Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul Api Abadi Mrapen Grobogan

Pada jaman dahulu berdirilah kerajaan Demak yang didirikan Raden Patah dibantu oleh para
Wali dan guru agama. Akhirnya oleh Prabu Brawijaya, Raden Patah diijinkan dan bahkan
diangkat menjadi Bupati di Bintara Demak pada tahun 1503. Kemajuan Bintara sangat pesat dan
pengaruhnya sampai menyusup ke daerah Majapahit. Beberapa bangsawan Majapahit sudah
mulai masuk Islam. Tahun 1509 Raden Patah diangkat sebagai Sultan Demak dengan Gelarnya
Sultan Jimbun Ngalam Akbar atau Panembahan Jimbun. Dia memerintah sampai tahun 1518 dan
digantikan oleh Adipati Umus (1518 – 1521). Usaha penaklukan Majapahit baru terlaksana pada
tahun 1525, yaitu pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ).

Dengan keruntuhan Majapahit tahun 1525, maka kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam di Jawa
menjadi penguasa tunggal. Sedang sisa – sisa penguasa Majapahit yang tidak mau tunduk ke
Demak memindahkan pusat kerajaannya ke Sengguruh. Ada pula yang menyingkir ke Ponorogo
dan lereng Gunung Lawu. Setelah R. Patah menjadi raja dia mulai menata wilayah kerajaan.
Kota Demak dijadikan pusat pemerintahan, pusat perdagangan dan pusat pendidikan dan
penyebaran agama Islam ke seluruh Jawa. Sebagai lambang negara Islam dibangunlah sebuah
masjid Agung yang merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu. Ekspedisi
pemboyongan dipimpin oleh Sunan Kalijaga tampak berjalan lancar.

Setelah sampai di Mrapen mereka merasa sangat lelah. Kemudian rombongan itu beristirahat
disitu. Karena tidak ada air untuk minum, maka Sunan Kalijogo bersemedi memohon kepada
Tuhan diberi air untuk minum para pengikutnya. Tongkat wasiatnya ditancapkannya ke tanah,
kemudian dicabutnya. Tetapi yang keluar bukan air namun api yang tidak dapat padam (Api
Abadi). Sejak itulah tempat itu disebut Mrapen. Kemudian di tempat lain dilakukan hal yang
sama dan keluarlah pancuran air yang jernih, yang dapat diminum. Demikian rombongan itu
minum dan setelah hilang lelahnya mereka melanjutkan perjalanannya ke Demak.
Sesampainya di Demak barang - barangnya yang dibawa diteliti. Ternyata ada yang ketinggalan
di Mrapen, berupa sebuah ompak (alis tiang). Sunan Kalijaga menyatakan ompak itu tidak perlu
diambil sebab nantinya akan banyak gunanya. Batu ompak itu kemudian dikenal dengan Watu
Bobot. Suatu ketika Sunan Kalijaga mengajak Jaka Supo pergi ke hutan mencari kayu jati yang
cocok untuk dibuat “Saka Guru“ Masjid Agung Demak. Jaka Suko adalah Putra Tumenggung
Mpu Supodriyo, seorang Wedana Bupati Mpu (tukang membuat alat perang dari besi) Kerajaan
Majapahit. Pada waktu itu Jaka Supa sendiri telah menjabat sebagai jajar Mpu walaupun dia abdi
Majapahit, tetapi dia telah belajar agama Islam pada Sunan Kalijaga.

Selama Sunan Kalijaga mengembara di hutan mencari kayu tersebut, dia berjumpa dengan Dewi
Rasa Wulan yang sedang “Tapa Ngidang“. Dewi Rasa Wulan sebenarnya adalah adiknya sendiri
yang lari dari Kadipaten Tuban, karena ditawari untuk menikah tidak mau. Oleh Sunan Kalijaga,
Dewi Rasa Wulan diajak ke Tuban. Di Tuban dia dikawinkan dengan Jaka Supa. Pada suatu
pagi, ketika Jaka Supa yang telah bernama Mpu Supa “Memadai” ( bahasa Jawa : Mandhe )
membuat keris, datanglah Sunan Kalijaga untuk minta kepada Jaka Supa membuat sebuah keris
yang baik. Sunan memberinya bahan berupa besi sebesar biji asam (sak klungsu) Jaka Supa
heran, dapatkah besi yang sekian besarnya dapat dibuat keris ? tetapi setelah dipegang ternyata
besi itu sangat berat dan berubah menjadi sebesar Gunung.

Mpu Supa sangat takut kepada Sunan Kalijaga, maka apa yang menjadi perintah Sunan Kalijaga
dikerjakan. Sunan Kalijaga memerintahkan supaya keris dibuat di Mrapen. Maka Mpu Supa
pergi ke Mrapen membuat keris tersebut. Untuk pembakarannya digunakan api abadi. Watu
Bobot digunakan sebagai landasannya. Sedang air sendang juga digunakan sebagai
penyepuhnya. Aneh, air yang tadinya jernih setelah dipakai untuk menyepuh keris berubah
warna menjadi kuning kecoklat - coklatan sampai sekarang. Setelah keris itu jadi, dalam Serat
Babad Demak (M. Atmo Darminto, 1962 : 55 – 56) dinyatakan : (tembang Dandang Gula) :
Sunan Kali angandika aris, Sunan arani kris dapur Sengkelat, dene kris abang warnane, nanging
iki tan patut, dipun angge wong laku santri, iki pantes kagema, mring patingginipun, negaraning
pulo Jawa, wus pinasthi besuk dadi pusaka ji, kang mengku nusu Jawa. Lah pundhinen jebeng
ingkang becik, bokmanawa Siradarbe darah, kang mengku nusa Jawane, nulya simpenen
tinampen gupuh, mring Ki Supa dhuwung pinundhi, dohing maling jeng Sunan, gawekena
ingsun, cothen pranti pembelehan, ingkang pantes dianggo wong laku santri, mengko sun golek
tosan.

Inti
Api abadi Mrapen adalah sebuah kompleks yang terletak di desa Manggarmas, kecamatan
Godong, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Kawasan ini terletak di tepi jalan raya Purwodadi -
Semarang, berjarak 26 km dari Kota Purwodadi. Kompleks api abadi Mrapen merupakan
fenomena geologi alam berupa keluarnya gas alam dari dalam tanah yang tersulut api sehingga
menciptakan api yang tidak pernah padam walaupun turun hujan sekalipun.
Banyak peristiwa besar mengambil api dari kompleks api abadi Mrapen sebagai sumber obornya,
misalnya pesta olahraga internasional Ganefo I tanggal 1 November 1963. Api abadi dari
Mrapen juga digunakan untuk menyalakan obor Pekan Olahraga Nasional (PON) mulai PON X
tahun 1981, POR PWI tahun 1983 dan HAORNAS. Api abadi dari Mrapen juga digunakan untuk
obor upacara hari raya Waisak.Selain api abadi, di komplek tersebut juga terdapat kolam dengan
air mendidih yang konon dapat dipergunakan untuk mengobati penyakit kulit, serta batu bobot
yang konon apabila seseorang dapat mengangkatnya maka yang mengangkat tersebut akan
mendapatkan keinginannya.

Anda mungkin juga menyukai