Anda di halaman 1dari 39

Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari

Babad Dhangyang Nirartha dan Keturunannya di Sanur Bali

ibgwiyana

9 years ago

I PARAMA DHARMA DANGHYANG NIRARTHA


Untuk membuka lembaran Riwayat Hidup Danghyang
Dwijendera dan keturunannya, terlebih dahulu saya menghaturkan
pangastuti dengan terjemahan dari Dwijendra Stawa dengan
tembang Kidung Demung Wilis :

Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena
kami kini memuja Dhanghyang Dwijendra yang merupakan guru suci, yang
menganugerahkan ajaran ilmu pengetahuan suci, Ajaran Ketuhanan Hindu
di Bali berupa weda – mantra – nyanyian-nyanyian suci – tingkah laku –
peradaban hidup, dengan lima yadnyanya, antara lain Dewa Yadnya, yang
selalu membuat ketentraman rasa bathin, selamat sentosanya jiwa kami,
semoga berhasillah cita-cita kami, Negara kami selamat sejahtera untuk
diselenggarakan …

DAHA

Kisah ini dimulai dari seorang keturunan brahmana (Brahmana wangsa)


bernama Nirartha adik dari Dhanghyang Angsoka, putra dari Dhanghyang
Asmaranatha. Ketika Sang Nirartha sedang muda jejaka beliau mengambil
istri, di Daha, putri dari Danghyang Panawaran yaitu golongan keturunan
Bregu di Grhya Mas Daha bernama Ida Istri Mas.

Setelah bersuami istri, Sang Nirartha dilantik (diniksan) oleh Danghyang


Panawaran menjadi pendeta (Brahmana janma) diberi gelar Danghyang
Nirartha. Dari perkawinan ini Danghyang Nirartha mendapat 2 orang putra,
yang sulung putri diberi nama Ida Ayu Swabhawa alias Hyangning
Salaga (yang berarti Dewanya kuncup bunga melur) sebagai nama
sanjungan karena cantik jelita rupa dan perawakannya serta pula ahli
tentang ajaran bathin. Adiknya seorang putra diberi nama Ida
Kulwan (artinya kawuh / barat) dan diberi nama sanjungan Wiraga
Sandhi yang berarti kuntum bunga gambir, karena tampan dan gagah
perawakannya.

PASURUAN

Sementara itu kehidupan masyarakat di Jawa sangat kacau. Di sana-sini


terjadi perkelahian dan pertempuran, penumpasan-penumpasan yang sangat
mengerikan dan menyedihkan antara orang-orang Jawa yang telah masuk
Agama Islam dengan orang-orang Jawa yang masih taat mempertahankan
agama lamanya, (sesungguhnya agama lama yaitu agama warisan
leluhurnya dengan agama baru yaitu Agama Islam sama saja hakekat
tujuannya. Yang berbeda ialah cara-caranya, bahasa yang dipergunakan dan
upakara, upacaranya, serta tata tertib pergaulan hidupnya). Akhirnya
“kalah” agama lama oleh Agama Islam. Orang-orang Jawa yang masih taat
pada agama lamanya, agama yang diwariskan oleh leluhurnya, terutama
orang-orang Majapahit, banyak pindah diantaranya ada yang ke Pasuruan,
ke pegunungan Tengger, ke Brambangan (Banyuwangi) dan ada yang
menyeberang ke Bali. Ketika itulah Danghyang Nirartha turut pindah dari
Daha ke Pasuruan disertai dua orang putra-putrinya, sedang istrinya tidak
disebutkan turut ke Pasuruan.

Setelah berselang beberapa tahun lamanya di Pasuruan, Danghyang


Nirartha mengambil istri pula, yaitu seorang wanita yang terhitung saudara
sepupu olehnya, putri Danghyang Panawasikan bernama Ida Istri
Pasuruan, dengan nama sanjungan disebut Diah Sanggawati (seorang
wanita yang sangat menarik dalam pertemuan) karena cantiknya.
Perkawinan ini menghasilkan
2 orang putra laki-laki, yang sulung diberi nama Ida Wayahan
Lor atau Manuaba. Manuaba (mulanya Manukabha) berarti burung yang
sangat indah karena tampan dan indah raut roman muka dan bentuk
raganya. Adiknya bernama Ida Wiyatan atau Ida Wetan berarti fajar
menyingsing.

BRAMBANGAN (BANYUWANGI)

Kemudian Danghyang Nirartha pindah dari Pasuruan


ke Brambangan(Banyuwangi) disertai oleh 4 orang putra-putrinya namun
istrinya tidak disebutkan turut. Tiada beberapa lama antaranya Danghyang
Nirartha mengambil istri di sana yaitu adik dari Sri Aji Juru raja
Brambangan bernama Sri Patni Kaniten yang sungguh-sungguh cantik
molek rupanya sehingga terkenal dengan sebutan “jempyaning ulangun”
yaitu sebagai obat penawar jampi orang yang kena penyakit birahi asmara.
Beliau itu turunan raja-raja (Dalem) dan turunan brahmana, terhitung buyut
dari Danghyang Kresna Kapakisan di Majapahit, putri dari raja
Brambangan kedua. Adik dari raja Brambangan ketiga yang menjadi raja
ketika itu, tegasnya bersaudara kumpi sepupu Danghyang Nirartha kepada
Sri Patni Kaniten. Perkawinan ini menghasilkan 3 orang anak: seorang putri
dan 2 orang putra. Yang sulung seorang putri bernama Ida Rahi
Istri rupanya cantik dan pandai tentang ilmu kebatinan. Yang kedua
bernama Ida Putu Wetanatau Telaga atau disebut juga Ida Ender(yang
berarti ugal-ugalan), terkenal kepandainya, kesaktiannya dan ahli ilmu
gaib, banyak tulisan buah tangannya. Yang bungsu bernama Ida Nyoman
Kaniten (yang berarti tenang / bagaikan tenangnya air).

MPULAKI / DALEM MELANTING

Setelah beberapa tahun lamanya Danghyang Nirartha bertempat tinggal di


Brambangan, maka terjadi suatu hal yang menyebabkan tidak baik
hubungan Danghyang Nirartha terhadap raja Sri Aji Juru, karena raja
mengandung benci dan murka kepada Empu Danghyang. Empu Danghyang
didakwa oleh raja memasang guna-guna disebabkan oleh keringat Empu
Danghyang Nirartha harum sebagai minyak mawar. Tiap-tiap orang duduk
berdekatan dengan beliau turut harum tanpa memakai minyak wangi. Adik
wanita Sri Dalem Juru mengandung cinta birahi kepada Empu Danghyang.
Sebab itu Danghyang Nirartha berusaha pindah dari Brambangan, hendak
menyeberang ke Bali bersama 7 orang putra-putrinya dan istrinya Sri Patni
Kaniten.

Pada suatu hari menyeberanglah sang pendeta bersama anak istrinya


mengarungi laut selat Bali yang disebut Segara Rupek. Sang pendeta sendiri
waktu menyeberang mempergunakan sebuah labu pahit (waluh pait)
bekas kele kepunyaan orang desa Mejaya, dan kaki tangannya dipergunakan
sebagai dayung dan kemudi. Penyeberangan selamat tidak mendapat
rintangan suatu apa. Danghyang Nirartha seorang pendeta yang tajam
perasaan intuisinya itu mengerti bahwa penyeberangannya itu selamat atas
bantuan sebuah waluh pahit dan kekuasaan Tuhan. Sebab itu beliau
bersumpah dalam lautan tidak akan mengganggu hidupnya waluh pahit
seumur hidupnya sampai pada turunan-turunannya. Adapun anak istrinya
menyeberang menumpang jukung (perahu) bocor yang disumbat dengan
daun waluh pahit, juga kepunyaan orang desa Mejaya.

Tiada berapa lama antaranya karena mendapat tiupan angin barat yang baik,
maka tibalah di pantai pulau Bali Barat. Sang pendeta telah sampai lebih
dahulu, menantikan anak istrinya sambil menggembala sapi. Di tempat itu
lambat laun dibangun sebuah pura kecil lalu dinamai Purancak. Atas
petunjuk orang-orang gembala itu, sang pendeta bersama anak istrinya
berangkat berjalan kearah timur memasuki hutan belukar. Di tengah
perjalanan, rombongan sang pendeta agak ragu-ragu. Jalan kecil (selisikan –
bhs. Bali) mana harus dituruti, karena banyak cabang-cabangnya. Tiba-tiba
muncul seekor kera di tengah jalan. Ia berjalan lebih dahulu sambil bersuara
grok-grok seraya melompat-lompat di atas dahan-dahan pohon seperti
menunjukkan jalan.

Sang pendeta berkata kepada kera itu : “Hai kera, semoga turun-turunanku
kelak tidak boleh menyakiti kera dengan dalih memelihara”, demikian
pastu beliau terus berjalan arah ke timur.

Tiba-tiba bertemu dengan seekor naga yang besar terbuka mulutnya sangat
lebar dengan rupa dan bentuk yang dahsyat mengerikan. Putra-putri dan
istrinya terperanjat hebat, nyaris lari cepat-cepat, namun sang pendeta
dengan wajah yang tenang masuk ke dalam mulut naga itu. Setibanya di
dalam perut naga itu dijumpainya sebuah telaga yang berisi
bunga tunjung (teratai) tiga warna yaitu tunjung yang di pinggir timur
berwarna putih, yang dipinggir selatan merah, yang dipinggir utara hitam.
Ketiga kuntum tunjung itu dipetik oleh sang pendeta, yang merah
disuntingkan di atas telinga kanan, yang hitam di atas telinga kiri, yang
putih dipegang dengan tangannya, lalu ke luar dari perut naga itu seraya
mengucapkan weda mantra “Ayu Werddhi”. Naga itu musnah dengan tidak
meninggalkan bekas. Rupa sang pendeta terlihat oleh putra-putri dan
istrinya berwarna merah dan hitam, kemudian berubah berwarna emas.
Melihat keadaan yang demikian, maka putra-putri dan istrinya diserang
oleh perasaan takut yang amat dahsyat, sehingga tidak dapat menahan
dirinya, lalu lari tunggang-langgang masuk ke dalam hutan tidak tentu
tujuannya, masing-masing membawa dirinya sendiri.

Danghyang Nirartha setelah tiba di luar tercengang terperanjat karena anak


istrinya tidak ada lagi. Dengan perasaan yang sangat cemas sang pendeta
tergopoh-gopoh mencarinya ke dalam hutan belukar yang rapat dengan
tumbuh-tumbuhannya, tambahan pula hari telah mulai menggelap. Untung
tidak jauh dari tempatnya semula didapati istrinya seorang diri duduk
bersimpuh terengah-engah dalam kepayahan, pucat-lesi, lesu-letih tidak
dapat berjalan lagi.

“Wahai Ketut,” kata sang pendeta kepada istrinya, “Kemana larinya anak-
anak kita?”. Jawab istrinya, “Ampun sang pendeta dinda tidak mengetahui
ke mana larinya anak-anak kita, karena mereka lari tak berketentuan
dan…,terpencar masing-masing dengan kehendaknya sendiri-sendiri…..
Dinda tidak dapat mengikutinya karena lesu kepayahan….”

Sang pendeta merasa cemas dan ada pula getaran perasaan yang tidak enak
menyelinap dalam hatinya yang seakan-akan membisikkan ada sesuatu
bahaya menimpa salah seorang putrinya.

Setelah istrinya reda sedikit payahnya, lalu bangun bersama sang pendeta
berjalan perlahan-lahan mencari dan mengumpulkan putra-putrinya di
dalam hutan yang gelap diselimuti malam itu. Semalam-malam itu sang
pendeta terus berjalan bersama istrinya sambil memanggil-manggil nama
putra-putrinya itu. Karena suara panggilan itu maka lama kelamaan dapat
dikumpulkan putra-putrinya seorang demi seorang dan akhirnya kurang lagi
seorang, yaitu putrinya yang tertua, Ida Ayu Swabhawa belum
ditemukannya. Empu Danghyang disertai oleh anak istrinya terus mencari
Ida Ayu Swabhawa sambil memanggil-manggil namanya. Setelah lama
dicari, ditemuinya telah berbadan halus(badan astral) tampak rupanya
pucat pasi.

Ditanyai oleh Empu Danghyang, katanya, “Apa sebabnya anakku sayang


lari sejauh ini?”. Jawab Ida Ayu Swabhawa, “Ampunilah Empu
Danghyang, …sebabnya hamba lari sejauh ini, karena diserang oleh rasa
takut yang sangat hebat …tatkala melihat rupa ayahanda ketika baru
keluar dari mulut naga,….sebentar merah sebentar hitam rupa dan badan
jasmani ayahanda. Hamba lari terus dibuntuti dan dikejar oleh rasa takut
itu, sehingga lari hamba….kian lama kian cepat menghabiskan
tenaga….sampai ke luar hutan, memasuki daerah desa, lalu …, ” baru
sampai sekian katanya lalu terdiam, wajah mukanya tampak sedih pedih
kemudian berkata lagi : “Empu Danghyang,…hamba malu hidup sebagai
manusia lagi…karena merasa cemar diri,…penuh dosa. Kasihanilah
hamba, ajarilah sungguh-sungguh….supaya hamba bersih dari dosa, tidak
dilihat orang. Bisa menjadi dewa di sorga, tidak lagi menjadi manusia….,”
demikian katanya.
Danghyang Nirartha terharu hatinya mendengarkan, kasihan kepada
putrinya dan murka kepada orang-orang desa (Pegametan).

Katanya : “Jangan khawatir anakku, ayah sedia mengajar anakku suatu


ilmu rahasia, agar anakku terlepas dari segala dosa dan dapat duduk
sebagai dewa”, demikian katanya.

Lalu Ida Ayu Swabhawa diajar suatu ilmu rahasia kaparamarthan yang
berkuasa melepaskan segala dosa. Setelah selesai ajarannya maka Ida Ayu
Swabhawa menggaib, suci dari dosa, menjadi dewa, disebut Bhatari (Dewi)
Melanting, yang akan menjadi junjungan persembahan orang-orang desa di
sana. Adapun ketika sang pendeta mengajar ilmu rahasia kepada putrinya,
didengar pula oleh seekor cacing kalung (?) maka dengan tiba-tiba musnah
(supat) papa dosanya, lalu menjelma menjadi seorang wanita yang
memohon agar diperkenankan menghamba kepada Empu Danghyang
dengan menyembah kakinya sang pendeta dan mengajukan permohonan
tersebut, sebagai pembalasan jasa beliau memusnahkan papanya kembali
menjadi manusia. Sang pendeta menerima permohonannya, lalu diberi
nama Ni Brit.

Ketika itu istri sang pendeta Sri Patni Kaniten yang telah diberi gelar Empu
Istri Ketut, dalam keadaan payah berdatang sembah kepada sang pendeta.

Katanya, “Empu Danghyang, dinda tidak kuasa berjalan lagi, rasanya ajal
dinda akan datang, ijinkanlah dinda turut sampai di sini dan ajarilah juga
dinda ilmu yang diberikan kepada anaknda Ni Ayu Swabhawa, agar dinda
terlepas dari segala dosa kembali menjadi dewa”. Jawab sang pendeta.
“Baiklah adikku, diam di sini saja bersama-sama dengan putri kita Ni
Swabhawa. Ia sudah suci menjadi Bhatari Dalem Melanting dan adinda
boleh menjadi Bhatari Dalem Ketut yang akan dijunjung disembah oleh
orang-orang di sini di desa bersama orang-orangnya yang ada di sini yang
akan kanda pralinakan (hanguskan) agar tidak kelihatan oleh manusia
biasa, semuanya menjadi orang halus, orang sumedang, dan daerah desa
ini kemudian bernama Mpulaki”. Demikian kata sang pendeta.

Setelah mengajarkan ilmu rahasia kepada istrinya maka Empu Danghyang


mengeluarkan agni rahasia (api gaib) menghanguskan seluruh desa dan
penghuninya.

GADING WANGI

Kemudian Danghyang Nirartha bersama 6 orang putra-putrinya berangkat


meneruskan perjalanannya ke timur, lalu tiba di sebuah desa : Gading
Wangi, yang kebetulan waktu itu orang-orang desa diserang penyakit
sampar (gering gerubug). Bendesa (Kepala Desa) Gading Wangi tatkala
mengetahui sang pendeta datang lalu segera menjemput di tengah jalan,
duduk bersila berdatang sembah lalu.

Katanya, “Empu Danghyang, kami mengucapkan selamat datang, bahwa


sang pendeta telah sudi datang ke desa kami yang sedang ditimpa penyakit
gerubug. Setiap hari ada saja orang-orang kami meninggal dengan
mendadak. Kami mohon hurip (hidup) mohon dengan hormat sudilah
kiranya Empu Danghyang memberi obat kepada kami agar yang sakit bisa
sembuh dan hama penyakit bisa hilang”.

Demikian katanya seraya berlinang-linang air mata. Danghyang Nirartha


terharu dan belas kasihan mendengarkannya. Seketika Ki Bendesa disuruh
mengambil air bersih ditempatkan di sangku, periuk atau sibuh. Setelah
diberi mantram oleh sang pendeta, lalu disuruh memercikkan kepada yang
sakit dan meminumnya. Empu Danghyang dan putra-putrinya dihaturi
pesanggrahan tempat beristirahat dan dipersiapkan hidangan santap-
santapan dan buah-buahan. Orang yang sakit setelah diperciki dan
diminumi air tirtha yang telah diberi mantram oleh sang pendeta, seketika
itu bisa sembuh segar bugar.

Pada sore harinya (sandhya kala) sang pendeta memerintahkan orang-orang


meletakkan ganten (kunyahan sirih) beliau itu di empat penjuru tepi desa
untuk mengusir bhuta kala (hantu setan) yang membikin penyakit. Orang-
orang desa yang diberi perintah menyembah segera berjalan melakukan
perintah sang pendeta. Memang betul-betul sang pendeta orang yang sakti,
seketika itu orang desa dapat membuktikan dan melihat bayangan
bangsa bhuta kala itu lari ke dalam laut, rupanya beraneka ragam. Orang
desa banyak yang turun mempersaksikan pemandangan yang ajaib itu, dan
semuanya heran terhadap kesaktian sang pendeta. Mulai ketika itu beliau
diberi gelar Pedanda Sakti Bahu Rawuh (pendeta sakti yang baru datang).
Yang pandai bahasa Kawi (Jawa Kuno) menyebut beliau itu Danghyang
Dwijendra (raja pendeta guru Agama).

Orang-orang desa semuanya riang gembira, tiap-tiap hari bergilir


menghaturkan santapan kepada sang pendeta dan putra-putrinya dan
membuatkan pamereman (tempat tinggal) di desa Wani Tegeh. Harapan
orang-orang desa supaya sang pendeta menetap di sana, tetapi sang pendeta
keberatan karena masih akan meneruskan perjalanan ke timur. Kemudian
Ki Bendesa Gading Wangi mohon berguru dan mabersih (madiksa)
menjadi pendeta. Sang pendeta berkenan meluluskan permohonannya agar
ada orang tua pembimbing Agama di sana. Ki Bendesa diajar ilmu
kebatinan dan Ketuhanan, selanjutnya dibersihi (diniksan) menjadi pendeta
(Dukuh) Gading Wani. Setelah itu diberi suatu panugrahan (anugerah)
dicantumkan dalam “Kidung Sebun Bangkung”. Ki Bendesa Gading Wani
setelahnya dilantik menjadi pendeta (Dukuh) menghaturkan anaknya wanita
yang cantik kepada Empu Danghyang Dwijendra, bernama Ni Jro
Patapan sebagai pangguru Yoga, yaitu tanda bakti berguru, untuk menjadi
pelayan Empu Danghyang Dwijendra dalam mengatur sesajen-sesajen
bersama-sama Ni Brit. Dengan senang hati Danghyang Dwijendra
menerimanya.

PURA RESI DESA MUNDEH

Entah berapa waktu lamanya Pedanda Sakti Bahu Rawuh berasrama di desa
Wani Tegeh, maka tersebarlah beritanya sampai ke desa Mas Gianyar, yaitu
sanak saudaranya Ki Bendesa Gading Wani yang bertempat tinggal di Desa
Mas, Gianyar dan sanak keluarganya di desa Mundeh daerah Kaba-Kaba.

Pada suatu hari Ki Pangeran Mas mengadakan persiapan pergi ke Desa


Wani Tegeh atau Gading Wangi perlu menghaturi Danghyang Dwijendra
supaya sudi datang ke Desa Mas. Sang Pendeta menyetujui. Pada suatu
ketika berangkatlah Empu Danghyang bersama putra-putrinya dari desa
Wani Tegeh hendak pergi ke Desa Mas maksudnya. Setelah tiba di desa
Mundeh dijemput oleh Ki Bendesa Mundeh di tengah jalan dengan suatu
maksud mohon berguru pada sang pendeta, tetapi ditolak oleh sang pendeta
karena permohonannya itu dilakukan sedang ada di jalan. Tetapi oleh
karena sangat khidmat baktinya Ki Bendesa menjemput beliau, maka ada
juga anugrahnya, yaitu debu tapak kaki beliau ketika beliau berdiri berhenti
di tempat itu, laksana suatu lingga yang harus dihormati oleh orang-orang
Mundeh sampai kemudian. Ki Bendesa Mundeh amat senang hatinya
menerima anugerah sang pendeta itu. Di tempat itu lambat laun dibangun
sebuah pura (tempat suci) diberi nama Pura Resi atau Pura Grhya Kawitan
Resi.

MANGA PURI (MANGUI)

Dari desa Mundeh sang pendeta berangkat arah ke timur laut, jalannya. Di
tengah jalan berjumpa dengan sebatang sungai. Di pinggir sebelah baratnya
ada sebuah mata air, airnya sangat suci dan sejuk dan di pinggir-pinggirnya
terhias dengan serba bunga yang sedang mekar, menyebarkan bau harum
yang menyedapkan rasa penciuman hidung. Bunga rampai yang pupus
gugur dari kuntumnya menutupi tanah seakan-akan kasur tilam sari,
sungguh-sungguh menggugah rasa indah nikmat mesra membatin. Sang
pendeta berhenti di tempat itu, dengan tenang melakukan yoga samadhi
disertai pujastuti dan japa mantra utama. Dan sekelilingnya itu
disebut Mangopuri (Mangui).

PURA SADA

Tidak lama sang pendeta ada di sana, lalu didengar oleh Ki Bendesa Kapal
turunan dari Ki Patih Wulung, tentang sang pendeta ada
di Mangopuri(Mangui), maka cepat-cepat Ki Bendesa Kapal datang
menghadap Empu Danghyang untuk menghaturi agar beliau singgah di sana
serta menjelaskan bahwa beliau membawa surat pemberian Krian Patih
Gajah Mada yang berisi perintah supaya memperbaiki pura Kahyangan
yang ada di Bali, dan pada waktu itu kebetulan ada karya puja wali (odalan)
di Pura Sada Kapal. Demikan isi permohonan Ki Bendesa Kapal. Sang
pendeta memenuhi permohonannya dengan senang hati dan berangkat
seketika itu juga.

Tiada diceritakan betapa halnya di tengah jalan, maka tibalah sang pendeta
di desa Kapal, lalu masuk ke dalam pura serta duduk di balai piyasan di
sebelah barat.
Sang pendeta bertanya kepada Ki Bendesa. “Kaki Arya,” panggilan beliau
kepada Ki Bendesa, “Siapakah yang akan menyelesaikan karya puja wali
Bhatara di Parhyangan ini?”. Jawab Ki Bendesa, “Singgih Empu
Danghyang, tidak lain Empu Guto kami haturi di gunung Agung, untuk
menyelesaikan upacara karya puja wali ini”. “Ki Arya”, kata sang pendeta,
“Ki Guto itu adalah pelayan bapak yang disangka pendeta brahmana. Ia
adalah penjelmaan gandarwa yang terkutuk dahulunya. Yang harus
diselesaikan olehnya segala caru (korban) yang kecil dan untuk upacara
selamatan sawah ladang, demikianlah hak wewenangnya”. Demikian kata
Empu Danghyang.

Tidak lama antaranya maka datanglah rakyatnya yang diutus pergi ke


Gunung Agung menghaturi Ki Guto, memikul Ki Guto dengan tandu
pegayotan serta berpayung agung, langsung masuk ke dalam parhyangan
Pura Sada. Demi dilihat Danghyang Dwijendra duduk di balai piyasan,
maka Ki Guto cepat-cepat turun dari tandu duduk bersimpuh di hadapan
sang Pendeta seraya mohon ampun tentang kesalahan tingkah lakunya.

Kata sang pendeta, “Hai kamu Guto, mulai sekarang kamu jangan menipu
masyarakat umum, aku mengampuni kesalahanmu”. Demikian kata sang
pendeta kepada Ki Guto, kemudian menoleh kepada Ki Bendesa. Katanya :
“Kaki Arya, ketahuilah, bapak yang mengutus Ki Guto pergi ke Bali untuk
menyelidiki Dalem Sri Baturenggong, telah lama tidak muncul kembali ke
Jawa. Kini urungkan Ki Guto menyelesaikan puja wali Bhatara di sini.
Yang patut dihadapinya ialah upacara korban (pacaruan) terutama pada
waktu-waktu tileming kasanga (bulan mati pada bulan kesembilan menurut
perhitungan kalender Bali yakni pada bulan Maret tahun Masehi),
anangluk marana (upacara menghindarkan tanaman dari hama), mabalik
sumpah di sawah ladang dan amugpug desti teluh tranjana (menghalau
sebangsa ilmu hitam). Itulah wewenangnya. Jika ditugaskan untuk puja
wali persembahyangan dewa di pura-pura, panas kesakitan masyarakat
desa olehnya”. Demikian kata pendeta.

Ki Guto dan Ki Bendesa menyembah berulang-ulang. Danghyang


Dwijendra dihaturi memuja menyelesaikan upacara puja wali di Pura Sada,
sedang Ki Guto disuruh memuja pada upacara korban (pacaruan).

DESA TUBAN

Setelah selesai upacara odalan di Pura Sada maka sang pendeta bersama
putra-putrinya dan 2 orang pelayannya pergi arah ke selatan tiba di
desa Tubandaerah selatan Badung, dijemput oleh orang-orang desa Tuban.
Semuanya dengan hormat dan tulus bakti mengaturkan hidangan santapan
kepada sang pendeta dan putra-putrinya semua. Sementara sang pendeta
berdiam di sana banyak ikan laut yang tertangkap. Itu adalah
karena kasidhian (kesaktian) Pedanda Sakti Bahu Rawuh itu. Demikian
juga tanam-tanaman dan segala sesuatunya menjadi baik semuanya.

Pada suatu hari sang pendeta dan putra-putrinya diaturi hidangan yang
penuh dengan berbagai masakan ikan laut. Sang pendeta bersama putra-
putrinya dengan senang menikmati hidangan yang luar biasa itu. Setelah
bersantap ada masih tersisa ikan separo (daging seekor ikan sebagian habis
disantap sebagian masih utuh). Setelah diberi mantram oleh sang pendeta
lalu dilemparkan ke dalam laut, maka ikan itu hidup kembali diberi nama
ikan tampak (telapak), oleh karena dagingnya habis sebagian. Ikan tampak
itu diberi mantram suci oleh pendeta dan diumumkan kepada orang-orang
yang ada disana, apabila kemudian ada orang megawe hayu(melaksanakan
upacara untuk kesejahteraan), ikan tampak itu boleh digunakan menjadi isi
sesajen suci (banten suci). Orang-orang desa Tuban yang kebetulan ada di
tempat itu melihat dan menyaksikan keadaan yang sedemikian itu,
semuanya tercengang heran takjub dengan kesaktian sang pendeta itu.
Kemudian sang pendeta mengajar dan menasehati orang-orang desa Tuban
membuat pukat (bubu) tanpa umpan agar banyak mendapat ikan dengan
cara diam-diam.

ARYA TEGEH KURI

Kurang lebih tujuh hari lamanya sang pendeta di desa Tuban maka
datang Kyayi Arya Tegeh Kuri menjemput sang pendeta bersama putra-
putrinya agar sudi simpang di puri beliau. Pada suatu ketika berangkatlah
sang pendeta diiringkan oleh Kyayi Tegeh Kuri. Setibanya di
desa Buagan terpaksa beliau berhenti dalam sebuah parhyangan Pura Batan
Nyuh karena dihalangi oleh banjir besar. Banyak orang datang menghadap
dari sebelah timur jalan melalui jembatan gantung, semuanya menyembah
serta bermohon pengalah air oleh karena rumah-rumahnya dilanda banjir.
Sang pendeta belas kasihan kepada orang-orang yang kena bencana alam
kebanjiran itu. Lalu beliau memberi sepotong kayu anceng(tongkat) yang
telah dirajah (ditulisi) Sanghyang Klar, disuruh memancangkan di muara
banjir itu. Dengan tiba-tiba, menggelombang naik air itu lalu bertolak lari
ke barat memutus jalan. Sangat heran orang-orang yang melihat tentang
kekuatan batin sang pendeta demikian itu.

Orang-orang desa berdatangan menghaturkan buah-buahan dan santap-


santapan lainnya. Tidak diceritakan lebih lanjut perihal sang pendeta di
tengah jalan, akhirnya tiba di Puri Arya Tegeh Kuri di Badung.

DESA MAS

Setelah beberapa lama beristirahat di Badung, maka datang Ki Pangeran


Mas menjemput Empu Danghyang dihaturi pergi ke Desa Mas. Danghyang
Dwijendra bersama putra-putri dan 2 orang pelayan pergi ke Desa Mas. Di
sana beliau itu dibuatkan grhya (rumah untuk brahmana) yang baik,
sehingga menetap sang pendeta, diam di Desa Mas. Lama kelamaan Ki
Pangeran Mas mengaturkan anaknya wanita yang amat cantik. Putri Ki
Bendesa Gading Wani, yang dipakai pelayan oleh sang pendeta bersama Ni
Brit, kini dipakai pelayan oleh putrinya Pangeran Mas yang bernama Sang
Ayu Mas Genitir. Kemudian setelah itu Pangeran Mas dibersihkan
(diniksan) oleh Empu Danghyang, menjadi pendeta dan telah lama paham
dengan Agama ilmu Ketuhanan dan ilmu Batin.
Setahun telah berselang pertemuan suami istri Danghyang Nirartha dengan
Sang Ayu Mas Genitir lalu melahirkan seorang putra diberi nama Ida Putu
Kidul.

Dalam antara itu ada seorang pelayan Pangeran Mas bernama Pan
Geleng mengaturkan sebuah pusuh (jantung pisang) pisang batu yang berisi
gading mas asal tanamannya sendiri kepada Danghyang Dwijendra. Kata
Danghyang waktu menerima pusuh pisang batu, “Semoga Pan Geleng kaya
sampai seturun-keturunannya kelak”.

DHARMANING BRAHMANA WANGSA

Diceritakan pada suatu hari sang pendeta memancing di taman, berdiri di


tengah telaga, kakinya beralas daun tunjung (teratai), bisa mengambang
tidak tenggelam. Setelah banyak mendapat ikan sang pendeta berhenti
memancing, lalu mandi menyucikan diri, kemudian melakukan Surya
Sewana. Setelah selesai, sang pendeta dihaturi hidangan santapan. Setelah
selesai bersantap, keempat orang putranya disuruh meneruskan menikmati.
Empat orang putranya yaitu : Ida Putu Telaga (Brambangan), dan Ida Putu
Mas (Desa Mas), yang biasa disebut Kulwan, Lor, Wetan dan Kidul.
Sedang para putranya itu menikmati hidangan maka sang pendeta
memberikan nasehat.

Katanya, “Anakku semua, engkau boleh saling cuntakain sampai turun-


turunanmu kemudian. Saling cuntakain artinya, tenggang-menenggang,
gotong-royong, bela-membela dalam keadaan suka duka hidup di dunia.
Apabila seorang ditimpa duka harus semuanya bela sungkawa. Tentang
perkawinan boleh ambil-mengambil. Tiap orang yang lebih tua dan lebih
pandai boleh dipakai guru (nabe). Jika kemudian engkau lupa dengan
ikatan bersaudara, astu (semoga) salah satu di antaranya yang melanggar
amanatku ini turun dan surut derajat kewibawaannya”. Demikian amanat
sang pendeta, ayahnya.

Lama-kelamaan terjadi hal yang agak ganjil mungkin karena kodrat Tuhan,
yaitu Danghyang menjamah pelayan Sang Istri Ayu Mas anak dari Ki
Bendesa Gading Wani yang bernama Jro Patapan, akhirnya berputra
seorang laki-laki bernama Ida Wayan Sangsiatau Ida Patapan nama
lainnya.

Lain dari itu, pelayan yang bernama Ni Brit pada suatu malam dijumpai
sedang mengeluarkan air kencing sebagai air pancuran sehingga menembus
tanah sehasta dalamnya, lalu dijamah juga oleh sang pendeta, kemudian
melahirkan seorang putra laki-laki diberi nama Ida Wayahan
Tamesi atau Ida Bindu namanya lain.

Diceriterakan setelah 2 orang putranya terakhir sama-sama besar, sang


pendeta pagi-pagi pergi pula ke suatu telaga di taman untuk memancing
ikan, berdiri di tengah telaga beralas daun tunjung, tetapi daun tunjung itu
tenggelam sepergelangan kaki sang pendeta, dan terlihat oleh beliau
ikan kakul (siput) yang telah disantap dagingnya, sisanya dilemparkan ke
dalam telaga, lalu hidup kembali. Dalam keadaan yang demikian itu
menyelinap suatu perasaan ke dalam hati sanubarinya, bahwa 2 orang
putranya terakhir ini akan surut perbawanya. Setelah selesai memancing
lalu beliau bersiram menyucikan diri, kemudian pulang dan masuk ke
tempat pemujaan, melakukan pemujaan sebagai biasa.

Setelah ke luar dari tempat memuja maka diaturi hidangan untuk bersantap.
Setelah sang pendeta habis bersantap maka dipanggil putranya berenam
orang untuk makan bersama-sama dalam satu hidangan. Putra-putranya
berenam datang dan telah siap akan makan bersama (magibung) satu
hidangan, demi masing-masing telah memegang nasi kepalan di tangannya,
maka tiap-tiap alat makan itu berontak berkelahi dengan kawan-kawannya.
Ada yang bertarung, ada yang jatuh, ada yang berbenturan
kepada dulang (tempat makan dari kayu), yang kalah membalas pula dan
lain sebagainya sehingga alat-alat makan itu berantakan. Hal itu dilihat oleh
sang pendeta, lalu disuruh orang membawakan lagi makanan dua hidangan
yang berlain-lainan. Setelah siap, maka Ida Wayahan Sangsi (Ida Patapan)
dikumpulkan dengan Ida Bindu (Ida Tamesi) makan menjadi satu hidangan,
sedang putranya yang 4 orang lagi yaitu Ida Putu Kemenuh, Ida Putu
Manuaba, Ida Putu Telaga dan Ida Putu Mas makan menjadi satu hidangan.
Dengan keadaan yang demikian maka tenteramlah masing-masing asyik
menikmati hidangan dengan sepuas-puasnya tidak sesuatu sengketa apapun
terjadi.

Sementara itu sang pendeta memberikan nasehat. “Anakku sekalian,


dengarlah nasehatku baik-baik! Anakku Putu Sangsi dan Putu Tamesi
dalam kehidupanmu turun-temurun boleh sembah-kasembah dan boleh
ambil-mengambil istri, tetapi terhadap turun-turunannya anak-anakku yang
4 orang (yaitu Putu Kulwan (Kamenuh) Putu Lor (Manuaba) Putu Wetan
(Telaga Keniten) dan Putu Mas tidak boleh. Tetapi engkau Putu Sangsi dan
Putu Bindu seturun-turunanmu boleh menghaturkan sembah,
menghaturkan putri dan berguru kepada saudara-saudaramu yang empat
orang ini dan turun-turunannya, sebab ibumu adalah orang-orang pelayan.
Demikianlah harus diingat betul-betul amanatku ini. Siapa yang melanggar
akan mendapat papa, surut wibawa dan wangsanya”. Demikian amanat
Danghyang Dwijendra.

KI GUSTI PANYARIKAN DAWUH BALEAGUNG

Lambat laun tersebar berita Danghyang Dwijendra sampai ke Gelgel,


bahwasannya ada seorang pendeta sakti baru datang disebut oleh
umum Padanda Sakti Bahu Rawuh, saktinya hampir sama dengan pendeta
Loh Gawe. Sebab itu Dalem Baturenggong (raja Bali saat itu) sangat besar
hasratnya hendak memanggil pendeta yang sakti itu untuk dijadikan
gurunya. Pada suatu hari diutus Ki Gusti Panyarikan Dawuh Baleagung
pergi ke Desa Mas untuk menghaturi Danghyang Dwijendra datang ke
Gelgel dan diharapkan datang besok harinya.

Pada hari yang baik berangkatlah Ki Gusti Panyarikan mengendarai kuda


putih, berpakaian putih, hanya giginya saja yang hitam. Setibanya di Desa
Mas terlihat olehnya Ki Bandesa Mas sedang menghadap sang pendeta di
balai pendopo kecil, maka segera beliau turun dari kendaraan.

Ki Bandesa Mas segera juga datang menjemput, “Selamat datang Ki Gusti


Panyarikan, silakan duduk!”

Ki Gusti Dawuh Baleagung segera duduk menghadap sang pendeta seraya


memperkenalkan diri dan mempermaklumkan kepentingannya datang.
Setelah banyak kata-katanya menceriterakan keadaan di Bali kemudian
timbul pikirannya hendak menyelami pengetahuan sang pendeta tentang
ajaran pemerintahan negara. “Tolong ajarilah saya”. Jawab sang pendeta.
“Dalam ajaran agama (sastra) begini. Tentang penerapannya dalam
praktek (sas) begini”. Ki Gusti Panyarikan bertanya pula, “Bagaimana
ajaran peraturan peperangan (dharma yudha) ?”. Jawab sang pendeta.
“Dalam ajaran agama (sastra) begini, pelaksanaan dalam prakteknya
begini”.

Kyayi Panyarikan diam seraya mengunyah sirih. Setelah dibuang susurnya


(sepah) lalu bertanya lagi. “Bagaimana ajarannya pertemuan asmara laki
dan perempuan (smara gama, cumbwana krama) ?”. Jawab sang pendeta,
“Dalam ajaran agama (sastra) begini, pelaksanaan dalam prakteknya (sas)
begini”.

Kyayi Dawuh diam dengan dalih mengunyah sirih. Setelah dibuang


sepahnya lalu bertanya, “Singgih Empu Danghyang bagaimana
pelaksanaan memukur atau maligya (maha sraddha) untuk mensorgakan
leluhur yang telah meninggal ?”. Jawab sang pendeta. “Jika dalam ajaran
agama begini, dalam prakteknya begini”.

(Catatan : dalam percakapan yang sebenarnya mungkin panjang lebar


keterangan sang pendeta mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
kepada beliau, tetapi didalam riwayat ini disebutkan pendek-pendek saja
yaitu dalam sastra begini dalam sas begini). Nanti kita menjumpai ajaran
beliau dalam kitab-kitab (lontar-lontar lain).

Oleh karena Ki Gusti Dawuh diam lama dan duduknya kian turun dari
tempatnya semula.

Maka sang pendeta bertanya, “Kenapa Ki Gusti diam, bertanyalah lagi!


Baru sedikit yang ke luar, masih banyak yang tersimpan”. Jawab Kyayi
Panyarikan, “Empu Danghyang adalah laksana laut, berapa banyak
tempayan tempat air tentu saja terpenuhi semuanya”.

Selanjutnya Kyayi Panyarikan merasa sangat beruntung dalam hatinya,


sebagai kodrat Tuhan mempertemukannya dengan seorang pendeta yang
sakti dan ahli dalam hal agama. Lalu memajukan permohonan supaya
beliau diterima menjadi muridnya, berguru kepada sang pendeta, belajar
rahasia ilmu Ketuhanan dan akhirnya mohon dibersihkan dan dinobatkan
sebagai Bhagawan, pendeta ksatria. Sang pendeta berkenan meluluskan
permohonan Ki Gusti Panyarikan. Pada malam harinya sang pendeta
mengajar rahasia ilmu Ketuhanan dengan yoga samadhinya dan Weda
mantram yang penting-penting. Ki Gusti Panyarikan memang sudah
mempunyai dasar dan bakat yang kuat tentang ilmu Ketuhanan, karena
usaha dan latihannya sendiri, sebab itu segala ajaran sang pendeta cepat
dapat ditampung dan dipenuhinya. Besok paginya kebetulan hari baik,
beliau dibersihkan (diniksan) oleh sang pendeta menjadi Bhagawan.
Setelah diniksan lanjut sehari itu Empu Danghyang asyik memberi nasehat
dan ajaran-ajaran yang penting-penting kepada muridnya, sehingga Kyayi
Panyarikan lupa dengan janjinya atas perintah Dalem harus kembali hari
itu. Karena keadaan memaksa Kyayi Panyarikan terlambat sehari kembali
ke Gelgel mengiringkan Danghyang Nirartha.

PURA SILAYUKTI, TELUK PADANG

Pagi-pagi setelah dua malam lewat, maka Kyayi Panyarikan berangkat


mengiring Pedanda Sakti Bawu Rawuh ke Gelgel sama-sama mengendarai
kuda. Tiada diceritakan halnya di tengah jalan maka tibalah di Gelgel.
Tetapi sayang Dalem telah berangkat pagi-pagi ke Teluk Padang
(Padangbai) untuk berburu binatang dan menangkap ikan diiringi oleh para
mantri punggawa dan rakyat sangat banyaknya. Oleh karena demikian
halnya maka terpaksa Ki Gusti Dawuh mengiringkan Danghyang
Dwijendra pergi Teluk Padang. Setibanya di Padang, sang surya telah lewat
tengah hari, para punggawa mantri telah sama-sama mulai mencari
pondoknya masing-masing Kyayi Panyarikan mengiring Danghyang
menuju pesanggrahan Dalem.

Dalem Baturenggong agak murka kepada Kyayi Panyarikan katanya,


“Panyarikan, kenapa sampai lewat janji baru datang? Sebagai bukan
orang tua, Panyarikan! Empu Danghyang antarkan ke parhyangan
istananya Empu Kuturan!”

Setelah Danghyang Nirartha beristirahat, datang Dalem Baturenggong


menghadap bersama beberapa orang pelayan membawa santapan. Seraya
berkata, “Selamat datang Empu Danghyang, maafkan keadaan tempat yang
tidak sepertinya ini, dan persilakan menikmati santapan ala kadarnya”.

Sang pendeta mengucapkan banyak terima kasih lanjut berkata, “Tuanku,


maafkanlah Ki Nanak Panyarikan agak terlambat pada janjinya, sebab
ingin berguru ilmu Ketuhanan dan ingin dibersihkan dirinya menjadi
Bhagawan. Jika tuan ingin juga bersih (madiksa), kami sedia
melakukannya, jangan tuanku kecewa karena belakangan, sebab soal
Agama (Dharma) tidak mengenal carikan atau sisa-sisa, karena soal
Agama adalah Ketuhanan Yang Suci”. Demikianlah kata sang pendeta. Dan
Sang Pendeta menyambung pula katanya, “Banyakkah tuanku dapat
menangkap ikan dan binatang?”. Jawab Dalem. “Tuanku coba sekarang
perintahkan rakyat tuanku menangkap ikan dan berburu binatang, kiranya
banyak berhasil”.

Dalem menurut sang pendeta, memerintahkan rakyatnya mengulangi


menangkap ikan dan berburu. Sebelum rakyat masuk ke laut akan
menangkap ikan dan ke hutan belukar akan berburu binatang sang pendeta
ke luar berdiri di halaman memandang ke laut memanggil ikan dan
memandang ke hutan memanggil binatang. Tidak antara lama banyak ikan
dan binatang tertangkap oleh rakyat. Dalem dan sang pendeta sangat
gembira melihatnya. Setelah hari sore semua rakyat penangkap ikan dan
pemburu binatang telah kembali ke tempatnya dengan membawa hasilnya
sangat banyak, maka Sri Aji Bali dan sang pendeta kembali lagi ke
pesanggrahan. Pada malam harinya sampai larut malam Dalem
Waturenggong bercakap-cakap dengan sang pendeta tentang soal Agama.
Tetapi soal mabersih (madiksa) Dalem masih bertangguh, masih berpikir.

Besok paginya Dalem kembali ke Gelgel diiring oleh seluruh menteri,


punggawa dan rakyat. Dalem duduk dalam satu pedati yang ditarik kuda
bersama sang pendeta. Setibanya di kali Unda jalan pedati berhenti karena
air kali Unda pasang naik, banjir karena hujan di pegunungan.

Sang pendeta bertanya pada Dalem, “Tuanku, apa sebab pedati kita
terhenti?”. Jawab Dalem. “Air kali Unda sedang pasang naik tidak dapat
dilalui”. Kata sang pendeta, “Mungkin tuanku belum tahu dengan
pelaksanaan aswa-siksa, (ajaran melatih kuda)”.

Dalem mengaku terus terang bahwa beliau belum mengetahui ajaran aswa-
siksa, sebab itu dibisiki ajarannya oleh sang pendeta. Setelah Dalem
mengerti dan paham tentang ajaran aswa-siksaterutama mantramnya, lalu
diambil oleh beliau sebuah cambuk dilecutkannya dengan keras, maka
ujungnya keluar api sedang pangkalnya keluar air amrta. Dalam keadaan
demikian itu kuda mendobrak air sungai, kakinya tenggelam sepergelangan
lari dengan selamat ke tepi sungai di barat. Semua yang melihat sangat
heran.

Tiada diceritakan lebih lanjut betapa hal iring-iringan raja Bali di tengah
jalan, maka tibalah di istana Gelgel. Sang pendeta ditempatkan di tempat
yang suci dengan menikmati hidangan yang secukupnya.

Dalem pada kesempatan ini menjelaskan sikapnya, katanya : “Empu


Danghyang, sampai saat ini saya belum ada niat akan mabersih (madiksa)
karena telah merupakan surudan (sisa-sisa) dari Pangeran Dawuh”. Jawab
sang pendeta. “Tuanku, maklumilah seyakin-yakinnya, bahwa Agama
(Ketuhanan) itu tidak ada merupakan surudan (sisa-sisa), kalau diandaikan
samahalnya dengan air yang dikucurkan”.

Sekalipun demikian penjelasan sang pendeta, namun Dalem Baturenggong


tetap pada pendiriannya tidak mau madiksa (mabersih).

IDA BURUAN

Diceritakan Ki Gusti Panyarikan Dawuh Baleagung yang telah


berkedudukan sebagai pendeta Bhagawan acapkali menghadap kepada
Dhangguru mendalami ajaran agama dan kebatinan sampai juga kepada
kesusastraan, tembang-tembang bersanjak, pupuh kidung dan guru laghu
kekawin, sehingga pengetahuan Ki Gusti Bhagawan sungguh-sungguh
padat dan suci. Lama-kelamaan sebagai pangguru yoga (bakti kepada guru)
beliau mengaturkan seorang putrinya yang terkenal cantik dan menaruh
bakat keagamaan dan kesusastraan kepada Dhangguru. Danghyang
Dwijendra menerima dengan senang hati pangguru yoga itu, lalu
dikawinkan dengan putranya yang bernama Ida Putu Lor. Dari perkawinan
ini menurunkan 2 orang putra laki-laki di berinama : Ida Ketut Buruan.

Danghyang Nirartha mempunyai asrama (grhya) di dua tempat, yaitu : di


Desa Mas dan di Desa Gelgel. Tiap-tiap hari purnama atau tilem Sira Empu
tetap masuk ke istana menghadap Dalem diiringi oleh cucundanya yang
masih kecil Ida Wayahan Buruan. Pada hari-hari baik yang sedemikian itu
Dalem dipuja oleh Empu Danghyang dengan Weda pangjaya-jaya dan
diperciki air tirta yang telah diberi mantram kekuatan batin Ketuhanan.
Dengan hal yang demikian lambat-laun Dalem menjadi seorang raja besar
perbawanya, karena segala batin kependetaan ada pada beliau, namun
sayang beliau belum mau madiksa(mabersih) karena belum bersih hatinya
didahului oleh Kyayi Panyarikan Dawuh Baleagung.

DALEM BATURENGGONG BERGURU(MADIKSA)

Diceritakan Empu Danghyang Angsoka, kakak dari Danghyang Nirartha,


beliau membuat suatu karangan yang diberi nama Smara Rencana dikirim
ke Bali kepada adiknya, kemudian dibalas dari Bali oleh Empu Danghyang
Nirartha dengan kidung Sarakusuma. Dengan hal demikian tahu Dalem
bahwa Danghyang Angsoka seorang pendeta yang pandai, maka niatnya
timbul akan berguru kepada beliau, lalu mengirim utusan ke Daha untuk
menghaturi Danghyang Angsoka datang ke Bali untuk menjadi gurunya
Dalem dan lanjut memberi pembersihan(padiksan). Tetapi Danghyang
Angsoka menolak permintaan Dalem Bali.

Katanya, “Di Bali telah ada adik saya yang lebih pandai dari saya. Sangat
patut menjadi purohitanya (gurunya) Dalem”.

Setelah beberapa lama kemudian, tiba-tiba turun Bhatara Mahadewa dari


Gunung Agung, diiringi oleh Sang Boddha datang ke Gelgel menemui
Dalem.

Lalu bersabda, “Anakku Dalem Baturenggong, jika tidak terus anakku


berguru kepada Empu Dwijendra, karena tidak ada pendeta yang sama
dengannya, tak dapat tiada akan kacau negara anakku, segala tanah tidak
bisa dipetik buahnya, penyakit akan mengembang, musuh akan timbul
banyak, tidak selamat negara olehmu”, demikian sabda Bhatara Mahadewa
lalu musnah dari pandangan.

Dalem Baturenggong menyembah dan berjanji akan mentaati sabda


Bhatara. Setelah itu Dalem bermohon hormat kepada Danghyang
Dwijendra untuk berguru anuhun pada dan diniksan. Empu Danghyang
dengan gembira meluluskan permohonan Dalem, karena telah lama dinanti-
nantikan. Hari untuk madiksa dipilih hari purnamaning Kapat (purnama
pada bulan keempat menurut perhitungan tahun Bali, yakni sekitar
Oktober). Setelah tiba hari yang baik itu, maka dengan upacara kebesaran
Dalem diniksan oleh Empu Danghyang. Setelah selesai
upacara padiksan itu, Empu Danghyang memberi nasehat tentang tata cara
orang memangku kerajaan dan supaya jangan lupa kepada Ketuhanan dan
leluhur. Tetapi tatkala mengucapkan weda puja jangan memegang genta
menyamai Bhatara namanya, sangat berbahaya.

Sesudah Sri Aji Baturenggong kian mashyur namanya memegang


pemerintahan, negaranya tenteram kerta raharja, makmur sandang pangan,
tidak ada wabah penyakit merajalela, tidak ada musuh timbul.

SIRA AJI KRAHENGAN DARI SASAK

Pada suatu ketika Seri Aji Baturenggong mempermaklumkan kepada


Dhanggurunya bahwa negara Bali sering diserang oleh Sira Aji
Krahengandari Sasak (Lombok) yang amat sakti dan pandai mengubah diri
(maya-maya) dan ahli melayang. Acapkali prajurit beliau kalah dalam
pertempuran di tepi laut. Itu saja yang mengganggu negaranya. Sebab itu
beliau mohon nasehat bagaimana caranya menghadapi musuh itu.

Jawab Danghyang Dwijendra. “Nanak Baturenggong, baiklah bapak


mencoba pergi ke Sasak sebagai utusan nanak, untuk datang kepada Sira
Aji Krahengan mengadakan persahabatan oleh karena untuk keselamatan
bersama, lebih baik bersahabat daripada bermusuhan. Bersahabat akan
banyak mendapat keuntungan bersama, sedangkan kalau bermusuhan
banyak mendapat kerugian”.

Pada suatu hari yang baik Danghyang Dwijendra berlayar dengan


menumpang jukung. Pelayarannya lancar dan tidak mendapat rintangan
suatu apa pun. Setibanya di Sasak langsung beliau masuk ke dalam purinya
Sira Aji Krahengan. Ketika Sira Aji Krahengan melihat pendeta datang,
segera turun dari tempat duduknya menjemput sang pendeta dengan hormat
dan dipersilahkan duduk berdekatan dengan beliau. Setelah bersama-sama
menikmati suguhan minuman maka Sira Aji Krahengan berkata dengan
hormat menanyakan kepentingan sang pendeta datang. Danghyang
Dwijendra menjelaskan maksud beliau datang itu, yaitu atas perkenan
bahkan merupakan utusan dari Sira Aji Baturenggong untuk mengadakan
suatu ikatan persahabatan kepada Sira Aji Krahengan.

“Tuanku,” kata sang pendeta. “Bapak datang sekarang ini adalah atas
usaha bapak, yang disetujui oleh Seri Aji Baturenggong, yakni untuk
mengadakan suatu ikatan persahabatan yang akrab di antara beliau
dengan tuanku. Sebab menurut pendapat bapak adalah banyak untungnya
bila dapat mengadakan ikatan persahabatan dari pada permusuhan.
Persahabatan dapat menyebabkan negara masing-masing berkeadaan
tenteram dan sejahtera, karena masyarakat masing-masing tekun bekerja
untuk kemakmuran, tidak ada yang mengganggu. Kalau bermusuhan
masing-masing akan mendapat kerugian. Sebagai suatu bukti untuk
menyatakan betul-betul ikatan persahabatan ini berlaku, ada baiknya kalau
tuanku memberikan seorang putri tuanku untuk menjadi istrinya Seri Aji
Baturenggong”, Demikian kata sang pendeta. Jawab Sira Aji Krahengan,
“Sang pendeta harap dimaafkan saja, karena kami tidak dapat memenuhi
sebagai anjuran sang pendeta itu, sebaiknya sang pendeta pulang saja!”.

Dengan hal yang demikian sang pendeta ke luar dari dalam puri seraya
mengeluarkan kata kutukan (pamastu) : “Moga-moga si Krahengan surut
kesaktianmu dan hancur kebesaranmu”. Demikian katanya terus menuju
pesisir, naik ke atas jukung yang ditumpangi tadinya lalu menuju pulau
Bali.

Tidak diceritakan dalam perjalanan, sang pendeta telah tiba di Puri Gelgel
dijemput oleh Dalem Baturenggong dengan khidmad.

Setalah sama-sama duduk, Dalem bertanya, “Ya sang Maharsi, apakah


berhasil usaha sang Maharsi?”. Jawab sang pendeta, “Nanak
Baturenggong, tidak berhasil usaha bapak mengadakan ikatan
persahabatan kepada Si Krahengan dan bapak telah memberi kutukan
(pastu) agar ia surut kewibawaannya, tidak lanjut menjadi ksatria”.

PURA RAMBUT SIWI

Setelah beberapa lamanya di Gelgel maka Danghyang Nirartha ingin


bercengkerama menjelajah daerah Nusa Dua Bali. Keinginan beliau itu
disampaikan kepada Dalem, maka Dalem menyetujui dan mengijinkan
beliau menjelajah daerah Nusa Bali.

Mula-mula beliau berangkat arah ke barat, sampai di daerah Jembrana


berbelok ke selatan, berbalik ke timur menyusur pantai. Akhirnya bertemu
dengan seorang tukang sapu suatu parhyangan sedang duduk-duduk di luar
parhyangan itu.

Setelah sang pendeta dekat maka orang itu cepat-cepat mendatangi seraya
menyapa. Katanya, “Ya sang pendeta, dari mana dan mau ke mana sang
Maharsi sekarang ini ? Sebaiknya berhenti sebentar di sini, jangan tergesa-
gesa terus berjalan, saya mempermaklumkan bahwa di sana malahan ada
suatu parhyangan tempat kami sembahyang yang angker dan keramat.
Barang siapa lalu di sini tidak menyembah di parhyangan kami, tentu nanti
diterkam oleh harimau. Untuk keselamatan sang pendeta, silakanlah dulu
menyembah di parhyangan kami!”. Demikian katanya seraya menghambat
perjalanan sang pendeta. Jawab Empu Danghyang. “Kalau harus demikian,
baiklah antarkan saya masuk ke parhyanganmu untuk menyembah!”.

Sang pendeta diantar masuk dalam parhyangan. Setibanya di hadapan suatu


bangunan palinggih tempat menyembah, sang pendeta lalu duduk
melakukan yoga, mengheningkan cipta memandang ujung hidung (angrana
sika), menunggalkan jiwatmanya kepada Ida Sanghyang Widhi. Ketika
beliau sedang asyiknya melakukan yoga, tiba-tiba rubuh gedung palinggih
tempat menyembah itu. Hal itu nyata dilihat oleh orang yang mengantar
tadi, lalu menangis mohon ampun kepada sang pendeta.

Katanya, “Ampunilah saya sang Maha Empu, ampunilah kesalahan hamba


karena memaksa sang Maha Empu menyembah di sini! Dan hamba mohon
dengan hormat belas kasihan sang Maha Empu, agar diperbaiki lagi
parhyangan kami sebagai semula, supaya ada kami junjung dan kami
sembah setiap hari,” demikian katanya seraya menangis tersedu-sedu.

Danghyang Dwijendra belas kasihan juga melihat bangunan palinggih itu


rubuh dan mendengar tangis orang itu. Katanya, “Kalau begitu kehendakmu
baiklah saya memperbaikinya”.

Sang pendeta lalu memperbaiki bangunan itu sehingga berdiri lagi seperti
semula, dan selanjutnya beliau melepaskan gelung rambutnya sehingga
terurai, dicabutnya sehelai diberikan kepada orang itu. Seraya berkata,
“Inilah sehelai rambut, siwi (junjungan sembahyang) di sini, letakkan di
atas bangunan ini, agar kamu dan sanak keluargamu mendapat selamat
sejahtera selanjutnya”.

Orang itu menyembah seraya menerima sehelai rambut sang pendeta itu
seraya menuruti segala nasehat beliau. Semenjak itu parhyangan itu
disebut Pura Rambut Siwi.

Matahari ketika itu telah pudar cahayanya, kian merendah hendak


menyembunyikan wajahnya di tepi langit barat, sebab itu sang pendeta
berniat akan bermalam di dalam Pura Rambut Siwi. Orang-orang makin
banyak menghadap sang pendeta, yang berniat mohon nasehat soal Agama,
adapula yang mohon obat. Semalam-malaman itu sang pendeta
menasehatkan ajaran Agama, terutama berbakti kepada Ida Sanghyang
Widhi dan Bhatara-bhatari leluhurnya, agar sejahtera hidupnya di dunia.
Dan diperingatkan supaya tiap-tiap hari Rabu Umanis Prangbakat
mengadakan pujawali (perayaan) di Pura Rambut Siwi itu untuk
keselamatan desa.

PURA PAKENDUNGAN

Diceritakan besok paginya setelah sang surya mulai memancarkan


cahayanya ke seluruh permukaan bumi, Empu Danghyang melakukan
sembahyang Surya Sewana disertai oleh orang-orang yang ada di sana,
setelah memercikkan air tirtha kepada orang-orang yang turut sembahyang
maka Empu Danghyang berangkat dari dalam Pura Rambut Siwi arah ke
timur menyusuri tepi pantai, diiringi oleh beberapa orang yang tertaut cinta
baktinya kepada sang pendeta. Empu Danghyang selalu memperhatikan
keindahan alam yang dilaluinya dan dilihatnya. Dalam keindahan
pandangan itu selalu terbayang kebesaran Tuhan yang menjiwai keindahan
itu yang menyebabkan mesra menyerap menyulut batin orang menjadi
indah bahagia. Sang pendeta selalu membawa lembaran lontar dan pengutik
pengrupak (pisau raut alat manulis daun rontal) untuk menggoreskan
keindahan alam yang dijumpainya. Akhirnya tiba di daerah Tabanan, di
sana terlihat olehnya sebuah pulau kecil di tepi pantai yang terjadi dari
tanah parangan, indah tampaknya dan suci suasananya. Lalu beliau berhenti
di sana. Kemudian dilihat oleh orang-orang penangkap ikan yang ada di
sana, lalu mereka itu datang menghadap sang pendeta masing-masing
membawa persembahannya.
Pada waktu itu hari sudah sore, orang-orang nelayan itu menghaturi sang
pendeta supaya beristirahat di pondoknya saja, tetapi sang pendeta menolak,
beliau lebih suka beristirahat di pulau kecil itu. Malam itu sang pendeta
mengajarkan agama kepada orang-orang yang datang dan dinasehatkan
supaya membuat parhyangan di tempat itu karena tempat itu dirasa sangat
suci, baik untuk tempat memuja Tuhan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran daerah lingkungannya. Orang-orang yang menghadap berjanji
akan membuat parhyangan di sana dinamai Pura Pakendungan atau Pura
Tanah Lot.

PURA HULU WATU DAN PURA BUKIT GONG

Besok paginya setelah melakukan sembahyang Surya Sewana maka Empu


Danghyang Nirartha berangkat dari Pakedungan ke arah Tenggara dengan
jalan darat menyusuri pantai. Dari jauh tampak oleh beliau suatu tanjung
yang menonjol ke laut di bagian wilayah bukit Badung, maka tanjung itulah
yang beliau tuju, perjalanan agak dipercepat di pantai, air laut sedang surut.
Setibanya di sana maka diperhatikan oleh beliau bahwa tanjung itu terjadi
dari batu karang seluruhnya dan sangat besar. Selanjutnya diperiksa
keadaan batu karang itu ke utara, ke barat, ke selatan dan ke timur serta
diperhatikan pula pemandangan yang terlihat dari sana. Sungguh-sungguh
indah dan bebas lepas ke seluruh penjuru dunia. Kemudian terdengar
bisikan jiwa beliau bahwa tempat itu baik tempat memuja Ida Sanghyang
Widhi dan terutama tempat “ngaluhur” melepas jiwa atmanya kelak ke
alam sorga.

Akhirnya beliau mengambil keputusan membuat kahyangan di tempat itu.


Untuk kepentingan itu terpaksa beliau membuat asrama di sebelahnya untuk
menetap sementara mengerjakan kahyangan itu. Pekerjaan membuat
kahyangan itu mendapat bantuan dari orang-orang yang dekat di sana.
Setelah beberapa hari lamanya maka kahyangan itu selesai diberi
nama Pura Hulu Watu. Di tempat asrama Empu Danghyang lama kelamaan
didirikan juga sebuah kahyangan oleh orang-orang di sana dinamai Pura
Bukit Gong.

PURA BUKIT PAYUNG

Setelah Pura Hulu Watu selesai dan telah dinasehatkan kepada orang-orang
di sana untuk menjaganya, maka Danghyang Nirartha melanjutkan
perjalanan lagi ke arah timur dengan melalui tanah berbukit-bukit, tiba di
goa Watu, dari sana menuju Bualu.
Di sebelah tenggara Bualu ada sebuah tanjung yang menjorok ke laut, di
sana beliau berhenti. Ketika beliau menancapkan payungnya ke tanah, maka
tiba-tiba memancur air dari dalam tanah, sangat suci dan hening. Air itu
dipergunakan menyucikan diri. Oleh orang-orang yang dekat di sana karena
gembira hatinya seakan-akan mendapat anugrah air amrta (air kehidupan),
maka di tempat itu dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Bukit
Payung..
PURA SAKENAN
Setelah menyucikan diri di Bukit Payung, maka Danghyang Nirartha
berangkat pergi arah ke utara menyusuri pantai. Tidak jauh dari sana
dijumpainya dua buah pulau batu “NUSA DWA” disebut orang. Di sana
beliau berhenti dan mengarang kekawin Anyang Nirartha. (Kakawin atau
karangannya itu melukiskan segala obyek keindahan yang dilihat oleh
beliau sepanjang perjalanan, digubah dijadikan sanjak kakawin yang terikat
dengan guru laghu).

Setelah selesai mencatat bahan-bahan kakawinnya, lalu Danghyang


Dwijendra melanjutkan perjalanan arah ke utara. Tidak diceritakan halnya
di tengah jalan maka sampailah beliau di Serangan. Pada bagian tepi barat
laut Serangan sang pendeta kagum merasakan keindahan alam di sana, yaitu
keindahan laut yang tenang berpadu dengan keindahan daratan yang
melingkunginya. Sang pendeta tak puas-puasnya memandang keindahan
alam yang dianugrahkan Tuhan di sana dapat mempengaruhi batin menjadi
suci tak ternoda sedikitpun, sehingga beliau terpaksa berhenti dan menginap
beberapa malam di sana. Terasa oleh beliau bahwa di tempat itu ada suatu
sumbu kekuatan gaib yang suci, dan baik sebagai tempat sembahyang
memuja Tuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan.

Sebab itu beliau membangun juga suatu kahyangan di sana diberi


nama cakenan (yang asal katanya dari cakya = dapat langsung menyatukan
pikiran). Pujawali dilakukan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan dan
keramaiannya pada hari manisnya (sehari sesudahnya).

PURA AIR JERUK

Setelah Pura Sakenan itu selesai dibangun, maka Danghyang Dwijendra ke


luar dari dalam pura lalu berangkat pergi ke utara menumpang sebuah
jukung, lalu mendarat di Renon. Selama beliau berdiam di sana ada suatu
kejadian, yaitu ketika tongkat beliau itu dipancangkan, tidak berapa lama
lalu keluar tunas dan hidup menjadi pohon sukun. Setelah beberapa hari ada
di sana, beliau meneruskan perjalanan arah ke timur, tiba beliau di Udyana
Mimba (Taman Intaran). Dari sana sang pendeta meneruskan perjalanan ke
arah timur laut, menyusur pantai laut kemudian tiba di pantai selatan
wilayah Bumi Timbul (Sukawati).

Dari sana beliau masuk ke darat arah ke utara lalu tiba di sawah Subak
Laba. Di sana sang pendeta berhenti dan menginap, dijamu oleh orang-
orang subak (organisasi masyarakat Bali mengurusi pengairan) dengan
buah jeruk yang sedap rasa airnya. Di asrama tempat menginap Empu
Danghyang setiap malam penuh orang-orang subak menghadap mohon
nasehat ajaran agama terutama dari hal bercocok tanam padi dan palawija
lainnya menurut masa (musim) dan hari wewaran (hari-hari baik menurut
perhitungan Bali). Sejak sang pendeta ada di sana segala tanam-tanaman
dan binatang ternak berhasil baik. Sebab itu setelah Empu Danghyang pergi
dari sana, maka oleh orang-orang subak dibuatnya satu pura di bekas
tempat asrama sang pendeta (yang dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti
Bahu Rawuh) di beri nama Pura Air Jeruk, tempat sembahyang mohon
keselamatan tanam-tanaman dan binatang ternak. Dan di sana ditanam satu
pohon rontal sebagai peringatan ajaran agama yang diberikan oleh sang
pendeta.

PURA TUGU

Diceritakan Danghyang Dwijendra berangkat dari Subak Laba pergi ke


timur pula menyusuri pantai laut. Setelah tiba di Rangkung lalu berbelok ke
utara. Sesudahnya di hulu desa Tegal Tugu sang pendeta berhenti di luar
suatu kahyangan.

Kemudian keluar seorang pamangku (pendeta pura) dari dalam pura setelah
menyapu melakukan pembersihan, datang kepada sang pendeta yang
sedang berhenti di luar pura. Setelah bertemu sang pamangku berkata dan
menyuruh sang pendeta menyembah ke dalam pura. Sang pendeta tidak
membantah, menuruti permintaan pamangku itu lalu berjalan masuk ke
dalam pura, diiringi oleh pamangku tadi. Sang pendeta duduk bersila di
halaman pura berhadapan dengan bangunan-bangunan palinggih, lalu
melakukan yoga mengheningkan cipta menghubungkan jiwatmanya dengan
Tuhan. Tiba-tiba rusak bangunan-bangunan palinggih itu semua. Sang
pamangku bukan main terkejutnya dan terharu hatinya melihat keadaan itu,
lalu menangis mohon ampun kepada Empu Danghyang disertai
permohonan agar sang pendeta menaruh belas kasihan supaya tidak terus
puranya mengalami kerusakan dan dapat kembali selamat sebagai sedia
kala. Demikian kata sang pamangku seraya menyembah kepada sang
pendeta.

Danghyang Dwijendra meluluskan permohonan pamangku itu, dengan jalan


yoga dapat pula dikembalikan keselamatan kahyangan itu yang tampak
sebagai semula. Sang pamangku sangat girang hatinya, menyembah
berulang-ulang kepada sang pendeta seraya mengucapkan banyak terima
kasih. Sang pendeta berkata kepada sang pamangku. “Sri Mangku, ini
kancing gelung saya, saya berikan kepada mangku, tempatkanlah di pura
ini, dan sesudahnya kahyangan ini diberi nama Pura Tugu”, demikian kata
beliau seraya memberikan kancing gelung beliau kepada sang mangku.
Sangat gembira pamangku itu menerimanya dan berjanji akan melakukan
segala nasehatnya.

GENTA SAMPRANGAN

Setelah selesai persoalan di Pura Tugumaka Danghyang Nirartha


meneruskan perjalanan ke arah timur sampai di Samprangan lalu berhenti.
Ketika beliau duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba terdengar oleh beliau
suara genta yang digoyang-goyang-kan memenuhi angkasa, sangat merdu
dan indah dirasa oleh sang pendeta, sehingga lama beliau termenung
mengira-ngirakan di mana suara genta itu. Tidak lama antaranya datang dari
arah timur seorang pangalu (pedagang) menuntun seekor kuda yang
berkalung gentorag(genta) yang suaranya sangat indah dirasa oleh sang
pendeta, lalu dipanggil pangalu itu.
Setelah pangalu itu dekat maka kata sang pendeta, “Bolehkah saya minta
genta gentorag kalung kuda saudara, untuk saya pergunakan dalam
memuja, karena saya tertarik dengan suaranya sangat indah!”.

Orang pangalu itu demi mendengar kata sang pendeta demikian, dengan
cepat membuka kalung kudanya, dan dengan hidmat serta tulus ikhlas
menghaturkan kepada sang pendeta.

Ketika sang pendeta menerima genta itu dari tangan orang pangalu itu,
dengan gembira berkata, “Semoga engkau berbahagia dan selamat
sejahtera selalu dalam perlindungan Sanghyang Widhi”.

Sebagai diperciki tirtha amrta perasaan hati pangalu itu ketika mohon diri
dan berangkat menuntun kudanya. Genta itu diberinama “Genta
Samprangan”,karena didapat dari Samprangan.

PURA TENGKULAK

Berangkat pula sang pendeta dari Samprangan ke timur sampai di desa Syut
Tulikup, di pinggir kali beliau berhenti duduk-duduk. Kemudian datang
beberapa orang turut duduk menghadap sang pendeta, dengan hormat
menyapa sang pendeta menanyakan dari mana datang ke mana tujuannya.
Setelah sang pendeta menerangkan halnya berkelana menjelajah pulau Bali,
maka mereka menyuruh salah seorang di antaranya memanjat pohon nyiur
memetik buah kelapa muda (kelungah) untuk dihaturkan kepada sang
pendeta.

Yang disuruh segera memanjat sepohon nyiur memetik sebuah kelungah,


dan sesudah kelungah itu dikasturi (dipotong bagian tampuknya) lalu
dihaturkan kepada sang pendeta untuk diminum.

Sang pendeta menerima kelungah itu dengan ucapan terima kasih. Sebagai
biasa apabila sang pendeta akan minum atau akan bersantap sesuatu
apapun, selalu didahului dengan ucapan-ucapan weda mantram yang
mengandung ucapan syukur kepada Tuhan, barulah diminum atau disantap.
Setelah selesai sang pendeta minum airnya, maka kelungah itu dipecah dua
untuk disantap isinya. Sang pendeta menyantap isi kelungah itu perlahan-
perlahan sambil bercakap-cakap kepada orang-orang desa di sana. Orang-
orang itu menjelaskan bahwa kesejahteraan dan kemakmuran mereka
kurang memuaskan, karena sering diserang penyakit dan tanam-
tanamannya kurang berhasil. Sang pendeta menasehatkan apabila ada
halangan sesuatu, agar beliau dipanggil secara batin, tentu beliau akan
datang secara niskala memberi pertolongan memohonkan kepada Tuhan
agar halangan itu bisa dimusnahkan. Setelah sang pendeta habis bersantap
lalu berangkat arah ke selatan diiringi oleh orang-orang yang menghadap
itu sampai di tepi pantai laut.

Setiap malam celebongkakan (pecahan) kelungah yang isinya santap oleh


sang pendeta dilihat oleh orang-orang Syut menyala sebagai bulan,
sehingga seluruh orang desa dapat menyaksikan setiap
malam celebongkakan kelungahitu bercahaya gemilang sebagai bulan, dan
dapat dirasakan di tempat itu ada sesuatu kekuatan gaib.

Oleh karena itu orang-orang desa sepakat untuk membuat suatu pura di sana
untuk memohon kepada Tuhan untuk keselamatan dan kemakmuran desa.
Pura itu diberi nama Pura Tengkulak.

PURA GOWA LAWAH

Diceritakan Danghyang Dwijendra terus berjalan ke timur menyusur pantai


laut, sampai di Sowan Cekug, mengalami ombak yang besar dan hebat
sebagai barisan bukit-bukit berkejaran menebah pantai dan melimbur segala
sesuatu yang ada di tepi pantai. Suaranya gemuruh riuh tak putus-putusnya
seakan-akan laut itu marah hendak menghancurkan daratan, namun
demikian yang bekas dilandai ombak terus dilewati dengan selamat sampai
lewat dari pantai Gelgel. Dari sana terus juga ke timur melalui
pantai Kusamba dan akhirnya sampai pada suatu goa yang penuh dengan
kelelawar bergantungan di dalamnya, suaranya riuh hiruk-pikuk tidak
putus-putusnya laksana bunyi-bunyian keindahan goa itu. Sebab itu goa itu
disebut Goa Lawah (goa kelelawar). Di atas goa itu penuh dengan bunga-
bunga yang sedang kembang mekar, baunya harum disebarkan oleh angin
sepoi basa, dapat menenangkan batin melalui penciuman. Dari sana tampak
pula keindahan pulau Nusa Penida. Segala keindahan itu menawan hati
Empu Danghyang sehingga berkenan menginap beberapa malam di sana.

Lambat laun di tempat Danghyang menginap dibangun orang suatu


kahyangan dinamai Pura Goa Lawah. Setelah beberapa malam sang
pendeta menginap di Goa Lawah lalu kembali ke Gelgel.

Tidak terperikan gembira hati Sri Dalem Baturenggong tatkala Empu


Danghyang datang kembali dengan tidak kurang suatu apa. Dalem
menghaturkan sebuah rumah lengkap dengan halamannya yang indah
kepada gurunya dan rakyat 200 orang sebagai pelayan. Tiap malam Dalem
menghadap gurunya untuk memperdalam ajaran batin Ketuhanan, terutama
ajaran ilmu Kalepasan(moksa) untuk bersatu kepada Ida Sanghyang Widhi.

PURA PONJOK BATU

Beberapa bulan kemudian, Danghyang Nirartha berniat akan melihat-lihat


daerah Bali Denbukit, yaitu daerah Bali utara dan apabila ada kesempatan
akan terus ke Sasak (Lombok) untuk mengetahui agama yang dipeluk di
sana. Dalem Baturenggong berkenan akan niat gurunya itu, dengan harapan
jangan lama-lama bepergian. Pada suatu hari Empu Danghyang berangkat
dari Gelgel arah ke utara dengan melalui barisan bukit-bukit akhirnya tiba
di pantai arah barat laut dari Gunung Agung.

Di sana ada suatu tanjung yang terjadi dari tumpukan batu bulatan atau batu
gunung yang ditutupi dengan selaput lumut yang hijau warnanya, dinaungi
oleh tumbuhan semak-semak yang muncul dari celah-celah batu. Di sana
beliau berhenti di tempat ketinggian dan memperhatikan pemandangan ke
laut yang luas laksana hamparan permadani beludru membiru menutupi
setengah permukaan dunia dari barat, utara dan timur. Bila matahari telah
tinggi, angin bertiup dari timur kian lama kian deras, ombak laut tampak
bergulung-gulung menggunung besarnya, berlari berkejar-kejaran menuju
tepi pantai, masing-masing membanting diri di tepi pantai yang berbatu-
batu, membuih memutih indah tampaknya.

Pada suatu ketika ada sebuah perahu terdampar di sebelah timur


dari tanjung (ponjok) batu tempat sang pendeta duduk yang kebetulan
pantainya berpasir. Tiangnya patah, kain layarnya robek-robek, tali-
temalinya berputusan, tubuh perahu itu dilemparkan dan dibanting oleh
ombak yang bergulung menggunung. Anak buahnya semua pingsan mabuk
laut, lemas menggeletak di pasir sebagai tak berjiwa lagi. Empu
Danghyang, demi melihat keadaan yang mengerikan dan menyedihkan itu,
segera datang menolong anak buah perahu itu, dengan diberi kekuatan
gaib(bebayon). Masing-masing bisa ingat dan duduk di pasir. Setelah
mereka mengetahui bahwa yang menolong itu adalah Empu Danghyang
maka semuanya menyembah seraya mengucapkan terima kasih.

Danghyang Nirartha bertanya, “Dari mana engkau sekalian?”.

Seraya menyembah juragan perahu itu menjawab, “Ya sang pendeta, kami
bertujuh orang dari Sasak hanyut dibawa arus hampir satu bulan
diombang-ambingkan ombak kesana-kemari, sehingga perbekalan kami
habis. Entah berapa hari kami tidak makan, kami tidak tahu karena tidak
sadar dengan diri akibat kelaparan serta mabuk laut. Tidak ada harapan
untuk hidup lagi. Segalanya kami serahkan kepada Allah. Kami
mengaturkan banyak terima kasih ke hadapan sang pendeta karena
pertolongan yang suci, menghidupkan kami”.

Empu Danghyang menasehatkan anak buah perahu itu minum air dan
membersihkan diri pada mata air yang baru-baru saja timbul di tepi pantai
itu, dan sesudahnya agar mencari buah-buahan untuk menyegarkan badan
di dalam hutan yang tidak jauh dari sana, besok pagi baru berlayar ke
Sasak, sang pendeta juga akan turut. Tidak diceritakan anak buah perahu itu
menginap tidur dengan lelapnya semalam di pantai laut itu. Besok paginya
semua bangun dengan segar bugar kembali. Tenaganya seperti sedia kala.
Ombak laut pada hari itu mulai teduh dan angin bertiup lembut dari barat.
Sang pendeta menasehatkan bahwa hari itu baik untuk berlayar ke Sasak
dan beliau akan turut. Anak buah perahu semua menaruh kepercayaan
bahwa sang pendeta memiliki kekuatan yang luar biasa sebagai utusan
Allah. Sebab itu mereka itu menuruti nasehat sang pendeta, mendorong
bersama-sama perahunya ke permukaan laut lalu berlayar. Sang pendeta
duduk di atas atap perahu sambil melihat-lihat pemandangan dan keadaan
cuaca, kadang-kadang tampak beliau itu merenung bermeditasi. Anak buah
perahu semuanya heran, karena perahunya berlayar lancar ke timur
sekalipun tidak memakai layar dan berkemudi patah. Laut di antara pulau
Bali dan pulau Lombok besar juga namun tidak menjadi halangan sesuatu
apa dan kemudian turun di pantai yang teduh ombaknya yaitu di Karang
Bolong.
Diceritakan kembali perihal keadaan di Ponjok Batu, setiap malam tampak
dilihat oleh orang-orang yang berdekatan di sana bahwa batu-batu bekas
peristirahatan Danghyang Nirartha di sana menyala terus-menerus. Sebab
itu tiap-tiap hari banyak orang-orang datang ke sana bersembahyang mohon
keselamatan dan akhirnya dibuat suatu Pura dengan bangunan Sanggar
Agung (tempat memuja kebesaran Hyang Widhi) dinamai Pura Ponjok
Batu.

TUAN SEMERU DAN PURA SURANADI

Setibanya di Sasak (Lombok) Danghyang Nirartha mengajarkan Agama


Islam Waktu Tiga kepada orang-orang Sasak, sehingga beliau itu dianggap
guru (nabi) yang digelari Tuan Semeru. Sebab itu baliau berkenan membuat
suatu syair bernama Tuan Semeru bertembang Dangdang. Asrama tempat
beliau mengajar agama yang terutama diberi nama Suranadi, yaitu suatu
asrama yang sangat indah diapit oleh dua buah telaga yang penuh dengan
pohon bunga yang harum.

Karena kebesaran dan kesaktian jiwa beliau maka di pinggir asrama itu
muncul empat buah mata air yang disebut Catur Tirtha, yaitu tirtha
panglukatan, tirtha pabersihan, tirta pangentas dan toya racun. Tidak putus-
putusnya orang datang dari tempat jauh untuk memohon pembersihan diri
terutama yang hendak mengheningkan cipta. Orang-orang yang beragama
Islam dan tidak beragama Islam menjadi satu hidup rukun tidak pernah ada
percekcokan atau permusuhan akibat kesucian batin sang pendeta
mengajarkan agama. Beliau menjelaskan bahwa tujuan agama itu tidak ada
berlainan kecuali satu kepada Ida Sanghyang Widhi yang disebut juga
Tuhan Allah. Yang berbeda hanya dalam pelaksanaannya dan bahasanya.
Pelaksanaannya pun sesungguhnya satu juga, yaitu membuat orang susila
berjiwa tenang, dapat mengatasi segala serangan suka duka dunia. Tentang
bahasanya, bahasa apapun dipergunakan boleh saja, yang terutama bahasa
batin setiap orang.

NASEHAT KEBATINAN KEPADA SERI SELAPARANG

Setelah lama diam berasrama di Suranadi dan telah dianggap cukup


memberi ajaran agama Islam Waktu Tiga, maka Danghyang Nirartha
berniat akan melawat ke Sumbawa. Pada suatu hari beliau berangkat
dari Suranadi ke timur menuju pantai laut timur untuk menyeberang.

Diceritakan Seri Selaparang (Raja Lombok Timur) mendengar bahwa ada


seorang pendeta sakti yang bernama Tuan Semeru tiba di pantai timur
hendak menyeberang ke Sumbawa, maka tergesa-gesa beliau datang
menjemput sang pendeta dengan maksud menghaturi singgah ke purinya
untuk mohon nasehat-nasehat agama. Setibanya di sana segera menghadap
sang pendeta menghaturi singgah ke purinya.

Tetapi sang pendeta minta maaf tidak dapat singgah, karena sedang dalam
perjalanan pergi ke Sumbawa hendak menengok saudara sepupu baliau di
sana, apa masih hidup atau tidak.
Kata Seri Selaparang, “Maaf Tuan Semeru, kalau-kalau saya mengganggu
perjalanan sang pendeta. Kalau sang pendeta sudi kiranya, saya ingin
mendapat nasehat, bagaimana caranya untuk mendapat kebahagiaan
hidup? Sekalipun saya dianggap orang yang berkuasa di Sasak Timur
namun kebahagiaan hidup itu tidak dapat dicapai dengan jalan kekuasaan,
harta benda dan nafsu,” demikian kata Seri Selaparang dengan wajah muka
sangat berharap.

Jawab sang pendeta, “Memang tuanku, kebahagiaan itu tidak dapat


dicapai denganjalan kekuasaan, harta kekayaan dan memenuhi nafsu.
Bahkan soal kekuasaan, harta kekayaan dan nafsu itu pada dasarnya
menjadi penghambat kebahagiaan hidup. Susah mencapai bahagia dengan
jalan itu.

Padahal seluruh manusia berusaha untuk mendapat kebahagiaan tidak lain


dengan jalan berbagai ragam. Ada dengan jalan mengejar kekuasaan,
mengejar harta kekayaan, mengejar memenuhi nafsu, ada dengan jalan
jahat, curang, memalsu, menipu, ada yang terang-terangan, ada yang
sembunyi-sembunyi dan lain sebagainya. Sesungguhnya sudah ada
diturunkan ajaran untuk mencapai kebahagiaan hidup oleh Tuhan Allah
yang disebut Agama. Semua agama tujuannya satu-tidak dua, yaitu untuk
kebahagiaan hidup manusia. Kalau ada orang mengatakan dirinya beragama
dan ia tidak merasakan dirinya berbahagia, jangan menganggap agama itu
salah, sebab ia tidak melakukan ajaran agama dengan tepat. Sebab itu setiap
orang bebas memilih agama yang dipeluknya sebagai pedoman hidup yang
kira-kira dapat dilakukannya dengan tepat. Singkatnya ajaran agama itu
adalah ajaran Ketuhanan yang berkuasa akan mempengaruhi pikiran atau
batin manusia menjadi suci, karena suci itu menimbulkan rasa bahagia,
bahan menghadapi baik buruk pengaruh dunia. Memang baik buruk dan
suka duka itu selamanya ada dan memang demikian sifat dunia,
sebagaimana halnya di sebelah hati kita ada juga empedu yang pahit
rasanya. Kalau orang telah suci pikirannya atau batinnya, sekalipun ia
berkedudukan tinggi dan berkuasa, kaya raya, beristri lebih dari satu dan
lain sebagainya, tidak ada tergangggu kebahagiaannya, karena dibentengi
oleh kesuciannya. Hatinya tetap bersih, tidak berani menyeleweng dari
hukum agama, hukum negara, tidak berani berlaku curang, palsu,
menipu,dan selamanya berlaku jujur, adil, disiplin dalam segala tugas
kewajibannya. Pikiran yang demikian itu laksana air tirtha suci merupakan
pembersih diri alam sekala sampai niskala (lahir sampai batin), sebagai
halnya dengan nabi dapat mencapai alam bahagia tinggi adalah karena
kesucian hatinya”. Demikian nasehat Danghyang Bawu Rawuh.

Seri Aji Selaparang dengan senang menerima nasehat Tuan Semeru


demikian. Lalu mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan selamat
jalan, akhirnya mohon diri. Pantai laut tempat pembicaraan itu kemudian
disebut Labuhan Haji.

GUNUNG API TAMBORA


Perahu yang kandas di Ponjok Batu dan yang ditumpangi oleh sang pendeta
ke Sasak, kini telah menanti di pantai dengan perlengkapan yang sempurna,
bersiap akan menyebrangkan sang pendeta ke Sumbawa. Sesudah sang
pendeta habis bercakap-cakap lalu naik ke perahu dan terus berlayar. Tak
lama antaranya telah tiba di pantai Sumbawa, perahu berlabuh dan sang
pendeta turun ke darat dengan pelan-pelan diiringi juragan perahu (kepala
anak buah perahu). Di jalan banyak orang yang dijumpai atau berpapasan,
semuanya mengelak atau minggir memberi jalan kepada sang pendeta yang
baru datang dengan sikap menundukkan kepala, ada yang melirik
memperhatikan, semuanya takjub melihat perbawa wajah muka sang
pendeta sungguh-sungguh angker dan suci tak ada bandingannya.

Ada diantaranya yang bertanya kepada juragan perahu yang


mengiring, “Siapakah orang yang baru ini?”

Juragan perahu menjawab dan menjelaskan, “Orang ini adalah seorang


pendeta yang suci, bernama Tuan Semeru, sungguh-sungguh suci dan sakti
tak ada bandingannya berasal dari Daha Jawa Timur. Kami pernah
mendapat bahaya hanyut. Perahu kami dibawa arus hampir sebulan
lamanya sampai perbekalan kami habis, sehingga kelaparan dan mabuk
laut, pingsan tidak sadarkan diri, akhirnya kandas di pantai pesisir Bali.
Beliau Tuan Semeru yang menolong memberikan kami hidup kembali,
sebab itu kami mengiring beliau sebagai pembalas jasa dengan hati yang
sungguh-sungguh bakti. Beliau mengatakan, konon ada saudara sepupu
beliau disini, sebab itu beliau datang kemari ingin jumpa kepada saudara
sepupunya kalau masih hidup”.

Jawab orang Sumbawa itu, “O … ya, junjungan kami yang dari Majapahit
itu telah pulang ke alam baka dan telah lama sekali”.

Demikian percakapan mereka itu, namun sang pendeta terus saja berjalan
sampai ke kaki gunung berapi yaitu Gunung Tambora.

Di sana baru beliau berhenti dan bermalam di sebuah pondok orang tani.
Yang punya pondok menerima dengan hormat Tuan Semeru bermalam di
sana. Beliau disuguhi ketela rebus dan pisang rebus ala kadarnya, karena
sawah tegalnya tidak menghasilkan tahun itu, sebab tanaman padi gagal dan
palawija tidak jadi karena diserang hama penyakit ulat dan belalang.

Besok paginya Kepala Desa mendengar ada seorang pendeta sakti


mengunjungi daerah desanya. Segera ia menghadap kepada sang pendeta di
pondok orang itu. Setelah bertemu Kepala Desa dengan khidmad berjabat
tangan dan mencium tangan sang pendeta.

Sesudah sama-sama duduk Kepala Desa bertanya kepada sang


pendeta, “Dari mana datang dan apa kepentingan beliau datang ke
Sumbawa”. Jawab sang pendeta, “Bapak dari Bali, tapi sudah lama diam
di Sasak. Bapak datang ke mari sekedar ingin mengetahui keadaan alam di
sini, terutama ingin mengetahui gunung api Tambora dari dekat”.
“Kalau demikian, Tuan pendeta, kami menghaturi sang pendeta pindah
menginap di rumah kami selama di Sumbawa, karena rumah kami cukup
besar dan ada tempat yang layak untuk Tuan pendeta. Lain dari itu kami
permaklumkan bahwa sawah tegal desa kami di pegunungan ini sejak lama
diserang hama penyakit ulat dan belalang sehingga segala tanam-tanaman
tidak menjadi. Karena itu rakyat Tuan pendeta di sini mengalami
kekurangan bahan makanan, sehingga hidupnya dalam kesulitan besar.
Kedatangan Tuan pendeta sekarang ini, kami anggap dari Tuhan Allah
menolong kemelaratan hidup umatnya di sini. Kesimpulannya kami mohon
tolong dengan segala hormat agar tuan pendeta memberikan hidup rakyat
di sini, dengan mengusir atau memusnahkan hama penyakit tanam-
tanaman itu”.

Sang pendeta menjawab, “Kalau begitu, baiklah nanti malam dicoba,


supaya semua orang yang punya sawah ladang mengisi sawah ladangnya
suatu pedupaan yang berisi api dan kemenyan yang harum yang mengepul
asapnya semalam-malaman. Bapak nanti memuja dari suatu tempat,
memohonkan kepada Tuhan dan Dewa di Gunung Tambora agar seluruh
hama penyakit itu dipindahkan dari sini” demikian sang pendeta.

Kepala Desa itu sangat gembira hatinya mendengar kata Tuan Semeru, lalu
diiring pindah tempat ke rumahnya. Pembantu-pembantunya diberitahu
agar memerintahkan orang-orang desa yang punya sawah ladang supaya
semua membawa pedupaan berisi api dan kemenyan ke sawah ladangnya
masing-masing malam nanti.

Setelah sang surya terbenam dan hari mulai menggelap malam, Tuan
Semeru diiringi oleh Kepala Desa pergi ke suatu tempat di ladang yang
tanahnya agak tinggi. Di sana beliau itu memuja dengan melakukan Yoga.
Sampai larut malam baru kembali ke pesanggrahannya. Keadaan di sawah
ladang malam itu diliputi dengan bau harum asap kemenyan. Besok paginya
seluruh ulat dan belalang yang biasanya memenuhi sawah ladang tidak ada
tampak seekorpun. Bersih sama sekali. Orang-orang desa semuanya heran
dengan kesaktian sang pendeta. Semuanya memuji mengatakan sungguh-
sungguh seorang pendeta sakti dan suci, tidak memikirkan upah, belas
kasihan kepada orang-orang melarat. Semenjak itu tanaman-tanaman di
sana menjadi baik subur dan berhasil. Tuan Semeru tiap-tiap hari keluar
juga melihat-lihat alam dan tanam-tanaman orang disertai beberapa
pengiring. Di dalam perjalanan banyak menjumpai orang-orang sakit yang
memohon obat kepada beliau dan semuanya menjadi sehat segar bugar
setelah diobati, sehingga beliau masyhur di sana, seorang pendeta sakti dan
mampu mengobati orang-orang sakit.

PUTRI DENDEN SARI


Diceritakan di Sumbawa ada seorang penghulu yang banyak punya anak
dan kaya. Karena kayanya ia menjadi orang yang sangat kikir. Tiap-tiap
hari kerjanya menghitung uang, mengeluarkan dan memasukkan uang,
membungakan uang dengan bunga yang tinggi, menggadai benda dengan
bayaran berlipat ganda. Ke luar memungut bunga uang, pulang
memasukkan dan menghitung uang. Demikian saja kerjanya. Anaknya
banyak tidak diperhatikan sandang pangannya, sehingga hidupnya melarat.
Ada di antaranya anak wanita bernama Si Denden Sari baru berumur 6
tahun, dalam keadaan sakit. Ia sejak kecil tidak dihiraukan. Akhirnya keras
sakitnya. Badannya lemas tidak sadar dengan diri untuk beberapa hari.

Penghulu Sumbawa mendengar berita itu di jalan, bahwa ada seorang


pendeta sakti mengobati orang sakit sangat makbul. Penghulu Sumbawa
tergerak hatinya untuk mohon tolong kepada sang pendeta mengobati sakit
anaknya, karena dianggapnya tidak dapat lagi ditolong. Demikian pikirnya
lalu ia pergi ke pesanggrahan sang pendeta.

Tiada diceritakan betapa pertemuanya, kemudian tampak sang pendeta


diiringi oleh penghulu datang menengok anak yang sakit. Danghyang
Nirartha melihat dan memperhatikan anak yang sakit itu dalam keadaan
sakit payah, nafasnya terengah-terengah, mukanya pun pucat pasi seakan-
akan mayat, tetapi cantik bentuknya.

Sang penghulu berkata kepada sang pendeta, “Ya Tuan pendeta, kami
mohon dengan hormat sudi apalah kiranya tuan pendeta mengembalikan
jiwanya supaya kembali anak kami. Kalau ia bisa hidup kembali kami akan
menghadiahkan anak kami kepada tuan pendeta menjadi budak pendeta”.
“Baiklah kalau begitu!” jawab Tuan Semeru, “Bapak minta anak ini akan
bapak bawa ke Bali!”. “Silakan tuan pendeta,” kata penghulu
Sumbawa, “Kami dengan tulus ikhlas mengaturkan”.

Empu Danghyang sangat belas kasihan melihat anak yang sakit itu, lalu
diraba mukanya seraya diberikan bebayon(kekuatan gaib Ketuhanan).
Beberapa detik saja antaranya maka anak itu tersenyum lalu bergerak
duduk dengan cahaya muka yang segar.

Empu Danghyang berkata, “Anakku sekarang bapak menjadi bapakmu,


semoga engkau hidup kuat, mari bersama-sama pergi ke Bali”. Anak itu
menjawab, “Ya” lalu bergerak bangun dengan gembira. Kepala penghulu
Empu Danghyang berkata, “Bapak sekarang mohon diri, dan anak ini
bapak bawa”. Jawab penghulu, “Silakan tuan pendeta, selamat jalan!
Anakku Denden Sari, iringlah tuan pendeta yang suci, beliau
menghidupkan engkau!”.

Sang pendeta berjalan dengan tenang seraya memimpin anak kecil itu
menuju ke pelabuhan. Tidak diceriterakan halnya dalam perjalanan,
akhirnya tiba di pulau Bali dan menuju asrama Mas. Anak itu terus sehat-
sehat saja tidak pernah sakit. Setelah anak itu meningkat gadis, rupanya
sungguh-sungguh cantik, lalu dikawinkan dengan cucu beliau, yang
bernama Ida Ketut Buruan Manuaba.

BUAH TANGAN GURU DAN MAHAPUTRA

Ketika Danghyang Dwijendra kembali ke Gelgel bukan main gembiranya


Dalem. Setiap malam membicarakan ilmu batin dan Ketuhanan. Dan
Pangeran Dawuh tetap juga menghadap gurunya untuk mohon nasehat-
nasehat. Segala nasehat-nasehat gurunya itu telah dicatat dalam sebuah
tulisan (rontal) yang diberi judul “Wukir Padelegan”.

Untuk mengetahui berapa banyak buah tangan guru (Danghyang Nirartha)


dan mahaputranya (pangeran Dawuh), di bawah ini dicantumkan nama-
namanya :

Buah tangan Pangeran Dawuh, yaitu :

1. Rareng Canggu

2. Wilang Sebun Bangkung

3. Wukir Padelegan

4. Sagara Gunung

5. Aras Negara

6. Jagul Tuwa

7. Wilet Manyura Tahun Caka 1414

8. Anting-Anting Timah

9. Kakawin Arjuna Pralabda

Sekian buah tangan Pangeran Dawuh Baleagung.

Buah tangan Danghyang Nirartha, yaitu :


1. Nusa Bali Tahun Caka 1411

2. Kidung sebun Bangkung

3. Sara Kusuma

4. Ampik

5. Legarang

6. Ewer

8. Majadanawantaka

9. Wasista Sraya

10. Dharma Pitutur

11. Kawya Dharma Putus

12. Dharma Sunya Kling

13. Mahisa Megat Kung Tahun caka 1458


14. Kakawin Anyang Nirartha

15. Wilet Demung Sawit

16. Gagutuk Menur

17 Brati Sasana

18. Siwa Sasana

19. Tuan Semeru

20. Putra Sasana

21. Kidung Aji Pangukiran

MADIKSA DAN MEMBAGI WARISAN

Pada suatu ketika Danghyang Nirartha mempermaklumkan kepada Dalem


Baturenggong, bahwa beliau itu akan pulang ke desa Mas.

Katanya, “Nanak Baturenggong, ingatkan segala nasehat bapak yang


sudah-sudah. Kini bapak akan pulang ke Mas hendak melaksanakan
upacara padiksan (pembersihan menjadi pendeta) kepada 4 orang anak
bapak yang akan mengganti bapak, yang akan melanjutkan tugas bapak
sebagai brahmana di dunia, sebab bapak akan segera pulang ke alam Siwa
Loka. Hari padiksan itu nanti pada hari tilem sasih kalima (bulan mati
sekitar Nopember). Jangan anak kecewa sepeninggal bapak. Pilih di antara
4 anak bapak sebagai bhagawanta atau pathirthan (pendeta khusus
kerajaan) nanak!”. Demikian nasehat Empu Danghyang. Dalem
menyembah dengan khidmat tanda menerima segala nasehat
Dhanggurunya.

Setibanya Danghyang Dwijendra di desa Mas, dititahkan Pangeran Mas


mempersiapkan segala upacara padiksan untuk dilaksanakan 30 hari yang
akan datang

Kepada putra-putranya beliau berkata, “Anak-anakku, bapak akan segera


pulang ke Siwa Loka, sebab itu engkau berempat akan segera bapak diksa,
dinobatkan sebagai pendeta menggantikan tugas bapak sebagai guru loka
di dunia.” Putra-putranya semua menyembah dengan perasaan terharu
menjunjung titah ayahnya.

Diceritakan tepat pada hari upacara padiksan itu Sri Aji Dalem
Baturenggong datang diiring oleh para punggawa, turut mempersaksikan
upacara suci itu. Sesudah upacara selesai, maka Empu Danghyang berkenan
memberi nasehat kepada putra-putranya.

Katanya, “Anak-anakku sekalian, kini engkau telah resmi duduk sebagai


pendeta yang bertugas untuk menegakkan kesejahteraan dunia dan jangan
sekali menyimpang dari dharmaning (tugas dan kewajiban dari) seorang
pendeta, misalnya : jangan suka minum tuak dan segala minuman yang
mengandung alkohol yang dapat menyebabkan mabuk. Dan segala yang
bersifat mabuk harus dihindari. Jangan makan daging sapi sebab ia
sebagai ibu yang memberi susu kepada kita. Jangan makan daging babi
rumah dan ayam itik rumah sebab dianggap kotor suka makan najis dan
dihindari segala yang dianggap kotor. Dan jangan kau bertindak iri hati
terhadap kakak-adikmu. Boleh engkau ambil-mengambil, boleh engkau
sembah-sinembah. Yang tuaan boleh dipakai guru. Tidak boleh berzina,
mengambil istri wanita yang telah berlaki. Demikianlah harus juga
dinasehatkan kepada turun-turunanmu”.Demikian antara lain nasehat
Empu Danghyang.

Selanjutnya Danghyang Dwijendra mengeluarkan harta benda kekayaan


beliau seluruhnya, akan dibagikan kepada semua putra-putranya. Dalem
Baturenggong turut mempersaksikan pembagian warisan itu, diiringi
oleh Sira Arya Kenceng pelayannya Ida Kidul.

Adapun harta benda yang dibagi yaitu : mas, perak, uang kepeng, permata
mirah, cincin, tegal sawah, lontar-lontar pustaka, alat pawedaan (pemujaan
kependetaan), rakyat dan lain-lainnya. Tempat membagi harta benda itu di
luar geria asramanya di Mas. Harta benda itu dibagi menjadi 5 bagian untuk
putra-putranya 6 orang, yaitu : di luar geria itu diletakkan 5 buah balai-
balai amanca desa (lima arah) yakni : di timur, di selatan, di barat, di utara
dan di tengah. Masing-masing diisi harta benda, yang satu berisi
alat pawedaan, pangrupak (pisau tulis untuk lontar) yang bernama Ki
Tamlang, keris yang bernama Ki Sepak, genta 2 buah yang bernama Ki
Brahmana dan Ki Samprangan dan uang kepeng 20.000. Setelah selesai
harta benda dibagi maka Seri Aji Baturenggong mempersilahkan guru putra
semua mengambil bagian. Katanya, “Singgih Empu Danghyang sekalian,
sekarang boleh mengambil bagian masing-masing menurut minatnya
masing-masing”.

Empu Kulon lebih dulu mengambil bagian yaitu : mas, perak, uang kepeng,
permata, surat tegal sawah dan rakyat, akibatnya akan mempunyai
keturunan banyak, tetapi kurang ilmu.

Empu Lor mengambil surat tegal sawah, mas, perak, uang kepeng, permata
perhiasan dan rakyat, akibatnya anak banyak kepandaian kurang.

Empu Wetan mengambil surat tegal sawah, mas perak, uang kepeng,
permata perhiasan dan rakyat, maknanya anak banyak kepandaian kurang.

Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindumengambil bagian satu bagian dibagi
dua berupa sawah dan uang, maknanya kepandaian kurang, tetapi
turunannya banyak kemudian.

Empu Kidul masih tetap tenang diam sebagai tidak menghiraukan bagian,
karena asyik melihat saudara-saudaranya berebutan mengambil bagian
dipegang oleh rakyatnya, sehingga Dalem Baturenggong mengingatkan
Empu Kidul, apa sebabnya diam saja tidak mengambil bagian. Karena itu
baru Empu Kidul mengambil bagian sisa-sisanya. Yang didapat lontar
pustaka, alat pawedaan, 2 buah genta Ki Brahmana dan Ki Samprangan,
pisau Pangrupak Ki Tamlang dan keris Ki Sepak, maknanya penuh
kepandaian, kesaktian, cakap segala kesenian tetapi turunan kurang, dan
mengambil Pan Geleng pelayannya Bandesa Mas.

Setelah selesai pembagian, masih ada ketinggalan seorang rakyat, seekor


ayam kurungan dan sebatang pisau Pangrupak. Empu Kulon mengambil
rakyat, Empu Lor mengambil ayam kurungan dan Empu Kidul mengambil
pisau Pangrupak.

PURA PANGAJENGAN

Setelah selesai semuanya maka Danghyang Dwijendra mengucapkan


selamat tinggal pada hadirin semuanya, sebab akan berangkat mencari
tempat yang suci untuk pulang ke Siwa Loka(sorga). Putra-putranya semua
menyembah dengan sujud, demikian pula Seri Aji Baturenggong dan
Pangeran Dawuh Baleagung, Para Arya dan rakyat yang hadir semua
menyembah dengan tulus bakti.

Setelah itu Dhanghyang Dwijendra berjalan dengan tenang sendiri arah ke


Selatan, tidak diijinkan orang mengiringkan, tidak membawa benda apa-apa
kecuali peti kecil tempat pacanangan (tempat sirih). Setelah beberapa hari
lamanya Empu Dhanghyang berjalan mengembara memasuki tempat-
tempat yang suci tidak ada orang mengetahui, pada suatu hari ada orang
memberitakan kepada Pangeran Mas bahwa Empu Danghyang sedang ada
di penghulu sawah di antara desa Sumampan dengan Tangkulak di suatu
tempat yang sangat suci, dilihat sedang menulis lontar.

Beberapa hari kemudian kebetulan hari Panampahan Kuningan (sehari


sebelum hari raya Kuningan) Bandesa Mas bersama istrinya pergi ke
penghulu sawah dengan membawa hidangan makanan yang nikmat-nikmat
rasanya akan diaturkan kepada Empu Danghyang, kalau beliau masih ada di
sana, karena baktinya kepada guru (nabe). Ketika empu Dangguru melihat
siswanya datang hendak menghadap.

Lalu berkata menyapa dengan tersenyum, “O. nanak datang, silakan datang
kemari, bapak mengijinkan nanak menghadap!” (Catatan : kata “nanak”
adalah suatu kata yang biasa dipergunakan oleh seorang guru kebatinan
kepada muridnya yang resmi. Padahal Bandesa Mas ini adalah mertua dari
Empu Danghyang, atau Empu Danghyang anak menantu dari Bandesa Mas.
Kiranya pengaruh mertua dibanding dengan guru, lebih berpengaruh
kedudukan guru di batin orang).

Bandesa Mas datang menghadap dengan menyembah kemudian katanya,


“Singgih Empu Danghyang, kami datang menghadap ini untuk
mengaturkan sekedar santapan, karena hari ini hari Panampahan
Kuningan, sekedar sebagai tanda bakti kami kepada Dhangguru”. Jawab
Empu Danghyang. “Dengan senang hati bapak menerimanya. Coba tolong
carikan bungkak (kelapa muda kecil) untuk membersihkan makanan ini
supaya suci!”.

Istri Pangeran Mas dengan segera minta tolong kepada orang untuk
memanjat pohon nyiur memetik sebuah bungkak. Tidak lama
antaranya bungkak sudah siap dihaturkan dengan
sudah berkasturi (dilobangi sebagian tampuknya). Setelah hidangan selesai
dipersiapkan oleh istri Pangeran Mas, maka Empu Danghyang
mengucapkan mantram lalu bersantap. Mungkin karena kekuatan gaib
mantram yang diucapkan oleh Empu Danghyang maka seluruh makanan
berbau harum. Setelah sang pendeta bersantap, sisanya dinikmati pula oleh
Pangeran Mas bersama istrinya. Sesudah selesai semuanya, Pangeran Mas
beserta istrinya menyembah lalu mohon diri dengan gembira.

Setelah itu Danghyang Nirartha meninggalkan tempat itu. Namun tempat


bekas sang pendeta bersantap itu dilihat oleh orang-orang desa setiap
malam bercahaya terang dan berbau harum semerbak. Karena itu di tempat
itu dibuat suatu palinggih pemujaan Tuhan disebut namanya : Pura
Pangajengan, sebab tempat pangajengan (bersantap) Pedanda Sakti Bahu
Rawuh.

PURA MASCETI
Diceritakan setelah Danghyang Nirartha pergi dari penghulu sawah terus
menuju pantai laut selatan, berjalan perlahan-lahan sendirian di
desa Rangkung ke barat mendekati pelabuhan Masceti. Setibanya di sana
dirasa ada sapuan angin sepoi-sepoi membawa bau yang harum semerbak
menyedapkan perasaan batin suci. Dirasa oleh beliau bahwa hal itu adalah
tanda makhluk roh kudus atau Dewa yang turun mendekati beliau. Timbul
semangatnya gembira berjalan, tiba-tiba terlihat oleh beliau suatu cahaya
gemilang di dalam Pura Masceti, lalu beliau masuk ke dalam kahyangan
itu, duduk dengan tertib mengucapkan Weda mantram menyembah Tuhan.

Bhatara Masceti terperanjat melihat, segera turun mendekati memegang


tangan Empu Danghyang seraya berkata dengan halus : “Tidak patut
Danghyang menyembah, karena sudah suci menunggal dengan Tuhan dan
sudah patut kembali ke alam Acintya Loka, apa sebab Danghyang masih
suka di dunia?“. Jawab Danghyang, “Saya masih menunggu saat turunnya
perintah dari Tuhan”. “Kalau begitu,” jawab Bhatara Masceti, “Mari kita
bersama-sama bercengkrama di pinggir laut”.

PURA PETI TENGET

Dhanghyang Dwijendra mengiring Bhatara Masceti bercengkrama di


daerah pantai, tiada berapa lama karena kesaktian Bhatara Masceti telah
sampai di pulau Serangan bagian barat lautnya.

Di sana beliau bercakap-cakap soal Ketuhanan. Kemudian ada orang


melihat cahaya cemerlang merah dan kuning. Lalu menyelidiki. Didapati
Empu Danghyang bercakap-cakap dengan orang tidak kelihatan nyata.
Maka ia memberanikan diri bertanya, “Tuan pendeta, maafkan saya
bertanya, siapakah tuan hamba datang ke daerah kami?”. “Bapa Pedanda
Sakti Bahu Rawuh,” jawab Danghyang. “Bapa ke mari mengiring Bhatara
Masceti bercengkrama, dulu bapak telah pernah ke mari”. “Kami
menghaturkan selamat datang,” kata orang Serangan. “Silakan tuan hamba
berdua diam di sini, kami orang-orang Serangan akan nyungsung
(memuja) Sesuhunan (junjungan)”. “Baiklah,” jawab Danghyang. “Buatlah
di sini sebuah candi yang akan disungsung (dipuja) oleh jagat dan buat
pula sebuah gedong pelinggih Bhatara Masceti, karena beliau bapak iring
sampai ke mari!”

Orang Serangan itu menyembah dan berjanji menuruti nasehat Danghyang.


Empu Danghyang bersama Bhatara Masceti pergi dari Serangan
melanjutkan cengkramanya, tiba-tiba telah sampai di pantai laut
Kerobokan. Dari sana dilihat oleh Empu Danghyang Tanjung Hulu Watu
sebagai perahu hendak berlayar memuat orang-orang suci menuju tepi
langit dan terus ke sorga. Bhatara Masceti memaklumi pikiran Danghyang
Nirartha demikian. Lalu berkata, “Danghyang maaf saya mohon diri di sini,
tidak boleh orang ngeluhur (pergi ke sorga)”, demikian katanya lalu
menggaib.

Danghyang Nirartha berjalan akan menuju Hulu


Watu, pecanangannya(tempat sirih) diletakkan. Ketika itu beliau melihat
ada orang halus bersembunyi di semak-semak karena takut melihat perbawa
Danghyang yang suci. Danghyang memanggil, “Hai Bhuto Hijo kemari,
jangan bersembunyi, jangan takut !”. Bhuto Hijo datang menghadap, duduk
menundukkan kepala. Danghyang berkata, “Bhuto Hijo, sekarang engkau
aku beri tugas menjaga pecananganku ini, kalau ada yang hendak merusak
engkau melawan!”. Bhuto Hijo menyembah menjunjung titah Danghyang
katanya, “Hamba mohon pasikepan, senjata untuk menjaga!”.

Danghyang lalu memberi suatu mantram yang sakti, kemudian berkata pula,
“Sekarang engkau sudah sakti, engkau jangan lalai menjaga dan nengetang
(mengsakralkankan) pecananganku ini. Kini aku memberi nama tegal ini
yaitu Tegal Peti Tenget”.

Danghyang Nirartha terus pergi ke Hulu Watu ke tempat kahyangan yang


dibuatnya dulu. Setelah tiba di sana tidak terperikan senang hati beliau,
karena tempat itu sunyi hening dan suci, menonjol di atas air laut,
pemandangan indah ke seluruh permukaan laut yang dibatasi oleh tepi
langit. Di sana beliau menetap seorang diri mengheningkan cipta, menanti
panggilan Tuhan untuk ngeluhur, beliau tidak mau memaksakan diri
sebelum saatnya tiba.

Pada suatu hari datang Kelihan (kepala desa) Kerobokan bersama beberapa
orang kawannya menghadap Empu Danghyang. Setelah duduk menyembah,
Danghyang bersabda, “Siapakah engkau ini, ada kepentingan apa kepada
bapa?”. Kelihan Kerobokan menjawab, “Singgih sesuhunan, kami ini orang
mendapat kesusahan hebat; di daerah kami di tepi pantai ada sebuah tegal,
baru sekarang sangat angker sekali, tiap-tiap orang yang datang kesana
mencari sesuatu untuk kepentingan hidup, sekembalinya mesti sakit keras
dan susah diobati. Telah banyak yang mengalami hal demikian. Beberapa
dukun tidak dapat mengobatinya. Kemudian kami dengar sesuhunan ada di
sini, sebab itu kami memberanikan diri menghadap untuk mohon urip”.

Belum selesai aturnya lalu Danghyang menjawab, “O, ya, pecanangan


bapa ada di sana bapa taruh karena tidak perlu lagi.
Ki Bhuto Hijo menjaganya dan menengetkannya. Siapa saja yang datang ke
sana merusak sesuatu, tentu Ki Bhuto Hijo yang menyakiti. Coba sekarang
usahakan membangun sebuah kahyangan di sana pelinggih Bhatara
Masceti. Bapak dulu dapat mengiring baliau bercengkrama, mula-mulanya
ke Sakenan kemudian ke Kerobokan, sampai di sana beliau menggaib. Peti
pecanangan bapa di sana bapa taruh dijaga oleh Ki Bhuto Hijo, ia yang
nengetang, bapak namai Peti Tenget. Itulah sungsung di sana tempat
memuja Tuhan untuk mohon kesejahteraan desa. Tiap-tiap kali terutama
pada hari puja wali, berilah Ki Bhuto Hijo cecaron, nasi segehan atanding
(korban kecil satu porsi), ikannya jejeron (jeroan) babi mentah, segehan
agung, lengkap upakaranya tetabuh tuak arak.Tentu ia tidak menyakiti lagi,
bahkan disayang dan dibantu sembarang kerja”.

Kelihan Kerobokan menuruti nasehat Danghyang Nirartha demikian.


Kemudian di sana dibangun sebuah kahyangan dinamai Pura Peti Tenget.
Semenjak itu Desa Kerobokan selamat sejahtera diberkahi oleh Bhatara
Masceti dan Bhatara Sakti Bahu Rawuh atas kehendak Tuhan.

PURA LUHUR HULU WATU

Pada suatu hari Selasa Kliwon Wuku Medangsya Dhanghyang Nirartha


menerima wahyu Tuhan bahwa beliau pada hari itu dipanggil untuk pulang
ke sorga. Merasa bahagia suci hatinya karena saat yang dinanti-nantikan
telah datang. Hanya ada sebuah pustaka belum dapat diserahkan kepada
salah seorang putranya. Tiba-tiba Empu Danghyang melihat
seorang bandega(nelayan) bernama Ki Pasek Nambangan sedang
mendayung jukungnya di laut di bawah ujung Hulu Watu, lalu dipanggil.

Setelah bandega itu menghadap, Danghyang lalu berkata, “Hai bandega,


engkau aku suruh menyampaikan kepada anakku Empu Mas di desa Mas,
katakan kepada beliau bahwa bapak menaruh sebuah pustaka mereka di
sini yang berisi ajaran ilmu kesaktian!”. Jawab Ki Bandega, “Singgih
pukulun sang sinuhun,” lalu mohon diri setelah menyembah.

Setelah Ki Pasek Nambangan pergi, maka Danghyang Nirartha mulai


melakukan yoga samadhinya, bersiap untuk meninggalkan dunia ini.
Beberapa saat kemudian beliau moksangaluhur, cepat sebagai kilat masuk
ke angkasa. Ki Pasek Nambangan memperhatikan juga hal beliau dari
tempat yang agak jauh, namun ia tidak melihat Empu Danghyang, hanya
cahaya yang cemerlang dilihat membubung ke angkasa.
Demikianlah akhir riwayat Danghyang Dwijendra. Kahyangan tempat
beliau ngaluhur kemudian disebut Pura Luhur, lengkapnya Pura Luhur
Hulu Watu.

Pada tiap-tiap pamerajan (pura keluarga) umat Hindu Bali dibuat suatu
pelinggih beratap ijuk ditandai dengan limas di atasnya, dinamai
pelinggih Gunung Hulu Watu tempat memuja Roh Suci Danghyang
Dwijendra atau Bhatara Sakti Bahu Rawuh atau juga Danghyang Nirartha
sebagai Guru Agama di Bali. Diceritakan Ki Bandega Pasek Nambangan
telah tiba di Desa Mas dan menghadap Empu Kidul.

Katanya : “Singgih pukulun, hamba ini adalah rakyat Empu, golongan


Bandega Tambangan. Hamba diutus oleh sesuhunan Danghyang
Dwijendra. Empu dititahkan pergi ke Hulu Watu mengambil pustaka beliau
di sana di ujung Bukit Pecatu sebelah barat. Ida sesuhunan telah moksa
pulang ke alam niskala. Sekian pesan ayah Empu. Jika pukulun akan ke
sana hamba sedia mengantar,” demikian kata Pasek Nambangan.

Empu Kidul mengucap terima kasih kepadanya dan segera berangkat


diiringi oleh Pangeran Mas, tidak ketinggalan Pan Geleng dan Ki Bandega.

Tidak diceriterakan dalam perjalanan Empu Mas telah tiba di Bukit Pecatu
terus ke Hulu Watu. Setelah ada dihadapan sebuah meru (bangunan suci
dengan atap bertingkat) Empu Mas menyembah, kemudian naik ke
dalam meru mengambil pustaka tersebut. Sesudah mengambil pustaka itu,
Empu Mas mohon diri kembali ke desa Mas bersama seluruh pengiringnya
beserta Ki Pasek Nambangan Perahu. Setibanya di Mas, Ki Pasek Bandega
bersama anak istrinya menetap menghamba kepada Empu Mas, diberi
tanah pekarangan rumah dan sawah serta 4 ternak.

MEMILIH GURU AGAMA (SIWA / NABHE)

Setelah Empu Mas mamukti keresian(menjalankan kependetaan), maka


datanglah Arya Damar (Tegeh Kori), Pangeran Dawuh, Arya Batuparas,
Arya Pacung, Arya Caragi, golongan Bandesa Mas, Pasek, Kamasan,
Pande, semua sama-sama berguru agama (masiwa) kepada Empu Kidul,
sampai dengan turun-temurunnya, masiwa dalam kehidupan dan kematian
(panca yadnya)

Empu Wetan sesudah mangresi, datang familinya Pangeran Dawuh Arya


Batulepang turunan Pasung Grigis, Arya Pinatih, Dangka Ngukuhi,
Brangsinga, Patandakan, Telabah, Tembuku, semuanya masiwa kepada
Empu Wetan.

Empu Lor setelah mangresi, datang Arya Cacahe, Arya Tambahan, Arya
Jelantik, Batanjeruk, Abyan Tubuh, Gaduh, Arya Belog, sama-
sama masiwakepada Empu Lor.

Empu Kulwan sesudahnya mangresi, datang Arya Buringkit, Arya


Kepakisan, Gajahpara, yang mendua pesiwaan Arya Tambahan, Tegeh
Kori, Sampih, Pucuk, sama-sama berguru kepada Empu Kulwan.
Tinggal Arya Kenceng dan putra-putranya Dalem
Baturenggong belum bernabhe.

Diceriterakan Ida Putu Sangsi dan Ida Putu Bindu pada suatu hari
menghadap Dalem Baturenggong di Puri Gelgel bermohon nasehat, bahwa
para arya yang belum manabhe sebaiknya masiwa saja kepada Empu Kidul,
karena beliau yang memegang seluruh pustaka. Dalem menyetujui.

Ketika para putra Dalem, para Arya dan Wesya penuh menghadap, maka
Dalem bersabda “Anakku sekalian, para Arya dan Wesya semuanya yang
belum mempunyai Siwa, kiranya baik kalau bersiwa kepada Empu Kidul,
karena beliau yang memegang warisan Empu Dhanghyang Nirartha,
misalnya pustaka Racadana, bajra (genta) dan alat-alat pawedaan, atau
boleh juga kepada Empu Kulon, Empu Lor, Empu Wetan, semuanya itu
sama-sama boleh, lain daripada itu tidak boleh. Kalau nanti Ida Putu
Sangsi dan Ida Putu Tamesi menjadi resi, tidak boleh anak-anakku dan
adik-adikku para Arya dan para Wesya masiwa kepada adik-adikku dua
brahmana tadi, karena beliau beribu pelayan dan pernah menjunjung
petaranaku (tilam tempat duduk Dalem), ketika itu belum aku kenal. Jika
engkau bersiwa kepadanya niscaya surut kesaktianmu, berkurang
rakyatmu, desamu kacau balau, karena murka Sanghyang Sinuhun
Kidul”. Demikian Nasehat Dalem.

Share this:
Print
Related

 DWIJENDRA TATWA
 April25, 2014
 In "Articles"

 Dharmopadesa Brahmanawangsa di Bhumi Badung


 September 18, 2012
 In "Articles"

 ESENSI & KONSEPSI PURA SEBAGAI TEMPAT SUCI DI BALI



 April5, 2012
 In "Articles"

Categories: Articles

Leave a Comment

Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasari


Back to top

Anda mungkin juga menyukai