Anda di halaman 1dari 6

Nama : Eko Pramono

NIM : 1901581028

Prodi : Sastra Jepang

Perkenalkan, nama saya Eko Pramono. Saya berasal dari Blitar, Jawa Timur. Mungkin
diluar sana banyak yang tidak tahu dimana Blitar berada atau bahkan tidak pernah mendengar
sebuah tempat bernama Blitar. Tapi beda cerita jika kita menunjukkan foto Soekarno. Ya,
Soekarno. Kenapa Soekarno? Apa hubungannya Blitar dengan Bapak Bangsa Indonesia ini?
Mungkin dari sini mulai ada yang sudah mengerti, yaitu letak makam Soekarno yang berada di
Kota Blitar, Jawa Timur.

Blitar sendiri dibagi menjadi 2, yaitu Blitar Kabupaten yang beribukotakan di Kanigoro,
dan Blitar Kota. Saya sendiri termasuk warga Blitar Kabupaten karena saya sekeluarga tinggal di
Kecamatan Sutojayan, tetapi saya melanjutkan SMK di Kota Blitar, yaitu SMKN 1 Blitar yang
terletak di Kecamatan Sanan Wetan, Kota Blitar. Walaupun Blitar memang kota yang kecil, tapi
banyak sekali kebudayaan Jawa dan tempat wisata yang ada di Blitar. Semoga dengan saya
mencoba menguraikan beberapa ke-khas-an Blitar ini, dapat menambah pengetahuan akan
keberagaman budaya di Blitar.

Nyadran

Istilah nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, yakni "Sradha". Istilah yang digunakan
warga Hindu untuk upacara pemuliaan roh leluhur. Diawali di masa pemerintahan Raja
Majapahit, Hayam Wuruk, ia menyelenggarakan upacara Sradha untuk memuliakan arwah sang
Ibunda Tribhuwana Tunggadewi.

Diluar daerah, mungkin nyadran hanya dilakukan diwaktu-waktu tertentu, bulan Ruwah
misalnya. Tapi tradisi keluarga saya di Blitar, nyadran dilakukan apabila kita mempunyai hajat,
lalu hajat tersebut terkabul, misal jika bisa sembuh dari suatu penyakit, atau anaknya bisa bekerja
di tempat tertentu, dengan catatan orang yang
berhajat sebelumnya mengatakan "saya akan
melakukan nyadran apabila.... terkabul".

Kegiatan memasak untuk nyadran


dimulai di pagi hari. Mulai dari memasak nasi,
ada 2 jenis nasi yang harus dibuat, yaitu nasi
biasa dan sega gurih (nasi yang dimasak
menggunakan santan), lalu membuat sambal
goreng, memasak ayam ingkung, membuat kue
apem, dan terakhir membuat 2 jenis jenang atau bubur nasi, jenang abang (jenang dari gula
merah) dan jenang putih. Memasak dilakukan oleh orang perempuan yang ada di rumah tersebut,
atau jika tidak ada perempuan di rumah tersebut, bisa memanggil tetangga yang terdekat untuk
membantu memasak. Setelah semua selesai, laki-laki yang punya hajat (apabila yang punya hajat
perempuan, bisa diserahkan kepada suaminya ataupun orang laki-laki yang ada di rumahnya)
mengundang para tetangga untuk datang kerumahnya. Prosesi nyadran dilakukan sore hari,
sekitar pukul 15:00 dimana orang-orang sudah pulang bekerja. Saat semuanya sudah terkumpul,
semua masakan yang sudah dibuat, dibawa keatas bukit beserta tikar, kendi (air minum yang
terbuat dari tanah liat), serta kemenyan dan arang untuk dibuat obong-obong (berdoa kepada
leluhur).

Tidak semua tempat untuk nyadran dilakukan di atas bukit, kebetulan di daerah saya,
tempat nyadran dilakukan diatas bukit yang disebut Gunung Pranti. Diatas Gunung Pranti
terdapat tempat untuk melakukan prosesi nyadran, dan makam kecil yang disebut makam Mbah
Pranti, itulah kenapa bukit tersebut dinamakan Gunung Pranti.

Saat semuanya sudah sampai diatas bukit, prosesi nyadran bisa dimulai. Pertama,
pemangku adat melakukan obong-obong di makam Mbah Pranti. Kalau sudah selesai melakukan
obong-obong, pemangku adat kembali ke tempat berkumpul dan membacakan doa-doa dalam
agama Islam. Setelah doa selesai dibaca, makanan tersebut dibagikan untuk dibawa pulang, atau
untuk dimakan ditempat.

Sumber gambar :

https://www.erhaje88.com/2017/05/nyadran-tradisi-masyarakat-jawa-untuk.html?m=1

Prosesi Siraman Gong Kyai Pradah

Setiap tahunnya, di Kecamatan saya berasal, yaitu Kecamatan Sutojayan Kabupaten


Blitar, yang tepatnya berada di ibukota Kecamatan Sutojayan, yaitu Lodoyo (Kalipang) selalu
mengadakan Prosesi Siraman Gong Kyai Pradah. Acara Adat Siraman Gong Kyai Pradah
merupakan agenda rutin tahunan yang dilaksanakan di Kecamatan Sutojayan setiap penanggalan
Maulud yang selalu bertepatan dengan Peringatan Hari Keagamaan Maulud Nabi Muhammad
SAW atau tanggal 12 Rabiul Awal. Sejarah singkat Siraman Gong Kyai Pradah ini bahwa ada
yang mengatakan bahwa Kyai Pradah dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka
R.M. Said atau Pangeran Mangkunegoro I. Ada juga yang mengatakan bahwa Kyai Pradah
berasal dari Adipati Terung, kembaran dari tongkat sakti Tikus Jinodo yang diberi nama Kyai
Macan, yang diturunkan kepada Kyai Pengging sebagai kembaran Bende Udan Arum. Kyai
Macan tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro bagi pasukan Demak
sewaktu menyerang kerajaan Majapahit. Mengenai riwayat gong tersebut sampai sekarang belum
diperoleh sumber data yang pasti, hanya dari cikal bakal daerah Lodoyo dan tutur kelantur di
masyarakat diperoleh gambaran sebagai berikut: Ada yang mengatakan bahwa Kyai Pradah
dibuat oleh Sunan Rawu, kembaran Kyai Becak, pusaka R.M. Said atau Pangeran
Mangkunegoro I. Kyai Macan tersebut kemudian dipinjam oleh Sunan Kudus sebagai tengoro
bagi lasykar Demak sewaktu menyerang kerajaan Majapahit.

Pelacakan oleh Bupati Blitar dan Asisten Kediri pada tahun 1927, mengenai riwayat Kyai
Pradah, diperoleh informasi sebagai berikut: Sewaktu tentara Demak akan menggempur kerajaan
Majapahit, Sunan Kudus mengikuti dari belakang sambil membawa bende Kyai Macan.
Berhubung pasukan tentara Demak lebih kecil bila dibandingkan dengan pasukan tentara
Majapahit, maka pasukan tentara Demak kemudian berpencar. Pada saat itu, wilayah sekitar
Majapahit masih berupa hutan, sehingga ketika Kyai Macan dipukul, suaranya yang menyerupai
harimau menggaum memantul ke segala penjuru. Mendengar suara itu, tentara Majapahit
mengira tentara Demak mengerahkan harimau siluman. Banyak di antara mereka ketakutan dan
meninggalkan pos penjagaan.

Hal itu justru memudahkan tentara


Demak masuk ke dalam kota Majapahit dan
mendudukinya. Sesudah kerajaan Majapahit
roboh, berdirilah kerajaan Demak. Kyai Macan
kemudian dijadikan pusaka Demak disatukan
dengan gamelan Sahadatin. Sejak itu, Kyai
Macan berpindah-pindah menjadi pusaka Pajang
dan Kartosuro. Menurut cerita, Sunan Paku
Buwono I mempunyai seorang putra dari garwo ampeyan bernama Pangeran Prabu. Sewaktu
garwo padmi belum berputra, Pangeran Prabu dijanjikan akan diangkat menjadi raja sebagai
pengganti dirinya. Namun, ternyata garwo padmi melahirkan seorang putra laki-laki.

Agar tidak menimbulkan perang saudara, Pangeran Prabu disuruh pergi ke hutan Lodoyo
untuk babad mendirikan kerajaan. Saat itu, hutan Lodoyo terkenal wingit, maka Pangeran Prabu
diberi gong Kyai Macan sebagai tumbal. Pangeran Prabu bersama-sarna isterinya, Putri
Wandansari, kemudian berangkat babad disertai beberapa abdi. Sebenarnya Sunan Paku Buwono
I berbuat demikian itu bukan bermaksud agar Pangeran Prabu berhasil mendirikan kerajaan,
melainkan agar Pageran Prabu mengalami kehancuran dari godaan jin. Dilain pihak, Pangeran
Prabu sendiri sebenarnya juga tidak ingin mendirikan kerajaan karena beliau sesungguhnya
seorang ulama besar. Pangeran Prabu dapat menangkap maksud Sunan Paku Buwono I terhadap
dirinya. Sehingga untuk menghilangkan jejaknya, beliau berpindah-pindah tempat tinggalnya.
Setiap menempati lokasi baru, beliau mengadakan pengajian. Pangeran Prabu kemudian
mendirikan pondok. Pondok Pangeran Prabu atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama
Panembahan Imam Sampurna, semakin lama bertambah banyak muridnya. Keberhasilan itu
akhirnya terdengar oleh Adipati Srengat yang bernama Pangeran Martodiningrat, maka segera
dilaporkan ke Kartosuro karena dikhawatirkan Pangeran Prabu akan mendirikan kerajaan.
Kartosuro pun kemudian mengirim tentaranya dibantu oleh kompeni Belanda. Pangeran Prabu
atau Panembahan Imam Sampurno mengetahui hal itu lalu bersembunyi di hutan Kedung Bunder
dan berganti nama menjadi Mbah Tjingkrang. Kata Tjingkrang mengandung arti ’maksud beliau
belum tercapai’. Mbah Tjingrang akhirnya menetap di Kedung Bunder sampai akhir hayatnya.
Makam Mbah Tjingkrang pun akhirnya menjadi punden keramat.
Kyai Macan yang disertakan Pangeran Prabu pada waktu hendak babad, karena tempat
tinggalnya berpindah-pindah, Kyai Macan kemudian dititipkan pada Nyi Partosoeto dengan
pesan agar setiap tanggal 12 Rabiul Awal dan 1 Syawal disiram dengan air kembang setaman
dan diborehi. Dikatakan pula bahwa air bekas siraman Kyai Macan dapat dipakai untuk
menyembuhkan orang sakit. Setelah Nyi Partosoeto meninggal dunia, Kyai Macan disimpan oleh
Ki Rediboyo, lalu tumurun ke Kyai Rediguno, dan tumurun lagi ke Ki Imam Setjo, yang
bertempat tinggal di Dukuh Kepek, Ngeni. Ketika disimpan Ki Imam Setjo, terjadi kejadian yang
agak ganjil mengenai jiwa penduduk. Setiap ada anak lahir pasti ada orang yang meninggal
dunia. Di tengah suasana. yang demikian itu, ada seseorang bermimpi agar anaknya terhindar
dari serangan penyakit, maka ia harus nyekar ke Kyai Macan. Saran dalam impian itupun
dilaksanakan dan ternyata berhasil. Tindakan itu kemudian banyak diikuti hingga tersiar sampai
ke tempat yang jauh. Semakin lama semakin banyak orang meminta berkah kepada Kyai Macan.
Karena kebaikannya itu, Kyai Macan kemudian diberi nama Kyai Pradah.

Sumber gambar : http://mokhamadikhsannurrokhim.student.umm.ac.id/2016/01/20/siraman-gong-kyai-


pradah-2/

Penemuan Candi Gedog

Akhir-akhir ini, di daerah Gedog, Kota Blitar, warga sering menemukan arca-arca dan
puing-puing yang diduga merupakan sebuah situs purbakala yang disebut dengan Candi Gedog.
Memang sebelumnya jika ditelusuri dari awal, di daerah Gedog sendiri konon katanya terdapat
sebuah candi yang megah dan indah. Hal ini tertulis pada buku karya Thomas S. Raffless yang
berjudul History of Java yang terbit pada tahun 1817.

Masyarakat sebelumnya hanya mengira


bahwa batu-batu yang mereka temukan
hanyalah batuan biasa. Tapi semakin hari,
semakin banyak yang ditemukan, seperti batu
diduga arca berbentuk kepala kala atau raksasa,
serta koin kuno dan struktur batu bata di
Kelurahan Gedog, beberapa waktu lalu
membuat keyakinan masyarakat semakin kuat
terkait keberadaan Candi Gedog. Meski
demikian, hingga kini masyarakat Gedog belum
mengetahui wujud asli candi tersebut. Warga menyebut di tempat pohon beringin yang berusia
ratusan tahun berdiri diyakini sebagai lokasinya.

Pohon beringin tersebut berdiri dia tas tanah yang luasnya sekitar sekitar 20x30 meter,
ada juga pohon jambe dan asem. Lokasi itu juga dikenal sebagai tempat Mbah Joko Pangon,
yang merupakan tokoh legenda babad tanah Gedog. Di sekitar lokasi ada dua arca berbentuk
kepala kala yang berada di sisi kanan dan kiri pintu masuk. Di bagian selatan pohon beringin,
ada sebuah yoni berukuran sekitar 1x1 meter per segi. Lokasi tersebut selalu digunakan warga
Kelurahan Gedog untuk kegiatan bersih desa.

Sumber Gambar : https://jatimnet.com/keberadaan-candi-gedog-di-blitar-mulai-terungkap

Grebeg Pancasila

Grebeg Pancasila adalah suatu upacara


hari lahirnya Pancasila pada tanggal 1 Juni yang
didesain sebagai peristiwa budaya. Upacara ini
berbeda dengan upacara lainnya. Ritus upacara ini
berisi 3 (tiga) mata acara pokok yaitu Ritus I
(Upacara Budaya), Ritus II (Kirab Gunungan Lima
dari Istana Gebang menuju Makam Bung Karno)
dan Ritus III (Kenduri Pancasila di Makam Bung
Karno). Gunungan Lima sendiri bentuknya seperti di Yogyakarta, yang merupakan personifikasi dari ke
lima sila Pancasila. Diiringi pula Prajurit Siji, Prajurit Enem (membawa Burung Garuda dan foto bung
Karno) dan Prajurit Patang Puluh Lima (membawa Gunungan Lima). Para prajurit itu melambangkan hari
lahirnya Pancasila 1 Juni 1945.

Ritus prosesi Grebeg Pancasila di Kota Blitar berisi lima mata acara pokok sebagai berikut

1. Bedholan Pusaka

Ritus penyiapan ubu rampe untuk peringatan Grebeg Pancasila berupa kirab lambang negara dan
perlengkapan upacara. Dari Rumah Dinas Walikota Blitar menuju Jalan Soedanco Supriyadi Blitar
menuju kantor Walikota Blitar. Dilaksanakan oleh Bregodo Siji, Bregodo Enem, dan Bregodo Patang
Puluh Lima

2. Malam Tirakatan/Renungan

Kegiatan ritual menjelang tanggal 1 Juni, yang diselenggarakan dengan maksud untuk merenung dan
menghayati pentingnya Pancasila sebagai nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Acara ini bertempat di
Kantor Walikota Blitar diisi dengan Macapatan semalam suntuk.

3.Upacara Budaya Grebeg Pancasila

Sebuah peringatan Hari Lahirnya Pancasila, yang di desain sebagai peristiwa budaya. Dilaksanakan oleh
seniman-seniman Blitar dengan sentuhan dan piranti etik dan estetika tanpa meninggalkan rasa khusyuk
dan makna sebuah upacara di Aloon-Aloon Blitar pada tanggal 1 Juni.
Upacara ini selalu diadakan sekali dalam setahun di kabupaten Blitar. Hal ini ditujukan untuk
mengenang proses pembuatan Pancasila yang menjadi landasan hukum Indonesia. Upacara ini juga
diikuti oleh semua masyarakat Blitar dan sering dihadiri oleh pejabat-pejabat Indonesia.

Sumber gambar : https://www.qureta.com/post/grebeg-pancasila-sebuah-konteks-tradisi-dan-budaya-


kota-patria

Anda mungkin juga menyukai