Anda di halaman 1dari 4

Rahasia Kedokteran

2.1.4 Bentuk Rahasia Kedokteran


Hal-hal yang Perlu Dirahasiakan dalam Rahasia Kedokteran
Dalam menjalankan keprofesiannya seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu
yang diketahuinya mengenai pasiennya, hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
10 tahun 1966 pasal 1 dalam Bab penjelasan terdapat kalimat berbunyi:
“Segala sesuatu yang diketahuinya”, mempunyai arti : segala fakta yang didapat
dalam pemeriksaan penderita, interpretasinya untk menegakkan diagnose dan
melakukan pengobatan, mulai dari anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaan dengan
alat-alat kedokteran dan sebagainya, juga termasuk fakta-fakta yang dikumpulkan oleh
pembantu-pembantunya.

Seorang ahli obat dan mereka yang berkerja di Apotek harus pula merahasiakan obat
dan khasiatnya yang diberikan kepada pasiennya. Merahasiakan resep dokter adalah suatu yang
penting dari etik pejabat yang bekerja dalam apotek.
Kapan seorang dokter dapat membuka rahasia kedokteran:
Dalam garis besarnya ada 2 aliran atau golongan yang dapat ditemukan dikalangan
kedokteran, yaitu :
1. Pendirian yang mutlak
Golongan yang menganut pendirian mutlak (absolut) berpendapat bahwa rahasia
konsekuensinya. Aliran ini tidak akan mempertimbangkan apa ada kepentingan lain yang
lebih utama. Dalam segala hal sikapnya mudah dan konsekuen yakni tutup mulut. Pengikut
aliran ini yang terkenal ialah dokter Frouardel (1837-1906), ia adalah seorang dokter
Prancis yang kemudian menjadi guru besar dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman di Paris
(1879).
Prof. Sutomo Tjokronegoro dalam masalah ini menyatakan :
“Bahwa pendirian demikian tidak hanya kaku, malahan mungkin menyalahi makna
rahasia jabatan dokter”.
Seperti diketahui bahwa dasar dari rahasia jabatan adalah kewajiban moril untuk
menjamin kesehatan masyarakat.
2. Pendirian yang nisbi atau relatif.
Golongan nisbi atau relatif pada dewasa ini merupakan teori yang terbanyak diikuti
dan dapat dikatakan diikuti umum. Tetapi hal ini tidak berarti penerapannya dalam praktek
dan persesuaian pendapat, karena teori ini dalam praktek sering sekali mendatangkan
konflik moril dan kesulitan-kesulitan lain dalam masalah yang kompleks.
Sehubungan dengan hal tersebut maka Profesor Sudarto, SH mengemukakan
bahwa :
“perlu dipertimbangkan adanya azas profesional dan azas subsider dalam
menggunakan hak tolaknya”.
Azas profesional menghendaki adanya pertimbangan-pertimbangan mana yang
lebih utama. Apakah dokter akan memberikan kesaksiannya yang berarti membuka rahasia
atau pekerjaannya ataukan ia akan menyimpan rahasia yang lebih diutamakan. Dalam
mengambil keputusan, aliran ini akan selalu mempertimbangkan setiap persoalan secara
kasuistis.
Azas subsider, yakni menyangkut masalah pemilihan tindakan apa yang harus
dilakukan dokter sebelum ia terpaksa melepaskan kewajiban untuk menyimpan rahasia.
Sebab kalau ini yang menjadi pilihannya, ia harus sudah emperhitungkan resiko yang
mungkin dihadapi yakni berupa sanksi pidana atau lainnya karena diadukannya ke
pengadilan oleh yang merasa dirugikan akibat dibukanya rahasi oleh dokter. Bila demikian
halnya, dokter supaya siap menghadapinya dengan memberikan alasan-alasan yang dapat
membenarkan perbuatannya (fait justifactier) atau yang dapat menghapuskan
kesalahannya (fait de’excuse).
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat pasal-pasal yang
mengatur hal-hal tersebut diatas, yaitu :
KUHP pasal 48 :
“Tidak boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan karena terdorong oleh daya
paksa”.

Yang dimaksud dengan daya paksa ini biasanya bukanlah daya paksa mutlak,
melainkan daya paksa nisbi. Daya paksa ini terjadi pada keadaan sebagai berikut :
a. Melindungi kepentingan umum.
Contohnya : seorang guru taman kanak-kanak menderita Koch Pulmonum aktif, menolak
untuk berobat dan cuti, maka dapat dilaporkan pada pimpinannya.
b. Melindungi kepentingan orang yang tidal bersalah.
Contohnya : seorang pengemudi yang menderita epilepsi, menolak untuk berganti
pekerjaan, maka dapat dilaporkan kepada majikannya.
c. Melindungi pasien yang mempercayakan rahasianya.
Contohnya : seorang penderita menceritakan kesulitannya dan bermaksud bunuh diri,
apabila dokter tidak dapat mempengaruhi penderita, maka ia dapat memberitahukan
keluarganya supaya dijaga agar tidak melakukan bunuh diri.
d. Melindungi dokter sendiri
Contohnya : seorang dokter dituduh melakukan abortus provocarus criminalis, sedangkan
sesungguhnya ia hanya menolong penderita yang datang dengan pendarahan akibat
tindakan seorang dukun. Dalam keadaan demikian dokter dapat memberikan keterang
kepada polisi yang memeriksanya untuk melindungi dirinya terhadap fitnahan tersebut
apabila penderita sendiri menolak memberitahukan yang sebenarnya.

KUHP Pasal 50
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan kepentingan Undang-
undang, tidak dipidana.

Ketentuan ini terutama berkaitan dengan kewajiban seorang dokter melaporkan


peristiwa kelahiran, kematian dan penyakit menular.

KUHP Pasal 51
Tidak boleh dihukum barangsiapa melakukan perbuatan atau menjalankan perintah
jabatan yang diberikan pembesar yang berhak.

Ketentuan ini menyangkut dokter militer dan dokter majelis penguji kesehatan,
misalnya : melaksanakan tes kesehatan untuk penerimaan anggota TNI.

2.1.5 Pemberi dan Penerima Rahasia Kedokteran


Pihak-pihak yang Diwajibkan Menyimpan Rahasia Kedokteran

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1996 Tentang Wajib
Simpan Rahasia Kedokteran pasal 3, yang diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran adalah tenaga
kesehatan, mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas di lapangan pemeriksaan, pengobatan
dan/atau perawatan, dan orang lain yang diterapkan oleh Menteri Kesehatan.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan pasal 2,
tenaga kesehatan terdiri dari :

1. Tenaga medis, meliputi dokter dan dokter gigi.


2. Tenaga keperawatan, meliputi perawat dan bidan.
3. Tenaga kefarmasian, meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.
4. Tenaga kesehatan masyarakat, meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,
mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.
5. Tenaga gizi, meliputi nutrisionis dan ditisien.
6. Tenaga keterapian fisik, meliputi fisioterapis, okupasioterapis, dan terapis wicara.
7. Tenaga keteknisian medis, meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi,
dan perekam medis.
Berpuluh-puluh abad yang lalu hal tentang wajib simpan rahasia kedokteran sudah
dicanangkan oleh Hippocrates dalam sumpahnya yang hingga kini tetap dianut dan menjadi
dasar dari kode etik kedokteran di seluruh dunia yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan
kondisi masing-masing negara.
Rahasia kedokteran merupakan suatu hal yang secara intrinsik bertalian dengan segala
pekerjaan yang berkaitan dengan ilmu kedokteran secara menyeluruh. Oleh karena itu harus
kita sadari bahwa semua orang yang dalam pekerjaannya bergaul dengan orang sakit atau
sedikitnya mengetahui keadaan orang sakit, tetapi tidak atau belum mengucapkan sumpah atau
janji secara resmi, maka sudah sepantasnya berkewajiban dan menjunjung tinggi rahasia
rahasia kedokteran tersebut.
Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran juga terdapat dalam lafal sumpah dokter
yang berbunyi : “Saya bersumpah /berjanji bahwa saya akan merahasiakan segala sesuatu yang
saya ketahui karena pekerjaan saya dan karena keilmuan saya sebagai dokter”.

2.2.1 Definisi Visum et Repertum


2.2.2 Dasar Hukum Visum et Repertum

Anda mungkin juga menyukai