Anda di halaman 1dari 11

Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu

Batur
Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur

Jumat (26/4) kemarin, bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana
biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli.
Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara
Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

Sekilas Gunung Batur dan Pura Ulun Danu Batur


Jumat (26/4) kemarin, bertepatan dengan Paing Dungulan adalah Purnama Kedasa. Sebagaimana
biasa saat itu berlangsung upacara besar di Pura Ulun Danu Batur. Desa Batur, Kintamani, Bangli.
Pura Ulun Danur Batur sebagai kahyangan jagat umat Hindu di Bali, dimulialan sebagai stana Bhatara
Wisnu. Sedangkan Bhatara Siwa di Besakih dan Brahma di Lempuyang Luhur, Karangasem.

SEBAGAI stana Bhatara Wisnu, yang dalam konsep masyarakat Batur terkenal dengan sebutan
Bhatari Dewi Danuh, Pura Ulun Danu memiliki historis yang sangat menarik, baik berkembang secara
turun-temurun sebagai cerita rakyat yang hidup di Batur serta masyarakat pemuja di sekitarnya,
maupun sebagaimana termuat dalam beberapa babad.

Paling tidak, sejarah Pura Ulun Danu Batur termuat dalam Babad Pasek yang ditulis oleh Jro Mangku
Gede Ketut Soebandi, Babad Pasek yang ditulis oleh I Gusti Bagus Sugriwa, serta Babad Kayu Selem
yang disalin oleh Drs. Putu Budiastra, dkk. Bahkan sejarah pura ini juga termuat dalam Raja Purana
Pura Ulun Danu Batur I dan II yang disusun oleh Drs. I Putu Budiastra, dkk. Sejarah dan terjadinya
Gunung Batur serta Pura Ulun Danu Batur dapat diuraikan sebagai berikut.

Zaman Bahari

Dalam versi Babad Pasek dan Babad Kayu Selem, semula Pulau Bali dan Selaparang masih menyatu
dan terombang-ambing dihanyutkan arus samudera. Waktu itu, Ida Bhatara Hyang Pasupati yang
berstana di Puncak Gunung Prabulingga (Gunung Semeru) merasa kasihan melihat kedua pulau
tersebut terombang-ambing. Beliau lantas mengutus tiga putranya yakni Bhatara Hyang Geni Jaya,
Bhatara Hyang Mahadewa, dan Bhatari Dewi Danu agar menyusup ke Pulau Bali.

'Nanda bertiga, Geni Jaya, Putra Jaya (Mahadewa) dan Dwi Danuh hendaknya nanda bertiga datang
ke Pulau Bali agar pulau tersebut tidak terombang-ambing,' demikian sabda Hyang Pasupati. 'Mohon
maaf, nanda ayahanda, nanda masih sangat muda dan belum berpengalaman,' jawab ketiga
putranya. 'Nanda jangan khawatir,' tandas Hyang Pasupati. Begitulah, akhirnya Hyang Pasupati
memasukkan ketiga putranya ke dalam kelapa gading, dan dihanyutkan lewat dasar laut. Secara gaib
ketiganya tiba di Gunung Agung, dan Beliau sepakat mencari tempat bersemayam. Bhatara Hyang
Geni Jaya memutuskan berstana di Gunung Lempuyang, Bhatara Putra Jaya (Mahadewa) berstana di
Gunung Agung dengan Pura Besakih, dan Bhatari Dewi Danu memilih sebuah kubangan besar yakni
Danau Batur dengan Gunung Batur sebagai puncaknya.

Setelah itu, Hyang Pasupati mengirim empat putra lainnya, seterusnya berstana di Andakasa, Gunung
Beratan (Pucak Mangu), Gunung Batukaru, dan Pejeng. Sehingga bila dirunut secara historis,
khususnya dari kajian babad, seharusnya di Bali ada sapta kahyangan bukannya sad kahyangan.

Purana Tatwa Batur

Siapa dan bagaimana Gunung Batur serta Beliau yang bersemayam di Pura Ulun Danu Batur, tersirat
pula dalam salah satu bagian: Raja Purana Pura Ulun Danu Batur -- Purana Tatwa. Begitu pula,
uraian ini sangat populer di sekitar pemuja Pura Ulun Danu Batur.

Kisahnya adalah: Tersebutlah tiga putra Bhatara Indra yang berstana di Pura Tirta Empul,
Tampaksiring, Gianyar, bertanya pada kakeknya Hyang Pasupati di Gunung Semeru. 'Mohon maaf
Kakek Bhatara, siapakah gerangan ayahanda cucunda?'

'Oh kalau itu cucunda tanyakan, biar nanti bibi yang mengantar cucunda menjumpai ayahanda'. 'Nah
nanda I Ratu Ayu Mas Membah (sebutan Bhatari Dewi Danu), sekarang berangkatlah ke Tirta Empul
antarkan kemenakan nanda menghadap ayahandanya.'

Demikianlah I Ratu Ayu Mas Membah berangkat ke Bali diiringi ketiga putra Bhatara Indra serta I Ratu
Ayu Arak Api. Tak terkisahkan di jalan ketiganya telah tiba di stana Bhatara Indra di Tirta Empul, dan
langsung menghadap Bhatara Indra. 'Oh dinda Dewi datang, siapa kiranya anak tampak ketiga ini?'.

'Oh kanda tidak kenal, inilah ketiga putra kanda yang yang semula di Semeru bersama ayahanda'. 'Oh
begitu, kemarilah Nanda bertiga maaf ayahanda sudah tua, dan pandangan ayah sudah berkurang'.

'Nah, nanda yang tertua, ayah tak punya apa-apa, kiranya apa yang akan nanda minta?'. 'Mohon maaf
ayahanda dan kiranya ada nanda memohon goa yang besar serta air suci'. 'Oh kalau itu, baiklah, kini
ayah beri nama nanda I Ratu Gede Gunung Agung, dan di sanalah nanda menetap di bekas tempat
ayah di pertengahan Gunung Agung, dan ini air suci, nanti beri nama tirta Mas Manik Kusuma.'
Begitulah, beliau lantas berstana di sekitar pertengahan Gunung Agung. Selanjutnya, 'Nanda yang
kedua I Gede Nengah, apa yang nanda minta?'. 'Hamba juga minta air suci'. 'Nah nanda I Gede
Nengah tempatkanlah air suci ini di barat laut tempat ibunda, dan beri nama tirta Mas Manik Mampeh.
Letaknya di barat laut Danau Batur.'

'Nah nanda yang terkecil namun badannya terbesar apa yang nanda minta?'. 'Nanda minta balai
agung'. Beliau diberikan dan distanakan di Manukaya. Lalu, Bhatara Indra meminta Mangku Pucangan
agar mengantarkan I Ratu Ayu Mas Membah menuju tempatnya. Beliau dijunjung menuju arah timur
laut, di suatu tempat. Karena kepayahan menjunjung I Ratu Ayu Mas Membah istirahat sambil
nafasnya 'ah-ah, ah', sehingga tempat itu disebut Basang Ah.

Perjalanan dilanjutkan dan tiba di Desa Pengotan. Saat itu penduduk sedang rapat. Mangku
Pucangan berkata: 'Tuan berhenti sebentar bersidang, ini Paduka datang'. Mereka tertawa karena
melihat wujud Ida Bhatari layaknya ukiran janur yang dijunjung oleh Mangku Pucangan. 'Oh ha, ha, ha
dimana ada Bhatari, orang menjunjung sampyan (ukiran rontal) banyak capak'. Ida Bhatari berkenan
menunjukkan wajah aslinya dan berkata, 'Nanti jika kalian semua memuja kepada-Ku, masih di pintu
gerbang akan diterbangkan angin'. Begitulah yang terjadi sampai saat ini, biasanya sesaji warga
Pengotan, hancur di candi Pura Ulun Danu Batur.

Perjalanan dilanjutkan. Sampai di Penelokan Mangku Pucangan melihat air payau sangat luas dan
Bhatari Ratu Ayu Mas Membah meminta mencari benang dan bulu ayam. Benda tersebut dilemparkan
ke tengah payau lalu benang tersebut diikuti oleh Mangku Pucangan. Tepat di tengah air payau Beliau
berkata, 'Sudahlah Mangku Pucangan tempatkan Aku di sini'.

Begitu Beliau diturunkan, mendadak tempat ini makin tinggi terus menjadi sebuah gunung tepat di
tengah payau (danau). Gunung itu diberi nama Gunung Tempur/ Tempuh Hyang. Artinya bekas
pijakan kaki Ida Bhatari, sehingga menjadi Gunung Tampur Hyang. Nama lain dari Gunung Tampur
Hyang adalah Gunung Lebah yang artinya sebuah gunung yang letaknya di dataran rendah, serta
Gunung Sinarata -- yang diartikan oleh masyarakat Batur 'gunung yang mendapat sinar matahari
secara merata'.

Demikianlah ceritanya, dan secara berkelanjutan akibat letusan Gunung Batur, mereka berpindah ke
atas, serta puranya bernama Pura Ulun Danu Batur yang pujawalinya jatuh setiap Purnama Kedasa.

Jro Mangku I Ketut Riana

Pura Ulun Danu


Batur
Pura Ulun Danu Batur

Melengkapi Gamelan Selonding

Kami, Jero Gede Makalihan Pura Ulun Danu Batur, Kintamani, menyampaikan kepada para bakta di seluruh
Bali, bahwa 12 bilah gamelan selonding druwe Pura Ulun Danu Batur, Kintamani, yang merupakan bilah-bilah
warisan peninggalan sejarah zaman lampau, dengan segera akan dilengkapi sehingga menjadi satu barung
lengkap, yang memenuhi persyaratan guna ditabuh dalam rangkaian upacara di Pura Ulun Danu Batur, sesuai
Raja Purana Pura Ulun Danu Batur, Kintamani.

Karena warisan gamelan selonding yang ada tidak lengkap, hanya tersisa 12 bilah, apa yang diwajibkan secara
baku dalam Raja Purana belum dapat dipenuhi secara sempurna. Keadaan inilah yang mendorong kami, Jero
Gede Makalihan, bertetapan hati untuk melengkapi gamelan selonding yang ada.

Kami telah memberikan kepercayaan kepada bakta Pande Wayan Tusan, dari Banjar Tunggak, Dusun Pandesari,
Kecamatan Bebandem, Karangasem, untuk memimpin dan bertanggung jawab dalam pembuatan pelengkap
bilah-bilah gamelan yang ada. Karena yang bersangkutan memang telah mempunyai pengetahuan, kemampuan
dan pengalaman yang mendalam dan luas dalam pemugaran dan pemubuatan gamelan selonding druwe Pura-
pura Kahyangan di Bali, dengan petunjuk dan pegangan sebagai berikut:

1. Pembuatan gamelan yang baru, selaku pengiring dan pelengkap bilah-bilah gamelan yang ada, harus berpijak
dan berpedoman serta berpegang teguh pada bilah-bilah yang ada, baik untuk tangga nadanya maupun
ukurannya. Sehingga satu barung gamelan yang tercipta nantinya, merupakan kesatuan yang utuh, selaras, dan
harmonis dengan nada bilah-bilah gamelan yang ada.

2. Dalam pembuatannya hendaknya meneladani dan menapak tilas jejak-langkah teknik para pande zaman Bali
Kuno dalam membuat gamelan selonding, yaitu hanya dengan menggunakan teknik menempa saja, tanpa
memanggur atau mengikir.

3. Hari baik atau padewasan untuk nuasen atau memulai pengerjaannya adalah pada 19 November 2002,
bertepatan dengan Purnama Kalima di Kentel Gumi Batur, Kintamani.

Untuk menyukseskan tugas berat dan mulai seperti terurai di atas, kami menugaskan:
1. Made Kembar Kerepun sebagai penasihat Maha Semaya Warga Pande Propinsi Bali, Banjar Pande,
Blahbatuh, Gianyar, telepon 942664, 298032/ Hp: 081 2382 8938.

2. Wayan Gatha, Direktur Utama PT Bank Sri Partha, kantor Pusat Bank Sri Partha, telepon: 227721, 227722/
Hp.081 139 8361, dengan perincian tugas sebagai berikut:

*. Menghubungi para bakta, baik secara lisan/pribadi, atau lewat surat-menyurat, dalam upaya mensosialisasikan
dan menghimpun dana punia yang tulus ikhlas dari mereka, untuk membiayai program melengkapi gamelan
selonding druwe Pura Ulun Danu Batur, Kintamani.

*. Menyimpan dan membukukan dana punia dimaksud pada rekening Pura Ulun Danur Batur, Kintamani, pada
Bank Sri Partha, nomor 301.005.7954. *. Mengelola, mempergunakan dan mempertanggung jawabkan dana
punia secara profesional, tepat guna dan tepat sasaran.

*. Membantu dan memfasilitasi Pande Wayan Tusan dalam segala hal yang diperlukan, sehingga dapat
merampungkan tugasnya tepat pada waktunya.

*. Mengupayakan dengan sungguh-sungguh agar program melengkapi gamelan selonding druwe Pura Ulun
Danu Batur, Kintamani, sudah rampung secara paripurna sebelum berlangsungnya karya Ngusaba Kadasa Pura
Ulun Danu Batur, Kintamani yang jatuh pada Purnama Kadasa 16 April 2003.

Dengan segala kerendahan hati kami, Jero Gede Makalihan, memohonkan keikhlasan para bakta untuk ikut
berpartisipasi berdana punia sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Jero Gede Makalihan


Pura Ulun Danur Batu, Kitamani
Jero Gede Duwuran
Jero Gede Alitan

SEJARAH PURA BATUR

Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di
kaki Gunung itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah, 2.500
Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya pada kaki Pura.
Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap tinggal
disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh Pura kecuali "Pelinggih" yang
tertinggi, temapt pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air danau.
Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih tinggi dan
memulai tusag mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang
masih utuh dan membangun kembali Pura Batur.

Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan bagian
dari "sad kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang tercatat dalam lontar Widhi
Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai
Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat umum.

Sejarah Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah
Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur, mengalir dari
satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar
Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda kuno yang
melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.

Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut :


Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan
puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya satu
bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan itu
dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi Gunung
Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan
tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini
menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan"
(Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang
Widhi Wasa).

Identifikasi dan Daya Tarik


Nama obyek wisata kawasan Batur disesuaikan dengan potensi yang ada yaitu Gunung Batur
dan Danau Batur. Nama Pura Batur berasal dari nama Gunung Batur yang merupakan salah
satu Pura Sad Kahyangan di emong oleh Warga Desa Batur. Sebelum meletusnya Gunung
Batur pada tahun 1917, Pura Batur berada di kaki sebelah Barat Daya Gunung Batur. Akibat
kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan Gunung Batur ini, maka Pura bersama warga desa
Batur dipindahkan di tempat sekarang. Sisa-sisa lahar yang membeku berwarna hitam,
Gunung Batur tegak menjulang, Danau Batur teduh membiru, merupakan suatu daya tarik
bagi setiap pengunjung. Dari Penelokan dapat memandang birunya Danau Batur dan buih-
buih ombak yang menepi menemani sopir boat saat melayani wisatawan dan penumpang
umum dalam setiap penyebrangan dari Desa Kedisan ke Desa Trunyan. Para nelayan juga
mewarnai kesibukan di Danau Batur mengail ikan mujair yang hasil tangkapannya di jual di
pasar Kota Bangli, sehingga di Bangli dikenal dengan sate mujairnya yang merupakan
makanan ciri khas Kabupaten Bangli.

Lokasi
Obyek Wisata Kawasan Batur terletak di Desa Batur, Kecamatan Kintamani Kabupaten
Daerah Tingkat II Bangli. Obyek Wisata Kawasan Batur berada pada ketinggian 900 m di
atas permukaan laut dengan suhu udaranya berhawa sejuk pada siang ahri dan dingin pada
malam hari. Untuk mencapai lokasi ini dari Ibu Kota Bangli jaraknya 23 km. Obyek wisata
ini dapat dilalui dengan kendaraan bermotor, karena lokasi ini menghubungkan kota Bangli
dan kota Singaraja. Sedangkan rute obyek, menghubungkan Obyek Wisata Kawasan Batur
dengan Obyek Wisata Tampaksiring dan Besakih.

Fasilitas
Di obyek wisata Kawasan Batur sudah tersedia tempat parkir, rumah makan, restoran,
penginapan, toilet, wartel, serta warung-warung minuman dan makanan kecil. Mengenai
fasilitas angkutan umum dan angkutan penyeberangan sudah tersedia.

Kunjungan
Obyek wisata Kawasan Batur ramai dikunjungi oleh wisatawan Mancanegara dan Nusantara.
Kunjungan yang paling menonjol sekitar bulan Agustus, Desember, saat menyambut Tahun
Baru dan suasana Tahun Baru. Demikian pula pada hari-hari Raya Galungan, Idul Fitri dan
Hari Raya Natal, bahkan sering dikunjungi oleh tamu Negara baik dari pusat maupun tamu
dari luar negeri.

Deskripsi
Sumber-sumber yang menyebutkan tentang Batur adalah Lontar Kesmu Dewa. Lontar Usana
Bali dan Lontar Raja Purana Batur. Disebutkan bahwa Pura Batur sudah ada sejak jaman
Empu Kuturan yaitu abad X sampai permulaan abad XI. Luasnya areal dan banyaknya
pelinggih-pelinggih maka diperkirakan bahwa Pura Batur adalah Penyiwi raja-raja yang
berkuasa di Bali, sekaligus merupakan Kahyangan Jagat. Di Pura Batur yang diistanakan
adalah Dewi Danu yang disebutkan dalam Lontar Usana Bali yang terjemahannya sebagai
berikut : Adalah ceritera, terjadi pada bulan Marga Sari (bulan ke V) waktu Kresna Paksa
(Tilem) tersebutlah Betara Pasupati di India sedang memindahkan Puncak Gunung Maha
Meru dibagi menjadi dua, dipegang dengan tangan kiri dan kanan lalu dibawa ke Bali
digunakan sebagai sthana Putra beliau yaitu Betara Putrajaya (Hyang Maha Dewa) dan
puncak gunung yang dibawa tangan kiri menjadi Gunung Batur sebagai sthana Betari Danuh,
keduanya itulah sebagai ulunya Pulau Bali. Kedua Gunung ini merupakan lambang unsur
Purusa dan Pradana dari Sang Hyang Widhi. Pura Batur merupakan tempat Pemujaan Umat
Hindu di seluruh Bali khususnya Bali Tengah, Utara dan Timur memohon keselamatan di
bidang persawahan. Sehingga pada saat puja wali yang jatuh pada Purnamaning ke X
(kedasa) seluruh umat terutama pada semua kelian subak, sedahan-sedahan datang ke Pura
Batur menghaturkan "Suwinih". Demikian kalau terjadi bencana hama.
Dari Blandingan sampai Penglipuran

PURA Ulun Danu Batur, Kintamani, Bangli sebagai pura banuwa disembah oleh empat puluh
lima desa di Bali, dengan Desa Batur sebagai penanggung jawab utamanya. Keempat puluh
lima desa tersebut wajib mengeluarkan bahan upacara yang disebut atos. Pemuja ini terjadi
karena perjalanan Ida Bhatari Dewi Danu ke desa-desa di sekitarnya.

Dikisahkan, Ida Bhatara Indra memberikan putra kedua tirta yang disebut Mas Manik
Mampeh yang menjadi aset wisata di sekitar Danau Batur. Jalannya melewati Desa Songan,
Kintamani, Bangli. Air ini sangat besar namun karena diberi pesan oleh Bhatara Indra tak
boleh dimanfaatkan oleh orang Batur, maka Ida Bhatari Dewi Danu (I Ratu Ayu Mas
Membah) berniat menjualnya. Semula yang akan menjual adalah putranya.

''Ibu hamba khawatir karena Ibu seorang putri tentunya akan banyak halangan, biarlah nanda
yang menjualnya,'' kata putranya. ''Oh nanda jangan khawatir, ibu bisa menjaga diri,'' jawab
Dewi Danu. Seketika Beliau berubah wujud menjadi seorang tua laki-laki yang sudah renta
dan badannya penuh dengan luka, kudisan. ''Nah nanda adakah yang akan mengetahui ibu?''

Demikianlah Beliau menuju arah timur laut, sampai pada sebuah dataran tinggi sambil
memikul air dalam dua buah labu pahit. Beliau tiba di dataran Bubung Kelambu, di sana
beliau istirahat. Karena ragu airnya sejak tadi tumpah waktu dipikul, Beliau mengeluarkan
airnya, dan memancur dari labunya, sehingga tempat itu diberi nama Tirta Mas Manik
Mancur. Letaknya di sebelah barat Desa Blandingan.

Perjalanan dilanjutkan dan Beliau tiba di Desa Munti Gunung. ''Tuan, tuan yang ada di desa
ini, saya menjual air, apakah tuan sudi membelinya?'' Penduduk Munti Gunung merasa jijik
melihat Beliau yang pebuh kudisan dan baunya menusuk hidung sangat busuk. Lalu mereka
berkata, ''Ah siapa sudi membeli airmu, kamu saja seperti pengemis, dan baumu sangat
busuk. Bagaimana dengan airnya, tentunya juga busuk. Sana kamu pergi jangan di sini
mengemis''.

''Oh kamu orang Munti Gunung, kamu sekalian tidak tahu Aku ini Bhatari Batur menjual air,
dan kamu telah menghina Aku sebagai pengemis. Semoga nanti kamu sekalian sangat sulit
hidupmu dan hanya akan hidup dari mengemis''. Begitulah, sampai saat ini penduduk Munti
Gunung selalu meresahkan Denpasar dengan gayanya mengemis serta menjadi ''peminta-
minta di jalan perempatan''.

Selanjutnya, Dewi Danu menjajakan air dari Batu Ringgit menuju ke barat. Namun satu desa
pun tak ada yang mau membelinya dengan dalih pedagangnya sangat menjijikkan, serta
mereka menyatakan sudah dekat dengan laut, mudah mencari air.

Tiba di Desa Les, Dewi Danu kembali menjajakan airnya. ''Tuan, tuan apakah tuan ada niat
membeli air, saya menjual air''. Penduduk Les merencanakan membeli dengan dua kepeng,
namun baru membayar satu kepeng. Itu pun dengan jalan menggadaikan sabit besar (tah).
''Nah Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, dan air ini berilah nama Toya Mampeh, dan tuan
hendaknya menggantinya setiap tahun ke Batur''.

Sejak itu, setiap tahun pada Purnama Kedasa Desa Adat Les ngatos ke Batur berupa beras,
babi, ayam aduan (uran akembaran) serta bahan lainnya sesuai dengan permintaan dari
Penghulu Setimaan Batur. Di Desa Tejakula yang semula sebagai tempat buangan, Beliau
menjual airnya dengan dua kepeng, serta dibayar dengan kerbau, dan selanjutnya, penduduk
berminat membeli dengan tiga kepeng, karenanya beliau mengambil airnya sampai ke dasar
labu, akibatnya kotoran labu dan jentik pun ikut dalam gayungnya. Penduduk lantas dikutuk
''agar sumurnya dalam dengan sebutan Buhun Dalem -- Bondalem''.

Perjalanan menuju ke barat dan di Pantai Ponjok Batur airnya dituangkan sedikit, sehingga di
sana ada mata air yang jika air laut surut airnya kelihatan. Sampai di satu tempat dan semua
airnya dituangkan serta dikutuk: ''semoga air ini tak bisa dijadikan air pertanian, dan air ini
agar irit (inih) sehingga tempat itu menjadi Air (Sangat) Inih -- Air Sanih.

***

DEWI Danu kemudian berganti rupa kembali menjadi seorang putri yang sangat cantik dan
telah tiba di sekitar perbatasan Kubu Tambahan. Beliau menjunjung bambu kecil dan berkata
pada penduduk, ''Tuan, tuan di Kubu Tambahan apakah tuan mau membeli kerbau, saya
menjual kerbau''. ''Ah ada-ada saja kamu mengatakan menjual kerbau, mana kerbaumu?'' ''Ini
tuan kerbaunya saya tempatkan pada bambu yang saya jungjung,'' sahut Dewi Danu.

Mereka merasa ditipu, mana mungkin kerbau ada dalam sepotong bambu. Lalu, bambunya
dirampas, dan dilihat ternyata di dalamnya kelihatan kerbau beberapa ekor, berkeliaran dalam
bambu. Bambunya di balik, keluarlah beberapa ekor kerbau. Pemuka adat Kubu Tambahan
dan Bungkulan mengusir kerbau tersebut, sehingga lari tunggang langgang melampaui
beberapa desa seperti Penarukan, Banyuning, Swan, Jinengdalem, Kerobokan, dan
sekitarnya.

Setelah sore Dewi Danu memanggil kerbaunya, namun seekor yang paling besar dipotong
oleh penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan, dagingnya dibagi rata. Bhatari Batur lantas
mengutuk: ''Tuan sekalian, Aku ini Bhatari Batur, nanti semua desa yang bekas diinjak
kerbauku harus membayar ke Batur, dan tuan penduduk Kubu Tambahan dan Bungkulan
yang memotong kerbauku harus menggantinya secara bergilir ke Batur dengan kerbau
hidup.'' Begitulah, Kubutambahan dan Bungkulan secara bergantian membayar kerbau ke
Batur, dan semua desa yang dilewati beliau dan bekas injakan kerbaunya sebagai pemuja
Pura Ulun Danur Batur.

Dewi Danu atau Ida Bhatari Batur kembali ingin menambah wewidangan-nya dan Beliau
berganti rupa menjadi gadis desa sangat cantik sambil berjualan gantal pada sabungan ayam
di Kehen. Waktu itu, Ida Bhatara Kehen melihat beliau dalam hatinya berkata: ''Ah kenapa
ada dagang gantal sangat cantik, kalau ini kujadikan istri sangat cocok sebagai penguasa''.
Dagang tersebut didekati: ''Putri cantik kiranya tak cocok berdagang, bagaimana kalau Anda
saya ambil menjadi istriku''. ''Mohon maaf, saya tak bisa menikah,'' sahut Bhatari Batur. ''Ah
mana mungkin ada orang tak boleh menikah,'' kata Ida Bhatara Kehen. Lalu Bhatari Batur
diperkosa.

''Hai tuan penguasa Kehen, kiranya tuan tak tahu siapa Aku, coba sekali lagi tuan
memperkosa saya,'' tantang Bhatari Batur. Karena jengkel kembali Beliau mau diperkosa,
mendadak Bhatari Batur berkata: ''Tuan Aku ini Bhatari Batur. Tuan sangat sombong baru di
tempatmu, sekarang semoga ada gunung yang membuang air Danau Batur agar tak sampai ke
Bangli''. Mendadak di selatan kota terbentang gunung yang membujur dari barat ke timur
menutup aliran air Danau Batur. ''Ah, kamu baru bisa begitu saja sudah sombong, aku juga
bisa,'' kata Ida Bhatara Kehen. Beliau lantas berkata: ''Semoga ada belut besi, kepiting besi
yang melubangi gunung tersebut''. Benar saja, mendadak gunung tersebut dilubangi oleh
belut besi dan kepiting besi yang saat ini tersimpan di Trunyan.

Akhirnya, Bhatari Batur kembali ke Batur. Namun sebelumnya mereka sama-sama


mengutuk. ''Nanti jika Bhatari melewati daerahku engkau akan aku denda,'' kata Bhatara
Kehen. ''Ya aku akan membayarnya, tetapi Aku juga mengutuk semua orang Bangli yang
memiliki genta, harus membayar denda ke Batur,'' kutuk Bhatari Batur.

Sampai kini kutukan tersebut tetap berlaku, dan karena gagal mempersunting Bhatari Batur,
Bhatara Kehen mengambil ''istri penawing'' ke Penglipuran.

* Jro Mangku I Ketut Riana

Sejarah Pura Batur

OBYEK WISATA PENELOKAN


Penelokan terletak di sebelah Selatan Desa Batur Tengah, Kecamatan Kintamani kira-kira 23
km dari Kota Bangli atau 63 km dari Denpasar ibukota Propinsi Bali. Sepanjang areal Batur
memiliki pemandangan yang sangat menarik merupakan wilayah Kecamatan Kintamani yang
terletak di bagian Utara Bangli. Penelokan adalah tempat yang terbaik untuk melihat
pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur. Letaknya kira-kira 1500 meter dari
permukaan laut yangdari tahun ke tahun memiliki temperatur ± 22o C di siang hari, dan 16oC
di malam hari.
Banyak pengunjung baik domestik maupun internasional, memilih tempat ini untuk dapat
menikmati udara pegunungan yang dingin dan segar. Tentunya hal ini sangat menyenangkan
sambil menikmati pemandangan yang indah dengan lava hitam yang padat berasal dari
letusan Gunung Batur pada tahun 1917 yang menghancurkan seluruh desa di sekitarnya.
Untuk itu kami bermaksud mengajak siapa yang senang berpetualang untuk mendaki sampai
ke puncak. Keindahan kepundannya sunggu merupakan suatu lukisan yang indah.
Disamping keindahan panoramanya, kita juga dapat melihat indahnya Danau Batur dengan
airnya yang jernih bagaikan kristal dan di lereng pegunungan anda dapat melihat kuburan
yang unik, serta Barong Brutuk dari Desa Trunyan, yang mana tidak bisa ditemukan di tepat
lain di Bali.
DESA KEDISAN
Desa Kedisan terletak di tepi Selatan Gunung Batur 7 Km dari Penelokan dan sepanjang jalan
Kecamatan Kintamani atau 27 Km dari kota Bangli.
Sebuah desa kecil, dengan udaranya yang dingin dan segar serta keramahan penduduknya
yang berdampingan dengan desa lainnya seperti Batur, Buahan, trunyan, dan desa Songan
sehingga disebut Desa Bintang Danu, karena terletak di tepi Gunung Batur.
Di sini ada pelabuhan kecil dimana seseorang dapat menyewa boat untuk mengunjungi Desa
Trunyan yang unik. Harga tiket pulang pergi dan rencana keberangkatannya sudah diatur oleh
LLASDP.
DESA TERUNYAN
Nama dari Desa Terunyan berasal dari kata "Taru dan Menyan", pohon berbau harum yang
tumbuh di desa itu, orang-orang disana percaya bahwa pohon itu sangat penting. Mayat orang
yang meninggal diletakkan di atas kuburan terbuka di bawah pohon tersebut dengan wajah
terbuka dengan hanya memakai kain putih dan "ancak saji". Cara penguburan ini disebut
"Mepasah".
Desa Terunyan sebagai bagian dari kecamatan Kintamani terletak di tepi Danau Batur atau di
Kaki sebelah Barat dai Gunung Abang. Penduduk desa ini adalah keturunan asli bali Age.
Dengan aspek kebudayaan yang unik, desa ini dapat dicapai dengan boat dari desa Kedisan,
menyeberangi Danau Batur selama ± 30 menit.
PURA PANCERING JAGAT
Pura Pancering Jagat terletak di Desa Trunyan Kecamatan Kintamani. Nama Pura ini berasal
dari patung raksasa tingginya 4 meter. Masyarakat setempat menyebutnya "Arca Da Tonta
atau Ratu Gede Pusering Jagat". Upacara di pura ini jatuh pada Purnamaning sasih Kapat
sekitar bulan oktober. Dalam beberapa kesempatan Barong Brutuk ditarikan langsung untuk
memperingati hari ulang tahun pernikahan antara Ratu Sakti Pancering Jagat, penguasa
daerah ini dengan Ratu Ayu Dalem Pingit (Ratu Ayu Dalem Dasar). Pura ini hanya
disungsung oleh masysrakat Trunyan saja.
TOYO BUNGKAH
Toyo Bungkah terletak di tepi sebelah Barat Danau Batur, 11 Km dari penelokan Kecamatan
Kintamani. Tempat ini sangat menyegarkan dan cocok untuk memancing dan berenang.
Disana juga ada air panas yang airnya berasal dari kaku Gunung Batur. Masyarakat disana
percaya bahwa air ini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit kulit. Tempat ini sudah
dikenal sejal tahun 1930 terutama oleh para Ilmuwan Asing. Fasilitas yang terdapat disini
antara lain, penginapan, hotel dan restoran serta aula untuk mementaskan tari-tarian
tradisional maupun modern.
PURA PUNCAK PENULISAN
Pura Puncak Penulisan terletak 1745 dari permukaan laut kira-kira 3 Km dari Kintamani atau
30 Km dari ibukota Bangli, di sebelah timur bagian atas dari jalan Denpasar – singaraja.
Berdasarkan lontar Bali Kuno dikatakan bahwa Bukit Penulisan disebut juga Bukit Tunggal
karena tempatnya terpisah dari rangkaian pegunungan yang terbentang dari barat ke timur,
seolah-olah membagi Bali menjadi dua bagian : Utara dan Selatan.
Sekitar abad ke-9 di atas puncak Bukit Penulisan dibangunlah Pura Tegeh Koripan yang lebih
dikenal dengan Pura Pucak Penulisan karena terletak di puncak Bukit Penulisan.
Pura Pucak Penulisan disamping letaknya di atas bukit, tersusun dari beberapa teras sampai
sebelas teras.
Teras-teras itu dimaksudkan sebagai kelanjutan dari aspek kebudayaan pyramid jaman
megalitik. Ini juga merupakan kompleks Pura Danu dan Pura Taman Danu yang terletak pada
teras ke -3, juga terdapat Pura Ratu Penyarikan yang terletak pada teras ke-4 pada bagian
Barat Pura itu.
Kompleks keempat, adalah Pura Ratu Daha Tua terletak di bagian Barat pada teras ke-16.
Yang terakhir atau kompleks ke-5 adalah Pura Panarojam terletakdi bagian Timur dari
Puncak. Kompleks pura ini adalah yang tertinggi dibandingkan dengan empat kompleks yang
lain. Di dalam kompleks pura ini, pengunjung dapat melihat patung terbuat dari buah yang
dipercaya berasal dari jaman Bali kuno sebagai peninggalan kebudayaan megalitik
SEJARAH DARI PURA PUCAK PENULISAN.
Lompleks Pura Penulisan merupakan satu-kesatuan yang dibangun pada jaman perunggu,
yang dimulai kira-kira pada tahun 300 sebelum Masehi. Dan lanjut ke milenium pertama
masehi yaitu abad ke-10 sampai berakhirnya kekuasaan Majapahit pada tahun 1343, daerah
ini dikuasai oleh Kerajaan Pejeng-Bedulu. Raja ini membuat peraturan tertulis di atas
pinggiran perunggu, yang membuktikan bahwa para sastrawan telah mendapat menyusun
kembali sejarah Kerajaan itu. Banyak tulisan yang menggunakan dasar-dasar Agama Hindu
dan Agama Budha yang berisikan peraturan-peraturan hukum dasar.
Di dalam halaman komplek Pura itu ada beberapa balai uang terttup patung-patung sebagai
potret Raja-raja Bali, Permaisuri dan pengikutnya. Menurut data Arkeologi, sejarah pura ini
telah disusun oleh para ahli dari beberapa prasasti yang terhitung dari abad ke-11 sampai
abad ke-15 :
A). Prasasti Penulisan I : Angka Tahun 1011 Masehi (Caka 933) dan Rajanya, Mpu Bga
Anatah.
B). Prasasti dari Pura Bukit Indrakila (dekat Desa Kintamani) dengan angka tahun 1016
Masehi (Caka 938) mengatakan bahwa masyarakat arcanigayan (Asal mula Desa Caningan,
dekat Desa Dausa di Kintamani) meminta raja mereka yaitu Anak Wungsu, menghadiri
upacara peringatan yang akan diadakan oleh istrinya, Bhatari Mandul. Masyarakat Sukawana
mengabulkan permintaan mereka.
C). Prasasti Penulisan V : Angka Tahun 1332 Maswhi (Caka 1254) dibaca............t (asu), Ra
Ratna Bhumi atau raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten.
Raja Sri Asta Sura Ratna Bhumi Banten adalah Raja Bali yang terakhir yang memerintahkan
selama ekpedisi Gajah mada (1343), yang terkenal pada abad ke-14 yaitu seorang Patih
Kerajaan Majapahit yang bercita-cita mempersatukan Nusantara.
Dengan menyimpulkan prasasti dari Pura Penulisan itu kita bisa mengetahui bahwa pada
tahun 1016 Masehi pura ini dijadikan sebagai tempat syukuran bagi istri terakhir dari Raja
Anak Wungsu. Dilanjutkan sebagai "mountain sanctury" dari kerajaan Pejeng-Bedulu dari
abad ke-10 hingga ekspansi Majapahit pada tahun 1343, hanya Pura Besakih dijadikan
sebagai "mountain sanctury" bagi Dinasti Gelgel di Klukung (abad ke-15 - 17).
PURA BATUR
Pura Batur yang lebih dikenal dengan Pura Ulun Danu terletak pada ketinggian 900 m di atas
permukaan laut tepatnya di Desa Kalanganyar Kecamatan Kintamani di sebelah Timur jalan
raya Denpasar-Singaraja.
Pura ini menghadap ke barat yang dilatarbelakangi Gunung Batur dengan lava hitamnya serta
Danau Batur yang membentang jauh di kaki Gunung Batur, melengkapi keindahan alam di
sekeliling pura.
Sebelum letaknya yang sekarang ini, Pura Batur terletak di lereng Barat Daya Gunung Batur.
Karena letusan dasyat pada tahun 1917 yang telah menghancurkan semuanya, termasuk pura
ini kecuali sebuah pelinggih yang tertinggi. Akhirnya berkat inisiatif kepala desa bersama
pemuka desa, mereka membawa pelinggih yang masih utuh dan membangun kembali Pura
Batur ke tempat yang lebih tinggi yakni pada lokasi saat ini. Upacara di pura ini dirayakan
setiap tahun yang dinamakan Ngusaba Kedasa.
SEJARAH PURA BATUR
Sebelum letusan Gunung Batur yang dasyat pada tahun 1917, Pura Batur semula terletak di
kaki Gunung itu dekat tepi Barat Daya Danau Batur yang merusakkan 65.000 rumah, 2.500
Pura dan lebih dari ribuan kehidupan. Tetapi keajaiban menghentikannya pada kaki Pura.
Orang-orang melihat semua ini sebagai pertanda baik dan melanjutkan untuk tetap tinggal
disana. Pada tahun 1926 letusan baru menutupi seluruh Pura kecuali "Pelinggih" yang
tertinggi, temapt pemujaan kepada Tuhan dalam perwujudan Dewi Danu, Dewi air danau.
Kemudian warga desa bersikeras untuk menempatkannya di tempat yang lebih tinggi dan
memulai tusag mereka untuk membangun kembali pura. Mereka membawa pelinggih yang
masih utuh dan membangun kembali Pura Batur.
Beberapa lontar suci Bali kuno menceritakan asal mula Pura Batur yang merupakan bagian
dari "sad kayangan" enam kelompok Pura yang ada di Bali yang tercatat dalam lontar Widhi
Sastra, lontar Raja Purana dan Babad Pasek Kayu Selem. Pura Batur juga dinyatakan sebagai
Pura "Kayangan Jagat" yang disungsung oleh masyarakat umum.
Sejarah Pura Batur merupakan persembahan untuk Dewi Kesuburan, Dewi Danu. Dia adalah
Dewi dari air danau. Air yang kaya akan mineral mengalir dari Danau Batur, mengalir dari
satu petak sawah ke petak sawah yang lainnya, lambat laun turun ke bumi. Dalam lontar
Usaha Bali, salah satu sastra suci yang ditempatkan di pura itu, ada legenda kuno yang
melukiskan susunan dari tahta Dewi Danu.
Legenda tersebut diceritakan sebagai berikut :
Pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewa Pasupati (Siwa) memindahkan
puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya menjadi dua bagian. Dibawanya satu
bagian dengan tangan kirinya dan yang satunya dengan tangan kanannya. Kedua belahan itu
dibawa menjadi tahta. Belahan yang dibawa dengan tangan kanannya menjadi Gunung
Agung tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (mahadewa Siwa) dan yang dibawanya dengan
tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau. Legenda ini
menjadikan Gunung terbesar di Bali dan dua elemen simbolis "laki-laki dan perempuan"
(Purasa dan Pradana) atau dua asal mula manifestasi dari sumber; Tuhan (Ida Sang Hyang
Wishi Wasa).

Anda mungkin juga menyukai