ibgwiyana
9 years ago
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dhanghyang Dwijendra yang merupakan guru suci, yang
menganugerahkan ajaran ilmu pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan Hindu
di Bali berupa weda – mantra – nyanyian-nyanyian suci – tingkah laku –
peradaban hidup, dengan lima yadnyanya, antara lain Dewa Yadnya, yang
selalu membuat ketentraman rasa bathin, selamat sentosanya jiwa kami,
semoga berhasillah cita-cita kami, Negara kami selamat sejahtera untuk
diselenggarakan …
DAHA
PASURUAN
BRAMBANGAN (BANYUWANGI)
Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik,
maka tibalah di pantai pulau Bali Barat. Sang pendeta telah sampai lebih
dahulu, menantikan anak istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu
lambat laun dibangun sebuah pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas
petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anak istrinya
berangkat berjalan kearah timur memasuki hutan belukar. Di tengah
perjalanan, rombongan sang pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (selisikan –
bhs. Bali) mana harus dituruti, karena banyak cabang-cabangnya. Tiba-tiba
muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara
grok-grok seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon seperti
menunjukkan jalan.
Sang pendeta berkata kepada kera itu : “Hai kera, semoga turun-turunanku
kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”, demikian
pastu beliau terus berjalan arah ke timur.
Tiba-tiba bertemu dengan seekor naga yang besar terbuka mulutnya sangat
lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan. Putra-putri dan
istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta
dengan wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya di
dalam perut naga itu dijumpainya sebuah telaga yang berisi
bunga tunjung (teratai) tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur
berwarna putih, yang dipinggir selatan merah, yang dipinggir utara hitam.
Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah
disuntingkan di atas telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang
putih dipegang dengan tangannya, lalu ke luar dari perut naga itu seraya
mengucapkan weda mantra “Ayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak
meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh putra-putri dan
istrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna emas.
Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang
oleh perasaan takut yang amat dahsyat, sehingga tidak dapat menahan
dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu
tujuannya, masing-masing membawa dirinya sendiri.
“Wahai Ketut,” kata sang pendeta kepada istrinya, “Kemana larinya anak-
anak kita?”. Jawab istrinya, “Ampun sang pendeta dinda tidak mengetahui
ke mana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan
dan…,terpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri…..
Dinda tidak dapat mengikutinya karena lesu kepayahan….”
Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak
menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu
bahaya menimpa salah seorang putrinya.
Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta
berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di
dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang
pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama
putra-putrinya itu. Karena suara panggilan itu maka lama kelamaan dapat
dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi
seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum
ditemukannya. Empu Danghyang disertai oleh anak istrinya terus mencari
Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama
dicari, ditemuinya telah berbadan halus(badan astral) tampak rupanya
pucat pasi.
Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang
berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu
Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewa, disebut Bhatari (Dewi)
Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di
sana. Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya,
didengar pula oleh seekor cacing kalung (?) maka dengan tiba-tiba musnah
(supat) papa dosanya, lalu menjelma menjadi seorang wanita yang
memohon agar diperkenankan menghamba kepada Empu Danghyang
dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan
tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan papanya kembali
menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi
nama Ni Brit.
Ketika itu istri sang pendeta Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu
Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta.
Katanya, “Empu Danghyang, dinda tidak kuasa berjalan lagi, rasanya ajal
dinda akan datang, ijinkanlah dinda turut sampai di sini dan ajarilah juga
dinda ilmu yang diberikan kepada anaknda Ni Ayu Swabhawa, agar dinda
terlepas dari segala dosa kembali menjadi dewa”. Jawab sang pendeta.
“Baiklah adikku, diam di sini saja bersama-sama dengan putri kita Ni
Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan adinda
boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh
orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang
akan kanda pralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia
biasa, semuanya menjadi orang halus, orang sumedang, dan daerah desa
ini kemudian bernama Mpulaki”. Demikian kata sang pendeta.
GADING WANGI
Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Bahu Rawuh berasrama di desa
Wani Tegeh, maka tersebarlah beritanya sampai ke desa Mas Gianyar, yaitu
sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang bertempat tinggal di Desa
Mas, Gianyar dan sanak keluarganya di desa Mundeh daerah Kaba-Kaba.
Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat arah ke timur laut, jalannya. Di
tengah jalan berjumpa dengan sebatang sungai. Di pinggir sebelah baratnya
ada sebuah mata air, airnya sangat suci dan sejuk dan di pinggir-pinggirnya
terhias dengan serba bunga yang sedang mekar, menyebarkan bau harum
yang menyedapkan rasa penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus
gugur dari kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari,
sungguh-sungguh menggugah rasa indah nikmat mesra membatin. Sang
pendeta berhenti di tempat itu, dengan tenang melakukan yoga samadhi
disertai pujastuti dan japa mantra utama. Dan sekelilingnya itu
disebut Mangopuri (Mangui).
PURA SADA
Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa Kapal
turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada
di Mangopuri(Mangui), maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang
menghadap Empu Danghyang untuk menghaturi agar beliau singgah di sana
serta menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih
Gajah Mada yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan
yang ada di Bali, dan pada waktu itu kebetulan ada karya puja wali (odalan)
di Pura Sada Kapal. Demikan isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang
pendeta memenuhi permohonannya dengan senang hati dan berangkat
seketika itu juga.
Tiada diceritakan betapa halnya di tengah jalan, maka tibalah sang pendeta
di desa Kapal, lalu masuk ke dalam pura serta duduk di balai piyasan di
sebelah barat.
Sang pendeta bertanya kepada Ki Bendesa. “Kaki Arya,” panggilan beliau
kepada Ki Bendesa, “Siapakah yang akan menyelesaikan karya puja wali
Bhatara di Parhyangan ini?”. Jawab Ki Bendesa, “Singgih Empu
Danghyang, tidak lain Empu Guto kami haturi di gunung Agung, untuk
menyelesaikan upacara karya puja wali ini”. “Ki Arya”, kata sang pendeta,
“Ki Guto itu adalah pelayan bapak yang disangka pendeta brahmana. Ia
adalah penjelmaan gandarwa yang terkutuk dahulunya. Yang harus
diselesaikan olehnya segala caru (korban) yang kecil dan untuk upacara
selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya”. Demikian kata
Empu Danghyang.
Kata sang pendeta, “Hai kamu Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu
masyarakat umum, aku mengampuni kesalahanmu”. Demikian kata sang
pendeta kepada Ki Guto, kemudian menoleh kepada Ki Bendesa. Katanya :
“Kaki Arya, ketahuilah, bapak yang mengutus Ki Guto pergi ke Bali untuk
menyelidiki Dalem Sri Baturenggong, telah lama tidak muncul kembali ke
Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan puja wali Bhatara di sini.
Yang patut dihadapinya ialah upacara korban (pacaruan) terutama pada
waktu-waktu tileming kasanga (bulan mati pada bulan kesembilan menurut
perhitungan kalender Bali yakni pada bulan Maret tahun Masehi),
anangluk marana (upacara menghindarkan tanaman dari hama), mabalik
sumpah di sawah ladang dan amugpug desti teluh tranjana (menghalau
sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya. Jika ditugaskan untuk puja
wali persembahyangan dewa di pura-pura, panas kesakitan masyarakat
desa olehnya”. Demikian kata pendeta.
DESA TUBAN
Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada maka sang pendeta bersama
putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi arah ke selatan tiba di
desa Tubandaerah selatan Badung, dijemput oleh orang-orang desa Tuban.
Semuanya dengan hormat dan tulus bakti mengaturkan hidangan santapan
kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang pendeta
berdiam di sana banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah
karena kasidhian (kesaktian) Pedanda Sakti Bahu Rawuh itu. Demikian
juga tanam-tanaman dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya.
Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya diaturi hidangan yang
penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putra-
putrinya dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah
bersantap ada masih tersisa ikan separo (daging seekor ikan sebagian habis
disantap sebagian masih utuh). Setelah diberi mantram oleh sang pendeta
lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali diberi nama
ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan tampak
itu diberi mantram suci oleh pendeta dan diumumkan kepada orang-orang
yang ada disana, apabila kemudian ada orang megawe hayu(melaksanakan
upacara untuk kesejahteraan), ikan tampak itu boleh digunakan menjadi isi
sesajen suci (banten suci). Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di
tempat itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu,
semuanya tercengang heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu.
Kemudian sang pendeta mengajar dan menasehati orang-orang desa Tuban
membuat pukat (bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan
cara diam-diam.
Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban maka
datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putra-
putrinya agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah
sang pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri. Setibanya di
desa Buagan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah parhyangan Pura Batan
Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar. Banyak orang datang menghadap
dari sebelah timur jalan melalui jembatan gantung, semuanya menyembah
serta bermohon pengalah air oleh karena rumah-rumahnya dilanda banjir.
Sang pendeta belas kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam
kebanjiran itu. Lalu beliau memberi sepotong kayu anceng(tongkat) yang
telah dirajah (ditulisi) Sanghyang Klar, disuruh memancangkan di muara
banjir itu. Dengan tiba-tiba, menggelombang naik air itu lalu bertolak lari
ke barat memutus jalan. Sangat heran orang-orang yang melihat tentang
kekuatan batin sang pendeta demikian itu.
DESA MAS
Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan
Geleng mengaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi
gading mas asal tanamannya sendiri kepada Danghyang Dwijendra. Kata
Danghyang waktu menerima pusuh pisang batu, “Semoga Pan Geleng kaya
sampai seturun-keturunannya kelak”.
Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkin karena kodrat Tuhan,
yaitu Danghyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki
Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra
seorang laki-laki bernama Ida Wayan Sangsiatau Ida Patapan nama
lainnya.
Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Brit pada suatu malam dijumpai
sedang mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga menembus
tanah sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang pendeta, kemudian
melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida Wayahan
Tamesi atau Ida Bindu namanya lain.
Setelah ke luar dari tempat memuja maka diaturi hidangan untuk bersantap.
Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya berenam
orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putra-putranya
berenam datang dan telah siap akan makan bersama (magibung) satu
hidangan, demi masing-masing telah memegang nasi kepalan di tangannya,
maka tiap-tiap alat makan itu berontak berkelahi dengan kawan-kawannya.
Ada yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan
kepada dulang (tempat makan dari kayu), yang kalah membalas pula dan
lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan. Hal itu dilihat oleh
sang pendeta, lalu disuruh orang membawakan lagi makanan dua hidangan
yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan Sangsi (Ida Patapan)
dikumpulkan dengan Ida Bindu (Ida Tamesi) makan menjadi satu hidangan,
sedang putranya yang 4 orang lagi yaitu Ida Putu Kemenuh, Ida Putu
Manuaba, Ida Putu Telaga dan Ida Putu Mas makan menjadi satu hidangan.
Dengan keadaan yang demikian maka tenteramlah masing-masing asyik
menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak sesuatu sengketa apapun
terjadi.
Oleh karena Ki Gusti Dawuh diam lama dan duduknya kian turun dari
tempatnya semula.
Sang pendeta bertanya pada Dalem, “Tuanku, apa sebab pedati kita
terhenti?”. Jawab Dalem. “Air kali Unda sedang pasang naik tidak dapat
dilalui”. Kata sang pendeta, “Mungkin tuanku belum tahu dengan
pelaksanaan aswa-siksa, (ajaran melatih kuda)”.
Dalem mengaku terus terang bahwa beliau belum mengetahui ajaran aswa-
siksa, sebab itu dibisiki ajarannya oleh sang pendeta. Setelah Dalem
mengerti dan paham tentang ajaran aswa-siksaterutama mantramnya, lalu
diambil oleh beliau sebuah cambuk dilecutkannya dengan keras, maka
ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan
demikian itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangan
lari dengan selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat
heran.
Tiada diceritakan lebih lanjut betapa hal iring-iringan raja Bali di tengah
jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di tempat
yang suci dengan menikmati hidangan yang secukupnya.
IDA BURUAN
Katanya, “Di Bali telah ada adik saya yang lebih pandai dari saya. Sangat
patut menjadi purohitanya (gurunya) Dalem”.
“Tuanku,” kata sang pendeta. “Bapak datang sekarang ini adalah atas
usaha bapak, yang disetujui oleh Seri Aji Baturenggong, yakni untuk
mengadakan suatu ikatan persahabatan yang akrab di antara beliau
dengan tuanku. Sebab menurut pendapat bapak adalah banyak untungnya
bila dapat mengadakan ikatan persahabatan dari pada permusuhan.
Persahabatan dapat menyebabkan negara masing-masing berkeadaan
tenteram dan sejahtera, karena masyarakat masing-masing tekun bekerja
untuk kemakmuran, tidak ada yang mengganggu. Kalau bermusuhan
masing-masing akan mendapat kerugian. Sebagai suatu bukti untuk
menyatakan betul-betul ikatan persahabatan ini berlaku, ada baiknya kalau
tuanku memberikan seorang putri tuanku untuk menjadi istrinya Seri Aji
Baturenggong”, Demikian kata sang pendeta. Jawab Sira Aji Krahengan,
“Sang pendeta harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat memenuhi
sebagai anjuran sang pendeta itu, sebaiknya sang pendeta pulang saja!”.
Dengan hal yang demikian sang pendeta ke luar dari dalam puri seraya
mengeluarkan kata kutukan (pamastu) : “Moga-moga si Krahengan surut
kesaktianmu dan hancur kebesaranmu”. Demikian katanya terus menuju
pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau
Bali.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, sang pendeta telah tiba di Puri Gelgel
dijemput oleh Dalem Baturenggong dengan khidmad.
Setelah sang pendeta dekat maka orang itu cepat-cepat mendatangi seraya
menyapa. Katanya, “Ya sang pendeta, dari mana dan mau ke mana sang
Maharsi sekarang ini ? Sebaiknya berhenti sebentar di sini, jangan tergesa-
gesa terus berjalan, saya mempermaklumkan bahwa di sana malahan ada
suatu parhyangan tempat kami sembahyang yang angker dan keramat.
Barang siapa lalu di sini tidak menyembah di parhyangan kami, tentu nanti
diterkam oleh harimau. Untuk keselamatan sang pendeta, silakanlah dulu
menyembah di parhyangan kami!”. Demikian katanya seraya menghambat
perjalanan sang pendeta. Jawab Empu Danghyang. “Kalau harus demikian,
baiklah antarkan saya masuk ke parhyanganmu untuk menyembah!”.
Sang pendeta lalu memperbaiki bangunan itu sehingga berdiri lagi seperti
semula, dan selanjutnya beliau melepaskan gelung rambutnya sehingga
terurai, dicabutnya sehelai diberikan kepada orang itu. Seraya berkata,
“Inilah sehelai rambut, siwi (junjungan sembahyang) di sini, letakkan di
atas bangunan ini, agar kamu dan sanak keluargamu mendapat selamat
sejahtera selanjutnya”.
Orang itu menyembah seraya menerima sehelai rambut sang pendeta itu
seraya menuruti segala nasehat beliau. Semenjak itu parhyangan itu
disebut Pura Rambut Siwi.
PURA PAKENDUNGAN
Setelah Pura Hulu Watu selesai dan telah dinasehatkan kepada orang-orang
di sana untuk menjaganya, maka Danghyang Nirartha melanjutkan
perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit, tiba di
goa Watu, dari sana menuju Bualu.
Di sebelah tenggara Bualu ada sebuah tanjung yang menjorok ke laut, di
sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan payungnya ke tanah, maka
tiba-tiba memancur air dari dalam tanah, sangat suci dan hening. Air itu
dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang dekat di sana karena
gembira hatinya seakan-akan mendapat anugrah air amrta (air kehidupan),
maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Bukit
Payung..
PURA SAKENAN
Setelah menyucikan diri di Bukit Payung, maka Danghyang Nirartha
berangkat pergi arah ke utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana
dijumpainya dua buah pulau batu “NUSA DWA” disebut orang. Di sana
beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha. (Kakawin atau
karangannya itu melukiskan segala obyek keindahan yang dilihat oleh
beliau sepanjang perjalanan, digubah dijadikan sanjak kakawin yang terikat
dengan guru laghu).
Dari sana beliau masuk ke darat arah ke utara lalu tiba di sawah Subak
Laba. Di sana sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-
orang subak (organisasi masyarakat Bali mengurusi pengairan) dengan
buah jeruk yang sedap rasa airnya. Di asrama tempat menginap Empu
Danghyang setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon
nasehat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija
lainnya menurut masa (musim) dan hari wewaran (hari-hari baik menurut
perhitungan Bali). Sejak sang pendeta ada di sana segala tanam-tanaman
dan binatang ternak berhasil baik. Sebab itu setelah Empu Danghyang pergi
dari sana, maka oleh orang-orang subak dibuatnya satu pura di bekas
tempat asrama sang pendeta (yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti
Bahu Rawuh) di beri nama Pura Air Jeruk, tempat sembahyang mohon
keselamatan tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan di sana ditanam satu
pohon rontal sebagai peringatan ajaran agama yang diberikan oleh sang
pendeta.
PURA TUGU
Kemudian keluar seorang pamangku (pendeta pura) dari dalam pura setelah
menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang
sedang berhenti di luar pura. Setelah bertemu sang pamangku berkata dan
menyuruh sang pendeta menyembah ke dalam pura. Sang pendeta tidak
membantah, menuruti permintaan pamangku itu lalu berjalan masuk ke
dalam pura, diiringi oleh pamangku tadi. Sang pendeta duduk bersila di
halaman pura berhadapan dengan bangunan-bangunan palinggih, lalu
melakukan yoga mengheningkan cipta menghubungkan jiwatmanya dengan
Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan-bangunan palinggih itu semua. Sang
pamangku bukan main terkejutnya dan terharu hatinya melihat keadaan itu,
lalu menangis mohon ampun kepada Empu Danghyang disertai
permohonan agar sang pendeta menaruh belas kasihan supaya tidak terus
puranya mengalami kerusakan dan dapat kembali selamat sebagai sedia
kala. Demikian kata sang pamangku seraya menyembah kepada sang
pendeta.
GENTA SAMPRANGAN
Orang pangalu itu demi mendengar kata sang pendeta demikian, dengan
cepat membuka kalung kudanya, dan dengan hidmat serta tulus ikhlas
menghaturkan kepada sang pendeta.
Ketika sang pendeta menerima genta itu dari tangan orang pangalu itu,
dengan gembira berkata, “Semoga engkau berbahagia dan selamat
sejahtera selalu dalam perlindungan Sanghyang Widhi”.
Sebagai diperciki tirtha amrta perasaan hati pangalu itu ketika mohon diri
dan berangkat menuntun kudanya. Genta itu diberinama “Genta
Samprangan”,karena didapat dari Samprangan.
PURA TENGKULAK
Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di desa Syut
Tulikup, di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian datang
beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat
menyapa sang pendeta menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya.
Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali,
maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon nyiur
memetik buah kelapa muda (kelungah) untuk dihaturkan kepada sang
pendeta.
Sang pendeta menerima kelungah itu dengan ucapan terima kasih. Sebagai
biasa apabila sang pendeta akan minum atau akan bersantap sesuatu
apapun, selalu didahului dengan ucapan-ucapan weda mantram yang
mengandung ucapan syukur kepada Tuhan, barulah diminum atau disantap.
Setelah selesai sang pendeta minum airnya, maka kelungah itu dipecah dua
untuk disantap isinya. Sang pendeta menyantap isi kelungah itu perlahan-
perlahan sambil bercakap-cakap kepada orang-orang desa di sana. Orang-
orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran mereka
kurang memuaskan, karena sering diserang penyakit dan tanam-
tanamannya kurang berhasil. Sang pendeta menasehatkan apabila ada
halangan sesuatu, agar beliau dipanggil secara batin, tentu beliau akan
datang secara niskala memberi pertolongan memohonkan kepada Tuhan
agar halangan itu bisa dimusnahkan. Setelah sang pendeta habis bersantap
lalu berangkat arah ke selatan diiringi oleh orang-orang yang menghadap
itu sampai di tepi pantai laut.
Oleh karena itu orang-orang desa sepakat untuk membuat suatu pura di sana
untuk memohon kepada Tuhan untuk keselamatan dan kemakmuran desa.
Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.
Di sana ada suatu tanjung yang terjadi dari tumpukan batu bulatan atau batu
gunung yang ditutupi dengan selaput lumut yang hijau warnanya, dinaungi
oleh tumbuhan semak-semak yang muncul dari celah-celah batu. Di sana
beliau berhenti di tempat ketinggian dan memperhatikan pemandangan ke
laut yang luas laksana hamparan permadani beludru membiru menutupi
setengah permukaan dunia dari barat, utara dan timur. Bila matahari telah
tinggi, angin bertiup dari timur kian lama kian deras, ombak laut tampak
bergulung-gulung menggunung besarnya, berlari berkejar-kejaran menuju
tepi pantai, masing-masing membanting diri di tepi pantai yang berbatu-
batu, membuih memutih indah tampaknya.
Seraya menyembah juragan perahu itu menjawab, “Ya sang pendeta, kami
bertujuh orang dari Sasak hanyut dibawa arus hampir satu bulan
diombang-ambingkan ombak kesana-kemari, sehingga perbekalan kami
habis. Entah berapa hari kami tidak makan, kami tidak tahu karena tidak
sadar dengan diri akibat kelaparan serta mabuk laut. Tidak ada harapan
untuk hidup lagi. Segalanya kami serahkan kepada Allah. Kami
mengaturkan banyak terima kasih ke hadapan sang pendeta karena
pertolongan yang suci, menghidupkan kami”.
Empu Danghyang menasehatkan anak buah perahu itu minum air dan
membersihkan diri pada mata air yang baru-baru saja timbul di tepi pantai
itu, dan sesudahnya agar mencari buah-buahan untuk menyegarkan badan
di dalam hutan yang tidak jauh dari sana, besok pagi baru berlayar ke
Sasak, sang pendeta juga akan turut. Tidak diceritakan anak buah perahu itu
menginap tidur dengan lelapnya semalam di pantai laut itu. Besok paginya
semua bangun dengan segar bugar kembali. Tenaganya seperti sedia kala.
Ombak laut pada hari itu mulai teduh dan angin bertiup lembut dari barat.
Sang pendeta menasehatkan bahwa hari itu baik untuk berlayar ke Sasak
dan beliau akan turut. Anak buah perahu semua menaruh kepercayaan
bahwa sang pendeta memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai utusan
Allah. Sebab itu mereka itu menuruti nasehat sang pendeta, mendorong
bersama-sama perahunya ke permukaan laut lalu berlayar. Sang pendeta
duduk di atas atap perahu sambil melihat-lihat pemandangan dan keadaan
cuaca, kadang-kadang tampak beliau itu merenung bermeditasi. Anak buah
perahu semuanya heran, karena perahunya berlayar lancar ke timur
sekalipun tidak memakai layar dan berkemudi patah. Laut di antara pulau
Bali dan pulau Lombok besar juga namun tidak menjadi halangan sesuatu
apa dan kemudian turun di pantai yang teduh ombaknya yaitu di Karang
Bolong.
Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu, setiap malam tampak
dilihat oleh orang-orang yang berdekatan di sana bahwa batu-batu bekas
peristirahatan Danghyang Nirartha di sana menyala terus-menerus. Sebab
itu tiap-tiap hari banyak orang-orang datang ke sana bersembahyang mohon
keselamatan dan akhirnya dibuat suatu Pura dengan bangunan Sanggar
Agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok
Batu.
Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau maka di pinggir asrama itu
muncul empat buah mata air yang disebut Catur Tirtha, yaitu tirtha
panglukatan, tirtha pabersihan, tirta pangentas dan toya racun. Tidak putus-
putusnya orang datang dari tempat jauh untuk memohon pembersihan diri
terutama yang hendak mengheningkan cipta. Orang-orang yang beragama
Islam dan tidak beragama Islam menjadi satu hidup rukun tidak pernah ada
percekcokan atau permusuhan akibat kesucian batin sang pendeta
mengajarkan agama. Beliau menjelaskan bahwa tujuan agama itu tidak ada
berlainan kecuali satu kepada Ida Sanghyang Widhi yang disebut juga
Tuhan Allah. Yang berbeda hanya dalam pelaksanaannya dan bahasanya.
Pelaksanaannya pun sesungguhnya satu juga, yaitu membuat orang susila
berjiwa tenang, dapat mengatasi segala serangan suka duka dunia. Tentang
bahasanya, bahasa apapun dipergunakan boleh saja, yang terutama bahasa
batin setiap orang.
Tetapi sang pendeta minta maaf tidak dapat singgah, karena sedang dalam
perjalanan pergi ke Sumbawa hendak menengok saudara sepupu baliau di
sana, apa masih hidup atau tidak.
Kata Seri Selaparang, “Maaf Tuan Semeru, kalau-kalau saya mengganggu
perjalanan sang pendeta. Kalau sang pendeta sudi kiranya, saya ingin
mendapat nasehat, bagaimana caranya untuk mendapat kebahagiaan
hidup? Sekalipun saya dianggap orang yang berkuasa di Sasak Timur
namun kebahagiaan hidup itu tidak dapat dicapai dengan jalan kekuasaan,
harta benda dan nafsu,” demikian kata Seri Selaparang dengan wajah muka
sangat berharap.
Jawab orang Sumbawa itu, “O … ya, junjungan kami yang dari Majapahit
itu telah pulang ke alam baka dan telah lama sekali”.
Demikian percakapan mereka itu, namun sang pendeta terus saja berjalan
sampai ke kaki gunung berapi yaitu Gunung Tambora.
Di sana baru beliau berhenti dan bermalam di sebuah pondok orang tani.
Yang punya pondok menerima dengan hormat Tuan Semeru bermalam di
sana. Beliau disuguhi ketela rebus dan pisang rebus ala kadarnya, karena
sawah tegalnya tidak menghasilkan tahun itu, sebab tanaman padi gagal dan
palawija tidak jadi karena diserang hama penyakit ulat dan belalang.
Kepala Desa itu sangat gembira hatinya mendengar kata Tuan Semeru, lalu
diiring pindah tempat ke rumahnya. Pembantu-pembantunya diberitahu
agar memerintahkan orang-orang desa yang punya sawah ladang supaya
semua membawa pedupaan berisi api dan kemenyan ke sawah ladangnya
masing-masing malam nanti.
Setelah sang surya terbenam dan hari mulai menggelap malam, Tuan
Semeru diiringi oleh Kepala Desa pergi ke suatu tempat di ladang yang
tanahnya agak tinggi. Di sana beliau itu memuja dengan melakukan Yoga.
Sampai larut malam baru kembali ke pesanggrahannya. Keadaan di sawah
ladang malam itu diliputi dengan bau harum asap kemenyan. Besok paginya
seluruh ulat dan belalang yang biasanya memenuhi sawah ladang tidak ada
tampak seekorpun. Bersih sama sekali. Orang-orang desa semuanya heran
dengan kesaktian sang pendeta. Semuanya memuji mengatakan sungguh-
sungguh seorang pendeta sakti dan suci, tidak memikirkan upah, belas
kasihan kepada orang-orang melarat. Semenjak itu tanaman-tanaman di
sana menjadi baik subur dan berhasil. Tuan Semeru tiap-tiap hari keluar
juga melihat-lihat alam dan tanam-tanaman orang disertai beberapa
pengiring. Di dalam perjalanan banyak menjumpai orang-orang sakit yang
memohon obat kepada beliau dan semuanya menjadi sehat segar bugar
setelah diobati, sehingga beliau masyhur di sana, seorang pendeta sakti dan
mampu mengobati orang-orang sakit.
Sang penghulu berkata kepada sang pendeta, “Ya Tuan pendeta, kami
mohon dengan hormat sudi apalah kiranya tuan pendeta mengembalikan
jiwanya supaya kembali anak kami. Kalau ia bisa hidup kembali kami akan
menghadiahkan anak kami kepada tuan pendeta menjadi budak pendeta”.
“Baiklah kalau begitu!” jawab Tuan Semeru, “Bapak minta anak ini akan
bapak bawa ke Bali!”. “Silakan tuan pendeta,” kata penghulu
Sumbawa, “Kami dengan tulus ikhlas mengaturkan”.
Empu Danghyang sangat belas kasihan melihat anak yang sakit itu, lalu
diraba mukanya seraya diberikan bebayon(kekuatan gaib Ketuhanan).
Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum lalu bergerak
duduk dengan cahaya muka yang segar.
Sang pendeta berjalan dengan tenang seraya memimpin anak kecil itu
menuju ke pelabuhan. Tidak diceriterakan halnya dalam perjalanan,
akhirnya tiba di pulau Bali dan menuju asrama Mas. Anak itu terus sehat-
sehat saja tidak pernah sakit. Setelah anak itu meningkat gadis, rupanya
sungguh-sungguh cantik, lalu dikawinkan dengan cucu beliau, yang
bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.
1. Rareng Canggu
3. Wukir Padelegan
4. Sagara Gunung
5. Aras Negara
6. Jagul Tuwa
8. Anting-Anting Timah
3. Sara Kusuma
4. Ampik
5. Legarang
6. Ewer
8. Majadanawantaka
9. Wasista Sraya
17 Brati Sasana
Diceritakan tepat pada hari upacara padiksan itu Sri Aji Dalem
Baturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan
upacara suci itu. Sesudah upacara selesai, maka Empu Danghyang berkenan
memberi nasehat kepada putra-putranya.
Adapun harta benda yang dibagi yaitu : mas, perak, uang kepeng, permata
mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedaan (pemujaan
kependetaan), rakyat dan lain-lainnya. Tempat membagi harta benda itu di
luar geria asramanya di Mas. Harta benda itu dibagi menjadi 5 bagian untuk
putra-putranya 6 orang, yaitu : di luar geria itu diletakkan 5 buah balai-
balai amanca desa (lima arah) yakni : di timur, di selatan, di barat, di utara
dan di tengah. Masing-masing diisi harta benda, yang satu berisi
alat pawedaan, pangrupak (pisau tulis untuk lontar) yang bernama Ki
Tamlang, keris yang bernama Ki Sepak, genta 2 buah yang bernama Ki
Brahmana dan Ki Samprangan dan uang kepeng 20.000. Setelah selesai
harta benda dibagi maka Seri Aji Baturenggong mempersilahkan guru putra
semua mengambil bagian. Katanya, “Singgih Empu Danghyang sekalian,
sekarang boleh mengambil bagian masing-masing menurut minatnya
masing-masing”.
Empu Kulon lebih dulu mengambil bagian yaitu : mas, perak, uang kepeng,
permata, surat tegal sawah dan rakyat, akibatnya akan mempunyai
keturunan banyak, tetapi kurang ilmu.
Empu Lor mengambil surat tegal sawah, mas, perak, uang kepeng, permata
perhiasan dan rakyat, akibatnya anak banyak kepandaian kurang.
Empu Wetan mengambil surat tegal sawah, mas perak, uang kepeng,
permata perhiasan dan rakyat, maknanya anak banyak kepandaian kurang.
Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindumengambil bagian satu bagian dibagi
dua berupa sawah dan uang, maknanya kepandaian kurang, tetapi
turunannya banyak kemudian.
Empu Kidul masih tetap tenang diam sebagai tidak menghiraukan bagian,
karena asyik melihat saudara-saudaranya berebutan mengambil bagian
dipegang oleh rakyatnya, sehingga Dalem Baturenggong mengingatkan
Empu Kidul, apa sebabnya diam saja tidak mengambil bagian. Karena itu
baru Empu Kidul mengambil bagian sisa-sisanya. Yang didapat lontar
pustaka, alat pawedaan, 2 buah genta Ki Brahmana dan Ki Samprangan,
pisau Pangrupak Ki Tamlang dan keris Ki Sepak, maknanya penuh
kepandaian, kesaktian, cakap segala kesenian tetapi turunan kurang, dan
mengambil Pan Geleng pelayannya Bandesa Mas.
PURA PANGAJENGAN
Lalu berkata menyapa dengan tersenyum, “O. nanak datang, silakan datang
kemari, bapak mengijinkan nanak menghadap!” (Catatan : kata “nanak”
adalah suatu kata yang biasa dipergunakan oleh seorang guru kebatinan
kepada muridnya yang resmi. Padahal Bandesa Mas ini adalah mertua dari
Empu Danghyang, atau Empu Danghyang anak menantu dari Bandesa Mas.
Kiranya pengaruh mertua dibanding dengan guru, lebih berpengaruh
kedudukan guru di batin orang).
Istri Pangeran Mas dengan segera minta tolong kepada orang untuk
memanjat pohon nyiur memetik sebuah bungkak. Tidak lama
antaranya bungkak sudah siap dihaturkan dengan
sudah berkasturi (dilobangi sebagian tampuknya). Setelah hidangan selesai
dipersiapkan oleh istri Pangeran Mas, maka Empu Danghyang
mengucapkan mantram lalu bersantap. Mungkin karena kekuatan gaib
mantram yang diucapkan oleh Empu Danghyang maka seluruh makanan
berbau harum. Setelah sang pendeta bersantap, sisanya dinikmati pula oleh
Pangeran Mas bersama istrinya. Sesudah selesai semuanya, Pangeran Mas
beserta istrinya menyembah lalu mohon diri dengan gembira.
PURA MASCETI
Diceritakan setelah Danghyang Nirartha pergi dari penghulu sawah terus
menuju pantai laut selatan, berjalan perlahan-lahan sendirian di
desa Rangkung ke barat mendekati pelabuhan Masceti. Setibanya di sana
dirasa ada sapuan angin sepoi-sepoi membawa bau yang harum semerbak
menyedapkan perasaan batin suci. Dirasa oleh beliau bahwa hal itu adalah
tanda makhluk roh kudus atau Dewa yang turun mendekati beliau. Timbul
semangatnya gembira berjalan, tiba-tiba terlihat oleh beliau suatu cahaya
gemilang di dalam Pura Masceti, lalu beliau masuk ke dalam kahyangan
itu, duduk dengan tertib mengucapkan Weda mantram menyembah Tuhan.
Danghyang lalu memberi suatu mantram yang sakti, kemudian berkata pula,
“Sekarang engkau sudah sakti, engkau jangan lalai menjaga dan nengetang
(mengsakralkankan) pecananganku ini. Kini aku memberi nama tegal ini
yaitu Tegal Peti Tenget”.
Pada suatu hari datang Kelihan (kepala desa) Kerobokan bersama beberapa
orang kawannya menghadap Empu Danghyang. Setelah duduk menyembah,
Danghyang bersabda, “Siapakah engkau ini, ada kepentingan apa kepada
bapa?”. Kelihan Kerobokan menjawab, “Singgih sesuhunan, kami ini orang
mendapat kesusahan hebat; di daerah kami di tepi pantai ada sebuah tegal,
baru sekarang sangat angker sekali, tiap-tiap orang yang datang kesana
mencari sesuatu untuk kepentingan hidup, sekembalinya mesti sakit keras
dan susah diobati. Telah banyak yang mengalami hal demikian. Beberapa
dukun tidak dapat mengobatinya. Kemudian kami dengar sesuhunan ada di
sini, sebab itu kami memberanikan diri menghadap untuk mohon urip”.
Pada tiap-tiap pamerajan (pura keluarga) umat Hindu Bali dibuat suatu
pelinggih beratap ijuk ditandai dengan limas di atasnya, dinamai
pelinggih Gunung Hulu Watu tempat memuja Roh Suci Danghyang
Dwijendra atau Bhatara Sakti Bahu Rawuh atau juga Danghyang Nirartha
sebagai Guru Agama di Bali. Diceritakan Ki Bandega Pasek Nambangan
telah tiba di Desa Mas dan menghadap Empu Kidul.
Tidak diceriterakan dalam perjalanan Empu Mas telah tiba di Bukit Pecatu
terus ke Hulu Watu. Setelah ada dihadapan sebuah meru (bangunan suci
dengan atap bertingkat) Empu Mas menyembah, kemudian naik ke
dalam meru mengambil pustaka tersebut. Sesudah mengambil pustaka itu,
Empu Mas mohon diri kembali ke desa Mas bersama seluruh pengiringnya
beserta Ki Pasek Nambangan Perahu. Setibanya di Mas, Ki Pasek Bandega
bersama anak istrinya menetap menghamba kepada Empu Mas, diberi
tanah pekarangan rumah dan sawah serta 4 ternak.
Empu Lor setelah mangresi, datang Arya Cacahe, Arya Tambahan, Arya
Jelantik, Batanjeruk, Abyan Tubuh, Gaduh, Arya Belog, sama-
sama masiwakepada Empu Lor.
Diceriterakan Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu pada suatu hari
menghadap Dalem Baturenggong di Puri Gelgel bermohon nasehat, bahwa
para arya yang belum manabhe sebaiknya masiwa saja kepada Empu Kidul,
karena beliau yang memegang seluruh pustaka. Dalem menyetujui.
Ketika para putra Dalem, para Arya dan Wesya penuh menghadap, maka
Dalem bersabda “Anakku sekalian, para Arya dan Wesya semuanya yang
belum mempunyai Siwa, kiranya baik kalau bersiwa kepada Empu Kidul,
karena beliau yang memegang warisan Empu Dhanghyang Nirartha,
misalnya pustaka Racadana, bajra (genta) dan alat-alat pawedaan, atau
boleh juga kepada Empu Kulon, Empu Lor, Empu Wetan, semuanya itu
sama-sama boleh, lain daripada itu tidak boleh. Kalau nanti Ida Putu
Sangsi dan Ida Putu Tamesi menjadi resi, tidak boleh anak-anakku dan
adik-adikku para Arya dan para Wesya masiwa kepada adik-adikku dua
brahmana tadi, karena beliau beribu pelayan dan pernah menjunjung
petaranaku (tilam tempat duduk Dalem), ketika itu belum aku kenal. Jika
engkau bersiwa kepadanya niscaya surut kesaktianmu, berkurang
rakyatmu, desamu kacau balau, karena murka Sanghyang Sinuhun
Kidul”. Demikian Nasehat Dalem.
Share this:
Print
Related
DWIJENDRA TATWA
April25, 2014
In "Articles"
Categories: Articles
Leave a Comment