Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Dalem Tarukan

Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan


Perjalanan panjang dari Ida Dalem Tarukan akibat pengungsian dari istana, akhirnya menjadi
tonggak sejarah perjalanan di Desa Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli. Di sanalah berdiri
kokoh Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan. Setiap enam bulan sekali atau pada
acara-acara lainnya menjadi perhatian umat sedharma terutama warih Dalem Tarukan.
Pura Padharman Pusat Ida Bhatara Dalem Tarukan tidaklah sulit mencarinya. Perjalanan bisa
lewat dari berbagai arah. Bisa dari Kota Bangli, dari Banjarangkan, Klungkung, atau bisa juga
melalui jalan lain sesuai dengan asal pemedek. Pura ini tepatnya berada di Pulasari, Peninjauan,
Tembuku, Bangli. Lokasinya berada di daerah sejuk, masih dalam suasana desa. Perjalanan dari
Denpasar cukup jauh dan melelahkan. Namun, selama perjalanan banyak melalui hamparan
hijau, sehingga bisa memberikan panorama yang indah sepanjang perjalanan.
Luas pura juga cukup memadai. Ada tempat parkir, begitu juga di sebelah timur pura ditemukan
areal yang kosong cukup luas. Fasilitas untuk pemedek juga tersedia bahkan kebersihan juga
terjamin. Sarana umum seperti wantilan juga mampu menampung ribuan orang. Suasana pura
akan tampak lain ketika odalan digelar tepat Buda Kliwon Ugu setiap enam bulan sekali.
Dapat dibayangkan, sesak umat Hindu terutama dari Pertisentana Dalem Tarukan yang tumpah
ruah ke pura. Walaupun disediakan waktu nyejer selama tiga hari, toh juga bludakan pemedek
tak pernah sepi. Pelataran kahyangan yang cukup luas pun seakan menjadi sempit. Apalagi
jumlah perti sentana di seluruh Nusantara seperti dikatakan Bapak I Wayan Waya, S.H sebagai
pengurus pusat Sentana Dalem Tarukan jumlahnya 200-an ribu. Tersebar di Jawa, Lombok dan
daerah lainnya.
Sementara Jro Mangku Jati mengungkapkan, guna mengetahui bagaimana kisah atau sejarah
pura ini sudah ada Babad Pulasari yang mengisahkan perjalanan Ida Dalem Tarukan yang
mengungsi dari istana megahnya. Perjalanan ini berhubungan dengan titah sebagai raja
menggantikan saudaranya yang tidak mau menjadi raja. Untuk itu berikut cukilan sejarahnya
berdasarkan babad Dalem Tarukan.
Jro Mangku Jati yang tingal di Banjar Puseh, Pulasari, Peninjauan, Tembuku, Bangli
memberikan/menceritakan sejarah pura berdasarkan data yang sudah tersebar dan sudah banyak
dikisahkan dalam babad-babad.
Ida Dalem Tarukan bersaudara 5 orang yaitu:
Dalem Agra samprangan
Dalem Tarukan
Dewa Ayu Swabawa
Dalem Ketut Ngulesir
I Dewa Tegal Besung
Ayah beliau bernama Sri Aji Dalem Kresna Kepakisan, menjadi raja di Bali tahun 1272
berkedudukan di Puri samprangan Gianyar dan membawa senjata utama yang bernama keris Ki
Tanda Langlang.
Setelah Ida Dalem Tarukan dewasa, Ida membangun Puri di Tarukan Pejeng Gianyar, Ida disana
bersama istri dari Lempuyang Madya (Bukit Gamongan). Ditemani oleh putra angkat beliau
yang Rakriyan Kuda Pinandang Kajar putra Dalem Blambangan, ditemani pula oleh masyarakat
dan mahapatih yang setia kepada Ida Dalem Tarukan.
Diceritakan pada saat Kuda Pinandang kajar sakit keras sulit disembuhkan Ida Dalem Tarukan
terlanjur ngomong bahwa apabila Kuda Pinandang Kajar bisa sembuh seperti semula akan
dijodohkan dengan Dewa Ayu Muter (putri Dalem samprangan). Setelah Ida Dalem Tarukan
ngomong demikian ternyata Rakriyan Kuda Pinandang Kajar sembuh. Akhirnya Ida Dalem
Tarukan mewujudkan kata-katanya menikahkan Dewa Ayu Muter dengan Rakriyan Kuda
Pinandang Kajar tanpa sepengetahuan Dalem Samprangan.
Entah apa yang mempengaruhi kejadian itu membuat Ida Dalem Samprangan marah lalu
memerintahkan mengirim pasukan, sebanyak lebih dari tiga ribu orang menyerang ke Puri
Pejeng. Mengetahui berita itu untuk menghindari terjadi perang maka Ida Dalem Tarukan
mundur meninggalkan puri dan istri yang sedang hamil 6 bulan pergi mengungsi ke desa-desa di
pegunungan.
Tempat-tempat pengungsian tersebut sampai sekarang bisa ditelusuri, pada awalnya beliau
sampai di desa Taro Gianyar, selanjutnya ke Subak Pulesari sebelah selatan Tampuwagan,
Tembuku Bangli. Para pengejar datang beliau bersembunyi menyelinap dalam kumpulan petani
yang sedang menanam padi, sedangkan para pengejar terus mengejar kearah utara sampai ke
Tampuwagan. Sampai sore tanpa hasil para pengejar akhirnya kembali pulang.
Demi keselamatan disinalah beliau pertama kali nyineb wangsa menjelaskan keberadaannya
dengan berkata kepada para petani sebagai berikut : “…de cai macokor I dewa teken aku,
magusti, majero, dadi apan aku macita urip…” demikianlah beliau berkata. Setelah itu Ida Dalem
Tarukan diantar oleh para petani menuju padukuhan (selatan Dusun Pulasari sekarang) beliau
diterima oleh Ki Dukuh Pantunan. Beliau tinggal disini cukup lama. Keberadaan beliau tercium
oleh pihak puri maka pengejar datang lagi menyisir setiap tempat di pedukuhan Pantunan.
Hampir saja beliau tertangkap, beliau bersembunyi menyelinap dibawah rerimbunan kumpulan
pohon pisang, jawa jail, dan ada beberapa ekor burung puyuh lalu lalang bercanda, burung
perkutut bersuara bersahutan yang melukiskan suasana tak mungkin ada orang diam disana
sehingga beliau terselamatkan dari pengejaran.
Dalam situasi seperti ini akhirnya Ida Dalem Tarukan berjanji:
“…nah iba kedis titiran, kedis puwuh muah jawa jali deni jati iba makrana kai idup nah jani
seenyah-enyah aku apang sing dadi amangsa iba…”. (ya engkau burung perkutut, burung puyuh
dan pohon jawa jali kalau memang karena engkau membuat aku tetap hidup, ya sekarang
seketurunanku tidak boleh memangsa engkau).
Merasa tidak aman di Pantunan akhirnya Ki Dukuh Pantunan menyarankan Ida Dalem Tarukan
pindah ke Desa Poh Tegeh (wilayah Songan) diterima oleh Ki Gusti Poh Tegeh (Poh Landung).
Oleh Ki Gusti Poh Tegeh, Ida Dalem Tarukan ditempatkan di Jenggala Sekar Desa Tegal Bunga
diterima oleh Ki Dukuh Dami. Lama Ida Dalem Tarukan tinggal di Padukuhan Bunga sampai
punya putra dan putri tujuh orang dari istri yang berbeda yaitu:
I Gusti Gde Sekar dan I Gusti Gde Pulasari (Ibunya bernama Gusti Ayu Kwaji putri dari Ki
Gusti Poh Tegeh)
I Gusti Gde Bandem (Ibunya bernama Jero Sekar putri dari Dukuh Bunga)
I Gusti Gde Dangin (Ibunya bernama Jero Dangin putri dari Dukuh Darmaji)
I Gusti Gde Belayu (Ibunya bernama Jero Belayu putri dari Mekel Belayu)
I Gusti Gde Balangan dan Gusti Ayu Wanagiri (Ibunya bernama Gusti Luh Balangan Putri
Gusti Agung Gelgel menjadi putri angkat Gusti Gde Bekung).
Dari padukuhan Bunga Ida Dalem Tarukan bersama anak istri kembali mengungsi menuju Desa
Sekahan, Sekar Dadi, Kintamani, Panerojan (panulisan), Balingkang, Sukawana, (wilayah
Bangli). Di Sukawana Ida Dalem Tarukan bertemu dengan Dukuh Darmaji yang membawa
takilan beras. Oleh karena semua putranya sangat lapar maka Ida Dalem Tarukan meminta beras
dalam takilan tersebut untuk diberikan kepada putra beliau. Setelah beras tersebut dimakan,
Gusti Ayu Wanagiri sakit perut sampai beliau meninggal. Melihat kejadian ini Ida Dalem
Tarukan sangat marah dan menendang takilan beras tersebut sambil mengutuk beras tersebut
supaya tumbuh menjadi haa beras dan seketurunannya tidak boleh makan beras. Lalu Gusti Ayu
Wanagiri dikubur di Sukawana mengarah kebarat.
Kemudian Ida Dalem Tarukan mengungsi ke Desa Panek, Desa Ban, Desa Temakung, Desa
Cerucut, Paduning Samudra (Desa Sukadana) semuanya wilayah Karangasem. Di Paduning
Samudra ini Ida Dalem Tarukan banyak menerima harta benda dari masyarakat dipegunungan
membuat hidup Ida Dalem Tarukan berkecukupan sehingga Paduning Samudra ini dinamai Desa
Sukadana. Saat Ida Dalem Tarukan di Sukadana Ida Dalem ingat dengan Gusti Ayu Wanagiri
yang meninggal di Sukawana, lalu di aben di Sukawana dibuatkan Bade Tumpang Pitu,
Patulangan Gajah Mina maulu kepascima. Atma suci beliau di sthanakan di puncak Bukit Mangu
karangasem.
Rupanya Ida Dalem Tarukan selalu ingat dengan istri yang ditinggalkan di Puri Tarukan sedang
hamil dan membayangkan putra yang lahir sudah menjadi dewasa. Akhirnya Ida Dalem
meninggalkan Sukadana diiring oleh para dukuh menuju Desa Poh Tegeh. Kepada I Gusti Poh
Tegeh (mertuanya) Ida Dalem Tarukan menyampaikan keinginannya untuk kembali ke
panegaran. Lalu Ida Dalem Tarukan pergi kearah barat menuju desa (wilayah) Tembuku Bangli.
Dari sini Ida Dalem Tarukan memperkirakan/menganalisa (memarna) marahnya Ida dalem Ketut
Ngulesir sudah hilang kemudian desa ini diberi nama Desa Sidaparna. Tidak lama Ida dalem
Tarukan tinggal di Desa Sidaparna. Dari Desa Sidaparna Ida Dalem Tarukan kembali mengungsi
menuju Wetaning Giri Panida.
Di Wetaning Giri Panida inilah Ida Dalem Tarukan bersama keluarga cocok untuk tinggal
menetap, lalu membangun sebuah puri yang dilengkapi dengan merajan sebagai huluning
karang. Tempat Wetaning Giri Panida ini oleh Ida Dalem Tarukan dinamai Dusun Pulasantun.
Sebagai alasannya adalah untuk mengingat tempat putra putrinya yang lahir di Desa Tegal
Bunga (jenggala sekar). Dusun Pulasantun tersebut sampai sekarang sudah terkenal dengan nama
Dusun Pulasari, Bangli. Disini beliau hidup dengan bercocok tanam palawija. Diceritakan dari
istri yang ditinggal saat mengungsi sedang hamil 6 bulan telah lahir seorang putra sudah dewasa
rupawan gagah perkasa diberi nama I Dewa Gde Muter, selalu mencari tahu tentang keberadaan
ayah beliau.
Akhirnya atas ceritra dan petunjuk para pengasuh maka I Dewa Gde Muter pergi menuju
pedesaan untuk bertemu dengan ayah beliau. Diceritakan Ida Dalem Tarukan sedang membajak
sawah, I Dewa Gde Muter datang memandangi dan mengamati orang yang sedang membajak
tersebut. Akhirnya lama mereka saling pandang, sapi penarik bajak lalu tunggang langgang yang
membuat Ida Dalem Murka. Kemurkaan tersebut mengakibatkan mereka berdua perang tanding
cukup lama tanpa ada yang kalah. Dalam situasi itu tanpa sengaja I Dewa Gde Muter
mengucapkan kata-kata yang menunjukkan identitasnya. Setelah tahu identitas orang yang
dihadapi betapa kagetnya Ida Dalem karena yang dilawannya ternyata putra sendiri yang sedang
dirindukan. Seketika beliau memeluk putranya sambil menangis terharu, timbul rasa penyesalan
lalu berdua saling memaafkan. Akhirnya Ida Dalem member nama putranya I Dewa Bagus
Darma kemudian dipertemukan dengan adik-adiknya semua. Karena semua putra sudah
berkumpul Ida Dalem sudah merasa tenang dan kehidupan di Pulasantun berkecukupan maka
beliau tidak berniat lagi untuk kembali ke Puri. Beliau menyarankan kepada putranya untuk tetap
tinggal bersama dipedusunan jangan lagi pulang ke panegaran. Nasehat ini sangat dihormati dan
dipatuhi oleh putra-putra Dalem semua.
Diriwayatkan sejak muda Ida Dalem Tarukan tidak berminat pada kekuasaan (pemerintahan)
beliau lebih tertarik dan menekuni ajaran kedhyatmikan/kerokhanian. Oleh kebanyakan orang
hal ini dipandang aneh. Selama perjalanan pengungsian disamping terus menekuni kedhyatmikan
beliau juga mengisi waktu dengan bertani dan berkebun. Setelah menetap tinggal di Pulasantun
kehidupan spiritualitas beliau mencapai puncaknya beliau melaksanakan kebujanggaan, tempat
beliau menjadi pusat patirtaan untuk masyarakat pedusunan dan pegunungan. Menjelang Ida
Dalem wafat, Ida memberi pewarah-warah, panugrahann, dan sloka sruti kamoksan kepada
putra-putra beliau dan para dukuh semua.
Ida Dalem Tarukan wafat pada hari Wraspati Keliwon ukir, Kresna Paksa, Saptami Warsa Isaka
Dewa Netra Tri Tunggal (Isaka 1321/1399 M). di upacarai seperti raja dipuja dengan sloka
gegaduhan yang dianugerahkan oleh Ida dalem. Upacara palebon dan seterusnya dipuput oleh Ki
Dukuh Bunga, Ki Dukuh Pantunan, Dukuh Jati Tuhu, menggunakan sloka sruti panugrahan Ida
Dalem Tarukan. Jenasah beliau dibakar di Cungkub (wilayah) Tampuagan. Abunya di hanyut ke
tukad Congkang, bablonyohe yang berada pada kelapa gading dipendem di Cungkub Tampuagan
lalu kabiakta Ida Dalem Tarukan malingga “Ida I Ratu Dalem Tampuagan”. Palebonnya Ida
Dalem Tarukan pada hari Saniscara Paing, Wuku Warigadean, Kresna Paksa Pancami, Sasih
Jesta, Rah Tunggal, Tenggek kalih, Isaka 1321 (1399).
Setelah semua upacara selesai banyak berupa makanan beras, lungsuran basi sampai rusak
(berek) karena tidak habis dimakan oleh masyarakat. Juga berupa uang kepeng menggumpal
sukar dilepas sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Disarankan oleh I Dewa Bagus Darma dan adik-
adiknya semua beras, makanan, dan uang kepeng yang tidak bisa dimanfaatkan supaya dihanyut
(dibuang) ke kali. Yang berupa beras dan makanan dihanyut di kali sebelah barat Dusun Pulasari
dan yang berupa uang kepeng dihanyut di kali sebelah timur Dusun Pulasari. Itulah sebabnya
sampai sekarang ada tukad Bubuh disebelah barat Pulasari (kalau dihilir dapat dilalui jembatan
dipatung gajah Banjar Angkan), Tukad Jinah disebelah timur Dusun Pulasari dihilir dapat dilalui
jembatan sebelah barat SMA Klungkung. Dengan dihanyutkannya sisa-sisa upacara tersebut
sampai kehilir sungai, hal ini menjadi berita heboh sehingga beritanya sampai kepada Ida Dalem
Ketut Ngulesir di Puri Gelgel.
Mendengar berita tersebut Ida Dalem Ketut Ngulesir mengirim utusan agar semua keponakan Ida
mau tinggal di Puri Gelgel. Namun semua putra Ida Bhatara Dalem Tarukan tidak memenuhi
permintaan Dalem Gelgel putra Dalem memegang nasihat Ajinya agar tidak kembali
kepanagaran. Mungkin terjadi miss informasi dianggap para keponakannya menentang sehingga
Ida Dalem Ketut Ngulesir murka, maka diseranglah putran Ida Dalem Tarukan ke pulasari
dipimpin oleh Gusti Kebon Tubuh. Sebelum menyarang ke Pulasari, Gusti Kebon Tubuh beserta
bala tentaranya beristirahat (mejanggelan) disebuah desa yang selanjutnya desa tersebut diberi
nama Desa Nyangglan wilayah Banjarangkan Klungkung untuk mengatur strategi perang. Dalam
perang besar tersebut I Dewa Bagus Darma direbut dipasangi upas sehingga mengalami
kekalahan dan wafat di Siang Kangin (Hyang Pupuh) Bangkiangsidem. Setelah I Dewa Bagus
Darma wafat akhirnya semua adik-adiknya ditemani oleh ibunya mau datang ke Puri Gelgel
sedangkan I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng dan akhirnya
menetap di Sudaji.
Sebagai catatan: setelah karya agung di pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 maret 1996 atas
kesepakatan pengempon Linggih Ida Bhatara Putra di Sudaji dengan Semeton PGSDT Bangli
maka Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan dilinggihkan di pura Pulasari Bebalang Bangli.
Mulai saat itulah pura di dusun Bebalang Bangli diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan. Pura
ini dibangun pada tahun 1994.
Setelah semua putra Ida Dalem Tarukan berkumpul di Puri Gelgel maka Ida Dalem Ketut
Ngulesir memberikan panugrahan mantra sasana yang pada intinya berisi sebagai berikut:
I Gusti Gde Sekar ditempatkan di Banjar Sekar Nongan bersama ibunya I Gusti Luh Kwaji
dan diberikan tanah sebanyak 15 sikut.
I Gusti Gde Pulasari ditugaskan kembali ke Pulasari ngerajegang Puri (Ajinya) Ayahandanya.
I Gusti Gde Bandem ditempatkan ke Dukuh Nagasari Bandem.
I Gusti Gde Dangin dan I Gusti Gde Balangan pergi ke Buleleng menuju desa Sudaji. Namun
setelah karya agung di Pura Puri Agung Pejeng tanggal 27 Maret 1996 atas kesepakatan
semeton, Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Balangan di stanakan di Pura Pulasari Bebalang Bangli.
Mulai saat itulah pura di Dusun Bebalang diberi nama Pura I Gusti Gde Balangan.
Setelah I Gusti Gde Pulasari wafat juga dilaksanakan upacara pitra yadnya, ngeroras dan roh
sucinya didharmakan berdampingan dengan linggih Ida Bhatara Dalem Tarukan di Gedong
Pajenengan. Upacara menstanakan Dewa Hyang I Gusti Gde Pulasari dilaksanakan sekitar
pertengahan abad ke 15 (1450 M). mulai saat itulah di Pulasari ada dua palebahan, Pura
Palebahan duhuran pura Padharman Ida Bhatara Dalem Tarukan (Pura Kawitan Para Gotra
Sentana Dalem Tarukan), stana Ida Bhatara Dalem Tarukan pada Meru Tumpang Pitu, piodalan
setiap Buda Keliwon Ugu. Di Palebahan andapan pura Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di
stanakan di gedong Pajenengan, piodalannya setiap Tumpek Krulut. Namun karena beberapa
pemikiran semenjam Mahasaba I atas kesepakatan dan panugrahan niskala maka pujawali di
kedua palebahan pura ini disatukan menjadi setiap Buda Keliwon Ugu. Namun Pakandel yang
mengemban mantri sasana dari Raja Gelgel setiap Tumpek Krulut tetap melaksanakan piodalan
alit sebagai peringatan sejarah melanjutkan warisan leluhur pakandel.
Karena semakin berkembang dan makin mantapnya kesadaran santanan Ida Bhatara Dalem
untuk tangkil ke pura maka tempat untuk sembahyang menjadi terasa sempit, dan pada saat
karya Padudusan Agung, Buda Kliwon Ugu nemu purnama tahun 1995 terjadi sembahyang
saling berdesakan. Sehingga akhirnya atas kesepakatan pakandel dan pengurus PGSDT maka
tahun 1996 tembok penyengker penyekat antara palebahan pura duhuran dan palebahan pura
andapan dicapuh dijadikan satu. Namun perbedaan ketinggian natar tampak seperti sekarang
menjadi utama mandala duhuran dan utama mandala andapan. Mengingat Pura Padharman di
Pulasari merupakan stana Ida Bhatara Dalem Tarukan di utama mandala duhuran dan stana Ida
Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari di utama mandala andapan telah menjadi satu dan untuk
linggih Ida Bhatara Putra yang lain sudah ada Pelinggih Gedong Rong Kalih berdampingan
dengan Meru Tumpang Pitu, maka Pura Padharman tersebut dinamakan Pura Padharman Pusat
Ida Bhatara Dalem Tarukan lan Ida Bhatara Putra I Gusti Gde Pulasari.
Hubungannya Dengan Padharman Dalem Besakih
Padharman Dalem di Besakih merupakan Padharman satrehan Ida Bhatara Lingsir Sri Aji Dalem
Kresna Kepakisan. Ida Bhatara Dalem Tarukan merupakan salah satu putra dari Sri Aji Dalem
Kresna Kepakisan maka seketurunan Ida Bhatara Dalem Tarukan patut melaksanakan
persembahyangan di Pedharman Dalem di Besakih.

Anda mungkin juga menyukai