Sebagai Patih Agung adalah Pengeran Nyuhaya putera dari Arya Kepakisan
turunan dari Prabu Airlangga. Selain itu pengangkatan beliau dilengkapi dengan alat-
alat kebesaran seperti: Keris Ki Ganja Dungkul dan Tombak Ki Olang Guguh.
Sri Aji Kresna Kepakisan wafat pada tahun 1380 M, meninggalkan putera dan
puteri, masing-masing: beribu dari Ki Gusti Ayu Gajah Para berputera: Dhalem Hile,
Dhalem Tarukan, Dewa Ayu Swabhawa, Dhalem Ketut Ngulesir. Beribu Ki Gusti
Ayu Kutawaringan berputera: I Dewa Tegal Besung.
JAMAN KLUNGKUNG
Ida I Dewa Agung Putera III Raja VIII Klungkung 1851 – 1903 M
Selama beberapa bulan terjadi kekosongan kekuasaan, karena Dewa Agung
Putera II tidak mempunyai keturunan. Untuk sementara pemerintahan dipegang oleh
adik dari Dewa Agung Putera yang bernama Dewa Agung Ketut Agung. Sementara
itu Belanda telah menanamkan pengaruh-pengaruhnya di setiap kerajaan di Bali.
Perselisihan antara raja-raja di Bali nampak semakin sengit, menyebabkan pengaruh
Dewa Agung Klungkung semakin berkurang.
Akhirnya diputuskan salah seorang putera dari Dewa Agung Ketut Agung
dinobatkan menjadi raja Klungkung VIII dengan gelar Dewa Agung Putera III.
Karena bukan keturunan langsung dari raja, maka diadakan upacara abiseka yang
dilaksanakan pada 18 Maret 1851. Upacara dihadiri oleh wakil Pemerintah Hindia –
Belanda, yaitu Asisiten Residen Banyuwangi Van der Cappelan. Dewa Agung Putera
III mangkat pada tanggal 25 Agustus 1903, dengan meninggalkan 2 orang putera: I
Dewa Agung Gede Jambe dan I Dewa Agung Gede
Smarabhawa. Pelebonnya dilaksanakan pada tanggal 12 Desember 1903. Sewaktu
upacara dilangsungkan 6 orang jandanya sedianya akanmesatya, namun dilarang oleh
Pemerintah Hindia – Belanda, sehingga tidak jadi dilaksanakan.
Ida I dewa Agung Putera IV Raja IX Klungkung 1903 – 1908
Dewa Agung Gede Jambe dinobatkan menjadi raja Klungkung IX,
bergelarDewa Agung Putera IV. Kerajaan Klungkung di bawah kekuasaan Dewa
Agung Putera IX amat sempit pengaruhnya. Kerajaan – kerajaan di Bali sudah
dikuasai Belanda, seperti Kerajaan Buleleng, Karangasem, Bangli, Gianyar, Badung,
dan Tabanan. Sementara itu daerah Sibang dan Abiansemal terpaksa dilepaskan oleh
Dewa Agung karena diminta oleh Belanda. Dewa Agung juga terpaksa menanda-
tangani surat perjanjian kerjasama yang merugikan pihak Dewa Agung. Pemerintah
Hindia – Belanda akhirnya memonopoli perdagangan candu di Klungkung, serta
mendirikan kantor penjualan candu tanggal 1 April 1908 di pantai sehingga dengan
sendirinya Belanda menguasai perairan kerajaan Klungkung. Dominasi Belanda ini
melahirkan gerakan rakyat yang menentang kebijakan-kebijakan Belanda, sementara
Dewa Agung Tidak dapat berbuat banyak.
Tanggal 16 April 1908 pasukan Belanda berbaris unjuk kekuatan di kota
Gelgel. Karena tidak meminta ijin terlebih dahulu kepada Dewa Agung, Cokorda
Jambe Punggawa Gelgel seketika itu timbul amarahnya melihat kesombongan tentara
Belanda. Penduduk kota Gelgel gempar, terjadi serangan yang mendadak terhadap
pasukan Belanda, hingga banyak memakan korban. Tentara Belanda yang selamat
melarikan diri ke Gianyar, kerajaan yang sudah menjadi kekuasaan Belanda. Kantor
perdagangan candunya juga dihancurkan.
Insiden ini menimbulkan kemarahan di pihak Belanda dan menuduh Dewa
Agung mengkhianati perjanjian. Belanda segera mengerahkan pasukannya yang
bermasrkas di Gianyar dan di Denpasar. Tanggal 17 April 1908 sore harinya
pembalasan pasukan Belanda dilaksanakan di kota Gelgel, menewaskan sekitar 100
orang penduduk. Puri Cokorda Gelgel diduduki, sehingga mulai saat itu di Klungkung
dibangun kubu – kubu pertahanan. Esok harinya tanggal 18 April 1908 kota
Klungkung sudah mulai dihujani tembakan – tembakan meriam terus menerus dari
perairan Klungkung. Penduduk yang tinggal di pantai mulai ketakutan dan mengungsi
ke kota Klungkung. Pemerintah Hindia – Belanda mendatangkan tentara yang
jumlahnya ribuan dari Jawa dan pendaratannya mulai dilakukan pada tanggal 26 April
1908.