Anda di halaman 1dari 10

PARAMA DHARMA DANG HYANG

ASTAPAKA
Tersebutlah dalam sejarah, pada jaman keagungan Pemerintah Dalem di Bali, ialah Dalem Sri
Waturenggong yang bertahta di Swecapura (Gelgel) disekitar abad XV (Tahun 1458 – 1558
Masehi). Pada masa itu Desa Budakeling masih merupakan hutan dan dikelilingi dengan desa-
desa yang sudah ada, yakni Desa Komala di sebelah Utara, Desa Tohpati di sebelah Barat,
Desa Saren di sebelah Selatan, dan Desa Ababi di sebelah Timur.
Semua desa-desa tersebut adalah di bawah kekuasaan I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang
bertahta di Sidemen. Disebutkan bahwa beliau adalah menguasai wilayah di sebelah Timur
Sungai Unda sampai ke Tianyar.
Pada waktu itu juga datanglah Pandita Buddha ke Bali yang bernama Dang Hyang
Astapaka, yaitu putra Dang Hyang Nata Angsoka di Majapahit yang juga asal mulanya dari
Daerah Keling (Jawa Tengah). Kedatangan beliau ke Bali ingin bertemu dengan paman beliau
yang berpasraman / bertempat tinggal di Desa Mas Gianyar, yaitu seorang Pandita Siwa, yang
bernama Danghyang Nirarta, ialah adik dari Danghyang Nata Angsoka, dengan membawa pesan
ayah beliau agar “Karya Homa” yang merupakan kelanjutan Karya Pediksaan Dalem Sri
Waturenggong segera dapat terlaksana.
Setelah kedua Pandita itu bertemu, ditanyalah kepada Pandita Siwa tersebut sebab-sebab
belum terlaksananya / terselenggaranya Karya Homa itu. Pandita Siwa tersebut menyatakan
dengan berterus terang, karena belum ada ijin (Nugraha) untuk beliau melaksanakan upacara
tersebut. Maka Danghyang Astapakalah yang selanjutnya mengijinkan, sehingga Karya Homa
dapat berjalan dengan baik.
Setelah Dalem Sri Waturenggong mendengar berita kedatangan seorang Pandita Buddha
yang tersohor itu, selanjutnya Dalem mengirim utusan memanggil kedua Pandita Buddha dan
Siwa yang sedang berada di Desa Mas Gianyar guna menghadap kepada Dalem di Puri
Swecapura. Sebagaimana biasa perlakuan atau sikap dari seorang Raja Maha Agung inginlah
mencoba keahlian Pendita yang baru dikenal itu, guna memperoleh kesungguhan dari fakta
sehingga beliau dapat berbuat untuk selanjutnya. Untuk keperluan itu maka dibuatlah sebuah
lubang di halaman Puri dan diisi seekor Angsa, kemudian lubang itu ditutup.
Keesokan harinya setelah Pendita Buddha itu datang bersama Paman beliau Danghyang
Nirarta dan setelah dipersilahkan duduk bersama para pengikut paseban, tiba-tiba terdengar suara
nyaring dari lubang itu. Kemudian Dalem bertanya kepada Pendita Buddha itu : “Suara apa
sebenarnya itu?”. Jawab Sang Pendita Buddha : “Itu adalah suara naga”. Mendengar jawaban
Pendita Buddha itu, semua pengikut paseban menjadi tertawa. Oleh karena Sang Buddha yakin
akan kebenaran jawabannya itu, maka oleh Dalem diperintahkan agar membuktikan kebenaran
suara itu. Kenyataannya setelah lubang itu dibuka, keluarlah seekor naga yang mendahsyatkan,
sehingga pengikut paseban menjadi kagum dan ketakutan menyaksikannya. Selanjutnya Pandita
Buddha mengambil serta memangku naga tersebut dan menghaturkan kepada Dalem, bahwa
naga itu adalah “Naga Bandha” yang akan menghantarkan Dalem nanti pada saat nanti pulang ke
Wisnuloka. Kemudian naga tersebut diprelina oleh Pendita Buddha sendiri.
Sejak saat itu Danghyang Astapaka diangkat oleh Dalem menjadi Bagawanta (Penasehat /
Peguruan), serta dipersembahkan seorang putri untuk istri, yaitu keturunan Danghyang Nirarta
yang sebelumnya telah diminta oleh Dalem. Tujuan persembahan putri tersebut adalah agar
Danghyang Astapaka tetap tinggal di Bali serta mempunyai keturunan (Makadon Putra) dan
diberi tempat pasraman di Banjar Ambengan Gianyar. Untuk selanjutnya di sanalah mempunyai
seorang putra laki-laki yang diberi nama : Ida Banjar.
Kemudian diceriterakanlah wafatnya Dalem Sri Waturenggong dengan meninggalkan dua
orang putra mahkotanya masih kanak-kanak yaitu I Dewa Bekung dan I Dewa Seganing. Kedua
putra mahkota inilah sebagai pengganti ayahnya menjadi Raja, yang dalam pelaksanaannya
diemban atas pangkuan Patih Menggala Utama : I Gusti Batan Jeruk, yaitu seorang murid atau
sisia kesayangan Danghyang Astapaka.
Karena kehendak sejarah, I Gusti Batan Jeruk sama sekali tidak menghiraukan nasehat-
nasehat gurunya. Atas perbuatan yang ingin akan kekuasaan Dalem dimana sebelumnya sudah
menjadi kecurigaan oleh para patih dan arya-arya lainnya, maka terjadilah pertikaian dan
penggempuran terhadap diri I Gusti Batan Jeruk yang pada akhirnya I Gusti Batan Jeruk
terbunuh di Jungutan Desa Bungaya.
Mengingat tragedi yang menimpa murid / sisia kesayangannya itu, lalu Danghyang
Astapaka bersama putranya Ida Banjar meninggalkan pasramannya di Banjar Ambengan Gianyar
berangkat menuju ke Timur melalui Desa Singarsa (Sidemen). Sesampainya beliau pada sebuah
bukit, yaitu Bukit Penyu disanalah beliau beristirahat karena kemalaman. Sedang beliau
menikmati keindahan alam, tiba-tiba terlihatlah oleh beliau seberkas sinar yang seakan-akan
memancar dari bumi ke angkasa. Oleh karenanya beliau bersama putranya segera melaksanakan
semadhi. Didalam semadhinya beliau mendapat ilham yang menunjukkan kepada tempat sinar
tersebut, adalah tempat yang terpilih untuk beliau mendirikan sebuah Pasraman dan tempat yang
suci bagi beliau untuk suatu jalan kembali pulang ke Buddhalaya.
Maka segeralah beliau melanjutkan perjalanannya diiringi putranya menuju dimana tempat
Sinar itu. Sesampainya di tempat itu, maka sinar tadi menjadi hilang lenyap. Lalu disanalah
beliau menancapkan teteken (Tongkat) kayu Tanjung, suatu pertanda bahwa disanalah
Danghyang Astapaka akan mendirikan Pasraman. Tercatat kira-kira tahun Isaka 1416 beliau
mendirikan Pasraman dengan nama “Pasraman Taman Tanjung”. Nama ini diambil dari nama
kayu teteken (Tongkat) tadi yang tumbuh hidup dengan mekar sampai sekarang dan Pasraman
tersebut kini menjadi Pura Taman Tanjung. Dan juga tidak jauh di sebelah Timur lautnya beliau
mendirikan Balai Pemujaan (Pemerajan). Disinilah beliau mencapai Nirwana (Moksah) dan kini
tempat itu dinamakan Pura Taman Sari.
Setelah Danghyang Astapaka moksah, Pasraman Taman Tanjung ditempati dan dipelihara
oleh Putranya beliau Pedanda Made Banjar bersama istrinya. Pendita ini berputra Pedanda
Wayan Tangeb. Pedanda Wayan Tangeb mempunyai tiga orang istri, yaitu : 1. Brahmana
Kemenuh, berputra 2 orang.
2. Satria Beng Gianyar, berputra 3 orang.
3. Wesia Ngurah Jelantik, berputra 2 orang.
Pada saat Pedanda Wayan Tangeb mengambil istri yang ke-3 yaitu Wesia Ngurah Jelantik
dari Belah Batuh Gianyar, ini dilengkapi pengiring-pengiring. Dimana pengiring-pengiring
Wesia Ngurah Jelantik tersebut terdiri dari 3 kelompok yang kini masing-masing tinggal :
1. Pande Mas di Banjar Pande Mas.
2. Pande Besi di Banjar Pande Besi.
3. Sekeluarga Balian di Banjar Balian dan sekarang sudah lenyap (tidak mempunyai
keturunan).
Salah satu keturunan beliau dengan istri ke-3 tersebut adalah Pedanda Wayan Tangeb.
Kemudian Pedanda Wayan Tangeb berputra 6 (enam) orang, diantaranya adalah yang bernama
Pedanda Wayan Dangin.
Kurang lebih tahun saka 1634 (1702 Masehi) terjadilah bencana alam meletusnya Gunung
Agung yang ke-4 kali, yang mengakibatkan beliau beserta semua keturunannya (keluarga) yang
tinggal di tempat itu dengan semua pengiringnya berpindah tempat menuju ke Barat di selatan
Bukit Hyang Pinggan lebih kurang 500 meter dari Pasraman Taman Tanjung. Disanalah beliau
bersama-sama pengiringnya mencari perlindungan serta mendirikan perumahan-perumahan.
Mengingat hubungan baik antara Pedanda Wayan Dangin dengan I Gusti Ngurah Sidemen
Sakti (karena salah satu saudara I Gusti Ngurah Sidemen Sakti menjadi istri Pedanda Wayan
Dangin), maka I Gusti Ngurah Sidemen Sakti yang masih memiliki serta mewenangkan wilayah
tersebut, dengan tulus hati menghaturkan kepada Pedanda Wayan Dangin, dengan maksud agar
tempat itu menjadi tempat tinggal beliau bersama keluarganya serta pengiring-pengiringnya. Hal
demikian itu menambah hasrat beliau bermufakat untuk mendirikan bangunan-bangunan dalam
satu ikatan desa. Adapun bangunan-bangunan desa yang didirikan adalah :
1. Dibangunlah Kuburan (Setra) di sebelah Barat Daya Desa Budakeling.
2. Di sebelah Utara Kuburan (Setra) dibangun Pura Dalem.
3. Didirikan Pura Batur, sebagai suatu peringatan atas “Petunon” (tempat pembakaran mayat /
jenazah) Pedanda Made Banjar dan Pedanda Wayan Tangeb terletak di kaki Bukit Hyang
Pinggan.
4. Dibangun pula Pasar Desa, dan pembagian pekarangan-pekarangan serta lainnya guna memenuhi
kelengkapan dari suatu desa.
Dan sebagai suatu penghormatan kepada Danghyang Astapaka yang dianggap sebagai penemu
dari pada tempat itu dan dengan menghubungkan daerah asal beliau, adalah dari Keling, maka
semufakatlah Desa tersebut di atas diberi nama Desa Budakeling. (Sumber : Profil Desa
Budakeling Tahun 1994/1995).
Drs. I Nyoman Singgih Wikarman penulis buku Leluhur Orang Bali Dari Dunia Babad dan
Sejarah juga menulis tentang Danghyang Astapaka antara lain sebagai berikut : “Sedangkan
Danghyang Astapaka menurunkan Padanda Buddha Keling di Karangasem. Keturunan beliau
juga berkembang di Bali, menjadi Brahmana Buddha”. (Singgih, 1998 : 62). Hal ini menjadi
jelas bahwa Brahmana Buddha di Bali dan di Desa Budakeling pada khususnya adalah
diturunkan oleh Pendeta Buddha Danghyang Astapaka.
Selanjutnya Drs. I B Rai Putra dalam bukunya Babad Dalem yang merupakan teks
transliterasi dari huruf Bali ke huruf Latin oleh Ida I Dewa Gede Catra, antara lain menyebutkan
sebagai berikut :
Pada suatu saat seorang Pendeta Buddha tiba di Bali. Danghyang Nirarta menyapa, “Wahai
Ananda Astapaka baru datang?” Sang Pendeta Budha menjawab, “Ya, kedatangan saya untuk
menghadap Paman dan perkenankanlah saya bertanya, “Mengapa Paman belum melaksanakan
upacara korban api (homa)? Apakah tidak ada yang merestui Paman? Kini saya merestui
Paman”. “Baiklah saya setuju dengan saran Ananda”. Kedua Pendeta itu segera
menyelenggarakan upacara korban api (Homa Yadnya) lengkap dengan upakaranya, tidak
dikisahkan betapa cepat penyelenggaraannya. Danghyang Nirarta berada di tengah tungku api,
walaupun diselimuti nyala api, namun beliau tidak terbakar, bagaikan mandi air. Sedangkan
Empu Astapaka melaksanakan homa di luar pelataran di bawah pohon angsoka, meskipun api
menjilat-jilat, tetapi laba-laba dapat membuat sarang di atas tungku api itu, setiap orang yang
melihat merasa kagum. Setelah upacara korban api itu selesai, maka pohon-pohonan berbuah
lebat, sebatang pohon kelapa berbuah sampai 200 butir, padi-padian di sawah juga berbuah lebat.
Keberhasilan homa yadnya itu juga berkat keluhuran budi Baginda Raja. Musuh-musuh baginda
di kawasan Nusantara merasa takut dan tidak ada yang mampu menandingi kesaktian Baginda
Raja Waturenggong. (Rai Putra, 1995 : 42).

Dari petikan Babad Bali tersebut dapat diketahui bagaimana kesaktian, wibawa, dan kharisma
Raja Waturenggong selama memerintah di Bali, dan bagaimana perlunya atau pentingnya karya /
yadnya Homa yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Karya Homa
tersebut juga pernah dilaksanakan oleh masyarakat Budakeling pada tahun 2001 yang lalu yang
dirasakan membawa kesejahteraan dan kedamaian bagi masyarakat. Dalam karya / upacara
tersebut masyarakat Saren Jawa juga turut berperan penting membantu kelancaran acara tersebut.
Tentang nama Budakeling dan keberadaan kaum Brahmana Buddha sudah diuraikan dalam
sejarah singkat Desa Budakeling di atas. Selanjutnya penulis akan melanjutkan historis atau
sejarah munculnya masyarakat Saren Jawa dan kaitannya dengan kaum Brahmana Buddha di
Desa Budakeling.
Pada jaman kerajaan Gelgel di Klungkung (Abad ke-15) yaitu pada masa pemerintahan
Dalem Waturenggong, masyarakat di Banjar Saren Desa Budakeling takut dengan kedatangan
seekor sapi besar/sapi wadak yaitu badak besar merah yang datang dengan tiba-tiba dan
mengamuk serta merusak tanaman pertanian maupun kehidupan masyarakat Saren. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, Danghyang Astapaka yang menemukan dan mendirikan
kedesaan Budakeling mohon bantuan kepada Raja Gelgel di Klungkung, karena sebelumnya
utusan dari kerajaan Karangasem tidak berhasil menundukkan sapi wadak tersebut. Raja Gelgel
selanjutnya mengutus dan menugaskan warganya yaitu warga muslim yang berada di Kusamba
yang bernama Kyai Jalil untuk menundukkan sapi besar yang sedang mengamuk di Saren,
Budakeling. Kyai Jalil dengan anak buahnya lalu berangkat ke Budakeling dan dengan seluruh
kemampuannya akhirnya Kyai Jalil berhasil menundukkan sekaligus membunuh sapi besar yang
mengamuk tersebut sampai mati. Kulit sapi wadak tersebut selanjutnya dipakai Gelebeg (tempat
menyimpan padi atau hasil bumi) dan alat-alat kesenian oleh Kyai Abdul Jalil beserta anak
buahnya.
Atas jasanya Kyai Jalil beserta pengikut-pengikutnya diberikan tempat
bermukim/perkampungan oleh Raja Gelgel di bagian wilayah Banjar Saren dengan bhisama :
Mereka (Kyai Jalil dan pengikutnya) mesti selalu taat pada Peranda-Peranda (Para Pendeta) /
keturunannya di Budakeling dan taat pada desa-desa penyatur (Desa Saren, Desa Ababi, Desa
Tohpati, dan Desa Budakeling sendiri). Dari bhisama itu pula mereka diharapkan agar selalu
menjaga lingkungan dan tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan umat Hindu. Mereka juga
diingatkan dengan suatu perjanjian batas wilayah barat yang tidak boleh dilewati, dimana
wilayah tempat mereka bermukim itu kini disebut Banjar Saren Jawa, yang sebelumnya disebut
Banjar Jawa saja. Jadi masyarakat muslim Saren Jawa sebenarnya datang dari kerajaan Gelgel
yang sedang membawa amanah atau tugas mulia dari rajanya. Demikian halnya masyarakat
Islam atau muslim di Desa Kecicang Karangasem juga berasal dari kerajaan Gelgel Klungkung
sebagai satu-satunya pusat kerajaan di Bali.
Kyai Jalil sendiri adalah seorang utusan dari kerajaan Islam Demak di Jawa yang pada
jaman Dalem Waturenggong di Gelgel diberikan tugas oleh Raja Demak untuk mengislamkan
penduduk pulau Bali. Kyai Jalil beserta seluruh anak buahnya ke Bali kurang lebih tahun 1460
Masehi. Tugas tersebut disertai dengan 40 orang anak buah / tentara Islam kerajaan Demak.
Namun tugas tersebut tidak bisa terlaksana karena kesaktian Raja Dalem Waturenggong yang
tidak bisa dikalahkan oleh Kyai Jalil beserta seluruh anak buahnya. Waktu itu Raja Dalem
Waturenggong mencoba kemampuan Kyai Jalil dengan berkata : “Jika Tuan-tuan ingin
mengislamkan Bali, cobalah dulu potong bulu kakiku, jikalau Tuan bisa memotongnya maka
Tuan boleh mengislamkan dan menguasai Bali, tapi sebaliknya jika Tuan tidak bisa
memotongnya, maka Tuan tidak boleh mengislamkan dan menguasai Pulau Bali”, demikian
kata-kata Sang Raja Digjaya. Akhirnya Kyai Jalil dengan segenap kemampuannya berusaha
untuk memotong bulu kaki Raja Dalem Waturenggong. Akan tetapi senjata yang dipakai Kyai
Jalil tidak bisa memotong bulu kaki tersebut, demikian pula anak buah Kyai Jalil tak ada satupun
yang bisa memotong bulu kaki raja Bali itu. Akhirnya karena merasa malu dengan maksud dan
tindakannya, Kyai Jalil beserta seluruh pengikutnya tidak berani pulang kembali ke Kerajaan
Demak dan memilih untuk menjadi abdi Raja Dalem Waturenggong dengan bertempat tinggal di
Kusamba, satu desa yang diberikan oleh Raja Dalem Waturenggong untuk bermukim. Di
Kusamba mereka diberi tugas sebagai Jaga-Jaga / prajurit kerajaan. Dari Kusamba mereka
akhirnya hijrah ke Banjar Saren Jawa sekarang dalam rangka memenuhi tugas yang diberikan
oleh Raja Dalem Waturenggong untuk membunuh atau menaklukkan sapi wadak yang sedang
mengamuk seperti telah disebutkan di atas. Setelah lama menetap di Banjar Saren Jawa, pada
akhirnya Kyai Jalil meninggal dunia dan dikuburkan di satu makam khusus (Makam Raden Kyai
Jalil) di Saren Jawa, yang terpisah dari kuburan masyarakat Saren Jawa.
Selanjutnya kaum Brahmana Buddha yang ada di desa Budakeling diturunkan oleh Pendeta
Buddha Danghyang Astapaka yang beristrikan putri Danghyang Nirarta yang menganut paham
Siwa (Hindu) yang telah lama bertempat tinggal di desa Budakeling, bahkan seperti telah
diuraikan dalam sejarah singkat desa Budakeling di atas, bahwa Danghyang Astapaka adalah
penemu pertama tempat yang selanjutnya menjadi Desa Budakeling seperti sekarang ini. Dengan
proses perkawinan antara Danghyang Astapaka (Pendeta Buddha) dengan putri Danghyang
Nirarta (Pendeta Siwa), maka secara simbolis paham Siwa dan Buddha telah menyatu melalui
proses perkawinan. Lama-kelamaan karena proses dan perkembangan kehidupan masyarakat,
keturunan Danghyang Astapaka yang dikenal sebagai kaum Brahmana Buddha menjadi umat
atau masyarakat Hindu yang berlatar belakang Buddha. Jadi antara Buddha dan Siwa (Hindu) di
desa Budakeling telah berakulturasi sehingga menjadikan umat atau kaum Brahmana Buddha
yang telah menganut agama Hindu seperti sekarang ini.
Kalau dihubungkan dengan kerajaan Karangasem, maka ada juga hubungannya, dimana
bermula dari Patih Batanjeruk yang memberontak terhadap Kerajaan Gelgel. Patih Batanjeruk
adalah murid kesayangan Danghyang Astapaka. Beliau (Patih Batanjeruk) akhirnya ditumpas
oleh kerajaan Gelgel dan gugur di Desa Bungaya Karangasem. Istri Patih Batanjeruk bisa
selamat dan lolos ke Desa Tianyar serta mengungsi sampai di Bukit Mangun.
Pada saat itu yang menjadi Raja Karangasem adalah Ida Batu Aya. Beliau juga mendengar
akan gugurnya Patih Batanjeruk di Bungaya yang meninggalkan seorang Janda cantik bernama I
Gusti Ayu Oka yang tinggal di Desa Budakeling. Raja Karangasem lalu ingin menyunting I
Gusti Ayu Oka dengan suatu perjanjian : jika ada lahir anak dari janda tersebut, agar diangkat
menjadi Raja Karangasem. Raja Ida Batu Aya menyetujui perjanjian tersebut. Dari perkawinan
tersebut lahirlah Pangeran Oka, yang sebenarnya asalnya dari Patih Batanjeruk, karena saat
perkawinan tersebut janda I Gusti Ayu Oka sedang hamil muda. Pangeran Oka setelah dewasa
selanjutnya menjadi Raja di Karangasem. Raja Ida Batu Aya pada akhirnya merasa kecele
karena Pangeran Oka tersebut bisa sampai menjadi Raja (pada Abad ke-16).
Meskipun perjalanan sejarah kerajaan Karangasem penuh dengan unsur-unsur politis pada
masa lalu, namun hubungan masyarakat Desa Budakeling dengan keluarga kerajaan Karangasem
tetap baik sampai sekarang. Mereka bisa hidup dengan berdampingan saling harga menghargai
serta hormat menghormati.

Makna Naga Banda


Kata Naga berasal dari bahasa Sanskrit, dari akar kata Nag yang artinya adalah ular. Ular yang
memiliki sifat predator membunuh lawanya dengan racun yang dimilikinya sedangkan ular naga
yang sering diceritakan bisa menyemburkan api dari mulutnya. Dalam kekawin Sutasoma oleh
Empu Tantular, diceritakan perjalanan Sang Sutasoma yang merupakan penjelmaan Bhatara
Buddha, masa muda sudah mendalami kebatinan dan meninggalkan kemewahan di dalam
kerajaanya menuju hutan untuk meningkatkan kebatinanya. Didalam hutan bertemulah dengan
Gajah Warkta simbol ke momoan keangkuhan dan ingin membunuh Sang Sutasoma namun
dengan kebatinanya melakukan bubdha agri mudra, maka keluarlah senjata bajra maha gaib
yang menempuh dada Gajah Warktra, dengan demikian maka sadarlah gajah tersebut dengan
sifat buruknya. Kemudidan diperjalanan dalam hutan di lereng gunung bertemu dengan seekor
naga besar dengan suara “kaak-kaak” menyemburkan api kemuka Gajah Warktra dan melilitnya.
Kemudian Sang Sutasoma melawanya dengan menaruh budhi cinta melalui kebatinan maka naga
yang memiliki sifat penguasa, momoangkara suara yang keras menjadi luluh dengan budhi Sang
Buddha. Berdasrkan cerita perjalan sang Sutasoma bertemu naga maka naga yang memiliki sifat
murka dinetralisir oleh ajaran budha satwa.

Dapat dipetik dari seklumit cerita dalam kekawin Suta Soma dengan perjalanan beliau maka
segala bentuk yang mengikat manusia dari sifat binatang keangkaramurkaan akan hilang dengan
buddhi, dalam Kitab Suci Sanghyang Kamahayanikan menyebutkan

“ Nihan kalingan ing Om Ah Hum, yan pinakapangadisthana umajarakan kaya wak citta bajra
ngaran ira”

Artinya :

Sujud kepada Buddha :

Inilah Keterangan tentang Om Ah Hum yang dijadikan sumber dasar utama dalam mengajarkan
“Tri aksara” yang menjadi tujuan utama, yang disebut kaya-wak-citta bajra.

Penjelasannya :

Triaksara, berarti tiga huruf. Didalam ayat diatas Om Ah Hum dikelal sebagai triaksara yang
menjadi pokok utama ajaran didalam bab ini. Peranan akasara penting sekali artinya karena
dianggap mempunyai kekuatan gaib (magis). Didalam ajaran ini karena sifat hakekatnya
Triaksara dipersamakan sebagai paramartha (yang menjadi tujuan utama di dalam ajaran), kaya
(wujud jasmaniah sebagai sumber terjadinya kamma), wak atau wacca (wujud kata-kata yang
menimbulkan kamma) dan bajra (wujud yang merupakan kekuatan atau cakti) Kaya-Wak-Citta
ialah jasmaniah-perkataan-pikiran, yang merupakan sumber timbulnya kamma (perbuatan),
masing-masing disebut dengan istilah kaya kamma-wacci kamma-mano kamma. Mano
diartikansama dengan citta. (Kamahayanikan 1979 : 29-30) Maka ruwatlah perkataan, pikiran,
perbuatan dengan jalan cinta kasih untuk menuju kebahagiaan.

Banda mengandung arti pengikat atau pembelenggu. Jika ditinjau dari lontar Tattwa Bhattara
Astapaka. Dalam lontar tersebut diuraikan sebagai berikut:

“…Huwus lah yeki ingaranan Nagabhandha, penuntun sang wibhuh muliheng Haribhawana.
Sedela setahun rong tahun cili muliheng Haribhawana, munggah ring bale-reragi. Kewala
kawenang kulawangsa sangulun juga angatera, yantan kulewangsa hulun kawenang, tatan
prasidha sang hyang pitra muliheng Haribhawana” (Manuskrip,tt,lb.5).

Terjemahan:

“… Inilah yang bernama nagabandha, yang akan menuntun seorang raja mencapai sorga
(Haribhawana). Kiranya tidak akan lama lagi Tuanku (Cili Bali) akan pulang ke alam sorga,
ditempatkan di balai reragi (kematian?). Dan yang patut menyelesaikan (memimpin upacara)
adalah keturunan hamba (Mpu Danghyang Astapaka) sajalah, bila tidak dari keturunan hamba,
tidak akan mendapatkan sorga arwah yang meninggal dunia”.(titib,127:2003)

Jadi Naga Banda sesuai dengan uraian diatas adalah simbolis untuk menuntun bagi arwah
seorang raja untuk mencapai sorga, yang sebagai penuntun adalah mengingatkan atma seorang
raja melepaskan diri dari ikatan duniawi. Orang-orang yang berhak menggunakan Naga Bandha
dalam upacara pelebon adalah hanya orang-orang berkuasa saja (Raja) dan Pandita (Pendeta)
Buddha sebagai keturunan Dang Hyang Asthapaka, hal ini disebabkan karena yang paling terikat
pada duniawi adalah penguasa atau raja. Dalam Lontar Ekapratama (dalam Wiana, 2004 : 99)
dinyatakan bahwa Pandita Budha memiliki kewajiban “amretistha pawana” yaitu menyucikan
atmosfir tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya mengembangkan kehidupanya. Jadi Pandita
Budha memiliki swadharma yang sangat berat dalam mengelola alam ini agar tidak disalah
gunakan oleh manusia. Naga Bandha, yang digunakan dalam sarana upacara pelebon di
kalangan raja dan keturunan Dang Hyang Asthapaka yang telah di dwijati,.

Dalam upacara memanah Naga Banda yang dilakukan oleh Pendeta Buddha Keturunan Dang
Hyang Astapaka yaitu panah yang digunakan untuk memanah Naga Banda yang disimbolkan
sebagai pengikat atma dari unsur duniawi, maka panah disimbolkan manah, pikiran budhi yang
suci akan menghantarkan atma dengan karma menuju sang Brahman. Begitu banyak ajaran
tentang kelepasan dengan jalan cinta kasih telah diberkan oleh Naga Banda yang erat kaitanya
dengan kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha.

Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya sloka 4, tersurat

“Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya
sangkeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hingganing kotamaning dadi wwang ika”.
Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia
dapat menolong dirinya dari keadaan sengasara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan
berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

SEJARAH BERDIRINYA PURA TAMAN


SARI
Sejarah berdirinya Pura Taman Sari di Desa Pakraman Budhakeling, Kecamatan
Bebandem, Kabupaten Karangasem, berdasarkan babad Budhakeling perjalanan Dang Hyang
Asthapaka di Bali. Sejarah Pura Taman Sari tidak bisa lepas dari perjalanan Dang Hyang
Asthapaka ke Bali, seperti awal mulanya terwujudnya Desa Pakraman Budhakeling karena pada
dasarnya, Desa Pakraman Budhakeling memang awalnya telah ada, namun wilayah tersebut
belum memiliki nama dan batas batas tertentu. kemudian, kedatangan Dang Hyang Asthapaka ke
Bali menemukan tempat yang kini disebut dengan Budhakeling, oleh keturunan beliau secara
perlahan mulai dibangun sebuah desa serta infrastrukturnya untuk melengkapi didirikannya
sebuah Desa, kemudian sebagai bentuk penghormatan atas jasa Dang Hyang Asthapaka,
dibangunlah pura sebagai stana beliau, secara lebih lengkap diuraikan sebagai berikut:

Perjalanan Dang Hyang Asthapaka di Bali, setelah meninggalkan pasraman paman beliau yaitu
Dang Hyang Niratha di Desa Mas, Gianyar. Karena pada masa itu, Raja Bali yakni Dalem
Waturenggong telah mangkat. Kemudian Dang Hyang Asthapaka bersama anaknya Ida Banjar,
melanjutkan perjalanan menuju arah timur hingga matahari terbenam, tibalah beliau di sebuah
perbukitan dan beristirahat di sebuah batu, yaitu Batu Penyu sekitar tahun saka 1416/ 1494
masehi. Disanalah beliau bermalam sambil melihat keindahan pemandangan laut dan
pegunungan.

Dalam ketenangannya tiba tiba didatangi oleh beberapa orang dengan nafas terengah engah dan
mengaku mereka berasal dari desa tenganan desa yang berada di bawah pegunungan tersebut,
mereka sedang mencari wewalungan/ binatang untuk perlengkapan upacara Ngusaba Sambah di
desa mereka. Lalu mereka bertanya kepada Dang Hyang Asthapaka, “Siapakah Tuan??, adakah
Tuan melihat Wewalungan di sini??”, kemudian Dang Hyang Asthapaka menjawab, “Saya ini
Dang Hyang Asthapaka, Wiku Buddha Paksa, tidak ada wewalungan di sini”. Kemudian mereka
bersimpuh dan menghaturkan Bhakti. “Nah sekarang pulanglah, wewalungan sudah ada di
tempatnya semula”, kata Dang Hyang. Dengan segera mereka pulang, dan alangkah terkejutnya
mereka karena memang benar yang dikatakan Dang Hyang, wewalungan sudah ada di
sana.berlarilah mereka kembali ke Batu Penyu untuk menghadap Dang Hyang, “Pakulun
sesuhunan, hamba mohon agar paduka berkenan menyaksikan karya usabha kami”, pinta mereka
kepada Dang Hyang Asthapaka. “Nah disini sajalah, pulanglah”, jawab Dang Hyang. Inggih
pakulunn, dimanapun keturunan paduka kelak hendaknya sudi menyaksikan bila ada upacara
Ngusabha kami di desa Tenganan”, begitu permohonan mereka kepada Dang Hyang Asthapaka.
inilah yang menyebabkan sampai sekarang keturunan Dang Hyang Asthapaka (khususnya dari
Budhakeling), berkewajiban melaksanakan Bhisama dengan hadir menyaksikan setiap ada
upacara Ngusaba desa yang disebut Ngusaba Sambah yang jatuh pada purnamaning sasih kasa,
biasanya pada bulan juni-juli di desa Tenganan Pagringsingan, Karangasem. Karena, jika tidak
dilaksanakan oleh keturunan Dang Hyang Asthapaka maka hasil bumi berupa padi, palawija dan
tanaman lainnya yang ada di Desa Tenganan tidak akan berhasil dengan baik.

Diceritakan ketika malam, saat beliau masih duduk di Batu Penyu, terlihatlah oleh beliau
seberkas sinar yang menyilaukan seakan turun dari angkasa menuju bumi, lama beliau tertengun
menatap sinar tersebut dan seakan ditahan oleh kekuatan gaib sehingga tidak mampu berjalan,
seolah olah beliau mendengar bisikan halus “He Sang Stiti Hatunggu Dharma, Kapwa sire, Hiku
Kang Katingal de Nire, maka tengeran hungwanira maka muliheng suksma laya”. (he yang taat
melaksanakan Dharma, yang terlihat olehmu, menjadi pertanda tempatmu yang akan pulang ke
peristirahatan halus). Demikian terdengar oleh beliau, setelah itu segera Dang Hyang Asthapaka
melanjutkan perjalanan menuju sumber cahaya tersebut. Semakain mendekat, semakin
mereduplah cahaya tersebut dan akhirnya beliau beristirahat di sana serta menancapkan tongkat
(teteken) yang terbuat dari sebatang kayu Tanjung (sejenis tanaman bunga yang berbau harum).
tongkat tersebut tumbuh subur sampai sekarang dan pohonnya masih dapat disaksikan di Pura
Taman Tanjung di Desa Pkraman Budhakeling.

Di tempat beliau menancapkan tongkat ini beliau mendirikan pasraman sebagai tempat
menyebarkan ajaran ajaran agama serta dijadikan tempat tinggal (Geriya) Dang Hyang Astapaka
selama bermukim di Desa Pakraman Budhakeling. Sedangkan di tempat Cahaya itu berasal +500
meter dari tongkat tersebut ditancapkan di bangun Pamrajan (Pura) yang disebut dengan
Pamrajan Taman Sari tempat beliau melaksanakan yoga Samadhi, menghubungkan diri dengan
Brahman. Di Pamrajan inilah Dang Hyang Asthapaka kembali ke Budhalaya tanpa
meninggalkan jenasah (Moksha), sebagai bentuk penghormatan atas jasa beliau, menyebarkan
ajaran ajaran agama pada penduduk desa, maka Pamrajan Taman Sari tersebut kini disebut Pura
Taman Sari, dengan dilengkapi Palinggih Padma Naba sebagai stana Bhatara Buddha dan
Palinggih Padma Ngelayang sebagai stana Bhatara Dang Hyang Astaphaka yang di sungsung
oleh segenap pratisentana (keturunan) Dang Hyang Asthapaka (wangsa Brahmana Siwa- Budha
si-Bali-Lombok).
PARAMA
DARMA DANG
YANG
ASTAPAKA

0LEH ;
IDA BAGUS DARMALARA S.SI

Anda mungkin juga menyukai