengungkapkan keinginannya berkenalan dengan gadis yang berani, mandiri, dan penuh
semangat. Baca juga: Sikap Teladan dari Raden Ajeng Kartini Kartini juga menyampaikan
harapannya tentang perempuan yang berjuang untuk masyarakat luas. Surat itu ditulis pada
25 Mei 1899. "Saya ingin sekali berkenalan dengan seorang 'gadis modern', yang berani,
yang mandiri, yang menarik hati saya sepenuhnya. Yang menempuh jalan hidupnya dengan
langkah cepat, tegap, riang, dan gembira, penuh semangat dan keceriaan." "Gadis yang selalu
bekerja tidak hanya untuk kebahagiaan dirinya saja, tetapi juga berjuang untuk masyarakat
luas, bekerja demi kebahagiaan banyak sesama manusia." Demikian dikutip dari buku Surat-
surat Kartini.

Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979) yang diterjemahkan Sulastin Sutrisno. Baca
juga: Asal-usul Jepara, dari Ratu Kalinyamat hingga Tempat Lahirnya Kartini Dalam
suratnya, Kartini memperkenalkan diri sebagai putri dari bupati Jepara. Kartini menyebut
dirinya merupakan anak perempuan kedua yang memiliki lima orang saudara laki-laki dan
perempuan. Sementara, almarhum kakeknya merupakan bupati di Jawa Tengah yang
memiliki kemajuan berpikir. "Bukankah ini suatu kelimpahan? Almarhum kakek saya,
Pangeran Ario Tjondronegoro dari Demak yang sangat menyukai kemajuan, adalah bupati di
Jawa Tengah pertama yang membuka pintunya untuk tamu dari seberang lautan, yaitu
peradaban Barat. Semua putranya, yang mengenyam pendidikan Eropa, mewarisi cintanya
akan kemajuan (berpikir) ayah mereka", tulis Kartini dalam surat. Kepada Stella, Kartini
lantas bercerita tentang kondisi perempuan di Hindia Belanda. Bahwa perempuan sulit lepas
dari belenggu adat. Kartini bahkan menganggap perempuan bagai hidup dalam bui.

Kartini yang Wajib Anda Tonton Sebagai seorang yang besar di lingkungan bangsawan, adat
istiadat pun melekat erat pada diri Kartini. Meski besar di keluarga berpendidikan sekalipun,
Kartini mengungkap bahwa perempuan di kalangan bangsawan tetap sulit mendapatkan hak
atas pendidikan tinggi. Sebab, adat dan tradisi saat itu tak membolehkan perempuan yang
sudah akil baligh untuk keluar rumah, termasuk ke sekolah. Kartini pun merasa begitu
terasingkan dan tak punya banyak pilihan untuk menentukan pilihan dalam hidupnya. "Pada
usia 12 tahun saya harus tinggal di dalam rumah. Saya harus masuk 'kotak'. Saya dikurung di
dalam rumah, sama sekali terasing dari dunia luar. Saya tidak boleh kembali ke dunia itu
selagi belum didampingi suami, seorang laki-laki yang asing sama sekali, yang dipilih
orangtua kami untuk kami, tanpa sepengetahuan kami," tulis Kartini.

Kesukaan RA Kartini Namun demikian, Kartini merasa lebih beruntung. Sebab, keluarganya
cenderung lebih terbuka. Hingga usia 16 tahun Kartini masih diizinkan menikmati kehidupan
di luar rumah. Ia masih boleh menikmati usia lajangnya. "Alhamdulillah.. Alhamdulillah saya
boleh meninggalkan penjara saya. Sebagai orang bebas yang tidak terikat kepada seorang
suami yang dipaksakan kepada saya..."

"Pertama kali dalam hidup kami, kami diperkenankan meninggalkan kota kediaman kami
dan ikut pergi ke Ibu Kota untuk menghadiri semua perayaan yang diselenggarakan di sana
sebagai penghormatan kepada Sri Ratu (Belanda)". Dari surat-surat itu nampak bahwa
Kartini begitu antusias terhadap dunia luar. Dari situlah semangat Kartini untuk memajukan
perempuan Indonesia terus tumbuh. Hingga kini nama Kartini masih harum dikenang sebagai
pahlawan’emansipasi’perempuan.
Membahas biografi Ki Hajar Dewantara tak lengkap kalau tidak membahas sedikit tentang
Taman Siswa. Perguruan ini merupakan organisasi yang didirikan Ki Hajar Dewantara untuk
memastikan seluruh anak pribumi kala itu bisa mendapatkan hak pendidikan yang setara
dengan kaum priyayi atau masyarakat Belanda di Indonesia.

Ada tiga semboyan Ki Hajar Dewantara yang terkenal, yakni Ing Ngarso Sung Tulodho yang
artinya di depan memberikan contoh. Ing Madya Mangun Karso, yang artinya di tengah
memberikan semangat. Tut Wuri Handayani, yang artinya di belakang memberikan
dorongan.Bahkan semboyan Tut Wuri Handayani kini menjadi slogan dari Kementerian
Pendidikan hingga saat ini.

Bila mencermati biografi Ki Hajar Dewantara, tentu sadar dengan fakta bahwa ia merupakan
keturunan keluarga kerajaan. Beliau adalah cucu dari Pakualam III. Ki Hajar Dewantara
muda menempuh pendidikan dasar di ELS, semacam sekolah SD di zaman Belanda.
Kemudian dia melanjutkan studinya ke sekolah dokter khusus putra, STOVIA meski tak
berhasil menamatkan pendidikan lantaran sakit.

Ki Hajar Dewantara lantas bekerja sebagai wartawan. Melansir dari sejarahlengkap.com, Ki


Hajar Dewantara pernah menjadi penulis di sejumlah surat kabar seperti Midden Java,
Soeditomo, De Expres, Kaoem Moeda, Oetoesan Hindia, Tjahaja Timoer, dan Poesara.

Kepiawaiannya menulis, sifat telaten, penuh komitmen dan ulet, menjadi bekal beliau jalani
karier sebagai jurnalis muda. Dia juga dikenal aktif di sejumlah organisasi sosial dan politik.

Dia juga pernah bergabung dengan Indische Partij bentukan seorang keturunan asing yang
mengobarkan semangat anti-kolonialisme, Douwes Dekker.

Ki Hajar Dewantara muda juga dikenal kritis. Salah satu bentuk kritik pedasnya terhadap
pejabat Hindia Belanda kala itu berjudul "Andai Aku Seorang Belanda" atau yang dalam
bahasa Belanda "Als ik een Nederlander was". Tulisannya ini membuat dia ditangkap dan
diasingkan ke Pulau Bangka.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Hajar Dewantara menjadi Menteri Pengajaran Indonesia yang
pertama. Dia bahkan mendapat gelar kehormatan dari Universitas Gajah Mada atas semua
jasanya dalam merintis pendidikan umum.
Bila teliti mencermati biografi Ki Hajar Dewantara, sosok cerdas ini juga merupakan deretan
pahlawan nasional yang paling awal ditetapkan oleh Presiden pertama RI, Sukarno. Ki Hajar
Dewantara adalah pahlawan nasional ke-2 yang dikukuhkan Presiden Sukarno pada 28
November 1959 lewat Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959.

Ketika menjalani pengasingan di Belanda, Ki Hajar Dewantara sempat mendapat Europeeche


Akta atau ijazah dalam bidang pendidikan. Ini menjadi bekal Ki Hajar Dewantara memulai
institusi pendidikan yang didirikannya dan juga mempengaruhinya mengembangkan aturan
pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai