Anda di halaman 1dari 3

Kehidupan pribadi[sunting | sunting sumber]

Dalam kehidupan sehari-harinya, Pangeran Diponegoro adalah pribadi yang menyukai


sirih dan rokok sigaret Jawa yang dilinting khusus dengan tangan, mengoleksi emas,
dan berkebun. Bahkan, di tempat persemediannya di Selarejo dan Selarong, kebun
yang dimilikinya ditanami bunga, sayur-sayuran, buah-buahan, ikan, kura-kura, burung
tekukur, buaya hingga harimau.[5]
Dia juga dikenal sebagai pria yang romantis, Pangeran Diponegoro setidaknya menikah
beberapa kali dalam hidupnya.[5] Sang Pangeran pertama kali menikah pada usia 27
tahun dengan Raden Ayu Retno Madubrongto, seorang guru agama dan putri kedua
dari Kiai Gede Dadapan. Dari hasil pernikahan ini, Diponegoro memiliki anak laki-laki
bernama Putra Diponegoro II.[6]
Pada 27 Februari 1807, Pangeran Diponegoro kembali menikah untuk kedua kalinya
dengan putri dari Raden Tumenggung Natawijaya III, seorang bupati dari Panolan
Jipang, Kesultanan Yogyakarta, bernama Raden Ajeng Supadmi, itupun atas
permintaan Sultan Hamengkubuwana III.[6] Diponegoro kemudian bercerai tiga tahun
setelah pernikahannya tersebut dan dianugerahi seorang anak bernama Pangeran
Diponingrat, yang memiliki sifat arogan menurut Putra Diponegoro II.[6]
Pernikahan ketiga terjadi pada tahun 1808 dengan R.A. Retnadewati, seorang putri kiai
di wilayah selatan Yogyakarta. Istri pertama dan ketiga Pangeran, yakni Madubrongto
dan Retnadewati meninggal ketika Diponegoro masih tinggal di Tegalrejo. Sang
Pangeran kemudian menikah kembali pada tahun 1810 dengan Raden Ayu Citrawati,
puteri dari Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir.
Namun, sang istri Raden Ayu Citrawati meninggal tidak lama setelah melahirkan
anaknya, akibat kerusuhan di Madiun. Sang bayi kemudian diserahkan kepada Ki
Tembi untuk diasuh dan diberi nama Singlon (nama samaran) dan terkenal dengan
nama Raden Mas Singlon.[7]
Pangeran kembali menikah kelima kalinya pada 28 September 1814 dengan Raden
Ayu Maduretno, putri dari Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri
Hamengkubuwana II). Sang istri, Raden Ayu Maduretno merupakan saudara seayah
dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu. Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi
permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton I pada 18 Februari 1828, ketika Pangeran
Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid. Pada Januari 1828, sang
Pangeran kembali menikah untuk keenam kalinya dengan Raden Ayu Retnoningrum,
putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Ketujuh menikah dengan Raden Ayu
Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, seorang bupati Jipang
Kepadhangan, dan kedelapan dengan R.A. Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.[7][8]
Dari hasil beberapa kali pernikahannya tersebut, Pangeran Diponegoro memiliki 12
putra dan 5 orang putri, yang saat ini seluruh keturunannya tersebut hidup tersebar di
berbagai penjuru dunia,
termasuk Jawa, Madura, Sulawesi, Maluku, Australia, Serbia, Jerman, Belanda,
dan Arab Saudi.[9]
Pangeran Diponegoro juga dikenal sebagai pribadi yang suka melucu dan bercanda.
Terkadang, dia sangat benci dengan komandan tentaranya yang dianggapnya
pengecut.[5]

Perang Diponegoro (1825–1830)[sunting | sunting sumber]


Artikel utama: Perang Jawa

Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari keputusan dan tindakan Hindia
Belanda yang memasang patok-patok di atas lahan milik Diponegoro di Desa Tegalrejo.
Tindakan tersebut ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak tinggi,
membuat Pangeran Diponegoro semakin muak hingga mencetuskan sikap perlawanan
sang Pangeran.[10]
Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia Belanda, menurut mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro, terdapat pembelokan
sejarah penyebab perlawanan Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap
pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang menolaknya menjadi raja. Padahal,
perlawanan yang dilakukan disebabkan sang pangeran ingin melepaskan penderitaan
rakyat miskin dari sistem pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari madat.[11]
Keputusan dan sikap Pangeran Diponegoro yang menentang Hindia Belanda secara
terbuka kemudian mendapat dukungan dan simpati dari rakyat. Atas saran dari sang
paman, yakni GPH Mangkubumi, Pangeran Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan
membuat markas di Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa
perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat
"perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu.[10]
Medan pertempuran Perang Diponegoro mencakup Yogyakarta, Kedu, Bagelen,
Surakarta, dan beberapa daerah seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri,
Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang,
Madiun, Pacitan, Kediri, Bojonegoro, Tuban, dan Surabaya.[12]
Para panglima Diponegoro[sunting | sunting sumber]
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro
adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya.
[10]
Pangeran Diponegoro juga dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. Selain
itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi'l (Bagelen), Kiai Imam
Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.[12]
Kiai Madja[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kiai Madja

Kiai Madja merupakan seorang tokoh agama asal Surakarta yang turut bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kiai Madja lahir di Desa Mojo, wilayah
Pajang, dekat Kota Surakarta. Dia tertarik dan turut serta berjuang bersama Pangeran
Diponegoro karena sama-sama ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam.
Kiai Madja dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro. Ibu Kiai Madja, yakni R.A Mursilah, adalah
saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[13]
Namun, Kiai Madja yang bernama asli Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir justru
tidak mencicipi kemewahan gaya hidup sebagai keluarga istana. Jalinan persaudaraan
dirinya dengan Pangeran Diponegoro kian erat setelah Kiai Madja menikah dengan
janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran,
Diponegoro memanggil Kiai Madja dengan sebutan "paman", meski relasi keduanya
adalah saudara sepupu.[14]

Anda mungkin juga menyukai