Anda di halaman 1dari 3

Nama : Naura Nur Zahira

Kelas : VII K
Tugas : Biografi Pahlawan Nasional

Cut Nyak Dien

Nama Lengkap : Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja' Dhien)
Lahir : Lampadang, Kesultanan Aceh, 1848
Wafat : Sumedang, Jawa Barat 6 November 1908
Agama : Islam
Orangtua : Teuku Nanta Seutia
Suami : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar

Cut nyak dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di
Aceh Besarm pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia
merupakan seorang uleebalang VI Mukim, seorang keturunan Datuk
Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhdum Sati merupakan keturunan
Laksamana Muda Nanta, yang merupakan perwakilan kesultanan Aceh pada zaman Sultan Iskandar
Muda di Pariaman. Sedangkan ibu Cut Nyak Dhien adalah putri Uleebalang Lampageu.

Cut Nyak Dhien kecil merupakan anak yang cantik dan taat beragama. Ia mendapatkan pendidikan
Agama dari orangtua dan guru agama. Banyak lelaki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
untuk melamarnya. Hingga pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dinikahkan oleh orangtuanya dengan
Teuku Cek Ibrahim Lamnga tahun 1862, yang merupakan putra dari Uleebalang Lamnga XII.

Pada tanggal 26 maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dengan memulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Cidatel Van Antwerpen.
Pada perang pertama (1873-1874), Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda yang saat itu di
pimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Macmud Syah.

Pada tanggal 8 April 1873 Belanda mendarat di pantai Ceureuneb dibawah pimpinan Kohler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturahman dan membakarnya. Namun kesultanan Aceh
dapat memenangkan perang pertama, Ibrahim Lamnga yang bertarung dibarisan depan kembali
dengan sorak kemenangan sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. AKhirnya Cut
Nyak Dhien dan bayinya bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya mengunggi pada tanggal 24
Desember 1875. Sedangkan suaminya Ibrahim Lamnga melanjutkan pertempuran untuk merebut
kembali daerah VI Mukim. Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29
juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda

Setelah kematian suaminya, pada tahun 1880 ia kembali dilamar oleh Teuku umar. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolaknya, tapi karena Teuku Umar membolehkannya untuk ikut dalam
medan perang, Akhirnya Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya dan mereka di karuniai
anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah itu mereka bersama-sama bertempur melawan
Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda dilanjutnya dengan perang gerilya dan dikorbankan secara fi’sabilillah.
Sekitar pada tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan melakukan pendekatan terhadap
Belanda dan hubungannya terhadap Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 september 1893, Teuku
Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada
Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang dianggapnya berbahaya mau membantu
mereka, sehingga mereka memberikan gelar pada Teuku umar dengan gelar Teuku Umar Johan
Pahlawan, dan menjadikannya sebagai komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh.

Dibalik penyerahan dirinya, Teuku Umar merahasiakan rencananya untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai pengkhianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang
menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya karena Teuku Umar berkhianat untuk rakyat Aceh. Cut
Nyak Dhien berusa memberikan penjelasan terhadap Cut Meutia bahwa suaminya akan kembali
untuk melawan Belanda lagi. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar
mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan ia mengganti sebanyak mungkin
orang Belanda di Unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasuka tersebut cukup, Teuku
Umar mulai melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang
basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dengan perlengkapan berat, senjata
dan amunisi Belanda lalu mereka tidak pernah kembali. Penghiatan tersebut dikenal dengan Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda
dan menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut
Nyak Dhien dan Teuku Umar.

Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda
sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, adalah Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel,
namun dengan cepat ia terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu
mencabut gelar Teuku Umar , membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan
Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis
Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.

Unit “Marechaussee” lalu dikirim ke Aceh, mereka dianggap biadab dan sulit untuk di taklukkan oleh
orang Aceh. Selain dianggap biadab, kebanyakan dari pasukan “De Marsose” merupakan orang
‘Tionghoa-Ambon’ yang dapat menghancurkan semua apa yang ada di jalannya. Akibatnya, pasukan
Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan akhirnya Van der Heyden membubarkan unit “De
Marsose”. Peristiwa ini menyebabkan kesuksekan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang
tidak ikut melakukan jihad karena kehilangan nyawa dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk
Aceh.

Kemudian Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa
orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak untuk mendapatkan informasi. Hingga
akhirnya Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11
Februari 1899. Akhirnya Teuku Umar gugur tertembak peluru.
Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya, Cut Gambang
ditampar oleh Ibunya yang lalu memeluknya dengan berkata :
“Sebagai perempuan Aceh, Kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
Setelah kematian dari suaminya, Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan yang dipimpin olehnya terus bertempur sampai kehancurannya yaitu tahun 1901, karena
tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Cut Nyak Dhien semakin tua,
matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok dan jumlah pasukannya terus berkurang,
serta sulitnya memperoleh makanan.

Penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda

Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Hingga akhirnya anak buah Cut Nyak Dhien yang
bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena merasa iba, dan Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-
matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, namun karena Cut NYak Dhien
memiliki penyakit rabun, akhirnya ia berhasil di tangkap. Cut Nyak Dhien berusaha mengambil
rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanannya yang sudah
dilakukan oleh Ayah dan Ibunya.

Pengasingan dan Wafatnya Cut Nyak Dhien

Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di sana. Akhirnya
penyakit rabun dan encok yang dideritanya berangsur sembuh. Namun, akhirnya Cut Nyak Dhien
dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda takut jika kehadirannya akan menciptakan
semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang bersama dengan beberapa tahanan politik Aceh lainnya dan
menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian pada
Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas tahanan.
Cut Nyak Dhien ditahan bersama ulama bernama Ilyas, Ilyas segera menyadari bahwa Cut Nyak
Dhien merupakan ahli agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”. Namun pada tanggal 6
November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam “Ibu Perbu”, baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat
itu, yaitu Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.
Ibu Perbu, diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden
RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Anda mungkin juga menyukai