Anda di halaman 1dari 12

NARASI

DIORAMA PUSAKA MANGUPRAJA


DARI
L E D 1 SAMPAI DENGAN 6

KANTOR ARSIP DAERAH KABUPATEN BADUNG


TAHUN 2015

LED 1

UCAPAN SELAMAT DATANG


DENGAN TIGA BAHASA
- BALI
- INDONESIA
- INGGRIS

LED. 2
SEPINTAS TENTANG SEJARAH KERAJAAN BADUNG
Pada tahun 1343 Pulau Bali telah dikuasai oleh kerajaan Majapahit yang membangun keraton di
Samprangan (Gianyar) dengan rajanya bergelar Sri Kresna Kepakisan. Sebelum raja majapahit berkuasa, Bali
diperintah oleh raja raja keturunan Udayana dari dinasti Warmadewa.
Sekitar awal abad ke 16 pusat kerajaan dipindah ke puri swecapura di Gelgel, sejak saat itu raja-raja
yang memerintah bergelar Dalem. Salah satu putra Mahkota keturunan raja Gelgel adalah Dalem Pemahyun

yang kemudian menurunkan Sire Arya Tegeh Kori. Menurut cerita rakyat Sira Arya Tegeh Kori melakukan
perjalanan panjang menuju Pura Ulun Danu Batur dan memohon kepada Ida Betari Ulun Danu Batur untuk
diberikan Panugrahan agar kelak menjadi seseorang yang berwibawa dan dihargai oleh Rakyatnya. Akhirnya
Doa tersebut dikabulkan, dan Sire Arye Tegeh Kori diminta agar pergi ke Barat Daya ( Gumi Badeng ) sebuah
wilayah yang ditempati oleh Ki Bendesa. Melalui musyawarah diputuskan bahwa Sire Arye Tegeh Kori
diangkat menjadi Penguasa di Daerah tersebut.
Setelah itu Ki Bendesa membangun Istana untuk Sira Arya Tegeh Kori yang diberi nama Puri
Benculuk dan menetapkan nama wilayah kekuasaannya menjadi Badung yang berasal dari kata Badeng, sesuai
dengan titah Ida Bhatari Batur yakni Tonja yang JakangWana Badeng . Kemudian para Penguasa Badung
sebagai bawahan dari kerajaan Gelgel juga membangun Puri Ksatriya ( diperkirakan Suci Denpasar ) dan Puri
Tegal Agung ( diperkirakan di sebelah selatan Setra Badung Denpasar )
Pada akhir abad ke 18, Kekuasaan Puri Ksatriya jatuh kepada Kyayi Ngurah Made karena Puri
Ksatriya telah rusak akibat perang perebutan kekuasaan, maka Beliau memerintahkan untuk membuat Puri
baru yang terletak Tetaman Den Pasar ( den Pasar dalam Bahasa Bali berarti Utara Pasar ). Pada tahun
1788 Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Badung.
Pada tahun 1904 sebuah kapal Cina berbendera Belanda bernama Sri Komala kandas di Pantai
Sanur. Pihak Pemerintah Belanda menuduh masyarakat setempat, melucuti, merusak, dan merampas isi Kapal
dan menuntut kepada Raja atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan menghukumnya. Penolakan
Raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu menyebabkan Pemerintah Belanda mempersiapkan
Ekpedisi meliternya ke Bali tanggal 20 September 1906 untuk menyerang raja Badung.

Setelah menyerang Badung Belanda menyerbu kota Denpasar tiba tiba mereka disambut oleh
segerombolan orang orang berpakaian serba putih siap melakukan Perang Puputan ( Mati berperang
sampai titik darah terakhir). Hal itu dilakukan karena tujuan kesatria adalah mati dimedan perang sehingga
arwah dapat masuk langsung ke Surga dan Raja Badung beserta laskarnya yang dengan gagah berani
melakukan perang puputan akhirnya gugur, demi mempertahankan kedaulatan dan kehormatan rakyat
Badung.

SEKILAS TENTANG SEJARAH KERAJAAN BADUNG


Perang Puputan Badung tanggal 20 September 1906 merupakan bentuk pembelaan masyarakat Badung
dikomandai oleh Raja Puri Denpasar, Puri Kesiman dan Puri Pemecutan atas agresi militer Belanda yang ingin
menguasai Badung. Latar belakang terjadinya perang tersebut karena rakyat Sanur (wilayah Badung waktu itu)
dituduh merampas barang-barang dalam Kapal Sri Komala milik saudagar Cina yang terdampar di Pantai
sanur pada tanggal 27 Mei 1904. Kwee Tek Tjiang membuat laporan kepada Pemerintah Belanda di Batavia
bahwa rakyat Sanur mencuri 3.700 ringgit uang perak dan 2.300 uang kepeng.
Karena raja tidak mempercayai laporan tersebut, pihak kolonial Belanda mengeluarkan ultimatum
yakni mendenda Raja Badung, I Gusti Ngurah Denpasar ( Badung merupakan otoritas tiga kerajaan, yakni
Kesiman, Denpasar dan Pemecutan ) sebesar 3.000 ringgit ( 7.500 gulden ). Meskipun telah diultimatum, Raja
Badung saat itu, I Gusti Ngurah Denpasar, tetap menolak tuduhan dan tuntutan sampai batas waktu pada
tanggal 9 Januari 1905. Penolakan tegas Raja Badung mengakibatkan pemerintah kolonial mengirim kapal
angkatan laut ke perairan Badung untuk melakukan blokade ekonomi.
Akhirnya ekspedisi militer V sampai di Selat Badung pada tanggal 12 September 1906. Kekuatan
armadanya berjumlah 16 buah kapal, yaitu 9 buah kapal perang, dan 7 buah kapal pengangkut. Kapal kapal
perang tersebut di antaranya De Hortog Hendrik, Koningin Wilhelmena, Der Nederlander, dilengkapi
dengan meriam berbagai kaliber. Seluruh personil yang ikut dalam ekspedisi itu berjumlah 3053 0rang terdiri
atas 2312 orang personil militer dan 741 orang sipil termasuk wartawan perang.
Ancaman dari Gubernur Jendral di Batavia tidak sedikitpun mengubah pendirian Raja Badung.
Sekalipun Pemerintah tertinggi Hindia Belanda di Batavia mengeluarkan surat perintah untuk mengadakan
ekspedisi militer pada tanggal 4 September 1906, Raja Badung telah siap menanggung resiko demi membela
kedaulatan kerajaan ( Nindihin Gumi Lan Swadharmaning Negara ). Dengan didahului pernyataan sumpah
menurut Agama Hindhu, raja dan rakyat Badung lebih yakin untuk menolak ultimatum dan ancaman Belanda.
Utusan dikirim pada sore harinya untuk menyampaikan ultimatum kepada Raja Badung agar menyerah
dalam tempo 2 x 24 jam. Ultimatum ditolak tegas, sehingga pasukan Belanda mendarat di Pantai Sanur, pada

tanggal 14 September 1906. Pabean Sanurdiduduki dan dijadikan benteng pertahanan mereka untuk
melakukan serangan ke arah Kesiman sebagai benteng terdepan Raja Badung.

Pada Perang Puputan Badung diperkirakan korban yang gugur mencapai 7.000 jiwa, termasuk para
raja, kerabat istana serta para pahlawan dari ketiga puri ( Kesiman, Denpasar dan Pemecutan). Raja Badung
beserta Laskarnya dengan gagah berani melakukan perang Puputan yang akhirnya gugur mempertahankan
kedaulatan dan kehormatan rakyat Badung. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Rost Van Toningen akhirnya
berhasil menduduki wilayah Badung.

LED. 3
Pusat Pemerintahan Badung dari Kota Denpasar
ke Wilayah Kabupaten Badung di Sempidi
Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung dilatarbelakangi dengan proses pemekaran
Kabupaten Badung menjadi 2 (dua) wilayah yakni Kabupaten Badung dan Kodya Denpasar pada tahun
1992. Pemekaran tersebut secara faktual telah menyebabkan Daerah Administratif Kodya Denpasar saat itu
terdapat 2 (dua) Pusat Pemerintahan, yaitu Kabupaten Badung dan Kota Madya Daerah Tk II Denpasar
yang kini bernama Kota Denpasar. Atas dasar tersebut ada pemikiran untuk memindahkan pusat
pemerintahan Kabupaten Badung di Denpasar yaitu Dharma Praja Lumintang ke wilayah Kabupaten
Badung.
Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi kejadian luar biasa yang membumihanguskan kompleks
gedung pusat Pemerintahan di Lumintang Denpasar pada tanggal 21 Oktober 1999, sehingga
Pemerintah Kabupaten Badung tidak memiliki Pusat Pemerintahan. Agar kegiatan Pemerintahan tetap
berjalan, diputuskan untuk menyewa Gedung Universitas Hindu Indonesia (UNHI) di daerah Tembau pada
bulan Januari tahun 2000, sebagai kantor sementara. Pada tahun 2001 kantor Bupati Badung dan
Sekretariatnya dipindahkan ke Balai Diklat Sempidi yang semula diperuntunkan sebagai pusat pendidikan
dan pelatihan.
Berdasarkan rekomendasi DPRD Badung No. 100/662/DPRD tanggal 19 Oktober 2001, tentang
rekomendasi Penetapan Lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung kemudian ditetapkan melalui
Keputusan Bupati No. 1269 tentang Penetapan Lokasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung. Peristiwa
yang dianggap bersejarah tersebut terjadi pada masa pemerintahan Bupati Badung, yaitu Anak Agung
Ngurah Oka Ratmadi,SH. Selanjutnya pada saat kepemimpinan Bupati pada tahun 2007 Puspem Badung
mulai dibangun diatas lahan 46,677 Ha. Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung atau yang
dikenal dengan Puspem Badung dilakukan disain
dan penyempurnaan khususnya dalam masa
kepemimpinan Anak Agung Gde Agung,SH yang menginginkan bagaimana Puspem Badung menonjolkan
Kearifan Lokal yang Bernuansa Bali dengan berlandaskan Agama Hindu.
Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung menggunakan filosopi Tri Mandala yang terdiri atas Utama
Mandala, Madya Mandala dan Nista Mandala (Hulu, Tengah, Teben). Seiring proses pembangunan Puspem,
maka awal tahun 2008 mulai proses penetapan wilayah Ibu Kota dan Nama Ibu Kota Kabupaten badung.
Langkah tersebut diawali dengan penyerapan Aspirasi masyarakat, pelaksanaan Semiloka yang diprakarsai
DPRD Badung, Proses pengusulan nama Ibu Kota di Sidang Istimewa DPRD Badung, dan ditetapkanlah
nama Mangupura sebagai Ibu Kota Kabupaten Badung.

Tekad Pemerintah dan masyarakat Badung memiliki Pusat Pemerintahan (Puspem) yang Representatif
dan mengintegrasikan seluruh Instansi yang ada semakin menguat, agar pelayanan kepada masyarakat dapat
dilaksanakan secara optimal. Ditetapkan Puspem Badung di Kelurahan Sempidi, berdasarkan rekomendasi
DPRD Badung Nomor 100/662/DPRD tanggal 19 Oktober 2001 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan
Bupati Badung Nomor 1269/2001 tentang Penetapan Lokasi Puspem Badung. Kini Badung telah memiliki
Ibu Kota yakni Mangupura yang memiliki arti Kota yang menawan hati, Tempat mencari keindahan,
kedamaian dan kebahagiaan yang mendatangkan kesejahteraan serta menumbuhkan rasa aman bagi
masyarakatnya. Ibu kota Mangupura diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) H.Gamawan
Fauzi, pada hari Jumat 12 Februari 2009.
Selain meresmikan nama Mangupura, Mendagri juga menyerahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 67
tahun 2009 tentang Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Badung dari wilayah Kota Denpasar ke Wilayah
Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung kepada Bupati Anak Agung Gde Agung,SH yang disaksikan
Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Ketua DPRD Badung Drs. I Made Sumer, Apt. Acara peresmian
tersebut berlangsung di lapangan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung, Mangupraja Mandala. Wilayah
Ibu Kota Mangupura meliputi 9 (sembilan) Desa/Kelurahan yaitu : Desa Mengwi, Desa Gulingan, Desa
Mengwi Tani, Desa Kekeran, Kelurahan Kapal, Kelurahan Abianbase, Kelurahan Lukluk, Kelurahan
Sading dan Kelurahan Sempidi.
Sejarah telah terukir untuk Pemerintahan dan masyarakat Kabupaten Badung. Lambang Kabupaten
Badung juga mengalami perubahan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2010.
Lambang Kabupaten Badung yang baru berbentuk segi 5 (lima) sama sisi dengan warna dasar biru laut dan
garis pinggir hitam dengan motto Cura Dharma Raksaka yang berarti berani membela kebenaran.

LED. 4

SISTEM PEMERINTAHAN DAN KEBIJAKAN KEPALA DAERAH


KABUPATEN BADUNG
1. Dalam sejarah Pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung
ada beberapa kebijakan Kepala Daerah antara lain sebagai berikut :

a. Pada masa Pemerintahan Bupati I Gusti Bagus Alit Putra, SH beliau pernah
mewacanakan membangun kembali Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung
yang Representatif setelah dibakarnya Gedung Pusat Pemerintahan di
Lumintang oleh masa pada tahun 1999.
b. Pada masa Pemerintahan Bupati A.A. Ngurah Oka Ratmadi, SH Pusat
Pemerintahan Kabupaten Badung berpusat di Lumintang Denpasar. Oleh karena
telah di bakar masa pada tahun 1999 diputuskan :
- Menyewa Gedung Universitas Hindu Dharma (UNHI) di Daerah Tembau Desa
Penatih Denpasar pada Tahun 2000, untuk dipergunakan sebagai
Kantor/sekretariat Daerah sementara.
- Pada tahun 2001 Sekretariat Daerah di UNHI di pindahkan kembali ke Balai
Diklat Provinsi Bali di Sempidi.
- Mewacanakan
pembangunan, Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung di
Penarungan.
- Memutuskan pembelian tanah di Wilayah Kelurahan Sempidi seluas 46,677
hektar untuk dibangun pusat Pemerintahan Kabupaten Badung PUSPEM yang
representatif sedangkan pada waktu itu terjadi juga tragedi kemanusiaan,
yaitu Bom Bali satu di Legian Kuta, sehingga semua kegiatan pembangunan
PUSPEM Badung dipending karena keadaan situasi dan kondisi belum
memungkinkan atau tidak stabil.
- Membangun Monumen Bom Bali I ( Grand Zero ) untuk memperingati tragedi
kemanusiaan terjadi pada bulan Oktober tahun 2002 di Legian.
2. Surat Rekomendasi DPRD Kabupaten Badung No. 100/166/DPRD tanggal
11 Oktober 2011 tentang Penetapan Pusat Pemerintahan Kabupaten
Badung, dan atas dasar tersebut dilakukan penuntasan pembelian dan
penataan kawasan PUSPEM Kabupaten Badung dengan tahapan
sebagai berikut :
a. Penjabat Bupati I Wayan Subawa, SH.M.Hum
Menuntaskan Pembelian tanah 2 Are didepan pintu gerbang utama jalan masuk ke
dalam areal Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung di Sempidi.

b. Pada Masa Pemerintahan Bupati A.A. Gde Agung, SH


Melakukan penataan pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung
secara bertahap, sesuai konsep Tri Hita Karana dengan Filosofi Tri
Mandala.
c. Selain melakukan penataan pembangunan Pusat Pemerintahan Kabupaten
Badung, Bupati A.A. Gde Agung, SH juga melakukan kegiatan - kegiatan sebagai
berikut :
- Apec Summit Meeting di Nusa Dua tahun 2011;
- Pembuatan Patung Dewi Saraswati di Washintong DC. Amerika Serikat;
- Peraturan bersama tentang pengoprasian jalan Tol Nusa Dua - Ngurah Rai;
- KTT Apec 23 24 Agustus 2015 dan masih banyak kegiatan yang berskala
Nasional dan Inetrnasioanl lainnya.

LED. 5

POTENSI ALAM DI WILAYAH KECAMATAN


KABUPATEN BADUNG
Sebagai sentra pariwisata utama di Provinsi Bali Badung terus mengembangkan seluruh potensi
yang dimilikinya. Disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan potensi wilayah Kabupaten Badung dibagi
menjadi tiga wilayah pembangunan yaitu :
1. Badung Utara
Meliputi Kecamatan Petang dan Kecamatan Abiansemal dengan pusat pengembangan di
Blahkiuh dengan dominasi aktivitas perkebunan dan tanaman pangan, wisata alam, peternakan,
kerajinan dan konservasi. Badung utara terdiri dari 2 bagian kecamatan yaitu Kecamatan Petang dan
Kecamatan Abiansemal.
-

Kecamatan Petang
Luasnya adalah 115,00 Km2, Pada tahun 2013, penduduknya berjumlah 30.850 jiwa. Kecamatan
Petang terdiri dari 7 Desa yaitu Desa Belok Sidan, Desa Pelaga, Desa Sulangai, Desa Petang, Desa
Pangsan, Desa Getasan dan Desa Carangsari.

Kecamatan Abiansemal
Luasnya adalah 69,01 Km2. Pada tahun 2013, penduduknya berjumlah 89.579 jiwa. Kecamatan
Abiansemal terdiri dari 18 Desa yaitu Desa Sangeh, Desa Selat, Desa Taman, Desa Bongkasa,
Desa Bongkasa Pertiwi, Desa Punggul, Desa Blahkiuh, Desa Ayunan, Desa Abiansemal, Desa
Dauh Yeh Cani, Desa Mambal, Desa Mekar Bhuana, Desa Sibang Kaja, Desa Sibang Gede, Desa
Sedang, Desa Desa Angantaka, Desa Jagapati, dan Desa Darmasaba.

2. Badung Tengah
Meliputi Kecamatan Mengwi dengan pusat pengembangannya di Mengwi dengan dominasi
aktivjtas pertanian, pariwisata budaya, peternakan dan kerajinan.
-

Kecamatan Mengwi
Luasnya adalah 82,00Km2. Pada Tahun 2013 penduduknya berjumlah 117.287 jiwa. Kecamatan
Mengwi terdiri dari 5 Kelurahan yaitu, Kelurahan Kapal, Kelurahan Lukluk, Kelurahan Sempidi,
Kelurahan Sading, Kelurahan Abianbase, dan 15 Desa yaitu DesaKuwum, Desa Sembung, Desa
Werdi Bhuana, Desa Mengwi, Desa Gulingan, Desa Penarungan, Desa Sobangan, Desa Baha, Desa
Mengwitani, Desa Kekeran, Desa Buduk, Desa Tumbak Bayuh, Desa Munggu, Desa Cemagi, dan
Desa Pererenan.

3. Badung Selatan
Meliputi Kecamatan Kuta Selatan, Kecamatan Kuta, Kecamatan Kuta Utara dengan pusat
pengembangannya di Kuta dengan dominasi aktivitas pariwisata, perikanan, industri kecil,
perdagangan dan jasa serta pusat pendidikan.
-

Kecamatan Kuta Utara


Luasnya adalah 33,86 Km2. Pada tahun 2013 penduduknya berjumlah 73.350 jiwa. Kecamatan
Kuta Utara terdiri dari 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Kerobokan, Kelurahan Kerobokan Kaja,
Kelurahan Kerobokan Kelod, dan 3 Desa yaitu Desa Dalung, Desa Canggu, Desa Tibubeneng.

Kecamatan Kuta
Luasnya adalah 17,52 Km2. Pada tahun 2013 penduduknya berjumlah 54.374 jiwa. Kecamatan
Kuta terdiri dari 5 Kelurahan yaitu Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Tuban, Kelurahan Kuta,
Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak.

Kecamatan Kuta Selatan


Luasnya adalah 101,13 Km2. Pada tahun 2013 penduduknya berjumlah 118.883 Jiwa. Kecamatan
Kuta Selatan terdiri dari 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Tanjung Benoa, Kelurahan Benoa,
Kelurahan Jimbaran, dan 3 Desa yaitu Desa Pecatu, Desa Ungasan, Desa Kutuh.

LED. 6
TRADISI DAN SENI BUDAYA
Kabupaten Badung memiliki 122 Desa Adat, yang memiliki seni Budaya dan Tradisi masing masing.
TRADISI MAKOTEKAN DI DESA ADAT MUNGGU
Tradisi Mekotekan atau sering disebut mekotek sebuah tradisi adat yang dilaksanakan oleh Umat
Hindhu di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung yang masih tetap lestari sampai sekarang
yang dirayakan khusus di hari raya Kuningan. Prosesi Grebeg Mekotekan ini di ikuti oleh 15 Banjar setempat
di Desa Munggu.
Tradisi Mekotekan adalah retual yang memakai sarana Kayu biasanya yang paling banyak dipakai dari
jenis Pulet yang dimainkan secara bersama sama untuk merayakan kemenangan Dharma ( Kebaikan )
melawan Adharma ( kejahatan ). Itual Mekotekan biasanya dilaksanakan di halaman Pura Desa oleh remaja
Desa atau Bapak bapak. Masyarakat yang didominasi oleh Priya tua dan Muda mengenakan Pakaian adat
ringan semua membawa sebilah kayu. Mendekati ariyal pura Desa mereka saling menyatukan tongkat yang
mereka gemgam dengan cara memukul mukul tongkatnya hingga menyerupai bangunan segitiga yang
menjulang kelangit. Penyatuan ini menimbulkan suara yang sangat gaduh yang membuat para peserta semakin
bersemangat. Kemudian sambil berame rame tongkat yang sudah menyatu itupun mereka bawa berputar
putang hingga akhirnya kembali berpisah. Tak jarang saat tongkat berpencar, beberapa warga terkena tongkat
tersebut, tapi tidak lantas membuat mereka kesal ataupun marah, malahan mereka bangkit kembali dengan
perasaan dan senyum puas.
TERADISI PERANG API ATAU MESIAT GENI DESA TUBAN KECAMATAN KUTA
Tradisi perang api tiap tahunnya akan digelar pada Purnama kapat sasih kapat
( Purnama ke
empat di bulan ke empat, Red ) Kalender adat Bali. Jika dihitung menggunakan kalender Masehi, biasanya
akan jatuh pada bulan September atau Oktober. Ritual ini dilakukan di Pura Dalem Kuta.
Teradisi Mesiat Geni yang digelar setiap tahun ini dilakukan dengan tujuan untuk melestarikan tradisi
sekaligus memohon keselametan dan menolak bala. Sebelum Tradisi Perang Api itu mulai para Pemuda Desa
Adat Tuban melakukan persembahyangan di Pura yang terletak berdampingan dengan bandara I Gusti Ngurah
Rai yaitu Pura Dalem. Seusai melakukan Persembahyangan, sejumlah seniman anak anak menampilkan
tarian sakral yang secara rutin di tampilkan sebelum pelaksanaan tampil perang Api.

Kemudian para Pemuda mulai berganti pakaian untuk melakukan Tradisi Mesiat Geni . Sebelum para
Pemuda melakukan perang Api, para Pemuda mendapat Anugrah Air Suci
( tirta ) untuk memohon
keselamatan sehingga Tradisi itu berjalan dengan lancar. Para Pemuda tersebut dibagi menjadi dua kelompok
yang saling berhadapan membawa serabut kelapa yang sudah dibakar yang saling beradu dengan kedua
kelompok itu. Tradisi tersebut dilakukan sekitar dua jam sehingga serabut kelapa itu habis terbakar. Sementara
itu, Tradisi ini menjadi pusat perhatian para pengunjung dikawasan Kuta.
SEKAR JEPUN SEBAGAI MASKOT KABUPATEN BADUNG
Sekar Jepun merupakan salah satu jenis bunga yang juga digunakan sebagai sarana persembahyangan
sebagai umat Hindhu, selain itu memiliki aroma yang harum, sekar jepun juga memiliki warna yang beragam,
mulai dari putih, merah, ungu dan kuning. Sehingga tak jarang para wisatawan menyelipkan di telinga mereka,
Pertumbuhan ini tidak mengenal musim, dan akan terus mekar sepanjang waktu.Pohon bunga jepun ini dapat
kita lihat di berbagai tempat salah satu di tempat tempat suci. Pohon bunga jepun ini sangat mudah kita
temui di sepanjang jalan, saat pohon ini berbunga akan tampak keindahan dan keasriannya, sehingga tak salah
bahwa Sekar Jepun ini dijadikan maskot di Kabupaten Badung. Karena antara bunga dan sari menyatu yang
menandakan bersatunya pemimpin dengan rakyat.
Dari sinilah diciptakan Tarian untuk melengkapi keberadaan Sekar Jepun sebagai maskot Kabupaten
Badung yaitu Tari Sekar Jepun.Tari Sekar Jepun merupakan Ikon dari Kabupaten Badung yang digagas oleh
Nyonya Ratna Gde Agung sedangkan penciptanya Ida Ayu Wimba Puspawati, Sst, M.Sn, gambelannya
diciptakan oleh I Wayan Widia, S.Skar. Tari Sekar Jepun ini menceritakan tentang keindahan Bunga Jepun
dengan berbagai corak warna serta bentuknya.

Anda mungkin juga menyukai