Anda di halaman 1dari 12

Makalah Organisasi Sosial dan Sistem Kekerabatan

Dosen pengampu: Siti Zurinani, S.Ant, MA

Oleh: Lizza Laelatul Izzah Zaen (115110801111017) Siti Mutmainah (115110813111002)

Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Budaya Antropologi Budaya 2012

Latar Belakang Cerita silsilah dinasti Mengwi berawal dari naik tahtanya I Gusti Agung Ngurah Made Agung sebagai raja yang berkuasa. Wilayah pemerintahannya sangat luas mencapai daerah di luar Mengwi sampai ke Buleleng (di utara), Jembrana (di barat) dan bahkan sampai ke Blambangan di Jawa Timur. Kira-kira sekitar tahun 1733, I Gusti Agung Ngurah Made Agung kembali dari peperangan di Bali Utara, di mana ia mengalahkan musuh-musuhnya yang paling penting. Raja Mengwi sangat kuat dan ditakuti oleh banyak orang, namun ia mempunyai satu masalah, yakni tidak mengetahui siapa sebenarnya leluhurnya, sehingga ia tidak mengetahui identitas dirinya sendiri. Karena itu, ia mendatangkan salah satu pendeta brahmana untuk menceritakan kisah leluhurnya. Bagian pertama dari cerita silsilah yang berupa dialog tanya jawab antara raja dan pendeta ini, menjelaskan bahwa dinasti Mengwi berasal langsung dari keturunan kerajaan kuno Jawa Timur, yang kemudian bergabung dengan Kerajaan Majapahit (1292-ca. 1520). Di masa kejayaan Majapahit, Bali ditaklukkan dan sebuah dinasti baru yang berasal dari Jawa Timur berdiri di Gelgel, Bali Selatan. Mereka yang mengabdi pada raja baru (Dalem) adalah para bangsawan yang memiliki status lebih rendah, dan juga berasal dari Jawa. Kepemimpinan suatu daerah di Bali dipercayakan kepada mereka. Bangsawan yang paling penting adalah patih, yakni tangan kanan sekaligus penasehat Dalem. Semua patih berasal dari keturunan klan Arya Kepakisan, dan di dalam hirarki mereka menduduki posisi kedua; hanya Dalem dari Gelgel saja yang menjadi atasan mereka. Raja-raja Mengwi selanjutnya menelusuri garis keturunannya ke dalam klan Arya Kepakisan ini.

A. Berdirinya Dinasti Mengwi Penguasa Mengwi yang mencari leluhurnya memiliki banyak nama, salah satunya adalah Cokorda Bima Sakti Blambangan yang berarti Yang Mulia, Sakti dari Blambangan. Cokorda secara literal berarti Cokor Ida, bahasa Bali halus untuk kakinya, adalah anggota terendah dari penguasa dan tertinggi yang boleh disebut oleh bawahannya. Sakti berarti memiliki kekuatan supranatural, sama halnya dengan bahasa Jawa sekti. Nama Bima berasal dari salah satu dari lima bersaudara Pandawa dalam epic India Klasik Mahabarata, yang terkenal di Bali melalui orang Jawa. Nama Bima cocok sekali diberikan pada raja Mengwi karena pada kenyataannya ia tidak terkalahkan pada peperangan dan berhasil menemukan leluhurnya, kawitan-nya, sehingga mereka akan menerima penghormatan yang menjadi hak mereka. Keris dan kawitan, perselisihan dan sumber, keberanian dan asal usul adalah dua dimensi penting dalam berdirinya dinasti Mengwi. Keterangan diatas masih memiliki keraguan, paling tidak ada tiga hal yang diragukan dari kebenaran teks tersebut sebagai sejarah. Pertama, kebenaran mengenai asal-usul dinasti Mengwi yang merupakan keturunan bangsawan Jawa Timur kuno, kedua kebenaran mengenai seorang penguasa sendirian dapat mendirikan seluruh kerajaannya tanpa bantuan siapapun, dan yang ketiga cara bagaimana raja tersebut memperluas pengaruhnya dalam lingkaran konsentrik. 1. Pembentukan Silsilah Tidak jelas sama sekali apakah memang ada bangsawan Jawa yang pindah dan tinggal di Bali setelah pulau ini dikuasai oleh Kerajaan Majapahit di tahun 1343. Menurut catatan Negarakertagama pada tahun 1343 (Pigeaud 1960, III:54) tetapi tidak satupun genealogi babad mengenai kaum ningrat Bali berawal dari zaman sebelum tahun 1550, sehingga di sini terjadi kekosongan cerita selama dua ratus tahun (Berg 1938:1267; Schulte Nordholt 1986 b:ll). Tambahan lagi, Hedi Hinzler (1986a) telah menunjukka bahwa cerita yang bermula dari masa emas Kerajaan Gelgel di abad ke-16, tidak berisi keterangan mengenai Gelgel, dan asal-muasalnya dari Majapahit. Keterangan semacam itu baru diperoleh dari sumber sesudahnya. Ada kemungkinan bahwa istana Gelgel merupakan pusat kerajaan yang terpenting di Bali selama abad ke-16 sampai tahun 1650. Sumber-sumber yang berasal dari Bali tidak pernah menyebutkan tempat lain sebagai pusat selai Gelgel, dan pada saat itu, laporan dari Belanda mengacu Gelgel sebagai satu-satunya pusat kerajaan. Walaupun demikian, istana Gelgel penuh dengan ketegangan sebagaimana informasi yang didapat dari babad Dalem Klungkung dan laporan Belanda dari tahun 1633 dan 1638. Pada tahun 1651 gejolak untuk mendapatkan kekuasaan meletus; seluruh negeri bangkit memberontak dan semua orang ingin menguasai dan berusaha menjadi raja. Pada tahun 1656, muncul seseorang yang berkuasa; sumber dari VOC menyatakan adanya raja barudi Bali. Pada tahun 1665, seseorang yang bernama Gusty

Agong terbukti adalah pemimpin pulau Bali bagian selatan, dan dua tahun kemudian (1667), ia disebut sebagai regen Gelgel. Menurut sumber dari Bali, Gusti Agung adalah gelar seseorang yang merebut kekuasaan di Gelgel; Gusti Agung diberitakan sebelumnya menjadi patih Dalem Gelgel. Gusti Agung yang disebutkan dalam dokumen VOC besar kemungkinannya orang yang diacu dalam teks Bahasa Bali sebagai leluhur raja-raja Menngwi berikutnya (Babad Mengwi-Blahkiuh a:3). Pada tahun 1686, pemerintahan Gusti Agung di Gelgel berakhir. Di sinilah hubungan silsilah antara Gelgel dan Mengwi harus diteliti. Sumber dari Bali menyatakan bahwa Gusti Agung ditaklukkan oleh para bangsawan yang masih setia pada dinasti Gelgel, namun keterangan yang bertentangan diberikan mengenai hal ini. Misalnya, sumber dari Mengwi menyatakan bahwa Gusti Agung berhasil melarikan diri ke luar dari Gelgel, dan dalam masa pelariannya ia mendirikan dinasti Mengwi. Namun, sumber lain menyatakan ini tidaklah mungkin. Pada tahun 1687 sebuah surat tiba di Batavia; surat ini ditulis oleh Dewa Agung Klungkung, yang memperkenalkan dirinya sebagai raja baru di Bali, dan juga melaporkan bahwa pemberontak Gusti Agung telah mati terbunuh di Gelgel. Namun, ada kemungkinan orang yang membangun Mengwi adalah anak patih yang mati tersebut, tetapi ada pula beberapa sumber yang menyatakan sebaliknya. Salah satu kisah itu bahkan mungkin adalah salah satu versi alternatif cerita Mengwi. Kisah itu menceritakan bahwa asal-usul penguasa pertama Mengwi bukan dari patih Gelgel yang memberontak, namun setelah dilacak ia adalah berasal dari keturunan keluara jauh. Versi cerita yang menyimpang inilah secara historis akan terbukti lebih bisa dipercaya daripada teks yang selama ini telah dirujuk. Namun tidak mungkin untuk menyajikan silsilah dinasti Mengwi secara akurat. Semakin dalam digali, makin banyak versi cerita yang muncul. Itulah sebabnya cerita adanya hubungan garis keturunan dari kerajaan Jawa Timur kuno dengan patih Gelgel dan dinasti Mengwi berikutnya tidak mungkin dapat dibuktikan berdasar sumber sejarah yang dianggap relevan menurut pendekatan ilmu sejarah Barat. Di lain pihak tidaklah mengherankan mengapa dinasti ini bernafsu sekali mengaku asal-usul mereka dari Jawa Timur, karena di masa itu penyesuaian garis keturunan seperti itu ada di mana-mana dan merupakan salah satu cara untuk menanamkan kekuasan di masa lampau (Schrieke 1957:7,275; Henige 1974, Hoeber-Rudolph 1987:741). 2. Sang Ayah Sangat mungkin bahwa dinasti Mengwi dimulai sebelum tahun 1700 AD di Desa Kapal, di sebelah selatan Mengwi. Selama naik turunnya usaha untuk mendapatkan kekuasaan seorang pria yang bernama Agung Anom berhasil menjadi penguasa Kapal. Namun kemudian, ia menderita kekalahan di tangan seorang ningrat local lainnya. Ia melarikan diri ke daerah tetangga, Tabanan, di mana ia mendapat perlindungan (Babad Mengwi-Sedang:4). Dari situ, ia diduga pindah ke desa Blayu, di sebelah utara Desa

Mengwi. Sesudah masa itulah, perluasan besar-besaran dimulai. Dipastikan, proses perluasan daerah ini tidak terjadi secara gradual, melainkan secara tidak teratur. Agung Anom kemudian bergabung dengan penguasa utara Bali, Pnji Sakti, raja yang tak terkalahkan dari Buleleng selama paruh kedua abad ketujuh belas. Dengan cara menikahi anak perempuannya, Agung Anom dari Blayu memperoleh pelindung yang kuat. Menurut ceritaini, berkat dukungan dari raja Buleleng yang berkuasa inilah, agung anom mampu memperkuat kedudukannya (Babad Mengwi-Sedang:6). Tidak lama kemudian, pada tahun 1697, sebuah ekspedisi Buleleng dikirim ke Blambangan, Jawa Timur. Saat itu Agung Anom sedang mengabdi kepada ayah mertuanya, seperti tertulis pada Babad Surapati (:8,11), yang menyebutkan Gusti Agung sebagai wargi Panji Sakti, Gusti Agung memiliki kedudukan yang tinggi daripada pengikut lainnya. Kemungkinan besar Gusti Agung ini tidak lain adalah Agung Anom dari Blayu, dan kemungkinan besar ia pulalah yang ikut serta dalam ekspedisi ke Blambangan pada tahun 1697. Mengadopsi anak merupakan salah satu cara untuk mendapatkan kesetiaan dalam hal pertemanan yang akan berimpas pada masalah kekuasaan. Begitu pula yang dilakukan Agung Anom dari Mengwi yang mengadopsi anak laki-laki Raja Karangasem (Bali Timur). Setelah mengirimkan ketiga anaknya ke Buleleng untuk mengamankan daerah itu, penguasa Buleleng, Panji Danurdarastra dipaksa mengadopsi salah satu dari mereka. Sedangkan dua lainnya diberi daerah kekuasaannya masing-masing. Namun, hal ini tidak berjalan sempurna. Salah satu anak yang diberi kuasa di Buleleng tidak setia sehingga ia dikembalikan untuk bertugas di Desa Kapal, dekat Mengwi, sedangkan anak yang diangkat Panji Danurdarastra kelihatannya lebih setia kepada ayah angkatnya itu, daripada kepada ayah kandungnya sendiri. Karena merasa tidak aman, Agung Anom dari Mengwi memakai gelar kerajaan. Pada tahun 1717, namanya diganti menjadi Tjuakoerda Gusty Agong Mangoei atau Cokorda Gusti Agung dari Mengwi. Namun gelar itu tidak memudarkan perlawananperlawanan yang tak henti-hentinya ditujukan pada kekuasaan Cokorda Mengwi, dan perlawanan ini terus-terus menghantui dirinya sampai akhir hidupnya. Awal tahun 1722, rezim Cokorda Agung anom berakhir ketika ia meninggal dunia karena sakit (KITLV, Coll. De Graaf:8b). 3. Sang Putra Gusti Agung Made Alangkajeng adalah anak almarhum Cokorda Agung Anom dan menjadi raja baru di Mengwi. Dalam rentang waktu 11 tahun, ia akhirnya berhasil mewujudkan impian ayahnya.

Dari athun 1722 sampai 1726 ia terus menerus sibuk untuk memperoleh kembali kekuasaannya atas Blambangandan Buleleng. Banyak peperangan yang harus dihadapi agung Alangkajeng, pertama di Blambangan dan kenmudian di Buleleng, sebelum akhirnya ia berhasil mengamankan pengakuannya sebagai keturunan raja (KITLV, Coll. De Graff:8b). Ia lebih memilih untu tinggal di Blambangan, Jawa Timur, karena dua alasan. Pertama, baik Bali Utara maupun Blambangan adalah tempat persinggahan paling penting bagi kapal-kapal yang hilir mudik antara Batavia dan Maluku. Dalam perjalanan menuju Maluku, kapal-kapal itu memerlukan gudang dan ketika kembalimuatan utamanya adalah budak-budak yang dijual seperti unggas. Alasan kedua adalah, secara ideologi Jawa Timur adalah daerah yang penting sekali. 4. Peperangan Berbagai peristiwa politik di bali telah mengakibatkan hubungan para penguasa Mengwi dan Klungkung menjadi lebih erat. Agung Alangkajeng dari Mengwi lebih kuat namun Dewa Agung dari Klungkung lebih berwibawa. Masing-masing saling membutuhkan satu sama lain demi memperkuat kekuasaannya. Musuh utama mereka berdua adalah cucu Panji Sakti dari Buleleng dan Dewa Anom dari Sukawati, yang juga saudara laki-laki penguasa Klungkung. Pada tahun 1733 pertempuran hebat terjadi di Banjarambengan (Buleleng), yang melibatkan 12.000 tentara. Tentara dari Mengwi, Klungkung, Tabanan, Sibetan dari Karangasem dan seribu tentara Blambangan berhadapan melawan tentara cucu Panji Sakti Buleleng, yang didukung oleh Dewa Anom Sukawati dan penguasa Taman Bali (Bali Tengah). Mereka bertarung demi memperebutkan Desa Banjarambengan, yang dipimpin oleh saudara kandung Raja Mengwi. Namun, akar masalahnya sebenarnya jauh lebih rumit. Bukan hanya hegemoni agung Alangkajeng yang menjadi taruhannya, namun melihat keterlibatan hampir setiap penguasa yang kuat maka tatanan hirarki Bali juga menjadi taruhannya. Pertarungan ini berlangsung sangat sengit karena cerita tentang pertarungan antara Mengwi dan Buleleng ini terus menerus digaungkan di dalam Babad Mengwi. Pada akhirnya, pertempuran dimenangkan oleh Agung Alangkajeng. Menurut cerita, kemenangannya dicapai berkat kesaktian keris I Semeru, sebuah anugerah dari Dewa Pasupati Gunung Mahameru (Semeru). Agung alangkajeng telah menunjukkan kemampuannya sebagai seorang ksatria. B. Hubungan Pribadi Di Kalangan Raja, Kaum Ningrat, Pengikut dan Para Budak 1. Pengikut dan Bawahan Terpilih

Agung Anom dan anaknya, Agung Alangkajeng telah berhasil membentuk pengikut yang banyak, dan kekuatan ini meningkatkan kesiapan raja dalam setiap pertempuran. Kekuasaan raja di Bali juga diekspresikan bertalian dengan kepemilikan (dalam bahasa Bali druwe), yang menjelma dalam sumber daya manusia yang dimobilisasi. Namun, hubungan antara penguasa dan penggiringnya tidaklah stabil. Raja diharapkan memiliki kewajiban tertentu terhadap pengikutnya dan diharapkan untuk memberi penghargaan terhadap kesetiaan mereka. Raja tidak bisa hanya serta merta member perintah, namun ia harus mampu memotivasi mereka terlebih dahulu. Hal ini jelas disebutkan dalam babad Buleleng (Worsley 1972:157-9). 2. Para Pengikut Hanya sedikit sekali yang bisa ditelusuri dari sisa peninggalan pusat kerajaan pertama di Desa Mengwi. Tempat ini terlihat sangat sederhana dan berukuran kecil. Di sebelah utaranya terdapat sebuah persimpangan jalan kecil. Di sebelah barat laut terdapat tempat kediaman raja, yang disebut Puri Bekak atau Kaleran (ke arah utara). Di sekitar puri ini tinggal para pengikut raja yang dipilih berdasarkan kesetiaan dan keberhasilannya di medan perang. Mereka yang berhasil akan terus diperhatikan dan meningkat statusnya, sedangkan yang kalah akan hilang pamornya dan bahkan tidak ada orang yang mengenangnya. Cerita sejarah beberapa keluarga akan menunjukkan keadaan ini. Sebelum Kerajaan mengwi Berjaya, Gusti dari Jero Tangeb adalah keluarga yang dihargai di Desa Kapal dan Desa Mengwi. Namun mereka tidak mampumenandingi orang kuat yang baru, yakni Agung Anom. Pemimpin Jero Tangeb terpaksa menyerahkan kulkul-nya kepada Agung Anom yang berarti telah menyerahkan kekuasaan dan suaranya yang mampu memobilisasi pengikutnya. 3. Purohita Kekerasan dan hubungan antara pengikut dan penguasa menciptakan salah satu sisi kekuasaan kerajaan. Dan di sisi lain adalah dimensi ritual. Untuk ini, kita perlu mempertimbangkan hubungan khusus yang dimiliki antara raja dengan para pendeta kaum brahmana, yaitu purohita. Hubungan antara dua pihak ini merupakan suatu fenomena kuno dan tersebar pada daerah di mana terdapat pengaruh India. Rajalah yang berhak memutuskan pendwijatian seorang pendeta brahmana (pedanda), begitu juga sebaliknya hanyalah pedanda yang boleh memimpin upacara abhiseka (pelantikan) seorang raja (Korn 1932:140). Di antara para pedanda, seorang purohita menempati tingkatan yang paling tinggi karena dia mempertahankan hubungan yang paling dekat dengan raja. Sang purohita bukan saja satu-satunya sumber pengetahuan suci, tapi juga menjadi yang member legitimasi terhadap kekuasaan kerajaan, seperti yang ditunjukkan pada mukadimah babad Mengwi, di mana purohita raja ini memberikan penjelasan

tentang silsilah raja. Purohita ini mengetahui tatanan segala hal sehingga sang pendeta ini dianggap memiliki wawasan tentang hirarki dunia dan seluruh kosmos. Kaum purohita raja-raja Mengwi termasuk kelompok tertinggi dari kaum brahmana di Bali, yaitu brahmana Kemenuh. Para pedanda Kemenuh ini berasal dari Banjarambengan, Buleleng; semua keluarganya diboyong ke selatan sebagai hasil rampasan perang waktu Raja Mengwi pertama menguasai Buleleng. Pedanda Kamenuh diantar ke Mengwi dan diberikan gria (tempat tinggal seorang brahmana) di Desa Den Kayu. Di sanalah purohita dinasti Mengwi bertempat tinggal. Mereka memiliki martabat yang tinggi; secara formal mereka berkedudukan lebih tinggi dari raja, tapi dalam kenyataannya hubungan raja dan purohita yang lebih diperhitungkan, karena purohita tidak mungkin ada tanpa adanya seorang raja. Posisi purohita ditunjukkan tidak saja dalam hal peribadatan atau pelaksanaan suatu upacara keagamaan, tapi juga dalam jurisprudensi kerajaan. Sebagain besar dari mereka yang dapat menafsirkan naskah Jawa kuno dan yang boleh menasehati raja adalah pendeta brahmana. Para pendeta ini juga memberikan pelajaran kepada putra-putri kaum bangsawan, mengajari mereka tentang sastra klasik dan prisnsip-prinsip dasar pemerintahan. Gria purohita menunjukkan puncak hiraki ritual yang diekspresikan dalam tindakan-tindakan seperti saat pedanda memercikkan tirta kepada para sisya (murid, penganut, pengikut). 4. Para Jaba Pada awal abad ke-18, para pengikut terpilih Raja Mengwi terdiri dari nkurang lebih beberapa puluh orang beserta keluarganya. Penduduk Desa Mengwi lainnya (kurang lebih 2.500 orang) bukan dari golongan bangsawan, bukan juga bagian dari para pengiring, oleh karena itu, mereka disebut sebagai golongan jaba (orang luar). Terdapat keluarga jaba yang sangat dihormati di lingkungannya dan ada anggota keluarga mereka memegang posisi penting di desanya. Walaupun kelompok non-bangsawan ini tergolong orang luar, namun banyak diantaranya memiliki hubungan baik dengan raja dengan menjadi pengiringnya dan melalui ini pula membentuk kelompok pengikut yang lebih banyak dan luas. 5. Para Budak Dalam peta perdagangan Nusantara, Bali memiliki posisi yang menguntungkan. Pulau Bali merupakan tempat persinggahan dalam rute dari Batavia menuju kepulauan Maluku dan merupakan gudang barang untuk perdagangan dengan kawasan bagian timur nsantara. Awalnya, budak bukanlah merupakan komponen pokok dari ekspor Bali. Sebelum tahun 1650, kain katun, padi, babi, sapi dan unggas merupakan produk-produk

yang lebih penting (Meilink-Roelofsz 1962:102; Heeres 1894). Tapi setelah tahun 1650, jumlah budak-budak yang diekspor meningkat, dan sebagian besar dikirim ke Batavia. Diperkirakan 1.000 budak dikirim setiap tahunnya, jadi antara tahun 1650 dan 1830, kirakira 150.000 budak baik laki-laki dan perempuan, diambil dari Bali. Besarnya perdagangan ini pastilah berakibat serius pada masyarakat Bali. Terdapat tiga kelompok budak: tahanan perang, budak karena berhutang, dan narapidana. Kelompok yang pertama yaitu mereka yang tertangkap di medan peperangan dan perang kecil di seluruh pulau Bali. (Korn 1932:173; Schulte Nordholt 1980:47). Perang menghasilkan budak, namun ternyata permintaan akan budak juga menyebabkan terjadinya perang. Saat menyerang daerah lainpun banyak sekali budak yang ditangkap. Orang-orang seperti Sawan dan Wayan Pincat mungkin berasal dari salah satu golongan budak karena hutang atau narapidana. Seperti di tempat lain di Asia Tenggara, perbudakan karena hutang merupakan fenomena yang tersebar luas (Korn 1932:173; Reid 1983:8-12). Seseorang akan menggadaikan dirinya karena berbagai alasan, misalnya melaksanakan kewajiban upacara keagamaan, kebutuhan untuk membeli ternak, atau untuk mengimbangi hasil panen yang jelek. Jika seseorang menjadi budak karena hutang (tetunggon) dari seseorang yang kaya dan berkuasa, orang itu mungkin akan dijual. Untuk memperoleh budak, raja-raja Bali dan penguasa lainnya sengaja mencari cara untuk meningkatkan jumlah rakyat yang berhutang. Mereka biasanya menggelar acara sabung ayam yang besar, berlangsung berhari-hari dan warganya diharuskan untuk hadir dan ikut dalam sabung ayam tersebut. Jika saya tidak ikut serta dalam permainan sabung ayam tersebut, saya akan dijual dan dipertukarkan dengan serbuk mesiu, adalah pengaduan dari seorang biasa dalam puisi Bagus Diarsa. Budak kategori ketiga terdiri dari narapidana. Terdapat banyak bukti bahwa yurispudensi kerajaan sampai pada akhir abad ke-18 cenderung menghasilkan budak karena hukuman seringkali dijatuhkan dalam bentuk denda. Misalnya hukuman mati disamakan dengan 40.000 kepeng (logam tembaga), yang setara dengan sekitar empat puluh-rix dolar. Jumlah ini sama dengan harga yang harus dibayar oleh pedagang untuk membeli seorang budak di Bali (KITLV, Coll. Korn: 175, Paswara Mengwi: 73). Terlebih lagi, keputusan Kerajaan Mengwi memperlihatkan bahwa beratnya denda tergantung pada posisi seseorang di dalam hirarki. C. Kesejahteraan dan Kesengsaraan Pemerintah Pusat dengan Satelit (Daerah Jajahannya) 1. Pusat Kekuasaan dan satelit Raja Mengwi adalah seorang yang hebat, namun demikian ia harus tetap harus berbagi kekuasaan dengan penguasa yang lainnya. Wilayah yang dipegang oleh Agung Alangkajeng memiliki hirarki golongan bangsawan yang lebih tinggi dan lebih rendah,

yang tak stabil; masing-masing penguasa menguasai daerahnya sendiri namun sampai batas-batas tertentu mengakui keunggulan atau posisi tertinggi raja. Pusat kerajaan di Mengwi dan satelitnya tidak dibangun sebelum penaklukan besar-besaran terhadap Buleleng dan Blambangan; kejadian ini berlangsung secara serempak, ekspansi terjadi di semua lini depan. Hasilnya adalah sebuah piramid tak stabil; pusat kekuasaan dikelilingi oleh satelit atau daerah jajahan yang kesetiaannya harus terus menerus diperkokoh. Blambangan dan Buleleng adalah wilayah luar. Sekitar Desa Mengwi terletak daerah inti yang dikuasai oleh keluarga kerajaan. Di sekeliling daerah inti itu merupakan tempat tinggal bangsawan bawahan yang bukan dari anggota keluarga kerajaan. Keturunan dinasti dan bangsawan yang lebih rendah ini membentuk satelitsatelit yang mengelilingi pusat kerajaan. Hubungan antara pusat kerajaan dengan wilayah ini ditandai dengan persaingan satu sama lain, pergantian persekutuan, dan konflik. Dalam konteks ketegangan ini kewewenangan pusat kerajaan menjadi tersebar. Keturunan Puri Sibang merupakan satelit dinasti yang terkuat. Cabang-cabang lain seperti Puri Muncan, lebih kecil dan lebih lemah sehingga lebih mudah dikendalikan oleh Raja. Di samping cabang-cabang dinasti, para penguasa dari keluarga bangsawan yang tidak berhubungan dengan dinasti membuat kelompok satelit kedua sekitar Raja Mengwi. Tidak termasuk bangsawan desa yang lebih rendah, ada sekitar 9 atau10 kelompok satelit kedua pada awal abad ke-18. Hubungan antara raja dan penguasa ini sama tidak stabilnya seperti hubungan antara pusat dinasti dengan cabang-cabangnya. Sebagaian besar dari 8 atau 9 satelit yang lainnya berada dalam posisi yang sama, sehingga besarnya daerah kekuasaan mereka dan kedekatannya pada pusat kerajaan menentukan tingkat pengabdiannya pada raja. D. Dinasti Mengwi Daerah Mengwi memiliki garis penghubung yang tidak stabil dari sejumlah bendungan yang besar sampai ke persawahan. Terdapat suatu kesepadanan tertentu antara penyebaran dinasti dan peningkatan control terhadap sistem irigasinya di daerah Mengwi. Analog dengan formasi dari hirarki kerajaan adalah tatanan hirarki irigasi Mengwi, yakni air yang mengalir dari pegunungan menuju dam-dam sentral, dialirkan ke saluran utama dan cabang-cabang yang lebih kecil menuju ke sawah, dan akhirnya mengalir ke laut. Tetapi sistem irigasi Mengwi tersebut sama sekali tidak menunjukkan birokrasi hidrolik yang dikuasai oleh monarki yang lalim. Raja Mengwi tidak mampu melaksanakan control secara mutlak. Namun, di lain pihak dinasti Mengwi sangat terlibat dalam pembangunan, pemeliharaan dan utamanya secara ritual pengaturan sistem irigasi regional ini. Oleh karena itu, tatanan irigasi ini hanya dapat dimengertikan dalam hubungan dengan hirarki kerajaan. 1. Air, Desa dan Puri

Menyebar dari daerah pegunungan menuju laut, aliran tiga sungai, yakni Sungi, Penet dan Ayung, menuruni wilayah Mengwi yang sedikit landai. Karena sebagian besar tanah wilayah Mengwi seperti itu, alur sungai-sungai tersebut menjadi curam sehingga sulit bagi siapa pun untuk mengalirkan air ke sawah. Pembangunan bendungan sentral dan salurannya sering merupakan prasyarat pembangunan sistem irigasi skala besar. Batasan kedua adalah, air irigasi hanya bisa dialirkan pada daerah tanah lapang. Bentang darat Bali selatan saat ini dengan deretan sawah bukanlah terbentuk secara alami, namun sengaja dibuat. Namun deskripsi pemandangan pulau Bali abad ke delapan belas tidak banyak tersedia, tetapi dapat diasumsikan bahwa di daerah Mengwi pada saat itu lebih banyak terdapat hutan daripada sawah. Tradisi setempat juga menjelaskan bahwa pada awal abad ke delapan belas banyak kawasan Mengwi yang ditutupi oleh pepohonan. Dalam banyak cerita lisan yang menggambarkan periode saat ini orang sering bertemu dengan kata alas (hutan), setiap ada percakapan mengenai pembangunan sebuah desa atau pembersihan daerah sekitarnya. Dalam cerita-cerita seperti itu hamper dapat dipastikan bahwa puri setempat atau raja yang memerintahkan pembabatan daerah berpohon di sekitar desa. Puri yang sama juga terlibat dalam pembangunan bendungan hulu. Menurut tradisi pedesaan ini kaum bangsawan dan khususnya dinasti Mengwi secara langsung terlibat dalam pembuatan sistem irigasi yang lebih besar. 2. Puri dan Dam Lokasi pusat kerajaan dan beberapa satelit sebagian dapat dijelaskan dari sudut pandang irigasi. Disebutkan bahwa raja pertama Mengwi, bersama dengan penguasa Blayu, membangun sebuah bendungan di Sungai Sungi, sebelah barat Blayu, dan mereka memperluas area sawah sekitar Desa Mengwi. Perluasan ini menempatkan desa ini di tengah persawahan yang luas dan subur, berada sekitar 200 meter di atas permukaan laut. Di sinilah padi ditanam untuk memenuhi kebutuhan kerajaan. Bendungan itu dijaga oleh sekutu penguasa Blayu. Dampaknya adalah bendungan yang baru dibangun ini memungkinkan raja bisa mempengaruhi irigasi sawah yang berada di hilir Kaba-Kaba. Bila perlu, dia bahkan bisa mengalihkan sungai, dan bisa memberhentikan suplai ari ke Kaba-Kaba. Beberapa daerah satelit menerapkan sistem pengaturan mereka sendiri di luar jangkauan raja secara langsung. Sebagai contoh, Puri Penarungan dan Puri Kapal memperoleh air dari sungai yang lain, yakni Sungai Penet, di mana mereka membangun bendungannya sendiri. Puri Sibang juga memiliki bendungannya sendiri, yang berlokasi di Sungai Ayung. Hanya puri sekuat Puri Sibang yang dapat memobilisasi sumber daya manusia yang cukup besar untuk membangun sebuah bendungan di sebuah sungai yang paling deras airnya di Bali, lengkap dengan saluran yang membentang berkilo-kilo dan mampu mempertahankan pemeliharaannya. 3. Sawah dan Pengikut

Raja dan penguasa local membentuk kelompok pejabat yang disebut sedahan untuk menangani pengelolaan sistem irigasi. Bersama-sama dengan mekel para sedahan ini menghubungkan puri dengan rakyatnya. Tugas utama mekel adalah menggerakkan masyarakat untuk mengabdi pada puri; sedahan memiliki tugas yang relatif sama dalam pengaturan irigasi. Mereka bertugas mengurusi empat hal. Pertama, mereka harus memutuskan kapan saatnya memperbaiki bendungan dan membangun saluran-saluran. Kedua, mereka mengatur pengalokasian air ke sawah-sawah. Ketiga, mereka mengelola sawah-sawah tersebut yang hasil panennya diserahkan kepada puri. Tugas terakhir adalah sedahan memungut pajak sawah yang mereka serahkan ke puri. Karena wewenang sedahan dibatasi oleh daerah yang dipimpin oleh penguasanya, ini berarti bahwa raja hanya menerima keseluruhan pendapatan pajak dari daerah kekuasaannya saja. Pajak yang telah dipungut dari hasil sawah yang dialokasikan untuk para pengikut puri. Dengan demikian, para pengikut disebut pengayah (pekerja) dan sawah digarap oleh mereka yang disebut pacatu. Di wilayah Mengwi terdapat hubungan yang sangat kuat antara menjadi seorang pengikut dan menjadi pekerja pacatu. Puri memberikan imbalan kepada pekerja pacatu karena kesetiaan dan jasa yang telah mereka berikan kepada puri. E. Hirarki Dinasti Mengwi Pada pusat Kerajaan Mengwi yang baru, puri dan pura membentuk suatu kesatuan tataran rangkap walaupun tidak setara. Puri sebagai tempat tinggal raja, yang berdiri pada puncak piramida manusiawi di wilayah itu. Kearah timur laut dari puri-berdirilah bangunan yang memiliki tataran lebih tinggi-yakni pura, tempat dimana hubungan antara para dewa, manusia, dan kuasa jahat yang terungkap. Pura Taman Ayun juga melambangkan dunia (atau Bali, atau Mengwi) yang muncul dari air (laut) menuju daratan pegunungan (dalam bentuk meru), tempat bersemayamnya para dewata. Pada saat yang sama Pura Taman Ayun merupakan replica wilayah Mengwi, yang diringkas secara memusat oleh pura tersebut. Singkatnya, Pura Taman Ayun merupakan pusat dan lambing negara Mengwi. Dalam hubungan saling melengkapi antara puri dan pura inilah hirarki kerajaan terungkap secara nyata. Pura tidak aka nada tanpa puri, namun puri berada di bawah pura, yang mencerminkan tatanan yang lebih tinggi, yang mengatasi semua tataran benda. Pembentukan Negara Mengwi tidak sempurna sebelum Pura Taman Ayun dibangun.

Anda mungkin juga menyukai