Anda di halaman 1dari 15

Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien merupakan Pahlawan Nasional wanita dari Aceh yang melakukan
perjuangan di masa Sejarah Perang Aceh melawan belanda. Ketika wilayah VI Mukim
diserang oleh Belanda, beliau mengungsi, sementara suaminya yang bernama Ibrahim
Lamnga ikut serta berjuang melawan Belanda. Gugurnya Ibrahim Lamnga di tanah Gle
Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 kemudian menambah semangat Cut Nyak Dhien lebih
kuat untuk melawanan Belanda. Perjuangan Cut Nyak Dien dikenang di berbagai media.
Contohnya di film drama epik yang berjudul Tjoet Nja’ Dhien yang dirilis pada tahun 1988.
Film ini disutradarai oleh Eros Djarot. Film ini memenangkan penghargaan sebagai Piala
Citra sebagai film terbaik.
Biografi Cut Nyak Dhien : Kehidupan Sebelum Berjuang

Selain itu juga merupakan film Indonesia


pertama yang mendapat kehormatan untuk tayang di Festival Film Cannes pada tahun 1989.
Kemudian, pada tanggal 13 April 2014, sebuah karya seni diadakan untuk mengenang
perjalanan hidup, kisah dan semangat perjuangan Cut Nyak Dhien. Karya seni ini dikemas
dalam bentuk teater monolog yang disutradarai dan dimainkan oleh Sha Ine Febriyanti.
Kemudian teater monolog ini dipentaskan di Auditorium Indonesia Kaya Kota Jakarta.

Naskah monolog yang berdurasi empat puluh menit ini kemudian dipentaskan kembali pada
2015 di berbagai kota di Indonesia. Seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang, Magelang dan
Banda Aceh. Rencananya, teater monolong CND juga akan dipentaskan di Belanda dan
Australia. Selain itu, ada sebuah kapal perang milik TNI-AL yang diberi nama KRI Cut Nyak
Dhien, mata uang senilai sepuluh ribu rupiah bergambar Cut Nyak Dhien dan sebuah masjid
di Aceh yang berada di dekat makamnya.

Cut Nyak Dhien terlahir dari keluarga ningrat yang memegang teguh ajaran Islam di Aceh
Besar pada tahun 1848. Tepatnya Wilayah VI Mukim. Ayah Cut Nyak Dhien bernama Teuku
Nanta Seutia yang menjadi sebagai hulubalang VI Mukim. Sedangkan ibunya merupakan
anak dari hulubalang Lampageu. Di masa kecil, Cut Nyak Dhien ia memperoleh pendidikan
pada ilmu agama dari orang tua ataupun guru agama dan ilmu rumah tangga seperti ilmu
memasak, melayani keluarga dan yang menyangkut rumah tangga dari orang tuanya. Pada
umur 12 tahun, Cut Nyak Dhien sudah dijodohkan oleh orangtuanya di tahun 1862 dengan
Teuku Cek Ibrahim Lamnga. Putra dari hulubalang Lamnga XIII.
Cut Nyak Dhien Perang Aceh Melawan Belanda

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada tanggal 26
Maret 1873. Serangan dimulai dengan menembaki meriam ke daratan Aceh dari kapal perang
bernama Citadel van Antwerpen. Inilah awal dari Perang Aceh pun meletus. Pada perang
tahap pertama yang terjadi 1873 hingga 1874, Aceh yang dipimpin oleh Sultan Machmud
Syah dan Panglima Polim bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf
Köhler. Di bawah pimpinan Johan Harmen, Belanda berangkat dengan kekuatan 3.198
prajurit dan mendarat pada tanggal 8 April 1873. Mereka langsung menyerang serta berhasil
menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Beruntung, Kesultanan Aceh
berhasil memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang berlaga di garis depan kembali
dengan membawa kemenangan, sementara Köhler sendiri tewas tertembak pada bulan April
1873.

Perang tahap kedua dimulai pada tahun 1874-1880. Belanda melakukan serangan lagi di
bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten. Daerah VI Mukim berhasil ditaklukkan oleh
Belanda pada tahun 1873 dan Keraton Sultan berhasil ditaklukkan pada tahun 1874. Cut
Nyak Dhien yang tinggal di Daerah VI Mukim dan bayinya akhirnya mengungsi bersama
para ibu rumah tangga dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suami Cut
Nyak Dhien berangkat bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim dari tangan
Belanda. Tapi sayangnya, Ibrahim Lamnga yang bertempur di Gle Tarum, ia gugur pada
tanggal 29 Juni 1878. Kematian suaminya ini tentu membuat Cut Nyak Dhien diselimuti
kemarahan dan bersumpah akan menghancurkan para penjajah itu.

Teuku Umar, salah satu tokoh penting pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada
awalnya Cut Nyak Dhien menolak lamaran itu tapi akhirnya menerima setelah Teuku Umar
mengizinkan untuk ikut bertempur. Bergabungnya Cut Nyak Dhien berhasil meningkatkan
moral semangat perjuangan Aceh melawan Belanda. Perang berlanjut secara gerilya dan
berkobarlah perang fi’sabilillah. Pada tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan
melakukan pendekatan dengan para Belanda dan hubungannya dengan para penjajah itu
semakin kuat.

Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar yang bersam 250 orang pasukannya pergi ke
Kutaraja untuk menyerahkan diri kepada Belanda. Tentu Belanda sangat senang karena
musuh yang sangat berbahaya mau membantu mereka. Sehingga Belanda memberikan Teuku
Umar julukan bernama Teuku Umar Johan Pahlawan. Lebih dari itu, Teuku Umar menjadi
komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan yang cukup besar. Teuku Umar
sebenarnya merahasiakan rencana untuk menipu para Belanda, meskipun ia suduh dituduh
sebagai pengkhianat oleh rakyat Aceh. Cut Nyak Dien terus berusaha menasihatinya agar
kembali ke sisi rakyat Aceh untuk kembali melawan Belanda.

Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda demi mencoba siasatnya.
Teukur Umar lalu mempelajari taktik dan strategi tentara Belanda, sementara perlahan tapi
pasti, dia mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang berada di bawah
tanggung jawabnya. Ketika jumlah tentara Aceh yang berada di pasukan tersebut cukup,
Teuku Umar menipu orang Belanda dan berencana bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Sebenarnya Teuku Umar hanya mencuri semua perbekalan dan logistik yang diberikan oleh
Belanda. Dia berangkat kembali ke Aceh dan tidak pernah kembali.

Kejadian ini membuat Belanda sangat marah dan melakukan operasi besar untuk menangkap
Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Karena sudah memiliki senjata milik Belanda, tentara
Aceh berhasil mengimbanginya. Bahkan Jenderal Jakobus Ludovicus terbunuh. Cut Nyak
Dhien dan Teuku Umar terus menyerang semuanya bahkan banyak jenderal Belanda yang
harus diganti. Pasukan elit bernama De Marsose yang dikenal tanpa ampun. Pasukan ini
berhasil membuat rakyat Aceh ketakutan.

Ketakutan ini dimanfaatkan oleh Jenderal Benedcitus. Dia menyewa orang Aceh untuk
menjadi mata-mata dan berhasil mengetahui rencana Teuku Umar untuk menyerang
Meulaboh. Karena informasinya bocor, Teuku Umar gugur tertembak. Anak Cut Nyak Dhien
menangis karena kematian ayahnya. Kini giliran Cut Nyak Dhien yang memimpin
perlawanan bersama pasukan kecilnya. Hingga pasukannya hancur pada tahun 1901 setelah
Belanda mempelajari cara berperang Aceh. Cut Nyak Dhien sendiri juga sudah tua dan sering
terkena penyakit encok. Hingga dia berhasil ditangkap oleh Belanda. Perjuangan pun
diteruskan oleh Cut Gambang.

Kehidupan Cut Nyak Dhien di Hari Tua dan Meninggal

Kekalahan Aceh membuat keadaan semakin memburuk dan Cut Nyak Dhien ditangkap.
Setelah ditangkap, beliau dibawa ke Banda Aceh dan dilakukan perawatan di situ. Dua
penyakitnya seperti encok dan rabun perlahan-lahan sembuh. Karena terlihat belum
menyerah, Cut Nyak Dien akhirnya dibawa ke Sumedang di Jawa Barat. Karena Belanda
tidak mau keberadaannya di Aceh bisa mempertahankan semangat perlawanan rakyat Aceh.
Selain itu juga karena Cut Nyak Dhien terus berhubungan dengan pejuang yang masih
bertekad kuat untk meneruskan perjuangan

Bersama dengan tahanan politik Aceh yang lain, Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang. Dia
menarik perhatian bupati Suriaatmaja dan para tahanan laki-laki juga memperhatikan Cut
Nyak Dhien. Tapi identitas asli Cut Nyak Dhien tetap dirahasiakan Belanda. Ia ditahan
bersama dengan seorang ulama bernama Ilyas. Ulama itu cepat menyadari bahwa Cut Nyak
Dhien adalah seorang yang cukup ahli dalam agama Islam. Sehingga Cut Nyak Dhien
mendapat nama julukan yaitu Ibu Perbu.

Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhir karena usia
yang tua. Di akhir hayatnya dia lebih dikenal dengan nama Ibu Perbu dan makamnya baru
ditemukan pada tahun 1959 setelah dilakukan pencarian berdasarkan permintaan Gubernur
Aceh Ali Hasan yang menjabat saat itu. Ibu Perbu diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia.

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut juru kunci makam, makam Cut Nyak Dhien berhasil ditemukan di tahun 1959
setelah Ali Hasan yang menjabat Gubernur Aceh pada saat itu meminta untuk melakukan
pencarian. Pencarian makam Cut Nyak Dhien dilakukan setelah mendapatkan data yang
ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh yang berada di Sumedang sering menggelar acara
pertemuan. Pada acara tersebut, para peziarah berangkat ke makam Cut Nyak Dhien dengan
jarak kira-kira sekitar dua kilometer. Biasanya, masyarakat Aceh yang bermukim di Bandung
sering melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran yang dilakukan rutin setiap tahun.
Selain itu, orang Aceh dari Jakarta secara rutin melakukan acara haul setiap bulan November.

Makam Cut Nyak Dhien dilakukan pemugaran pertama pada 1987. Bukti pemugaran
bisa terlihat di monumen peringatan yang berada di dekat pintu masuk. Di monumen itu
tertulis peresmian makam yang ditandatangani langsung oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan
yang menjabat saat it tepatnya pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien
dilindungi oleh pagar besi yang digabung bersama beton dengan luas sebesar 1.500 m2. Di
sebelah kiri makam ada banyak batu makam yang menjadi tempat peristirahatan terakhir
keluarga ulama H. Sanusi. Di bagian belakang ada musholla yang biasa digunakan para
peziarah untuk sholat.

Batu nisan Cut Nyak Dhien, dihiasi tulisan riwayat hidupnya, beberapa tulisan bahasa Arab,
Surah Al-Fajr dan At-Taubah dan hikayat cerita rakyat Aceh. Jumlah peziarah makam Cut
Nyak Dhien cenderung berkurang ketika waktu itu sedang heboh Gerakan Aceh Merdeka.
Mereka melakukan perlawanan di Aceh untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Alasan lain karena aparat sering kali mengawasi daerah makam ini. Biaya perawatan makam
diperoleh dari kotak amal karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana dan bantuan.

Demikian informasi tentang biografi Cut Nyak Dhien. Biografi Cut Nyak Dhien perlu
diketahui sebagai wujud penghargaan kita kepada para pahlawan yang telah berjasa dan terus
berjuang untuk membebaskan negara dari belenggu kolonialis Belanda khususnya di tanah
Aceh. Selain Cut Nyak Dhien, cukup banyak pahlawan nasional yang wajib kita kenal dari
berbagai wilayah Indonesia
Raden Ajeng Kartini
Sejarah Raden Ajeng Kartini – Kartini, yang bernama panjang Raden Ajeng Kartini,
merupakan seorang putri dan seorang gubernur yang telah diangkat menjadi seorang bupati
untuk wilayah Jepara.

RA. Kartini telah lahir pada 21 April 1879 di kota Jepara, yang berada di wilayah Jawa
Tengah. RA. Kartini telah dikenal sebagai seorang wanita yang telah memelopori dalam
kesetaraan antara wanita dan pria di wilayah Indonesia.

Pasti kalian mengenal dengan pahlawan yang bernama Raden Ajeng Kartini bukan? Dalam
pembahasan kali ini, kami akan menjelaskan mengenai sejarah, kelahiran, wafatnya RA.
Kartini. Yukk… Simak ulasan selengkapnya sebagai berikut.

Sejarah Raden Ajeng Kartini ?


RA. Kartini telah lahir pada 21 April 1879 di kota Jepara, dalam wilayah Jawa Tengah. RA.
Kartini telah dikenal sebagai wanita yang dapat memelopori adanya sebuah kesetaraan antara
wanita dan pria di wilayah Indonesia. Ini telah dimulai ketika Kartini telah merasakan begitu
banyak diskriminasi antara pria dan wanita pada saat itu, dengan beberapa wanita yang tidak
diizinkan untuk belajar sama sekali.

Kartini sendiri telah mengalami sebuah kejadian ini ketika dia tidak diizinkan untuk
melanjutkan dalam studinya di tingkat yang lebih tinggi. Kartini yakni sering
berkorespondensi dengan seorang teman-temannya di luar negeri, dan akhirnya surat-surat itu
dikumpulkan dengan Abendanon dan telah diterbitkan sebagai buku berjudul “Habis Gelap
Terbitlah Terang”.

Kartini Kehidupannya dimulai dengan kelahiran Kartini dalam keluarga Priyayi. Kartini,
yang bernama panjang Raden Adjeng Kartini, adalah putri seorang gubernur yang kemudian
diangkat menjadi bupati kota Jepara, yang bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat.

Ibu dari RA. Kartini yang bernama M.A Ngasirah, yakni merupakan seorang istri pertama
dari Sosroningrat, dan telah bekerja sebagai guru agama di salah satu sekolah di Telukawur,
kota Jepara. Silsilah dalam keluarga Kartini dari ayah mereka dapat ditelusuri kembali ke
Sultan Hamengkubuwono IV, dan silsilah Sosroningrat itu sendiri masih dapat ditelusuri
kembali ke kerajaan Majapahit.
Kutipan Inspiratif
Terdapat beberapa kutipan yang telah inspirasional yakni sebagai memotivasi pada para
wanita pada Hari Kartini, diantaranya ialah sebagai berikut:

1. Penyebab Kita Jatuh


Banyak hal yang dapat menjatuhkan. Tetapi termasuk salah satu hal yang sangat benar-benar
dapat menjatuhkanmu ialah terhadap sikapmu sendiri.

2. Jangan Mengeluh
Jangan pernah mengeluh tentang hal-hal buruk dalam hidup Anda. Tuhan tidak pernah
memberikannya, kaulah yang membiarkan ia datang.

3. Teruslah Bermimpi
Bermimpilah, harus terus bermimpi, bermimpi selama bisa bermimpi! Jika tidak bermimpi,
apakah akan hidup? Kehidupan nyata itu kejam.

4. Jangan Menyerah
Jangan pernah engkau menyerah jika ingin tetap mencoba. Jangan pernah menyesalinya,
karena selangkah lagi untuk mencapai kemenangan.

5. Kehidupan Berubah
Tidak ada awan di langit yang akan bertahan selamanya. Bagaimanapun, cuaca akan terus
mengklarifikasi. Setelah malam yang sudah gelap gulita dan di pagi hari akan membawa
sebuah keindahan. Kehidupan manusia itu seperti alam.

6. Semboyan Kartini
Apakah Anda tahu moto saya? Saya ingin Dua kata pendek ini berulang kali mendukung saya
dan menuntun akan saya melewati pegunungan kesusahan dan kesusahan. Katanya aku tidak
bisa! Hilangkan keberanian. Kalimat “Saya ingin!” membuatnya mudah untuk mendaki
puncak gunung.
7. Gadis dengan Pemandangan Luas
Gadis yang semangatnya telah dididik, lanskap meluas, tidak akan lagi bisa hidup di dunia
leluhurnya.

8. Mimpi yang sempurna


Karena ada bunga mati, banyak buah tumbuh. Begitu juga dalam kehidupan manusia. Karena
mimpi muda mati di sana, kadang-kadang mimpi lain muncul, yang lebih sempurna, sehingga
ia dapat berbuah.

RA. Kartini telah lahir pada 21 April 1879 di kota Jepara, yang berada di wilayah Jawa
Tengah. RA. Kartini telah dikenal sebagai seorang wanita yang telah memelopori terhadap
kalangan wanita.
Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau biasa kita kenal dengan sebutan Diponegoro adalah
salah satu dari sekian banyak pahlawan nasional Republik Indonesia dan termasuk pahlawan
nasional dari Jawa. Beliau lahir di Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785
dan meninggal di Makassar, Hindia Belanda, pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69
tahun. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang
Jawa yang berkecamuk mulai tahun 1825 hingg 1830 melawan penjajahan Hindia Belanda.
Perang Jawa ini termasuk sebagai perang dengan korban paling banyak dalam lembaran
sejarah dan perjuangan bangsa Indonesia. Selain Biografi Pangeran Diponegoro, cukup
banyak pahlawan nasional dari Yogyakarta dan pahlawan nasional dari Jawa Tengah.
Asal usul Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah anak dari Sultan


Hamengkubuwono III. Beliau adalah raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Pahlawan yang
kelak memimpin Perang Jawa ini lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Nama
kecilnya adalah Mustahar. Ibunda Mustahar adalah selir yang bernama R.A. Mangkarawati,
yang berasal dari Pacitan. Selain dipanggil dengan Mustahar, Semasa kecilnya, Pangeran
Diponegoro juga dipanggil dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya.

Sadar karena kedudukannya yang hanya sebagai anak seorang selir, Diponegoro menolak
keinginan Sultan Hamengkubuwana III untuk diangkat menjadi raja. Ia menolak mengingat
ibunya bukanlah permaisuri. Biasanya, di lingkungan kebangsawanan, putra mahkota yang
pantas hanyalah anak dari permaisuri. Diponegoro sendiri pernah menikah dengan 9 wanita
dalam hidupnya. Yaitu R.A. Retna Madubrangta, R.A. Supadmi yang merupakan putri dari
Raden Tumenggung Natawijaya III, R.A. Retnadewati yang merupakan putri dari seorang
Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta, R.Ay.

Citrawati yang merupakan puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah
satu isteri selir, R.A. Maduretno yang merupakan putri Raden Rangga Prawiradirjo III
dengan Ratu Maduretna (putri Hamengkubuwono II), R.Ay. Ratnaningsih yang merupakan
putri Raden Tumenggung Sumaprawira yang menjabat sebagai bupati Jipang Kepadhangan,
R.A. Retnakumala yang merupakan putri Kyahi Guru Kasongan, R.Ay. Ratnaningrum yang
merupaka putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan yang terakhir adalah Syarifah
Fathimah Wajo yang merupakan putri Datuk Husain. Tempat peristirahatannya ada di
Makassar.

Biografi Pangeran Diponegoro : Kehidupan Pangeran Diponegoro

Diponegoro lebih berminat pada kehidupan keagamaan dan rakyat jelata. Sehingga dia lebih
suka berada di Tegalrejo. Dulu Tegalrejo adalah tempat tinggal eyang buyut putrinya atau
permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I. Namanya yaitu Gusti Kangjeng Ratu
Tegalrejo. Pemberontakan Diponegoro ke keraton dimulai ketika kepemimpinan Sultan
Hamengkubuwana V pada tahun 1822. Waktu itu, Diponegoro jadi salah satu anggota
perwalian yang menemani Hamengkubuwana V yang masih berusia 3 tahun. Sedangkan
pemerintahan keraton biasanya dipegang bersama oleh Patih Danureja dan Residen Belanda.
Tentu Pangeran Diponegoro tidak menyetujui cara perwalian yang seperti itu.

Terjadinya Perang Diponegoro

Perang Diponegoro dimulai karena penjajah Belanda memasang patok di wilayah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Sebelum itu, Diponegoro memang sudah muak dan sebal
dengan tingkah Belanda yang tidak menghormati adat istiadat serta budaya setempat dan
sangat mengeksploitasi ekonomi rakyat dengan pembebanan pajak. Bisa dibilang seenaknya
sendiri. Namanya juga penjajah. Tindakan Diponegoro yang menentang Belanda secara
frontal, mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas nasehat dari GPH Mangkubumi,
sang paman, Diponegoro pergi dari Tegalrejo dan membuat basis perlawanan di sebuah gua
yang diberi nama Gua Selarong.

Ketika perjuangan akan dimulai, Diponegoro mengumandangkan bahwa perjuangannya


adalah perang sabil yang berarti perlawanan menghadapi kaum kafir. Teriakan perang sabil
yang dikobarkan Diponegoro efeknya sangat luas bahkan sampai ke wilayah Kedu dan
Pacitan. Salah seorang tokoh ulama dari Surakarta yang bernama Kyai Maja juga ikut
bergabung dengan pasukan Diponegoro yang berada di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir
di Desa Mojo tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena sang Pangeran ingin
mendirikan kerajaan atau pemerintahan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo adalah sebagai
ulama besar dan berpengaruh yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga dengan
Diponegoro.

Ibu dari Kyai Mojo yang bernama R.A. Mursilah adalah saudara perempuan dari Sultan
Hamengkubuwana III. Tapi Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad
Khalifah tidak pernah merasakan kemewahan gaya hidup khas keluarga bangsawan. Jalinan
persaudaraan antara Kyai Mojo dan Diponegoro semakin erat ketika Kyai Mojo menikahi
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Karena itulah,
Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski hubungan antara
keduanya lebih tepat dikatakan saudara sepupu.

Selain didukung oleh Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Raden
Tumenggung Prawiradigdaya yang merupakan Bupati dari Gagatan dan Sunan Pakubuwono
VI. Pengaruh dukungan dari Kyai Mojo pada perjuangan Diponegoro sangatlah kuat karena
dia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal
sebagai ulama yang dikenal teguh menegakkan ajaran Islam ini memiliki impian agar tanah
Jawa dipimpin oleh pemimpin yang bersandar pada syariat Islam sebagai landasan hukum
yang utama. Karena sejarah Islam di Indonesia cukup mengakar di penduduk. Semangat
perlawanan melawan Belanda yang merupakan musuh Islam menjadi strategi Perang Suci.
Oleh karena itulah, kekuatan Dipenogoro terus mendapat dukungan khususnya dari tokoh-
tokoh agama yang cukup dekat dengan Kyai Mojo. Menurut seorang sejarawan Peter Carey
di bukunya yang berjudul Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 terbitan tahun
2016, disebutkan bahwa kira-kira ada 112 kyai, 31 haji, 15 syekh dan puluhan penghulu yang
bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Dan selama perang ini, pihak Belanda mengalami
kerugian hingga tidak kurang dari 15.000 tentara dan biaya sebesae 20 juta gulden. Banyak
cara terus diusahakan oleh Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
digunakan. Hadiah sebesar 50.000 Gulden diberikan kepada siapapun yang berhasil
menangkap Diponegoro. Hingga akhirnya Pangeran Diponegoro ditangkap pada tahun 1830.

Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan pengerahan semua pasukan. Contohnya
seperti pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri yang membuat pertarungan di kedua belah
pihak berlangsung dengan sengit. Artileri sendiri menjadi senjata andalan sejak Napoleon dan
tentara Perancisnya mengacak-acak tanah Eropa. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota
dan desa di seluruh tanah Jawa. Pertempuran berkecemuk dengan sangat hebat sehingga jika
suatu wilayah bisa dikuasai pasukan Belanda di siang hari, maka malam hari atau esoknya
wilayah itu sudah berhasil direbut kembali oleh pasukan pribumi.

Dan berlaku pula sebaliknya. Cukup banyak jalan logistik dibangun dari satu lokasi ke lokasi
lain untuk mendukung kepentingan perang. Puluhan tempat mesiu dibangun di hutan dan
dasar jurang. Kebutuhan peluru dan mesiu terus meningkat karena peperangan terus
berkecamuk. Para intel dan kurir bekerja keras mencari, menganalisis dan menyampaikan
informasi yang diperlukan untuk merancang stategi perang yang ampuh. Informasi meliputi
kekuatan musuh, jarak dan waktu tempuh, situasi medan tempur dan curah hujan. Semakin
banyak informasi yang terkumpul maka terciptalah taktik dan strategi yang jitu karena
peperangan tidak hanya dimenangkan dari satu atau dua faktor.

Serangan-serangan masif dari rakyat Jawa selalu digencarkan ketika bulan-bulan penghujan.
Karena para senopati sangat paham sekali bahwa salah satu cara untuk menang adalah
mengenali dan menggunakan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Jika musim hujan tiba,
gubernur Belanda akan berusaha untuk mengajak gencatan senjata dan berunding. Karena
hujan tropis yang sangat deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Tidak hanya itu,
penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan masalah yang tidak tampak dan
melemahkan fisik dan moral tentara Belanda. Bahkan yang paling parah adalah penyakit-
penyakit tersebut merenggut nyawa pasukan mereka.

Ketika gencatan senjata disetujui, Belanda akan mengatur pasukan dan menyebarkan intel
dan provokator mereka untuk bergerak di kota dan desa. Tugas mereka adalah menghasut,
memecah belah dan bahkan meneror anggota keluarga para bangsawan dan pemimpin
perjuangan rakyat yang mengikuti perjuangan di bawah komando pangeran Diponegoro.
Namun pejuang dan para bangsawan pribumi tersebut tidak takut dan semakin berani
melawan Belanda.

Pada puncak Perang Jawa, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu. Suatu hal
yang belum pernah terjadi ketika masa penjajahan. Ketika suatu wilayah yang tidak terlalu
luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dipenuhi oleh puluhan ribu serdadu
Belanda. Dari sudut pandang dunia kemiliteran, ini adalah perang pertama yang
menggunakan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka dan metode perang gerilya yang dilakukan dengan taktik hit and run dan
penghadangan.
Ini sebenarnya bukan sebuah perang suku, tapi suatu perang modern yang menggunakan
berbagai macam siasat yang belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga menggunakan taktik
perang urat saraf (psy-war) melalui teknik insinuasi, tekanan-tekanan dan provokasi oleh
pihak Belanda ke mereka yang terlibat langsung dalam peperangan kegiatan intelijen dan
spionase antara kedua belah pihak juga sangat aktif untuk mencari informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang kubu Diponegoro dengan menggunakan taktik benteng
sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja berhasul ditangkap.
Kemudian menyusul Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya yang
menyerah kepada Belanda. Akhir cerita, pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock
berhasil menjepit pasukan Diponegoro di daerah Magelang. Karena sudah terjepit, Pangeran
Diponegoro bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota pasukannya dibebaskan.
Akhirnya, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado. Lalu dipindahkan ke
Makassar hingga menghembuskan nafas terakhir di Benteng Rotterdam pada tanggal 8
Januari 1855.

Perang melawan Belanda lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro. Seperti Ki
Sodewa, Dipaningrat, Dipanegara Anom dan Pangeran Joned. Mereka terus-menerus
melakukan perlawanan tanpa kenal menyerah walaupun harus berakhir tragis. Empat putra
Pangeran Diponegoro tertangkap dan dibuang ke Ambon. Sementara Pangeran Joned dan Ki
Sodewa gugur dalam peperangan.

Akhir Perang Jawa

Berakhirnya Perang Jawa menandai akhir perlawanan bangsawan Jawa. Setelah perang Jawa,
jumlah penduduk Ngayogyakarta berkurang hingga separuhnya. Sebagian kalangan dalam
Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap sebagai pemberontak. Sehingga
konon keturunannya dilarang masuk ke Kraton. Sampai kemudian Sri Sultan
Hamengkubuwana IX memberi ampunan bagi keturunan Diponegoro yang
mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dimiliki oleh Diponegoro di masa Perang
Jawa. Kini anak cucu Diponegoro bisa bebas masuk Kraton. Khususnya untuk mengurus
silsilah tanpa rasa takut akan diusir.
Biografi Dewi Sartika

Dewi Sartika – Kita semua pasti tahu Biografi Dewi Sartika yg merupakan pelopor kaum
wanita. Setelah Raden Ajeng Kartini meninggal, perjuangan beliau dilanjutkan oleh penerus
perempuan bangsa. Beliau adalah Dewi Sartika. Dewi Sartika memiliki cita-cita yang sama
dengan R. A. Kartini yakni memajukan pendidikan para wanita serta demi masa depan anak
bangsa.

Beliau adalah seorang gadis yang turut tumbuh dalam barisan perjuangan kemerdekaan. Oleh
karena itu biografi Dewi Sartika juga menarik untuk dibicarakan. Dewi Sartika ialah sosok
perempuan yang dilahirkan di sebuah kota Bandung tepatnya di Cicalengka pada bulan
Desember tanggal 4 tahun 1884.

Biografi Dewi Sartika tidak dapat dijelaskan secara detail dikarenakan data-data yang
terkumpul minim. Ia tumbuh dari seorang priyayi sunda yaitu Raden Somanagara. Ibunya
juga merupakan perempuan sunda yang bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas.

Orang tua Dewi Sartika merupakan pejuang Indonesia yang terang-terangan menentang
pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut mendapat hukuman keras dari pemerintah Hindia
Belanda sehingga harus diasingkan ke Ternate dan terpisah dari Dewi Sartika.

Masa Kecil Dewi Sartika


Dari biografi Dewi Sartika, kita juga dapat melihat masa kecilnya. Setelah kedua orang tua
Dewi Sartika meninggal, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya yang merupakan kakak
kandung dari Nyi Raden Ayu Rajapermas. Patih Aria, paman Dewi Sartika adalah seorang
patih di Cicalengka. Dari pamannya lah, Dewi Sartika meningkatkan ilmu pengetahuannya
terkait adat budaya sunda.

Seorang Residen Asisten Residen berkebangsaan Belanda juga telah


mengajarkannya tentang budaya dan adat bangsa Barat. Kedua orang tua Dewi Sartika
memang sudah mengenalkan pendidikan sejak kecil, meskipun hal tersebut bertentang bagi
perempuan. Dewi Sartika pernah mengikuti pendidikan Sekolah Dasar Cicalengka.
Ketertarikan Dewi Sartika Terhadap Pendidikan
Ketika masih kanak-kanak, seringkali Dewi Sartika bermain guru-guruan dengan anak
seusianya. Ia sering kali berperan sebagai guru, karena saat ia telah mampu baca dan tulis. Ia
mengajarkan kepada anak-anak di sekitarnya terutama anak perempuan pribumi.

Dari situlah telah terlihat bahwa Dewi Sartika memiliki minat yang lebih terhadap dunia
pendidikan. Ia juga memiliki kemampuan berbahasa Bahasa Belanda. Menginjak remaja, ia
mulai mengajarkan baca dan tulis kepada warga sekitar. Saat itulah Dewi Sartika berpikir
agar anak-anak perempuan dapat memperoleh pendidikan yang sama.

Sekolah-Sekolah Yang Didirikan Dewi Sartika


Sebagai seseorang yang konsen pada pendidikan, Dewi Sartika menditikan beberapa sekolah.
Lantas apa saja sekolah-sekolah yang didirikan Dewi Sartika? Berikut ini pembahasannya
untuk anda :

1. Sekolah Isteri
Tanggal 16 Januari 1904 Dewi Sartika mulai mendirikan sekolah impiannya. Kakeknya
Raden Agung A Martanegara dan seorang Inspektur Kantor Pengajaran yaitu Den Hamer
memberikan respon positif. Dewi Sartika akhirnya berhasil mendirikan sebuah sekolah untuk
kaum perempuan yang diberi nama “Sekolah Isteri”

Saat pertama kali dibuka, Sekolah Isteri memiliki murid seorang wanita berjumlah 20 orang.
Disana para wanita tidak hanya belajar membaca, menulis dan berhitung saja, mereka juga
belajar menjahit, merenda serta belajar agama. Masyarakat pun semakin berantusias dengan
“Sekolah Isteri”.

Sekolah Isteri hanya memiliki dua ruang kelas tidak dapat menampung banyak murid.
Sedangkan jumlah wanita yang bersekolah terus meningkat. Akhirnya ruang kelas pun
ditambah dengan meminjam sebagian ruang kepatihan Bandung.

2. Sekolah Keutamaan Isteri


Masyarakat yang mendaftar semakin hari semskin banyak, hingga ruang kepatihan Bandung
yang telah dipinjam sudah tak cukup lagi. Sekolah pun di pindahkan. Perpindahan tempat
juga merubah nama sekolah menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Tahun 1910 sejalan dengan
kepindahan sekolah Isteri, Sekolah Keutamaan Isteri resmi dibuka di gedung yang lebih luas.

Sekolah keutamaan Isteri yang telah dibuka juga memiliki beberapa perbedaan dari
sebelumnya. Para wanita tidak hanya diajarkan keterampilan seperti menjahit saja namun
juga dididik untuk menjadi istri. Gadis-gadis yang notabene akan menjadi istri mendapat
pelajaran tentang bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik, mandiri dan terampil.
Semua pelajaran berkaitan dengan pembinaan rumah tangga diajarkan di sekolah Keutamaan
Istri.

Tepat dua tahun setelah perpindahan sekolah Keutamaan Isteri, wanita-wanita sunda yang
memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika mulai berani mendirikan sekolah-sekolah
untuk wanita. Hingga tahun 1912, jumlah sekolah Isteri mencapai 9 sekolah.
3. Organisasi Keutamaan Isteri
Banyaknya sekolah perempuan di Sunda memunculkan kembali ide untuk mendirikan
organisasi. Tahun 1913 Organisasi Keutamaan Isteri berdiri dengan tujuan untuk menaungi
sekolah-sekolah yang telah didirikan di Tasikmalaya. Organisasi ini sengaja dibentuk untuk
menyatukan sistem pembelajaran dari sekolah-sekolah yang telah dibangun Dewi Sartika.

4. Sekolah Keutamaan Perempuan


Tahun selanjutnya, Sekolah Keutamaan Istri merubah kembali namanya menjadi Sekolah
Keutamaan Perempuan. ¼ wilayah Jawa Barat telah berdiri Sekolah Keutamaan Perempuan,
tinggal ¾ lagi yang perlu ditata. Seorang wanita bernama Encik Rama Saleh kembali
terinspirasi oleh Dewi Sartika, ia memberanikan diri untuk mendirikan sekolah di wilayah
Bukittinggi.

5. Sekolah Raden Dewi


25 tahun setelah pendirian sekolah Isteri, namanya pun berubah kembali. Ini merupakan kali
terakhir perubahan nama dari sekolah yang didirikan Dewi Sartika. Tahun 1929 Sekolah
Keutamaan Perempuan berubah menjadi Sekolah Raden Dewi. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian memberikan apresiasi dengan membangunkan. sebuah gedung sekolah baru yang
lebih besar dari sebelumnya.

Cita-Cita Dan Penghargaan Dewi Sartika


Mimpi Dewi Sartika untuk menjadikan wanita berpendidikan telah tercapai. Ia juga ingin
agar seluruh wanita dapat menjadi istri yang baik. Namun, ia tidak hanya berhenti disitu
perjuangan Dewi Sartika. Ia turut serta banting tulang bekerja siang-malam untuk membayar
pengeluaran operasional sekolah. Dewi Sartika tak pernah mengeluh, ia justru merasa sangat
terobati saat melihat kaumnya.

Sesuai SK Presiden RI no 152/1966 Dewi Sartika mendapat penghargaan sebagai Pahlawan


Nasional. Tepatnya pada tanggal 1 Desember 1966 ketika sekolah Keutamaan Isteri berusia
35 tahun ia mendapat gelar Orde van Oranje-Nassau.

Kehidupan Rumah Tangga Dewi Sartika


Dua tahun setelah mendirikan sekolah Isteri, tepatnya tahun 1906, Dewi Sartika ternyata telah
menikah. Ia menikah dengan salah seorang Guru di Sekolah Karang Pamulang yang menjadi
Sekolah Latihan Guru. Kesamaan visi dan misi Dewi Sartika dan Raden Kanduruan Agah
Suriawinata menambah semangat Dewi Sartika.

Tak ada biografi dewi sartika yang menjelaskan tentang kisah asmara Dewi Sartuka dan
Raden Kanduruan Agah Suriawinata secara rinci. Pada intinya suami Dewi Sartika telah
banyak berperan dalam proses pendirian Sekolah Isteri. Ia tidak hanya memberikan dorongan
motivasi, namun ia juga membantu baik tenaga maupun pemikiran. Berkat suaminya pula,
Dewi Sartika mampu memperjuangkan semuanya, tanpa kata lelah.

Masa Tua Dewi Sartika


Memasuki usia Senja Dewi Sartika hidup bersama warga dan pejuang di Sunda. Tahun 1947
Belanda kembali melakukan serangan agresi militer. Seluruh rakyat pribumi, Pejuang serta
Dewi Sartika dan Keluarga ikut melakukan perlawanan untuk membela tanah air. Seluruh
penduduk kemudian mengungsi untuk mempertahankan Indonesia.
Tanggal 11 bulan September tahun 1947 di Tasikmalaya tepatnya saat berada di pengungsian
Dewi Sartika menghembuskan nafas terakhirnya. Seluruh rakyat berduka atas peninggalan
Dewi Sartika. Karena keadaan masih dalam masa perang, hanya pemakaman dan upacara
sederhana yang dilakukan.

Pemakaman Cigagadon yang ada di Desa Rahayu, Kecamatan Cineam adalah makam dari
Dewi Sartika. Usai perang Agresi Militer, sekitar tahun 1950 makam Dewi Sartika
dipindahkan ke kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jl. Karang Anyar – Bandung.

Dari biografi dewi sartika diperoleh banyak sekali ilmu. Salah satunya adalah keikhlasan.
Dewi Sartika baru mendapat gelar pahlawan 19 tahun setelah ia meninggal. Ia sama sekali tak
pernah mengharapkan gelar itu. Karena Dewi sartika melakukannya dengan ikhlas.

Dari biografi Dewi Sartika juga kita dapat mengetahui bahwa perjuangan beliau sebagai
Pahlawan Nasional berbeda dengan pahlawan Nasional lainnya. Kebanyakan Pahlawan
berjuang dengan mengangkat senjata dalam medan perang. Dewi Sartika tidak, ia berjuang
melalui pendidikan. Ia mampu menginspirasi perempuan sunda lainnya yang memiliki cita-
cita yang sama.

Perjuangan Dewi Sartika sangatlah berarti terutama untuk kaum perempuan.


Dengan semangat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negeri,
sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita hingga masa kini. Dengan
adanya ulasan biografi Dewi Sartika ini diharapkan dapat menginspirasi kaum wanita seperti
halnya R. A. Kartini.

Anda mungkin juga menyukai