28 bahasa
Halaman
Pembicaraan
Baca
Sunting
Sunting sumber
Lihat riwayat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pangeran Diponegoro
11 November 1785
Ngayogyakarta Hadiningrat
Makassar, Hindia Belanda
Selatan
Wangsa Mataram
Ayah Sultan Hamengkubuwana III
Agama Islam
Diponegoro, c.1830.
Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau
dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo
III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar
Sultan Hamengkubuwana IV, yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman
pemerintahan Gubernur Daendels.[17]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan
menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus
1825 di Selarong. Pada Agustus 1828, salah satu panglima Diponegoro bernama
Gusti Basah, gugur dan sebelum meninggal, ia meminta sang Pangeran menunjuk
Sentot sebagai penggantinya. Setelah diangkat menjadi senopati, Sentot berhasil
memukul mundur tentara Sollewijn di Progo Timur pada 5 September 1828.
Beberapa minggu kemudian, Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di
Bagelen dan Banyumas. Strategi perang yang digunakan Sentot adalah
penggerebekan dengan menggempur sekeras-kerasnya dengan pasukan penuh.
Sentot juga dikenal pandai dalam perang gerilya. [17]
Gelar "Basya" atau "Pasha" diilhami oleh sosok Usamah bin Zaid, panglima Turki
yang memimpin perang melawan bangsa Romawi dalam usia 17 tahun juga. Sentot
Alibasha juga dijuluki "Napoleon Jawa".[12] Sentot memimpin pasukan sebanyak
1.000 orang dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban.
Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.[12]
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk
senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda. [7]
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun,
Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan
Hindia Belanda. Atas bujukan kakaknya tersebut, Sentot kemudian menerima
tawaran Belanda untuk datang ke Yogyakarta dan disambut dengan upacara militer
seperti seorang jenderal pada 24 Oktober 1829 hingga akhirnya disergap dan
ditangkap.[12]
Setelah menyerah dalam Perang Diponegoro, Sentot sempat dikirim
ke Salatiga, Batavia, hingga akhirnya Hindia Belanda mengirimnya ke Sumatra
Barat untuk membasmi pemberontakan ulama dalam Perang Padri. Namun ini
hanya strategi Sentot agar berhasil mendapatkan persenjataan untuk membantu
perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Sentot akhirnya ditahan Hindia Belanda dan
dikirim kembali ke Batavia pada Maret 1833 dan ke Bengkulu pada Agustus 1833
sebelum akhirnya wafat dalam usia 47 tahun dalam pengasingan di Bengkulu pada
17 April 1855.[17]
Kerta Pengalasan[sunting | sunting sumber]
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu
senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk
memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered. [7] Sebelum perang, Kerta
Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia
diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk
mendukung Pangeran Diponegoro. [18]
Para pendamping[sunting | sunting sumber]
Selain para panglima perang, Pangeran Diponegoro juga didampingi oleh para
pendamping yang sering disebut sebagai panakawan (pengiring), yakni Joyosuroto
(Roto), Banthengwareng, Sahiman (Rujakbeling), Kasimun (Wangsadikrama), dan
Teplak (Rujakgadhung).[19] Mereka para panakawan disebut juga sebagai bocah
becik (anak baik) dan berperan bergantian sebagai abdi pengiring, guru, penasihat,
peracik obat, pembanyol, hingga penafsir mimpi. [20]
Joyosuroto[sunting | sunting sumber]
Joyosuroto (dipanggil Roto) adalah panakawan yang selalu ada di setiap perjalanan
sang Pangeran sejak awal perjuangan hingga perjalanan sebagai tahanan menuju
pengasingan. Roto bahkan ikut dalam kereta kuda residen Kedu menuju Semarang
dan bertugas membawa kotak sirih. Roto juga menjaga kamar Pangeran Diponegoro
dengan tidur di depan pintu kamarnya ketika sang pangeran telah tiba dan menginap
selama seminggu di Wisma Residen Bojong, Semarang. Dia menyajikan roti putih
yang dipanggang setiap pagi berikut kentang walanda.[20]
Sebelum bergabung dengan Pangeran Diponegoro, Roto adalah hanya seorang
warga desa sekitar Tegalrejo. Setelah perang dimulai, Roto ikut bersama pasukan
Diponegoro menuju perbukitan di Selarong pada tahun 1825 dan tinggal di Guwo
Secang yang memiliki dapur. Di tempat ini, sang Pangeran kian mendalami ilmu
mistik dan agamanya dengan tinggal di gua-gua dan berziarah. [20]
Ketika perang berkecamuk dan sang pangeran menerapkan sistem pemerintahan
keraton di Selarong (Oktober 1825) dan di Kemusuk, Kulon Progo (November 1825-
Agustus 1826), para panakawan tidak lagi menjadi satu-satunya sahabat karib sang
Pangeran. Meski demikian, para panawakan selalu mendampingi setiap langkah
sang Pangeran. Bahkan, Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran
Diponegoro ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari
kejaran pasukan AV Michiels. Saat itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria,
terpaksa berpindah-pindah dari gubug petani satu ke gubug lainnya dan Roto
menghibur sang Pangeran yang sedang sakit dengan banyolan-banyolan yang lucu.
[20]
Sosok Roto hadir dalam lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran
Diponegoro. Dia dilukiskan sedang berdiri di pilar bagian barat, sosoknya
tersembunyi di belakang seorang pasukan Hindia Belanda yang tengah memegang
senjata, tanpa mengenakan sorban, dengan wajah tengah memandang ke arah
tuannya.[20] Roto juga ikut serta ketika Diponegoro diasingkan ke Manado dan tinggal
bersama keluarganya selama tiga tahun sebelum pada tahun 1839, pemerintah
Hindia Belanda mengirimnya ke Tondano dan bergabung dengan Kiai Modjo. [19]
Banthengwareng[sunting | sunting sumber]
Banthengwareng yang hidup antara tahun 1810-1858 disebut-sebut sebagai
panakawan yang paling setia. Banthengwareng disebut sebagai panakawan yang
paling setia, karena dia ikut hingga Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar. [19]
Namanya tertulis dalam Babad Dipanagara dengan julukan lare bajang, anak muda
yang nakal dan cebol. Tubuh cebolnya juga tergambar dalam lukisan koleksi Snouck
Hurgronje yang tersimpan di Universitas Leiden, yang menggambarkan
Banthengwereng sebagai sosok bertubuh cebol, buncit dan tak berbusana. Di
lukisan tersebut, Banthengwereng berdiri di dekat Pangeran Diponegoro dan
membantu sang Pangeran mengajarkan ilmu mistik Islam kepada putranya, ketika
berada dalam pengasingan tahun 1835-1855. [19]
Roto bersama Banthengwareng, menemani Pangeran Diponegoro ke hutan-hutan di
sebelah barat Bagelen ketika meloloskan diri dari kejaran pasukan AV Michiels. Saat
itu, kondisi Diponegoro terkena sakit malaria, terpaksa berpindah-pindah dari gubug
petani satu ke gubug lainnya dan Roto menghibur sang Pangeran yang sedang sakit
dengan banyolan-banyolan yang lucu.[20]
Sejarawan Belanda, George Nypels dalam bukunya yang berjudul De Oorlog in
Midden-Java van 1825 tot 1830, menuliskan bahwa Diponegoro ditemani dua
pengiringnya dalam kondisi kekurangan, dengan luka di kakinya dan sakit malaria,
harus berpindah-pindah terkadang tidak memiliki tempat berteduh dan cukup
makanan. Pangeran Diponegoro bersembunyi selama tiga bulan antara pertengahan
November 1829 hingga pertengahan Februari 1830. [19]
Strategi perang sang Pangeran[sunting | sunting sumber]
Pasukan Pangeran Diponegoro dibagi menjadi beberapa batalyon yang diberi nama
berbeda-beda, seperti Turkiya, Arkiya, dan lain sebagainya. Setiap batalyon dibekali
dengan senjata api dan peluru-peluru yang dibuat di hutan.Pangeran Diponegoro
bersama para panglimanya menerapkan strategi perang gerilya yang selalu
berpindah-pindah. Markasnya di Selarong sering kali kosong ketika pasukan
Belanda menyerang lokasi tersebut. Sang Pangeran dan pasukannya baru kembali
ke Selarong setelah pasukan Belanda pergi meninggalkan Selarong. [7]
Pusat pertahanan pasukan Diponegoro kemudian dipindahkan dari Selarang ke
Daksa. Sang Pangeran juga dinobatkan menjadi kepala negara bergelar "Sultan
Abdulhamid Herucakra Amirulmukminin Sayidin Panatagama Kalifatullah Tanah
Jawa", dengan pusat negara berada di Plered, dengan pertahanan yang kuat.
Sistem pertahanan daerah Plered dipercayakan penanganannya kepada Kerta
Pengalasan.[7]
Kuatnya pertahanan di Plered dibuktikan dengan gagalnya serangan besar-besaran
pasukan Hindia Belanda pada tanggal 9 Juni 1826. Setelah penyerangan tersebut,
sang Pangeran mengganti posisi Kerta Pengalasan dengan Ali Basha Prawiradirja
dan Prawirakusumah, keduanya masih berusia 16 tahun. [7] Setelah itu, masih di
bulan dan tahun yang sama, pasukan Hindia Belanda menyerang markas
Diponegoro di Daksa, tetapi sudah dikosongkan. Ketika pasukan Hindia Belanda
kembali dari Daksa menuju Yogyakarta, pasukan Diponegoro menyergap dan
membinasakan seluruh pasukan dan menghilang dari Daksa. [7]
Pada Oktober 1826, pasukan Diponegoro menyerang pasukan Hindia Belanda di
Gawok dan mendapat kemenangan. Namun, sang Pangeran terluka dan terpaksa
harus ditandu ke lereng Gunung Merapi. Pada 17 November 1826, sang Pangeran
bertolak ke Pengasih (sebelah barat Yogyakarta) untuk menyerang pasukan Hindia
Belanda. Di lokasi ini, sang Pangeran mendirikan keraton di Sambirata sebagai
pusat negara baru. Pasukan Belanda sempat menyerang Sambirata, tetapi
Diponegoro berhasil meloloskan diri. Perang sempat berhenti akibat gencatan
senjata pada 10 Oktober 1827, namun perundingan tidak menemui kesepakatan apa
pun.[7]
Berkat dukungan dan simpatik rakyat, pasukan Pangeran Diponegoro dapat dengan
mudah memindah-mindahkan markasnya dan mendapat pasokan logistik. Selain itu,
pasukan Diponegoro dikenal sangat cepat dan lincah berkat semangat perang
Sabilillah. Akibatnya, Hindia Belanda banyak mengirimkan jenderal, kolonel dan
mayor ke Pulau Jawa, seperti Jenderal De Kock, Jenderal Van Geen, Jenderal
Holsman, dan Jenderal Bisschof.[12]
Para senopati menggunakan strategi dengan menjadikan kondisi alam sebagai
"senjata" dan tameng yang tak terkalahkan. Hal ini dilakukan dengan melakukan
serangan-serangan besar-besaran pada saat bulan-bulan penghujan. Hujan tropis
yang deras tersebut sering kali membuat gerak dari pasukan Hindia Belanda
terhambat, sehingga para gubernur Hindia Belanda akan melakukan berbagai usaha
untuk melakukan gencatan senjata dan berunding. Ancaman lainnya datang dari
penyakit malaria, disentri, dan sebagainya, yang menjadi “musuh yang tak tampak”
bagi pasukan Hindia Belanda sehingga sering kali melemahkan moral dan kondisi
fisik bahkan merenggut nyawa pasukan. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda
lantas memanfaatkan situasi dengan mengkonsolidasikan pasukannya dan
menyebarkan mata-mata serta provokator di desa-desa dan kota kemudian
menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran
dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran
Diponegoro. Namun, pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang
melawan Belanda.
Taktik Hindia Belanda[sunting | sunting sumber]
Bagi Hindia Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan
mengerahkan berbagai jenis pasukan mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan
artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam
pertempuran frontal. Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh
Jawa dan berlangsung sanngat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih
berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Hindia Belanda pada siang hari,
maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi,
demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang.
Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk.
Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang
diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh,
jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena
taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000
orang serdadu,[10] suatu hal yang belum pernah ada suatu wilayah yang tidak terlalu
luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu
serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua
metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka
(open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan
melalui taktik hit and run dan pengadangan. Ini bukan sebuah perang suku,
melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu
belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat
saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak
Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran, dan kegiatan
telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari
informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Hindia Belanda untuk menangkap
Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan dengan mengeluarkan maklumat
pada 21 September 1829 bahwa siapapun yang dapat menangap Pangeran
Diponegoro baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden,
beserta tanah dan penghormatan. [7]
Perubahan strategi Hindia Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock
diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi
ruang gerak dan strategi gerilya Pangeran Diponegoro, De Kock menggunakan
strategi perbentengan (Benteng Stelsel). Benteng-benteng dengan kawat berduri
didirikan begitu pasukan Hindia Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan
pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan
mempersempit ruang geraknya. Jarak antar bentang berdekatan dan dihubungkan
dengan pasukan gerak cepat.[7]
Perlawanan Pangeran Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828,
setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober
1828, menyusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober
1828, karena kesulitan biaya, dan tertangkapnya istri sang Pangeran yakni R.A
Ratnaningsih dan putranya pada 14 Oktober 1829. [7]
Negosiasi dan pengkhianatan[sunting | sunting sumber]
Pada 16 Februari 1830, Diponegoro setuju untuk bertemu dengan utusan Jenderal
De Kock, yakni Kolonel Jan Baptist Clereens dan mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan
Haji Badaruddin agar Clereens bisa datang ke Remo Kamal, Bagelen (sekarang
masuk wilayah Kabupaten Purworejo), di hulu sungai Cingcingguling. Pertemuan
pada 20 Februari 1830 tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, meski berjalan
lancar dan akrab. Akhirnya, Diponegoro ingin bertemu langsung dengan De Kock
yang ketika itu berada di Batavia dan bermaksud menunggunya di Bagelen Barat.
Namun, Clereens menyarankan agar Diponegoro menunggu De Kock di Menoreh
dan sang Pangeran tiba pada 21 Februari 1830 dan dielu-elukan oleh 700
pengikutnya.[3]
Ketika itu, bulan Ramadhan berlangsung mulai 25 Februari hingga 27 Maret 1830
dan Pangeran Diponegoro menegaskan kepada De Kock bahwa selama pertemuan
di bulan puasa tidak akan ada diskusi yang serius dan hanya ramah tamah biasa
hingga bulan Ramadhan berakhir. De Kock menyetujuinya. Selama tinggal di
Magelang, seluruh pasukan dan pengikut Pangeran Diponegoro ditandai dengan
sorban dan jubah hitam yang diberikan oleh Clereens. [3]
Sikap manis ditunjukkan De Kock kepada Pangeran Diponegoro dengan
memberikan hadiah seekor kuda berwarna abu-abu dan uang f 10.000 yang dicicil
dua kali untuk membiayai para pengikutnya selama bulan puasa. Bahkan, De Kock
mengizinkan istri sang Pangeran, ibunya, kedua putra dan putrinya yang masih kecil,
yakni Raden Mas Joned dan Raden Mas Raib, putra tertuanya bersama panglima
Diponegoro di Kedu Utara, Basah Imam Musbah, hadir dan bergabung di Magelang.
[3]
Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Markus de Kock tanggal 28 Maret
1830, karya Raden Saleh.
Peristiwa pada tanggal 28 Maret 1830 ditafsirkan berbeda antara pelukis Indonesia
yang tinggal di Eropa, Raden Saleh Syarif Bustaman, dengan pelukis
Belanda, Nicolaas Pieneman (1809-1860). Raden Saleh menggambarkan peristiwa
tanggal 28 Maret 1830 sebagai "Penangkapan Diponegoro", sedangkan Pienaman
melukisnya sebagai "Penyerahan Diponegoro". [22]
Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dibuat oleh Raden Saleh ketika berada di Eropa
pada tahun 1856, dari sketsa terlebih dahulu dan lukisan cat minyaknya baru selesai
setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, Raden Saleh menunjukkan lukisannya
tersebut kepada temannya di Jerman, bernama Duke Ernst II, dengan judul "Ein
historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Hauptings Diepo
Negoro" (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa
Diponegoro). Raden Saleh kemudian memberikan lukisannya sebagai hadiah
kepada Raja Belanda, Willem III.[22]
Raden Saleh melukis peristiwa tersebut dari sisi kiri gedung, sehingga Bendera
Belanda yang dilukiskan oleh Pieneman tidak terlihat. Selain itu, Raden Saleh
menggambarkan sosok Pangeran Diponegoro ketika ditangkap menggunakan
sorban hijau berdiri dengan kepala tegak mendongak, tegas, menahan amarah,
[22]
menunjukkan perlawanan,[23] dan tegar, meskipun para pengikutnya terlihat sedih
dan dukacita yang mendalam.[24]
Lukisan "Penyerahan Diponegoro"[sunting | sunting sumber]
Lukisan karya Nicolaas Pieneman menunjukkan ilustrasi gedung di sisi kanan
dengan bendera Belanda terlihat jelas. Sosok Pangeran Diponegoro dalam
lukisannya terlihat lesu dan pasrah, [22] meskipun tergambarkan tidak menunduk.
Sementara itu, sosok Jenderal De Kock dilukiskan lebih tinggi, tegas, garang, dan
berwibawa.[24] Sosok sang Pangeran dalam lukisan juga digambarkan terkesan
mengikuti perintah De Kock, dengan latar belakang tangisan para pengikutnya.
[23]
Selain itu, posisi anak tangga tempat berdiri sang Pangeran berada di bawah De
Kock yang menyiratkan posisi perbedaan derajat di antara mereka dan posisi
tawanan dan penguasa.[23]
Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock tanggal 28 Maret
1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
Pangeran Diponegoro memiliki sebuah cap mohor, yaitu cap yang digunakan untuk
menandatangi surat yang sah darinya. Yang tertera dalam cap mohornya ialah:
Dalam Arab Pegon:
اڠکڠ سنوهن کڠجڠ سلطان عبد الحامد ڠيرچکر كبير المؤمنين سيد ڤنتاݢام خليفه رسول هللا ص ايڠ تنه جاوي
Dalam Latin: Ingkang Sinuhun Kan(g)jeng Sultan Abdul Hamid Ngerucakra Kabir al-
Mukminin Sayid Panatagama Khalifah Rasulullah s[aw.] ing Tanah Jawi [35]
Mata uang kertas Rp100,00 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952 setelah
kemerdekaan.