Kehidupan Pribadi
Kehidupan Pribadi
Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia
Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo.
Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi,
membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan
sang Pangeran.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan
sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap
pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal,
perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin melepaskan penderitaan
rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.[11]
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara
terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang
paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan
membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu.[10]
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen,
Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri,
Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang,
Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[12]
Para panglima Diponegoro[sunting | sunting sumber]
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro
adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.
[10]
Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain
itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam
Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[12]
Kiai Madja[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kiai Madja
Kiai Madja merupakan seorang tokoh agama asal Surakarta yang turut bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja lahir di Desa Mojo, wilayah
Pajang, dekat Kota Surakarta. Dia tertarik dan turut serta berjuang bersama Pangeran
Diponegoro karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam.
Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A Mursilah, adalah
saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[13]
Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir justru
tidak mencicipi kemewahan gaya hidup sebagai keluarga istana. Jalinan persaudaraan
dirinya dengan Pangeran Diponegoro kian erat setelah Kiai Madja menikah dengan
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran,
Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya
adalah saudara sepupu.[14]