Anda di halaman 1dari 7

KERAJAAN BADUNG BALI

Kerajaan Badung Ibu kota Denpasar

Bahasa Bali
1788–sekarang
Agama Hindu

Bentuk pemerintahan Monarki

Sejarah

Pendirian Puri
-
Agung Denpasar 1788
Bendera
- Puputan Badung 1906

Restorasi
-
Kerajaan 1929

Bergabung
-
dengan Indonesia sekarang

Pendahulu Penggant

Kerajaan Gelgel Republik


Wilayah Kerajaan Badung pada tahun 1938 yang Indonesia
sekarang menjadi Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar di Provinsi Bali[1]

Sejarah Kerajaan Badung - Bali


Menelusuri jejak Bali Age, bahwa di Bali sudah ada dinasti raja-raja Bali sebelum kedatangan
Majapahit. Yang terakhir adalah Sri Asta Asura Ratna Bhumi Banten (1321-1343) M). Pada
1343 M, Majapahit berkuasa di Bali dan berpusat di Samprangan dengan rajanya Kresna
Dalem Kepakisan yang memiliki putra mahkota bergelar Dalem Pemahyun yang akhirnya ke
dharma putra ke Arya Kenceng dengan gelar Sira Arya Tegeh Kori.

Suatu masa Sira Arya Tegeh Kori melakukan perjalanan panjang menuju Ulun Danu Batur
dan memohon kepada Ida Bhatari Ulun Danu Batur untuk diberikan panugrahan agar kelak
menjadi seorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya. Doanya dikabulkan oleh Ida
Bhatari Batur dan meminta Sira Arya Tegeh Kori agar pergi ke barat daya (gumi Badeng)
tepatnya di Tonjaya yang ditempati oleh Ki Bendesa bersama para saudaranya Ki Pasek
Kabayan, Ngukuhin dan Tangkas
Atas prakarsa Ki Bendesa dengan saudara-saudaranya, diputuskan melalui paruman Sira
Arya Tegeh Kori diangkat menjadi penguasa wilayah Badung atau Nambangan Badung.

Setelah itu bersama warganya Ki Bendesa membangun istana untuk Sira Arya Tegeh Kori
yang diberi nama Puri Benculuk dan menetapkan nama Kerajaan Badung yang berasal dari
kata Badeng sesuai dengan titah Betara Batur yakni Tonja Yang Jakang Wana Badeng.

Kemudian Sira Arya Tegeh Kori menghadap kepada penguasa Bali yang tak lain adalah ayah
kandungnya sendiri yang bernama Sri Kresna Dalem Kepakisan yang bertahta di
Samplangan/Samprangan dan melaporkan bahwa ia telah diangkat menjadi raja Badung
pertama.

Lalu turunlah restu Raja Bali dan Sira Arya Tegeh Kori diberi gelar Dalem Benculuk Tegeh
Kori untuk mengingatkan kepada pratisentana-nya bahwa Sira Arya Dalem Benculuk Tegeh
Kori adalah ksatria kawula wangsa yang merupakan keturunan Dalem Sri Kresna Kepakisan
(Wafat 1380 M). Cikal bakal nama Badung berawal dari berdirinya Kerajaan Badung dengan
purinya di Tonja disebut Puri Benculuk.

Kemudian membangun lagi Puri Satria dan Puri Tegal Agung. Masa Pemerintahan dinasti
Tegeh Kori diperkirakan dari 1360-1750 M. Pada akhirnya kehendak Sang Hyang Widhi
tidak dapat dihindari, maka terjadilah perang saudara yang mengakibatkan kejadian Uwug
Keraton pada 1750 M. Dan akhirnya Badung beserta isinya dikuasai oleh Dinasti Jambe yang
kemudian menurunkan Dinasti Pemecutan.

Kerajaan Badung adalah suatu kerajaan yang berdiri di Pulau Bali bagian selatan.
Pusat pemerintahan Kerajaan Badung berada di Puri Agung Denpasar sampai akhirnya
pasukan Belanda mengalahkan Kerajaan Badung melalui Perang Puputan Badung pada tahun
1906[2].

Hindia Belanda merestorasi kerajaan ini pada tahun 1929, dan menjadikan Badung sebagai
wilayah swapraja pada tahun 1938. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah
Kerajaan Badung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Badung dan Daerah Tingkat II
Denpasar dalam pemerintahan Provinsi Bali.

Daftar isi
 1 Berdirinya Kerajaan Badung
 2 Penaklukkan Badung oleh Belanda
 3 Masa Kolonial
o 3.1 Zaman Pendudukan Belanda
o 3.2 Zaman Pendudukan Jepang
 4 Masa Kemerdekaan
 5 Daftar Raja-Raja Badung
 6 Lihat Pula
 7 Catatan Kaki
 8 Referensi
 9 Pranala luar

Berdirinya Kerajaan Badung


Pada tahun 1343, Majapahit berkuasa di Bali dan berpusat di Samprangan dengan
penguasanya, Dalem Sri AJi Kresna Kepakisan, yang memiliki putra mahkota bernama I
Dewa Anom Pemayun, yang dikemudian hari karena suatu peristiwa rare bangeran akhirnya
oleh Dalem diubah namanya menjadi Sira Arya Benculuk Tegeh Kori. Menurut cerita rakyat,
Sira Arya Benculuk Tegeh Kori melakukan perjalanan panjang menuju Pura Ulun Danau
Batur dan memohon kepada Ida Betari Ulun Danu Batur untuk diberikan panugrahan agar
kelak menjadi seorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya[3]. Doa Sira Arya
Benculuk Tegeh Kori dikabulkan oleh Ida Betari Batur, dan meminta Sira Arya Benculuk
Tegeh Kori agar pergi ke barat daya (Gumi Badeng) tepatnya di Tonjaya, sebuah wilayah
yang ditempati oleh Ki Bendesa bersama para saudaranya Ki Pasek Kabayan, Ki Ngukuhin,
dan Ki Tangkas[3]. Atas prakarsa Ki Bendesa dan saudara-saudaranya, diputuskan melalui
musyawarah bahwa Sira Arya Benculuk Tegeh Kori diangkat menjadi penguasa di daerah
tersebut[3].

Setelah itu bersama warganya, Ki Bendesa membangun istana untuk Sira Arya Benculuk
Tegeh Kori yang diberi nama Puri Benculuk dan menetapkan nama wilayah kekuasaannya
menjadi Badung yang berasal dari kata Badeng[3], sesuai dengan titah Ida Bhatari Batur yakni
"Tonja Yang Jakang Wana Badeng". Kemudian Sira Arya Benculuk Tegeh Kori menghadap
kepada penguasa Bali, Dalem Sri AJi Kresna Kepakisan, yang bertahta di Samprangan dan
melaporkan bahwa ia telah diangkat menjadi penguasa Badung pertama dan oleh Dalem,
diberi gelar Dalem Benculuk Tegeh Kori. Pada masa selanjutnya, para penguasa Badung
sebagai bawahan dari Kerajaan Gelgel juga membangun Puri Ksatriya dan Puri Tegal Agung.
Masa Pemerintahan para keturunan Tegeh Kori ini diperkirakan berlangsung pada tahun
1360-1750[3].

Pada akhir abad ke-18, kekuasaan Puri Ksatriya jatuh kepada Kyayi Ngurah Made, sebagai
penerima tahta dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya. Karena Puri Ksatriya telah rusak karena
perang perebutan kekuasaan, maka pada masa kekuasaan Kyayi Ngurah Made, dia
memerintahkan untuk membuat puri baru yang terletak di Tetaman Den-Pasar[2] (den-pasar
dalam Bahasa Bali berarti "utara pasar"), yang berada di sebelah selatan reruntuhan Puri
Ksatriya. Pada tahun 1788 Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat
pemerintahan Kerajaan Badung dan Kyayi Ngurah Made sebagai Raja Badung I
menggunakan gelar “I Gusti Ngurah Made Pemecutan”, mengingat dia keturunan dari Dinasti
Pemecutan (1788-1813)[2].

Penaklukkan Badung oleh Belanda


Artikel utama: Intervensi Belanda di Bali (1906)

Monumen Puputan Badung di kota Denpasar.

Pada tahun 1826, Belanda diizinkan Raja I Gusti Made Ngurah untuk mendirikan stasiunnya
di Kuta[4], sebagai balasan atas kerjasama itu raja mendapatkan hadiah yang sangat indah.
Seorang pedagang berkebangsaan Denmark bernama Mads Johansen Lange yang datang ke
Bali pada usia 18 tahun memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Hindia
Belanda dan Badung serta kerajaan-kerajaan lain di Bali. Mulai saat itu, Mads Lange yang
lahir tahun 1806, dapat meningkatkan hubungan baik dengan raja-raja di Bali. Pada tahun
1856 Mads Lange sakit dan mohon pensiun serta memutuskan untuk kembali ke Denmark,
namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ia tumpangi akan berangkat, dan
akhirnya ia dimakamkan di Kuta.

Pada tahun 1904 sebuah kapal wangkang berbendera Belanda milik seorang Tionghoa dari
Banjarmasin bernama "Sri Komala" kandas di Pantai Sanur[5]. Pemilik kapal dan pemerintah
Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal
serta menuntut kepada raja-raja Badung atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak
dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan raja atas tuduhan dan
pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan
ekspedisi militernya ke Bali pada tanggal 20 September 1906. Tiga batalyon infantri dan 2
batalyon pasukan artileri segera mendarat dan menyerang Kerajaan Badung[4][5].

Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar, hingga mencapai pintu
gerbang kota, mereka belum mendapatkan perlawanan yang berarti namun tiba-tiba mereka
disambut oleh segerombolan orang-orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang
puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir)[5]. Dipimpin oleh Raja I Gusti Ngurah
Made Agung dan para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-laki serta perempuan
menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah
medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena dalam ajaran Hindu, bahwa tujuan kesatria
adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke surga. Menyerah dan
mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan[4]. Dikabarkan bahwa sebelum
terjadi puputan, putra mahkota dari I Gusti Ngurah Made Agung bernama I Gusti Alit Ngurah
yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar
khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri, pergi ke
daerah barat tepatnya di Desa Seminyak, Kuta[2]. Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit
Ngurah pun ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke Mataram, Lombok,
oleh pemerintah Hindia Belanda.

Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal 1 Oktober
1917 atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida
Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya
dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Denpasar, selain itu juga karena keamanan
di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan[2].

Masa Kolonial
Zaman Pendudukan Belanda

Para raja-raja Bali saat dilantik di Pura Besakih pada 30 Juni 1938. Cokorda Alit Ngurah sebagai Raja
Badung VII berdiri di ujung kiri.

Pada tahun 1929, setelah pembangunan kembali Puri Agung Denpasar yang hancur saat
puputan, I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh Hindia Belanda sebagai Regent Badung dengan
gelar Cokorda Alit Ngurah[2]. Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem
pemerintahan yang baru yaitu Zelfbestuur (pemerintahan swapraja) guna dapat
mempermudah mengatur daerah jajahan yang demikian luasnya pada tanggal 1 Juli 1938, dan
sistem ini diterapkan secara serentak di seluruh daerah Bali yang dibagi menjadi 8
landschapen, yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan
Karangasem. Pada setiap landschapen diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan
Zelbestuurder (Raja).

Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari
keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuur Badung
kekuasaan dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar
Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (abhiseka) dia dilakukan serentak dengan
8 raja-raja lainnya di Pura Besakih, Karangasem pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian dan
pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron[2]. Para penguasa swapraja-swapraja
(Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.

Zaman Pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal
18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan
tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai
seluruh Bali. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan
Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan
pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke Bali,
Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi Sutyo Renmei[6].

Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali
menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur. Negara Indonesia Timur bubar dan
semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.
Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan
berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan Oktober 1950,
pemerintahan Swapraja Badung berbentuk Dewan Pemerintahan Badung yang diketuai oleh
ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu
oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.

Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah
swapraja di Bali diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat kabupaten, termasuk Badung.
Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah daerah Kabupaten Badung, selanjutnya
berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960,
Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi Provinsi Bali yang semula berkedudukan di
Singaraja[7].

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi


menjadi kota administratif, dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam
menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi kotamadya, yang
kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992[4].
Daftar Raja-Raja Badung

Cokorda Ngurah Jambe, Raja Badung IX[2].

 I Gusti Ngurah Made (1788–1813)


 I Gusti Ngurah Jambe (1813–1817)
 I Gusti Made Ngurah (1817–1829)
 I Gusti Gede Ngurah (1829–1848)
 I Gusti Alit Ngurah (1848–1902)
 I Gusti Ngurah Made Agung (1902–1906)
 Cokorda Alit Ngurah (1929–1965)
 Cokorda Ngurah Agung (1965–1998)
 Cokorda Ngurah Jambe (2005–Sekarang)

Anda mungkin juga menyukai