0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
327 tayangan5 halaman
1. Cerita rakyat menyebutkan bahwa pulau Bali terpisah dari Jawa karena kesaktian Mpu Sidhimantra dan ular besar bernama Naga Basukih.
2. Anak Mpu Sidhimantra mencuri permata ekor Naga Basukih sehingga dibunuh, tetapi kemudian dibangkitkan kembali dengan syarat tinggal di Bali.
3. Mpu Sidhimantra kemudian memotong daratan Bali dan Jawa dengan tongkatnya untuk mencegah anak
1. Cerita rakyat menyebutkan bahwa pulau Bali terpisah dari Jawa karena kesaktian Mpu Sidhimantra dan ular besar bernama Naga Basukih.
2. Anak Mpu Sidhimantra mencuri permata ekor Naga Basukih sehingga dibunuh, tetapi kemudian dibangkitkan kembali dengan syarat tinggal di Bali.
3. Mpu Sidhimantra kemudian memotong daratan Bali dan Jawa dengan tongkatnya untuk mencegah anak
1. Cerita rakyat menyebutkan bahwa pulau Bali terpisah dari Jawa karena kesaktian Mpu Sidhimantra dan ular besar bernama Naga Basukih.
2. Anak Mpu Sidhimantra mencuri permata ekor Naga Basukih sehingga dibunuh, tetapi kemudian dibangkitkan kembali dengan syarat tinggal di Bali.
3. Mpu Sidhimantra kemudian memotong daratan Bali dan Jawa dengan tongkatnya untuk mencegah anak
Para leluhur MPU Sidhimantra Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di
kawasan Jawa, ada pendeta mahasakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya Iaki seorang bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha, memiliki kepandaian Iuar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra Iima orang, dikenal dengan sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di
Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 97I atau tahun Masehi I049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 92I , tahun Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung datang di Bali pada tahun Isaka 922 atau tahun Masehi I000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi I00I , mem-bangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor Iima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan, sekitar tahun Masehi I000. Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal sebagai pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di Samuan Tiga , Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman serta Kahyangan Tiga -tiga pura desa di Bali, yang sampai kini diwa-risi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta Kahyan-gan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Menurut uraian seuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita bernama Mpu Sidhimantra. Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur, kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama “NAGA BASUKIH “ Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung, merupakan sebuah goa besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega, untuk sahabatnya itu. Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya, Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup mendapatkan sahabatnya pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk memuaskan nafsunya mencari modal untuk berjudi. Sebuah “ bajra” kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan “bajra” yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya. Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan, bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri. Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu, sehingga menimbulkan hasratnya hendak mengambil batu permata yang tiada ternilai harganya itu. Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian, ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya lari. Akan tetapi baru ia sampai dihutan “Camara Geseng” tiba-tiba ia mati hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat oleh Naga Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra , cemas mengenangkan nasib anaknya sudah lama tiada pulang-pulang, sedang “bajra” pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak pernah pulang. Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu, seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai “Pemangku” (penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan, maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga Basukih itu. Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan anaknya itu akan menyusul perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau Bali dengan pulau Jawa menjadi putus karenanya. Demikianlah ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut “SEGARA RUPEK” Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut “Ngurah Sidemen” ternyata sampai kini berkewajiban menjadi “Pemangku” di Pura Besakih. Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman dan R. Van Eck, sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau itu menjadi putus. Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *). Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat mata air panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut : Banyu Wedang, artinya air panas. Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan perhitungan “candra-sangkala” yaitu dengn perkataan yang berbunyi “ samudra nanggung bumi “ Keterangan kitab itu sesuai dengan pernyataan sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa “segara rupek” itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik “samudra” maupun “sagara” sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu sama dengan angka 4, menurut perhitungan tahun Candra- sangkala. Perkataan “nanggung” sama dengan angka 2. Sedang perkataan “bumi” sama dengan angka 1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus berbalik, maka terjadilah bilangan tahun Úaka 124, atau tahun Masehi 202. Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa memang terjadi semasa itu. Mustahil Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar demikian halnya.