Anda di halaman 1dari 6

Beliau bernama asli Sentot Prawirodirjo, yang lahir pada tahun 1808 di Maospati Madiun.

Merupakan salahsatu putra dari Gusti Pangeran Adipati Haryo Prawirodirjo III, adipati brang
wetan yang membawahi 14 bupati di Jawa Timur pada masa pemerintahan Sultan
Hamengkubuwono II.

Kakak Kandung Sentot Prawirodirjo yaitu RM. Notodirjo atau biasa dipanggil Raden Rangga
adalah Panglima Perang Tertinggi dari Prajurit Pangeran Diponegoro, dan bergelar Alibasyah
Abdul Khamil. Ketika perang besar terjadi di Bligo tepi sungai progo sebelah utara sungai krasak,
Alibasyah Abdul Khamil terluka parah, dan akhirnya dibawa menuju markas Pangeran
Diponegoro di Sambiroto. Dan wafat dipangkuan Pangeran Diponegoro.

Setelah wafatnya Alibasyah, selanjutnya Pangeran diponegoro mengangkat Sentot Prawirodirjo


yang saat itu masih berpangkat dullah menjadi Alibasyah sebagai Panglima Perang tertinggi
dipasukannya, dan gelar Alibasyah Abdul Mustofa Sentot Prawirodirjo, dalam usia 16 tahun.

pasukan Diponegoro di bawah Sentot Prawirodirjo berhasil menyerang benteng Belanda di


Nanggulan, Kulon Progo. Dalam penyerangan ini pimpinan pasukan Belanda di Nanggulan
yaitu Kapten Ingen tewas.

8 september 1828 Belanda mengetahui markas persembunyian pangeran diponegoro


disambiroto, dan mencoba mengepung dari berbagai jurusan. at.

Keberhasilan Pangeran Diponegoro dalam perang jawa atau lebih dikenal dengan Perang
Diponegoro, tentu tidak bisa lepas dari pasukan tempur yang dipimpinnya. Salah seorang
Panglima yang memegang kendali pasukan pelopor yang dibentuk Diponegoro adalah seorang
anak muda berusia 17 tahun bernama Sentot Alibasya Mushtofa Prawirodirjo. Dalam usia yang
sangat muda, Sentot dipercaya memegang komando sebanyak 250 orang pasukan pelopor atau
lebih dikenal dengan nama “Pasukan Penilih”. Keberanian dan kehebatan strategi perang Sentot
diakui oleh Belanda yang terlulis dalam buku “De Java Oorlog Van yang ditulis De Klerek tahun
1825 hingga 1830. Yang menyebutkan bahwa strategi perang Sentot dalam melakukan
maneuver sangat mencengangkan pihak Belanda.

Sentot sendiri menurut Sejarawan Bengkulu Agus Setyanto merupakan buyut dari Sri Sultan
Hamengku Buwowo pertama yang dijebak dan ditangkap melalui perundingan di Madiun. Usai
ditangkap, Sentot muda dipaksa untuk memimpin pasukan Belanda dalam perang Paderi di
Sumatra Barat. Tetapi karena kecintaan dan loyalitas sang Panglima yang berjuluk “Napoleon
dari tanah Jawa” itu, Sentot malah berkongsi dengan para intelejen pasukan paderi untuk
membocorkan informasi pasukan Belanda yang dipimpinnya untuk kepentingan serangan kaum
pribumi. “Belanda yang mengetahui gerakan Sentot marah besar dan menariknya dari Sumatera
Barat ke Batavia, lalu mengasingkannya ke wilayah yang tidak memungkinkan dia kembali ke
tanah Jawa atau ke Sumatera Barat, yaitu Bengkulu yang saat itu dikuasai Inggris, tepatnya
pada tahun 1833,” ungkap Agus Setyanto.

Secara genealogis, Sentot Alibasya masih keturunan keluarga keraton Mataram (Yogyakarta).
Buyut (Poyang) Sentot Alibasya yang bernama Gusti Bendoro Raden Ayu adalah putri Sultan
Hamengku Buwono I, yang menikah dengan Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Prawiro
Sentiko atau Pangeran Raden Ronggo Prawirodirdjo I (buyut/poyang Sentot Alibasya). Sultan
Hamengku Bowono I mengangkatnya sebagai Bupati Madiun yang ke-14 (1755-1784). Tahun
1784 Raden Ronggo Prawirodirdjo I (Poyang Sentot Alibasya) wafat dan dimakamkan di Madiun.
Selanjutnya, putranya yang bernama Raden Mangundirdjo atau Raden Ronggo Prawirodirdjo II
(kakek Sentot Alibasya) menggantikan ayahnya menjadi bupati ke- 15(1784-1797), merangkap
Wedono Bupati Mancanegoro Timur. Seterusnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo III (ayah Sentot
Alibasya) menggantikan ayahnya menjadi bupati Madiun yang ke-16 (1797-1810). Sebagai
bupati wedana Mancanegara Timur, Raden Ronggo Prawirodirdjo III mengawasi tiga wilayah,
yaitu Yogyakarta, Wonoasri dan Maospati dengan jumlah totalnya ada 14 orang bupati. Raden
Ronggo Prawirodirdjo III menikah dengan Kanjeng Gusti Ratu Maduretno, putri Sultan
Hamengkubowono II.

Disamping menjabat sebagai Bupati Wedana Monconegoro Timur, Raden Ronggo


Prawirodirdjo III ini termasuk salah satu anggota dewan penasihat kerajaan yang berjumlah tiga
orang. Dua lainnya adalah Raden Adipati Danurejo dan Raden Tumenggung Sumodiningrat.
Meskipun telah menjabat sebagai bupati wedana, namun sikap, semangat dan nilai-nilai
kejuangan, kepatriotisan Raden Rangga Prawirodirdjo III ini nampak menonjol sekali. Raden
Ronggo Prawirodirdjo III, sangat berani menentang kebijakan Gubernur Jenderal Daendels yang
terlalu intervensif dalam hal urusan keraton Yogyakarta.

Dalam masa kesultanan Hamengku Buwono II, Gubernur Jenderal H.W. Daendels telah
mengeluarkan peraturan yang mensejajarkan para pejabat /pembesar Belanda seperti Residen
Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacara-upacara resmi. Selanjutnya Daendels
menuntut Patih Danurejo II (kaki tangan Belanda) yang dipecat oleh sultan Hamengku Buwono II
supaya dikembalikan kepada posisi semula. Sebaliknya Raden Ronggo Prawiradirja III, yang
sangat menentang campur tangan Belanda, agar segera diserahkan kepada pemerintah
Belanda untuk mendapat hukuman. Tuntutan Daendels ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono
II, sehingga terjadilah pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Sultan yang
dipimpin oleh Raden Ronggo Prawirodirdjo III yang juga masih ipar dengan Sultan itu sendiri.
Pertempuran antara pasukan Belenda melawan pasukan Sultan yang dipimpin oleh Raden
Ronggo Prawirodirdjo III itu terjadi pada bulan November 1810.

Sebagai pemimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda, Raden Ronggo


Prawirodirdjo III mendapat gelar “Susuhunan Prabu Ingalaga “( Paduka Yang Mulia Raja,
Penguasa Perang). Dalam pertempuran tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III (ayah Sentot
Alibasya) akhirnya gugur dan dimakamkan di Banyusemurup. Dalam perspekstif kolonial, Raden
Ronggo Prawirodirdjo III dianggap sebagai pemberontak atau pembangkang. Sebaliknya dalam
perspektif keindonesiaan atau Indonesia sentris, gugur sebagai pahlawan pembela bangsanya.
Dengan demikian, darah pahlawan pun telah menurun dan melekat pada diri Sentot ketika masih
berumur 2 tahun.

Setelah Raden Ronggo Prawirodirdjo III gugur, yang menggantikan kedudukannya sebagai
Bupati Wedana atau Bupati Madiun yang ke 17 (1810-1820) adalah Pangeran Dipokusumo.
Pengganti Pangeran Dipokusumo adalah Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Bupati
Madiun ke 18 (1820-1822). Selanjutnya disebutkan bahwa Raden Mas Temungung
Prawirodirdjo yang menjadi Bupati Madiun ke 19 (1822-1861) adalah saudara seayah lain ibu
dengan Sentot Alibasya, yang juga sepupu dengan Pangeran Diponegoro.

Senopati Perang Diponegoro


Ketika pecah perang Diponegoro atau perang Jawa (1825), Sentot Alibasya yang masih berusia
17 tahun segera bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro. Bahkan nama Sentot
termasuk salah satu diantara para tokoh pelaku sejarah yang berpengaruh besar terhadap
jalannya Perang Diponegoro. Dalam catatan sejarah, setidaknya ada beberapa tokoh pelaku –
pahlawan sejarah selain nama besar Pangeran Diponegoro, yaitu : Pangeran Mangkubumi
(putra Sultan Hamengku Buwono II), yang juga paman dari Pangeran Diponegoro, Pangeran
Ngabei Jaya Kusuma (juga putra Sultan Hamengku Buwono II), Kiyai Mojo (seorang ulama
besar pada abad ke 19 yang juga menjadi guru spiritual – penasehat agama Pangeran
Diponegoro), Sentot Alibasya yang lebih dikenal dengan nama lengkapnya Sentot Alibasya
Abdulmustofo Prawirodirdjo setelah dinobatkan menjadi panglima perang atau Senopati Perang
Pangeran Diponegoro, Raden Prawiro Kusumo (putra Pangeran Ngabei jaya Kusuma) yang
usianya relatif masih muda sebaya dengan Sentot Alibasya dan Gusti Iman Ngabdul Hamid Ali
Basah (cucu Sultan Hamengku Buwono II) salah satu panglima perang Diponegoro yang ikut
tewas dalam pertempuran di sepanjang sungai Progo.

Perjuangan dan Kepahlawanan Sentot Alibasya Prawirodirdjo


Perang Diponegoro (1825 -1830) selama lima tahun ini tergolong perang besar dan hampir
melibatkan seluruh wilayah pulau penduduk di Jawa. Oleh karenanya perang ini juga dikenal
dengan sebutan Perang Jawa. Dalam catatan sejarah, perang tersebut telah menelan korban
jiwa sebanyak 8.000 serdadu yang berkebangsaan Eropa, 7.000 serdadu pribumi, dan 200.000
orang Jawa. Selaku tokoh sentral dalam perang Jawa, Pangeran Diponegoro melakukan
konsolidasi dengan mengangkat beberapa orang senopati yang baru. Salah satunya yang
diangkat menjadi senopati perang adalah Raden Dullah Prawirodirdjo (Sentot). Sentot diangkat
sebagai Panglima Perang (Senopati Perang) Diponegoro dan diberi kepercayaan oleh
Pangeran Diponegoro untuk memimpin pasukan yang diberi nama Pasukan Penilih dengan
kekuatan sebanyak 250 orang.

Menurut catatan sejarahnya Sagimun MD, yang mengusulkan Sentot menjadi panglima perang
atau senopati adalah Gusti Iman Ngabdul Hamid Ali Basah (cucu Sultan Hamengku Buwono II).
Beliau salah satu Panglima Perang Diponegroro yang cakap dalam memimpin pasukan
pengawal Pangeran Diponegoro. Beberapa jam sebelum menghembuskan nafasnya terakhir,
beliau meminta kepada Pangeran Diponegoro agar teman seperjuangannya, yaitu Sentot
Prawirodirdjo menggantikan kedudukan beliau sebagai Panglima Perang atau Senopati. Sejak
saat itulah Sentot mendapatkan nama lengkap dengan gelarnya, yaitu Sentot Alibasah
Abdulmustofo Prawirodirdjo.

Panglima Perang Diponegoro ini semakin disegani dan ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Beberapa kali pasukan Sentot berhasil mengalahkan pasukan Belanda yang memiliki
perlengkapan persenjataan yang lebih kuat dan lebih unggul. Panglima Sentot bersama
pasukannya dan Prawiro Kusuma (putra Pangeran Ngabei Jaya Kusuma) mampu mengalahkan
pasukan Belanda dalam pertempuran di Deksa (8 Juli 1826), dan di Dusun Kasuruan dekat
sebuah jurang (28 Juli 1828), serta pertempuran di Lengkong (80 Juli 1828). Keberhasilan
Sentot mengalahkan pasukan musuh dalam setiap kali pertempuran semakin memperkuat posisi
Sentot sebagai Panglima Perang Tertinggi Pangeran Diponegoro. Bahkan Jenderal De Kock
sebagai pihak musuh sendiri pun mengakui bahwa Sentot adalah jenderalnya Pangeran
Diponegoro tertinggi yang paling lihat dalam menjalankan strategi perangnya.

Sentot yang usianya masih relatif muda, gagah dan berjiwa patriotis ini tidak mudah
ditaklukkan. Bahkan semangat kejuangan dan kepahlawanan Sentot masih terus berkobar,
meskipun beberapa tokoh besar pejuang Perang Diponegoro satu persatu sudah ditundukkan
oleh Belanda. Dalam catatan sejarah, selama tahun 1828, Sentot masih berhasil meneruskan
perang di daerah Banyumas.

Tertangkapnya Kiai Mojo dan pada Nopember 18288, kemudian menyusul menyerahnya
Pangeran Mangkubumi (September 1829), belum juga menyurutkan semangat perjuangan
Sentot. Oleh karenanya, Jenderal De Kock secara terus menerus melakukan berbagai upaya
untuk menundukkan Sentot. Dan mencoba melakukan strategi pendekatan lain dalam upaya
menaklukkan Sentot. Strategi pendekatan kekeluargaan atau “family of approachment”
tampaknya lebih berhasil daripada strategi kekerasan. Jenderal De Kock mulai mendekati
Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat yang menjadi Bupati Madiun ke 19 (periode 1822-
1861), yang juga merupakan saudara seayah lain ibu dengan Sentot. Pangeran Raden Ronggo
Prawirodiningrat ini diminta Jenderal De Kock untuk membujuk Sentot (kakaknya).
Setelah melalui proses pendekatan kekeluargaan yang intens, akhirnya Sentot yang usianya
masih muda ini berhasil dibujuk oleh Belanda melalui adiknya untuk menghentikan
perlawanannya. Bahkan Residen Van Nes yang telah diberi mandat penuh oleh Jenderal de
Kock menawarkan janji kepada Sentot akan memberikan pangkat dan kedudukan yang tinggi.
Namun demikian, Sentot masih mengajukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
Belanda. Sentot bersedia menghentikan perlawanannya dengan persyaratan memberikan uang
sebanyak 10.000 dollar, menyetujui pembetukan pasukan sebanyak 1.000 orang dengan
pakaian dan perlengkapannya, memberikan 400 hingga 500 pucuk bedil. Persyaratan lain
adalah, Sentot dan pasukannya langsung dibawah perintah gouvernement, bebas daripada
Sultan, atau salah seorang kepala/pembesar, bebas menjalankan agamanya, tidak ada paksaan
minum jenewer atau arak serta mengizinkan pasukan-pasukannya memakai surban.

Syarat-syarat yang diajukan oleh Sentot dapat diterima oleh Jenderal de Kock melalui Residen
Yogyakarta, Van Nes. Hasilnya akhirnya, pada tanggal 17 Oktober 1829 di Imogiri,
dilaksanakan perjanjian yang intinya Sentot bersedia menghentikan perlawanannya.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Oktober 1829, Sentot Panglima muda remaja bersama para
pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima dengan penghormatan militer. Ini
membuktikan bahwa Sentot tidaklah dengan mudah menyerah begitu saja kepada Belanda.
Selanjutnya Sentot dimanfaatkan oleh Belanda, dan dikirim ke Sumatra Barat untuk
memadamkan perlawanan kaum Paderi. Namun demikian, pada akhirnya Sentot bersekongkol
dengan para tokoh kaum Paderi di Sumatera Barat seperti Tuanku Imam Bonjol, dan juga
bersekutu dengan Sultan Bagagarsyah (Sultan Pagaruyung).

Sentot bersama pasukannya sebanyak 300 orang berangkat dari Batavia menuju Padang
(Sumatera Barat) pada bulan Mei 1832, dan baru sampai tujuan pada pertengahan tahun 1832.
Namun demikian, secara diam-diam Gubernur Jenderal Van den Bosch menugaskan Kapten de
Leau untuk mengawasi sepak terjang – gerak-gerik Sentot selama di Sumatera Barat.

Setahun kemudian, setelah Sentot bertugas di Minangkabau, maka terjadilah kontak hubungan
antara Sentot dengan pemimpin-pemimpin Minangkabau. Sentot berhubungan secara rahasia
dengan pemuka-pemuka Padri. Bahkan menurut beritanya, Sentot sempat bertemu dengan
Tuanku Imam Bonjol, disalah satu tempat yang tidak diberitahukan. Dengan Sultan Alam
Bagagar Syah, Sentot juga mengadakan pertemuan rahasia guna mengatur langkah untuk
melawan Belanda.

Timbullah kesatuan tekad untuk menggabungkan tiga kekuatan untuk mengusir Belanda dari
Minangkabau, yaitu Kekuatan Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, Kekuatan Daulat di
Pagaruyung dengan pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah dan Kekuatan pengikut Diponegoro di
bawah pimpinan Sentot Alibasyah Prawirodirdjo. Sultan Alam Bagagar Syah segera membuat
surat rahasia kepada seluruh pemimpin dan pemuka masyarakat di Minangkabau antara lain
Tuanku Imam dari Kamang dan Tuan Alam beserta semua penghulu dari Luhak Nan Tigo, Raja
Tigo Selo, Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sambah di Batang Sikilang dan Tuanku Air
Batu.

Isi Surat itu adalah sebagai berikut : “Adapun Bangsa Batak dan Melayu janganlah takluk kepada
pemerintah Kompeni. Baik sekali kita memerintah mereka, supaya mereka jangan berperang
melawan kita. Kami yang dari Tiga Luhak telah bersatu dengan Daulat Yang Dipertuan di
Pagaruyung, dan Alibasyah Raja Jawa, yang telah kita muliakan, seperti Daulat Yang Dipertuan
Pagaruyung, dan ia telah berjanji akan mengusir Kompeni dari Pagaruyung hingga kita ada
harapan akan hidup bahagia. Inilah persetujuan kita dengan Alibasyah. Kompeni tak akan
memerintah negeri kita lagi melainkan Alibasyah dan Daulat Yang Dipertuan.” ditulis hari Ahad
malam tanggal 18 Syawal 1246 ”
Surat dari Sultan Alam Bagagar Syah sebagian telah sampai ke tangan pemimpin dan pemuka-
pemuka Minangkabau. Pada permulaan tahun 1833 terjadilah pemberontakan untuk mengusir
Belanda . Sesuai dengan rencana pertama yang telah ditetapkan pada tanggal 11 Januari 1833
tengah malam serangan serentak dilancarkan pada Pos Belanda di Minangkabau. Setelah
pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan persekongkolan
dengan kaum Paderi. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan legiunnya ke Jawa. Sentot tidak
berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda tidak ingin dia berada di Jawa dan
mengirimnya kembali ke Padang, pada perjalanan kesana Sentot diturunkan dan ditahan di
Bengkulu tempat dia dibuang dan meninggal sebagai orang buangan.

Peristiwa 11 Januari ini mempunyai arti yang penting dalam sejarah Minangkabau dalam rangka
menentang penjajahan Belanda. Dalam pada itu adanya persekongkolan antara Sultan Alam
Bagagar Syah, Sentot dan Padri telah mulai tercium oleh Belanda. Markas Besar di Batavia telah
mengetahui dari laporan, bahwa Sentot telah berkhianat kepada pemerintah Belanda. Akibatnya
Sentot kemudian diasingkan ke Bengkahulu dan meninggal di tempat pengasingan. Sentot
bertugas di Minangkabau hanya 10 bulan (Juni 1832 – April 1833). Sesudah Sentot diasingkan
maka pemerintah Belanda mulai menggempur pengikut Sultan Alam Bagagar Syah satu persatu.
Mula-mula diadakan penangkapan terhadap Tuanku Alam, yang juga dilakukan dengan tipu
muslihat oleh Mayor De Quay yang bermarkas di Biaro Bukittinggi. Tidak lama Sentot bertugas
di Minangkabau, maka terjadilah kontak antara Sentot dengan pemimpin-pemimpin
Minangkabau. Sentot berhubungan secara rahasia dengan pemuka-pemuka Padri bahkan
menurut berita ia pernah bertemu dengan Tuanku Imam Bonjol, disalah satu tempat yang tidak
diberitahukan. Dengan Sultan Alam Bagagar Syah, Sentot juga mengadakan pertemuan rahasia
guna mengatur langkah untuk melawan Belanda. Timbullah kesatuan tekad untuk
menggabungkan tiga kekuatan untuk mengusir Belanda dari Minangkabau, kekuatan itu adalah
Kekuatan Padri dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, Kekuatan Daulat di Pagaruyung dengan
pimpinan Sultan Alam Bagagar Syah dan Kekuatan pengikut Diponegoro di bawah pimpinan
Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.

Dengan demikian terkabullah sudah cita-cita Sultan Alam Bagagar Syah untuk mempersatukan
kekuatan melawan Belanda di daerah Minangkabau (9, h.4). Sultan Alam Bagagar Syah segera
membuat surat rahasia kepada seluruh pemimpin dan pemuka masyarakat di Minangkabau
antara lain Tuanku Imam dari Kamang dan Tuan Alam beserta semua penghulu dari Luhak Nan
Tigo, Raja Tigo Selo, Yang Dipertuan di Parit Batu, Tuanku Sambah di Batang Sikilang dan
Tuanku Air Batu.

Isi Surat itu adalah sebagai berikut :


“Kami mempermaklumkan kepada tuanku-tuanku dan semua penghulu, bahwa semua yang
telah diputuskan tempo hari harus kita lanjutkan dengan segenap kekuatan, supaya kita tidak
menanggung kerugian. Kita Raja Nan Sedaulat dan penghulu dari Sawah Duku anak
kemenakan dari daratan dan lautan inilah adat kita. Kini saya meminta kepada tiga saudara
saya, dan juga kepada semua penghulu, bahwa ninik mamak sekalian akan bersatu padu dan
jangan gagal, yaitu dalam menghalau kompeni. Pergunakanlah semua kepandaian Tuanku,
supaya kita tidak celaka. Engku-engku mulailah dan teruskan. Jika Tuanku mendapat salah satu
rintangan surutlah selangkah, tetapi janganlah melakukan gerakan yang keliru, sewaktu berjalan
ke laut atau ke darat. Bersatulah semua Raja dan Datuk, baik yang di Utara maupun yang di
Selatan, dan begitu pula rakyat di darat dan di laut. Inilah permintaan saya kepada saudara
semuanya. Adapun Bangsa Batak dan Melayu janganlah takluk kepada pemerintah Kompeni.
Baik sekali kita memerintah mereka, supaya mereka jangan berperang melawan kita. Kami yang
dari Tiga Luhak telah bersatu dengan Daulat Yang Dipertuan di Pagaruyung, dan Alibasyah raja
Jawa, yang telah kita muliakan, seperti Daulat Yang Dipertuan Pagaruyung, dan ia telah berjanji
akan mengusir Kompeni dari Pagaruyung hingga kita ada harapan akan hidup bahagia. Inilah
persetujuan kita dengan Alibasyah. Kompeni tak akan memerintah negeri kita lagi melainkan
Alibasyah dan Daulat Yang dipertuan.” ditulis hari Ahad malam tanggal 18 Syawal 1246.
Surat dari Sultan Alam Bagagar Syah sebagian telah sampai ke tangan pemimpin dan pemuka-
pemuka Minangkabau, untuk dilaksanakan. Pada permulaan tahun 1833 terjadilah
pemberontakan serentak di mana golongan adat dan golongan Padri bersatu untuk mengusir
Belanda . Sesuai dengan rencana pertama yang telah ditetapkan pada tanggal 11 Januari 1833
tengah malam serangan serentak dilancarkan pada Pos Belanda di Minangkabau.

Peristiwa 11 Januari ini mempunyai arti yang penting dalam sejarah Minangkabau dalam rangka
menentang penjajahan Belanda. Dalam pada itu adanya persekongkolan antara Sultan Alam
Bagagar Syah, Sentot dan Padri telah mulai tercium oleh Belanda. Markas Besar di Batavia telah
mengetahui dari laporan, bahwa Sentot telah berkhianat kepada pemerintah Belanda. Akibatnya
Sentot kemudian diasingkan ke Bengkahulu dan meninggal di tempat pengasingan. Sentot
bertugas di Minangkabau hanya 10 bulan (Juni 1832 – April 1833). Sesudah Sentot diasingkan
maka pemerintah Belanda mulai menggempur pengikut Sultan Alam Bagagar Syah satu persatu.

Sentot dan Imam Bonjol


Dalam jurnal tanggal 25 April 1837 diceritakan bahwa Kolonel Elout mempunyai dokumen-
dokumen resmi yang membuktikan kesalahan Sentot Ali Basya dengan kehadirannya di
Sumatera. ”Inlander ini yang dulu sangat kita hormati tiba-tiba melakukan pengkhianatan. Dia
berkhayal mengepalai penduduk Melayu dan bertujuan mengusir berstuur Eropa, dengan
perkataan lain membunuh semua orang Eropa. Dia telah menjadi korban kejahatannya karena
orang-orang Melayu seperti diketahui mempunyai kejengkelan yang sama banyaknya terhadap
orang-orang Jawa maupun orang Eropa,” tulis Mayor de Salis.

Sebagaimana diketahui, Sentot, setelah usai Perang Jawa, masuk dinas Pemerintah Belanda.
Kehadirannya di Jawa bisa menimbulkan masalah. Maka, tatkala Kolonel Elout melakukan
serangan terhadap Padri tahun 1831-1832, dia memperoleh tambahan kekuatan dari legiun
Sentot yang telah membelot itu.

Setelah pemberontakan tahun 1833, timbul kecurigaan serius bahwa Sentot melakukan
persekongkolan (konspirasi) dengan kaum Padri. Karena itu, Elout mengirim Sentot dan
legiunnya ke Jawa. Sentot tidak berhasil menghilangkan kecurigaan terhadap dirinya. Belanda
tidak ingin dia berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke Padang. Pada perjalanan ke sana
Sentot diturunkan di Bengkulu di mana dia tinggal sampai meninggal sebagai orang buangan.
Legiunnya dibubarkan dan anggota-anggotanya berdinas dalam tentara Hindia. (dyo)

Anda mungkin juga menyukai