Anda di halaman 1dari 4

KERIS dengan dapur Sengkelat dalam pandangan sebagian masyarakat Jawa yang masih

melestarikan tradisi tosan aji, boleh jadi menjadi salah satu dapur keris yang menjadi kebanggaan
pemiliknya. Keris luk 13 dengan ciri khusus memiliki pancaran warna kemerahan pada bilahnya
ini, diyakini punya aura yang mampu mendongkrak kewibawaan bagi pemiliknya. Sehingga tidak
berlebihan kalau keris ini pernah menjadi keris tersohor yang dimiliki para raja di Jawa secara
turun temurun.
Kalau dikaji secara historisnya, keris dapur Sengkelat sebenarnya merupakan produk gagal yang
dibuat Joko Supa putra tumenggung Supadriya bupati wedana empu Majapahit. Setelah menikah
dengan Rasawulan adik Kanjeng Sunan Kalijaga, kemudian berganti nama empu Supa. Sebelum
menjadi murid setia Kanjeng Sunan Kalijaga yang selalu mengikuti ke mana pergi, Joko Supa
sudah menjadi abdi dalem empu jajar di Majapahit.

Kala itu Raden Patah mendapatkan restu untuk mendirikan Kabupaten Bintara di Demak yang
merupakan kabupaten Islam. Setelah mendapat ajakan dari Sunan Kalijaga, Joko Supa memilih
hijrah dan menjadi murid setia Sunan Kalijaga, sebagai mana diceritakan dalam salah satu pupuh
di Babad Demak. Ketika Kabupaten Bintoro hendak mendirikan masjid, para wali diminta
bantuannya masing-masing untuk memberi satu soko penopang bangunan masjid nantinya. Sunan
Kalijaga mengajak Joko Supa untuk mencari pohon jati di suatu hutan.

Belum sampai mendapatkan pohon jati yang dipandang cocok untuk dijadikan sebuah soko guru
masjid, kereka bertemu dengan Rasawulan, adik Sunan Kalijaga yang sedang melakukan prihatin
dengan bertapa ala Kidang (tapa ngidang). Betapa girangnya hati Rasawulan bertemu dengan
kakaknya, lantas dia menceritakan asal mulanya pergi dari Tuban dan memilih menjalani laku
tapa ngidang.

“Aku bingung selalu dipaksa untuk menikah oleh kanjeng rama, sehingga lebih baik memilih
pergi dari Tuban dengan laku tapa ngidang,” tutur Rasawulan.

“Sebaiknya kita kembali ke Tuban, kasihan rama pasti sangat sedih karena ditinggal pergi semua
anak-anak yang disayanginya,” ajak Sunan Kalijaga, yang semasa mudanya bernama Raden Mas
Sahid. Ia putra tumenggung Wilatikta, ada yang menyebutnya juga Arya Teja, bupati Tuban.

Setelah kembali sampai Tuban, Sunan Kalijaga kemudian meminta Rasawulan untuk bersedia
menjadi istri Joko Supa. Keduanya kemudian menikah dengan tata cara Islam. Setelah menikah
itulah kemudian joko Supa menekuni kembali sebagai seorang pande atau empu dengan nama
empu Supa. Kemampuan dalam membuat berbagai senjata dan peralatan pertanian, mengusik
pemikiran Sunan Kalijaga yang kemudian meminta empu Supa untuk membuat lebe coten pisau
khusus, untuk menyembelih kambing dengan memberikan bahan besi sebesar klungsu (biji buah
asem

KERIS dapur Sengkelat sesuai dengan apa yang dikatakan Sunan Kalijaga, sebagai salah satu
keris pusaka yang memiliki keampuhan bagi tegak dan kokohnya kerajaan. Sehingga pada setiap
pergantian penguasa di kerajaan Jawa, keris dapur Sengkelat sebagai simbol semangat gerakan
muda menjadi keniscayaan untuk dihadirkan sebagai sipat kandel seorang raja yang naik tahta.
Menurut berbagai sumber, setelah Empu Supa membuat keris Sengkelat dan ditunjukan kepada
Kanjeng Sunan Kalijaga gurunya, lantas oleh kanjeng Sunan keris itu dikembalikan karena
bentuk keris masih merupakan bentuk senjata pada masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada hal
saat itu dominasi kerajaan Islam Bintara di Demak mulai moncer sebagai pusat kekuatan baru
para santri.
Atas saran kanjeng Sunan Kalijaga agar Kiayi Sengkelat nantinya bisa memiliki perjalanan
panjang sebagai simbol kekuatan kekuasaan kerajaan, maka oleh Sunan Kalijaga diminta untuk
dibuatkan putran-nya. Dengan membuat duplikasi dapur Sengkelat sebanyak dua bilah lagi,
dimaksudkan nantinya agar bisa diserahkan pada dua kerajaan lainnya, yaitu Kasultanan Cirebon
dan Kasultanan Banten. Sedangkan kerajaan Bintara dalam nubuat Kanjeng Sunan Kalijaga
nantinya menjadi cikal-bakal bagi berdirinya dinasti kerajaan Mataram Islam, setelah masa
kekuasaan Pajang.

Sebagai mana dikisahkan dalam sejarah seperti termuat di Babad Demak, ada tiga keris dapur
Sengkelat yang memiliki kemiripan sempurna. Sehingga ketiganya tidak bisa dibedakan mana
yang kali pertama dibuat. Kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan menembus pandang
secara metafisik dan paham dengan kualitas tosan aji misuhur. Ketiga keris dapur Sengkelat
sengaja didedikasikan bagi kekuatan dan kekuasaan seorang raja yang sedang bertahta.

Dalam sejumlah kajian terkait dengan tafsir keberadaan keris Sengkelat yang merupakan karya
empu Supa sebagai generasi penerus dari darah para empu sakti kerajaan Majapahit yang
kemudian eksodus ke Demak. Memiliki pemahaman bahwa kekuatan gerakan kerajaan Bintara
yang mendapatkan restu dari Raja Brawijaya V, sebagai kerajaan baru juga mendapat sokongan
moril dari gerakan muda para santri dan darah Majapahit yang menginginkan adanya perubahan.
Terbebas dari tingkatan kasta yang masih berlaku dalam kerajaan Hindu terbesar di Nusantara itu.
Masuknya ajaran para santri yang tidak memandang tingkatan kasta dalam masyarakat, semakin
diminati generasi muda para paria di Majapahit yang berada di luar kasta yang ada, yaitu sudra,
kesatria dan brahmana.

Konon pada masa kekuasaan Mataram Islam di bawah kendali Sultan Agung Hanyakrakusumo di
Kerto, Pleret beredar kisah dua dari tiga Kiayi Sengkelat dilarung dan dipersembahkan kepada
penguasa laut Selatan kanjeng Ratu Kidul. Hal itu dilakukan Sultan Agung sebelum kedua
kasultanan Cirebon dan Kasultanan Banten ditaklukan oleh kerajaan Mataram Islam. Simbolik
dari prosesi larung pusaka itu, boleh jadi Sultan Agung memohon restu menyatukan kekuasaan
kerajaan di Jawa dalam panji Gula Kelapa Mataram. Faktanya dari ekspansi Mataram ke Cirebon
dan Banten dapat ditaklukan sebelum merencanakan gagasan besar penyerangan terhadap
kekuatan kompeni di Batavia. Setelah kedua kerajaan yang dianggap sebagai matahari kembar
tiga di Jawa bisa ditaklukan.

Tidak berselang lama Sultan Agung melakukan penyerangan ke Batavia dengan memanfaatkan
sekutunya Cirebon dan Banten sebagai pangkalan militernya, meski dua kali serangan menemui
kegagalan. Namun sejarah tetap mencatat pergerakan nasionalisme Mataram Islam punya andil
dalam menurunkan darah para pejuangnya di tanah air dengan semangat muda, semangat keris
dapur Sengkelat.

BAHAN tosan sebesar klungsu atau biji buah asem Jawa yang diberikan Sunan Kalijaga,
membuat empu Supa sontak agak terperanjat. Meski dalam benaknya muncul partanyaan, apakah
Kanjeng Sunan ingin menguji kemampuannya dalam membuat senjata? Tapi karena rasa hormat
dan patuh kepada sang guru, empu Supa pun tidak lantas mengiyakan pembuatan gaman lebe.
Petimbangannya kalau dia langsung membuat dengan bahan minimalis itu, pasti akan membuat
perasaan Kanjeng Sunan seperti diungguli kemampuannya. Dan itu sangat dihindari oleh empu
Supa dengan segala kerendahatiannya.
“Kanjeng Sunan, tosan hanya sebesar biji asem ini sangat kecil, mana mungkin bisa dibikin
gaman lebe,” ucap empu Supa.

Kanjeng Sunan Kalijaga paham dengan maksud pertanyaan murid yang sekaligus adik iparnya
itu. Maka dengan senyum lantas dikatakan, kalau bakal tosan itu besarnya segunung. Dengan
ajaibnya bahan tosan itu pun berubah menjadi besar. Empu Supa makin kaget dan merasa tidak
sanggup untuk membuat gaman dengan bahan sebesar itu di besalennya.
“Kalau sebesar gunung seperti ini, mana bisa saya japit dengan alat ini kanjeng Sunan,” ucap
empu Supa penuh takdim pada sang guru yang kesaktiannya tidak kepalang tanggung itu.

“Kerjakan saja, bahannya hanya sebesar klungsu,” tegas Sunan Kalijaga bersamaan dengan
kembalinya bahan tosan menjadi seperti semula sebesar klungsu.

Meski dalam benaknya masih berkecamuk berbagai keganjilan nalar karena bahan tosan sebesar
klungsu itu ternyata memiliki bobot yang luar biasa, bahkan tidak sebanding dengan wujud
fisiknya. Setelah mendapatkan izin empu Supa lantas mengerjakan tosan itu ditempa memenuhi
permintaan guru yang juga kakak iparnya.

Hampir setiap hari empu Supa mengerjakan pesanan gaman kanjeng Sunan Kalijaga dengan
sepenuh hati. Kemampuan fisiknya dicurahkan untuk membentuk senjata itu sesempurna
mungkin. Kekuatan batinnya pun menyatu dengan senjata yang dipesan, agar bisa memuaskan
hati kanjeng sunan. Setelah beberapa hari, pesanan itu pun diserahkan pada Kanjeng Sunan
Kalijaga.

Melihat bentuk pesanan yang sudah diserahkan sepertinya tidak sesuai harapan Kanjeng Sunan,
meski begitu Sunan Kalijaga merasa tertarik dan sangat menikmati keindahan senjata yang
ternyata berbentuk keris dengan luk 13. Bahkan pada bilah itu bagai memancarkan semburat
warna kemerahan. Meski hati kecilnya merasa kecewa karena tidak sesuai dengan harapan,
namun dibalik itu muncul kebanggaan karena adik iparnya punya talenta luar biasa sebagai empu
keris.

“Supa. Keris ini sangat indah, kalau digunakan oleh seorang santri tidak sesuai. Keris ini
cocoknya untuk para raja di Tanah Jawa. Karena warnanya kemerahan, keris ini aku beri nama
Sengkelat. Sementara biar kau pakai saja. Tapi aku tetap ingin kau membuatkan keris yang sesuai
bagi seorang santri,” pinta Sunan kalijaga sambil menyerahkan bakal tosan sebesar buah kemiri.

Setelah bakal tosan itu ditempa di besalen, kemudian dibentuk sedemikian rupa menjadi keris
berbentuk pedang suduk atau golok (belati) dengan gonjo sepan di pangkalnya. Begitu
ditunjukkan kepada Kanjeng Sunan, betapa gembiranya Sunan kalijaga melihat senjata itu. Selain
terlihat sederhana dan patut, senjata itu pun sesuai dengan harapannya sebagai alat untuk
menyembelih hewan. Karena saking gembiranya oleh kanjeng Sunan Kalijaga senjata itu diberi
nama dapur Crubuk.

KERAJAAN Majapahit pada suatu ketika dilanda wabah penyakit atau pagebluk. Banyak
kalangan rakyat jelata menjadi korban. Lingkungan istana pun banyak sentana dan abdi dalem
yang menjadi korban. Penyakit aneh tidak diketahui dari mana datangnya, juga penyebabnya dari
kekuatan apa, tiba-tiba mewabah menelan banyak korban jiwa. Dalam babad Demak dikisahkan,
mereka yang pagi sakit sorenya meninggal, begitu juga sebaliknya sore hari terserang sakit
paginya sudah membujur jadi jisim.
Berbagai upaya sudah dilakukan dengan memanggil para tabib dan orang sakti untuk
mengungkap penyakit aneh dari sumbernya. Tapi tidak ada yang bisa menembus tabir misteri itu,
malah kejadiannya semakin drawasi. Hingga permaisuri sang nata pun terkena penyakit. Dari
temuan para tabib istana disarankan agar setiap malam gedung keputren dijaga orang-orang sakti,
termasuk para empu kerajaan. Ini untuk menjaga permaisuri agar dapat bertahan dan tidak
semakin parah karena pengaruh pagebluk yang terornya memuncak pada malam hari, begitu
analisa para tabib istana.

Prabu Brawijaya mengutus semua abdi dalem pilihan, juga para empu pusaka kerajaan berjaga
secara bergiliran, setiap malamnya dijadwalkan dua orang menjaga gedung keputren. Pada suatu
malam, bupati empu Tumenggung Supadriya dan Tumenggung Supagati kena jadwal piket.
Namun secara kebetulan keduanya sakit, sehingga mengutus putra mereka. Kebetulan Empu Supa
sedang di Majapahit memperkenalkan istrinya Rasawulan putri Adipati Tuban kepada
keluarganya. Oleh Tumenggung Supadriya putranya diminta menggantikan jatah ronda di gedung
Keputren Majapahit. Sedang tumenggung Supagati mengutus putranya Empu Jigja.

Kedua putra empu kondang di Majapahit itu bertemu di depan regol keputren, Empu Supa
membawa keris Sengkelat dan Empu Jigja mengenakan keris Sabuk Inten, sama-sama memiliki
luk 13. Namun begitu penampilan Sabuk Inten tampak lebih menonjol dan memiliki daya pikat
ngedap-edapi, sementara wujud Sekelat sangat sederhana dan prasaja tanpa ada kelebihan gebyar
dalam penampilannya.

Mereka bercengkrama sebagai mana dua sahabat lama tidak bertemu, hingga tidak terasa waktu
tengah malam tiba. Ketika suasana malam makin sepi dan para abdi dalem banyak yang terlena,
Empu Supa masih terjaga. Tiba-tiba dia melihat cahaya kemerahan melesat keluar dari gedung
Prabayaksa tempat penyimpanan pusaka kerajaan. Cahaya itu dikenali empu Supa sebagai
perwujudan keris Condongcampur milik Prabu Brawijaya. Setelah melesat keluar, keris
Condongcampur lantas menebar teluh braja yang menjadi sumber wabah penyakit selama ini.

Tanpa diduga keris Sabuk Inten melesat ke luar dari warangka yang masih disengkelit Empu Jigja
yang tertidur pulas. Sabuk Inten mengejar keris Condongcampur. Maka terjadilah pertempuran
hebat, namun tidak lama. Ternyata kekuatan Condongcampur jauh mengungguli keampuhan
Sabuk Inten. Keris milik Empu Jigja lantas kembali ke warangkanya dengan sejumlah cacat pada
dua luk di ujung. Melihat kejadian itu, Empu Supa melepas kiayi Sengkelat dari warangkanya.
Sengkelat melesat mengejar Condongcampur. Terjadilah pertempuran hebat, kedua keris pusaka
itu saling tikam suaranya berdentam bagai pukulan pande di besalen. Tapi Condongcampur bukan
lawan yang tangguh untuk Sengkelat, keris itu lantas melarikan diri dan kembali ke gandaga
gedung pusaka.

Pasca kejadian itu, wabah penyakit yang melanda Majapahit hilang. Bahkan sang permaisuri
sembuh dari sakitnya. Setelah mengetahui hilangnya wabah dan kesembuhan permaisuri,
bertepatan dengan jadwal piket Empu Supa dan Empu Jigja, keduanya lantas diberi hadiah oleh
raja. Keduanya pulang ke rumah masing-masing

Anda mungkin juga menyukai