Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI CUT NYAK DIEN

Menurut beberapa referensi Biografi Cut Nyak Dien yang ditulis, beliau lahir di tanah
Lampadang, Aceh Besar tahun 1848. Beliau terlahir dari keluarga terpandang, kalangan
bangsawan di wilayah VI Mukim Kerajaan Aceh. Teuku Nanta Seutia adalah Ayahanda Cut
Nyak Dien, seorang uleebalang. Ayahandanya keturunan dari Datuk Makhudum Sati dari
Minangkabau.
Sedangkan, ibunda Cut Nyak Dien seorang putri uleebalang Lampagar. Datuk
Makhudum Sati mendatangi tanah Aceh saat Sultan Jamalul Badrul Munir memimpin kesultanan
Aceh pada abad ke 18. Saat kecil, Cut Nyak Dien yang terkenal dengan kecantikannya itu di
didik, diberi ilmu agama serta ilmu mengenai rumah tangga yang menyangkut oleh orang tua dan
guru agama.

KEHIDUPAN MASA KECIL CUT NYAK DIEN


Dalam referensi biografi Cut Nyak Dien yang lain, banyak para lelaki menyukai paras
cantik dari Cut Nyak Dien dan ingin sekali melamarnya.
Saat usia 12 tahun, akhirnya beliau dinikahkan dengan seorang putra, Teuku Cek Ibrahim
Lamnga dari Uleebalang Lamnga XIII pada tahun 1862. Sayangnya, tanggal 29 juni 1878 sang
suami gugur di tengah perang melawan Belanda di Gle Tarum.
Kematian sang suami tersebut, memberikan kesedihan yang amat sangat dalam pada Cut
Nyak Dien. Hal tersebut akhirnya menanamkan kebencian yang luar biasa terhadap penjajahan
Belanda.

PERANG ACEH MELAWAN PENJAJAH


Perang Aceh meletus pada tahun 1873. Belanda melepas tembakan ke tanah Aceh dari
Citadel van Antwerpen. Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah memimpin Aceh pada
perang pertama tahun 1873-1874, bersama pasukannya melawan pasukan Johan Harmen Rudolf
Kohler. Pada saat itu, sekitar 3.200 pasukan dikerahkan oleh Belanda.
Dari sebuah biografi Cut Nyak Dien dikisahkan bahwa, saat Belanda menguasai Masjid
Baiturrahman, Cut Nyak Dien berteriak. Ini kata-kata yang diucapkan Cut Nyak Dien,

“… lihatlah warga Aceh! Tempat ibadah kita dirusak! Mereka telah mencoreng nama
Allah! Sampai kapan akan jadi budak Belanda?”
Setelah itu, Kohler gugur tertembak atas pertarungannya dengan Ibrahim Lamnga pada
April tahun 1873. Kemenangan pertama dalam peperangan itu dirasakan Kesultanan Aceh.
Kemudian, tahun 1874-1880, Jendral Jan van Swienten menduduki daerah VI Mukim,
lalu tahun 1874 Keraton Sultan sudah ada di tangan Belanda yang dipimpin olehnya. Saat
Ibrahim Lamnga tewas, Cut Nyak Dien bersumpah menghancurkan para pejajah di tanah Aceh
itu.

PERNIKAHANNYA DENGAN TEUKU UMAR


Duka mendalam dirasakan Cut Nyak Dien saat suami pertamanya, Ibrahim Lamnga,
meninggal dunia. Namun setelah itu, sekitar tahun 1880 Cut Nyak Dien kembali dilamar oleh
Teuku Umar.Cut Nyak Dien menawarkan diri kepada suaminya untuk ikut terjun ke medan
perang. Sempat menolak hal tersebut, Teuku Umar kemudian memperbolehkan Cut Nyak Dien
ikut berperang melawan Belanda. Dari pernikahan kedua, Cut Nyak Dien dikaruniai seorang
anak laki-laki yang bernama Cut Gambang.

PEPERANGAN MELAWAN BELANDA


Perang secara gerilya dan fisabilillah dilanjutkan. Saat itu, sebagai sebuah tipu muslihat,
pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar serta 250 orang pasukannya menyerahkan diri
kepada Belanda, dan mereka senang sebab musuh terkuat mau bekerja sama dengan mereka.
Mereka juga tahu bahwa akan semakin kuat pasukan mereka di kemudian hari.
Teuku Umar diberi gelar oleh Belanda: Teuku Umar Johan Pahlawan. Serta
mengangkatnya sebagai komandan utama dengan kekuasaan penuh dari Belanda. Teuku Umar
mempunyai dan merahasiakan rencananya untuk menipu Belanda, sampai orang Aceh
menuduhnya sebagai seorang pengkhianat.
Bahkan, istrinya, Cut Nyak Dien beberapa kali menasihati Teuku Umar, agar tetap
konsisten melawan Belanda dan tidak terpengaruh godaan apapun. Bahkan, tokoh pejuang
wanita yang lain, yaitu Cut Meutia, juga ikut menyalahkan Cut Nyak Dien atas pengkhianatan
Teuku Umar.
Suami Cut Nyak Dien ini masih saja bekerja sama dengan Belanda. Diam-diam Teuku
Umar mempelajari taktik mereka, lalu mengganti orang Belanda sebanyak-banyaknya yang
sedang menjabat.
Kemudian jika dirasa cukup orang Aceh dipasukan tersebut, beliau memalsukan rencana
kepada Belanda dan mengklaim ingin menyerang Aceh.
Cut Nyak Dien dan Teuku Umar pergi bersama semua pasukan Belanda yang didominasi
rakyat Aceh, dengan perlengkapan senjata yang lengkap, serta tidak ketinggalan juga amunisi
tentara Belanda.
Kemudian mereka tidak pernah kembali lagi. Het Verraad van Teukoe Oemarkemudian
menjadi sebutan untuk pengkhianatan Teuku Umar.
Belanda marah mendengarnya, kemudian dilakukan operasi besar-besaran untuk
menangkap Teuku Umar maupun Cut Nyak Dien.
Pasukan Aceh saat itu mulai menyerang Pasukan Belanda. Jendral Jakobus Ludovicius
Hubertus Pel, adalah pengganti dari Jendral van Swieten yang tewas dengan cepat.
Belanda diambang kekacauan, lalu mencabut gelar Teuku Umar. Kemudian membakar
habis rumahnya dan memburu suami Cut Nyak Dien ini.
Pasangan suami istri ini terus menerus menekan Belanda, kemudian menyerang Kutaraja
dan Meulaboh. Jendral Belanda yang bertugas juga terus menerus diganti.
Lalu mereka mengirim Unit “Marechaussee” ke Aceh. Orang Aceh sangat sulit
menaklukan pasukan yang dianggap biadab tersebut. Selain unit sebelumnya, ada orang
Tionghoa-Ambon yang terbentuk dalam pasukan “De Marsose”, menghancurkan apa saja yang
mereka temukan di jalan. Rasa simpati pasukan Belanda timbul dan membubarkan Unit “De
Marsose”. Namun, ketakutan masih menyelimuti orang-orang Aceh. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh Jendral Joannes Benedictus van Heutsz, yang menyewa penduduk Aceh
sebagai informan Belanda untuk memata-matai Teuku Umar dan anak buahnya.
Pada akhirnya, rencana Teuku Umar dan yang lain untuk menyerang Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899 diketahui oleh Belanda. Pasukan Belanda akhirnya menyerang balik
Teuku Umar secara cepat. Teuku Umar tewas di tangan Belanda, setelah tertembak peluru
senjata milik pasukan Belanda.
Setelah kepergian suaminya, semangat juang Cut Nyak Dien tidak mati dan berhenti
begitu saja. Dengan gagah berani, Cut Nyak Dien beserta pasukannya melakukan perlawanan
untuk melawan Belanda di pedalaman Meulaboh.
Pada tahun 1901 Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Namun, ia bersama pasukannya
bertempur terus menerus, karena Belanda semakin terbiasa berperang di daerah Aceh, yang
membuat mereka semakin tahu kelemahan Aceh. Cut Nyak Dien semakin tua dan terserang
banyak penyakit. Pang Laot, Anak buah Cut Nyak Dien, merasa iba. Lalu ia melaporkan lokasi
markas mereka kepada Belanda.
Kemudian markas Cut Nyak Dien diserang oleh Belanda di Beutong Le Sageu. Setelah
bertempur mati-matian, Cut Nyak Dien diringkus dan dibawa ke Banda Aceh. Aksi dari Cut
Nyak Dien mengambil rencong dan memberontak kepada musuh, dapat dihentikan oleh Belanda.
Anak Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Cut Gambang, berhasil kabur ke hutan dan
meneruskan perjuangan ayah dan ibunya.
Setelah Cut Nyak Dien dirawat di Banda Aceh, penyakitnya berangsur pulih. Namun
setelah itu, beliau dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena pasukan Belanda ketakutan dengan
semangat juang Cut Nyak Dien. Semangatnya untuk melawan Belanda, dapat mempengaruhi
masyarakat Aceh yang lainnya. Cut Nyak Dien bersama dengan tahanan politik lainnya dibawa
dan diasingkan ke Sumedang.

WAFATNYA CUT NYAK DIEN


Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dien
merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”. Pada tanggal 6
November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Tahun 1959, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan berdasarkan permintaan Ali Hasan,
Gubernur Aceh saat itu.. Melalui SK Presiden RI No. 106 tahun 1964, Cut Nyak Dien diakui
oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964.
Tahun 1987, adalah tahun pertama kali makam Cut Nyak Dien dipercantik. Di dekat
pintu masuknya tertulis peresmian makam, yang sudah ditanda tangani oleh Ibrahim Hasan,
Gubernur Aceh, pada tanggal 7 Desember 1987.
Makamnya dikelilingi pagar besi yang ditanam, bersama beton seluas 1.500 m2. Di
sebelah kiri makam ada banyak batu nisan dari keluarga ulama H. Sanusi dan di belakang
makam terdapat Mushola.
Di batu nisan “Ibu Perbu” atau Cut Nyak Dien, tertulis riwayat hidup beliau dengan
dipenuhi tulisan bahasa Arab dan hikayat cerita Aceh, serta surat At-taubah dan Al-Fajr.

Anda mungkin juga menyukai