Anda di halaman 1dari 15

DOCUMENT KOTOR (MAKALAH GELGEL EMPIRE)

KELOMPOK GELAGA (XI IPS 1)

- KOMANG DEVANA HARISWA (21)


- I GUSTI A.A MAYUMI ANASTASYA (09)
- I GUSTI NGURAH ADIT CAHAYA PUTRA (11)
- PUTU EDI SUMIARTA (17)
- PUTU MIA BUDI PUSPITA (31)
- PUTU RASTI SEPTIANI DEWI (32)
- PUTU SINTIA WIDYA TARI (34)
*NB :
1. KERPOK TU DATANG BADANNYA WOE, JANGAN OMONGAN AJA
DATANG
2. makalah harus selesai sblm senin 15 Agustus
3. take vid : selasa – 16 Agustus
4. EDITOR HARUS SABAR (DL VIDEO : 18 Agustus (Kamis) di jampel Bu Tika
SEMANGAT LEMVURR EDITOR
A. Sejarah Berdirinya :

Sejarah berdirinya kerajaan Swecapura (lebih dikenal dengan Gelgel) dimulai dari tiga
peristiwa atau momentum yang melatarbelakangi berdirinya kerajaan yang terletak di Desa
Gelgel, Klungkung-Bali ini. Tiga peristiwa tersebut diantaranya :

1. Runtuhnya Dinasti Warmadewa dari kerajaan Bedahulu pada periode Bali Aga
Setelah diangkatnya Gajah Mada menjadi mahapatih Hamengkubumi Majapahit di
tahun 1336M, saat pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350M).
Gajah Mada mengucap sumpah yang sangat terkenal yaitu sumpah palapa. Inti dari
sumpah ini yaitu dia tidak akan bersenang-senang ataupun beristirahat sebelum
menyatukan Nusantara. Maka, masa pemerintahan Tribhuwana Wijayatunggadewi
juga dikenal sebagai masa perluasan wilayah/ekspansi Majapahit ke segala arah
sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa. Pada tahun 1343M Majapahit melancarkan
ekspansinya dibawah pimpinan Gajah Mada dan Arya Damar. Setelah berhasil
menghadapi patih dan menteri tertinggi dari Dalem Bedahulu, yaitu Patih Ki Kebo
Iwa dan Ki Pasung Grigis. Gajah Mada kemudian berhasil mengalahkan raja Śri
Astasura Ratna Bumi Banten yang merupakan Raja terakhir dari Dinasti Warmadewa
(Kerajaan Bedahuu/Pejeng) – Bali.
2. Berdirinya Kerajaan Samprangan
Setelah runtuhnya kerajan Bedahulu oleh invansi Majapahit, maka terjadi kekosongan
kekuasaan di Bali. Suasana Bali menjadi sangat sunyi sepi, kacau balau, masing-
masing para petinggi pemerintahan mempertahankan pendapatnya sendiri, tidak mau
menuruti sesamanya. Di Bali terjadilah kekosongan kekuasaan. Mahapatih Gajah
Mada menjadi gelisah melihat situasi Bali hancur tanpa adanya peraturan, karena
tidak adanya raja yang memimpin. Karena itu Gajah Mada berunding dengan Mpu
Sanakpitu. Untuk calon raja yang akan menduduki posisi sebagai raja di Bali, Gajah
Mada memohon kepada guru penasehatnya yaitu Dang Hyang Kapakisan agar
mengangkat putranya sebagai raja di pulau Bali. Permohonan itu akhirnya
ditembuskan ke Raja Hayam Wuruk dan dikabulkan. Pada waktu bersamaan
dilantiklah empat orang raja sekaligus yaitu putra-putri dari Dang Hyang Kepakisan,
untuk memimpin kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukkan, yaitu:
 Ida Wayan Kepakisan (Sri Juru) menjadi Raja di Blambangan
 Ida Made Kepakisan (Sri Bima Sakti) menjadi Raja di Pasuruan,
 Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem Sukanya (Sri Datu Muter) diperistri Raja
Sumbawa
 Ida Ketut (Sri Aji Kresna Kepakisan), sebagai raja di Bali Dwipa.

Ida Sri Aji Kresna Kepakisan yang menjadi raja di pulau Bali kemudian mendirikan
dinastinya (Kresna Kepakisan) dan Berkeraton di Samprangan (Gianyar). Dipilihnya
Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan
mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat
mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukan
baha jarak antarra Desa Bedahulu dengan Samprangan hanya kurang lebih 5km. Ida
Sri Aji Kresna Kepakisan berkuasa di Bali sejak tahun 1350 sampai 1380. Dengan
diiringi oleh para arya (gelar termulia). Diantaranya :

 Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan *8


 Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas*8
 Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
 Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal *8
 Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba *8
 Arya Pangalasan
 Arya Manguri
 Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
 Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon *8
 Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung *8
 Arya Belentong mengambil tempat di Pacung *8
 Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari, *8
 Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal *8
 Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti *8
 Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
 Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
 Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
 Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem, *8
 Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si
Tan mundur di Cegahan
Dengan maha patih atau patih agung adalah Sira Arya Kepakisan atau Nararya Kresna
Kepakisan. Mengutip dari Babad Dalem, Semasa pemerintahan Sri Aji Kresna
Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-
desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan,
Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan,
Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan
beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem
merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak
mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada
memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam
bentuk pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul
yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan
Bali dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan
yang sah.

3. Berdirinya Kerajaan Gelgel

Selama memerintah di Bali, Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang
pertama : Ni Gusti Ayu Gajah Para (merupakan putri dari Arya Gajah Para)
melahirkan:

 Dalem Wayan (Dalem Samprangan)


 Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
 Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
 Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).

Dari Istri yang kedua : Ni Gusti Ayu Kuta Waringin (merupakan putri dari Arya
Kutawaringin) , melahirkan:

 Dewa Tegal Besung.

Setelah Sri Aji Kresna Kepakisan turun takhta, diangkatlah Dalem Samprangan
sebagai penerus kerajaan, ternyata Dalem Samprangan menjadi penguasa yang tidak
kompeten ketika itu, di tengah suasana kehidupan politik di Bali masih belum stabil.
Adik bungsunya Dalem Ketut Ngulesir kemudian mendirikan kursi kerajaan baru di
Gelgel.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Tim Gelaga pada Kamis, 11 Agustus 2022
bersama Jero Mangku I Made Lila yang bertempat di Pura Dasar Buana Gelgel,
menyebutkan bahwa :

“Dalem Ketut Ngulegsir ditugaskan oleh para arya supaya kerajaan di Bali bisa jaya
dan sukses dengan cara menjadi raja yang bertempat di Gelgel. Saat di Gelgel Ketut
Ngulesir tidak memiliki puri, sehingga beliau berkata “saya tidak mempunyai apa-
apa, bagaimana ingin menjadi raja”, kemudian dijawab oleh Arya Kebon Tubuh
“yang penting Dalem mau menjadi raja, kami sekeluarga punya puri, itu dipakai
Keraton Kerajaan Gelgel”, yang kemudian diberi nama Keraton Swecapura”

Jadi pada intinya adalah Kerajaan Gelgel berdiri setelah Arya Kebon Tubuh
menjemput dan menghaturkan Istananya kepada Ida Sri Semara Kepakisan (Ngelesir)
pada tahun 1383M

B. Sistem Pemerintahan :
a) Silsilah Raja :
 Dalem Ketut Smara Kapakisan (Dalem Ketut Ngulesir) - (1383-1458)

Dalem Ketut Ngulesir adalah raja pertama Kerajaan Gelgel yang


memerintah pada tahun 1383 – 1458M. Beliau merupakan putra dari Ida Dalem
Sri Aji Kresna Kepakisan dan Ni Gusti Ayu Gajah Para. Dalem Ktut Ngulesir
sebagai seorang raja di Kerajaan Gelgel sebagaimana disebutkan, ada beberapa
yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama :
 Seorang raja yang adil
 Suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik

Dengan taktik ini, Dalem Ketut Ngulesir dapat memikat hati rakyat
sehingga menimbulkan kepercayaan di kalangan masyarakat & kalangan
kerajaan bahwa beliau adalah seorang raja yang cakap dalam memerintah

 Serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah.


Dengan begitu keamanan dalam masyarakat Bali dapat diatur
 Membangun Pura Dasar Buana Gelgel
Sebagaimana yang disampaikan oleh Jero Mangku I Made Lila dalam
wawancara yang diadakan oleh Tim Gelaga pada Kamis, 11 Agustus
2022 yang bertempat di Pura Dasar Buana Gelgel, bahwa :

“Setelah Dalem Ketut Ngulesir menjadi raja, pada mulanya kehidupan


politik di Bali ternyata masih belum rukun sesama pendatang dari jawa
yang akhirnya pertemuan dilanjutkan di Samuan Tiga oleh Mpu Kuturan.
Mpu Kuturan bersama semua sekte-sekte yang ada di Bali, seperti para
Arya, dan para Tokoh yang datang dari Majapahit tinggal di Bali, mereka
semua disana bersatu membuat Pura Kahyangan Tiga. Jadi di Samuan
Tiga lah awal mula Pura Sad Khahyangan Tiga yaitu membuat Pura
Puseh Dalem Bale Agung. Setelah membuat Pura Puseh Dalem Bale
Agung, Dalem Ketut Ngulesir kembali ke Gelgel, kemudian disuruhlah
oleh Mpu Kuturan agar membuat Pura Dasar Buana yang bertujuan untuk
mempersatukan semua sekte yang ada di Bali yang bertempat di
Pasraman Mpu Gana yang diperintahkan oleh Hayam Wuruk”

Jadi, Pura Dasar Buana Gelgel dibangun oleh Dalem Ketut Ngulesir
dengan cara merestorsi Pasraman Mpu Gana, yang lebih awal dibangun,
yakni 1267M. Pura Dasar Buana Gelgel ini menjadi symbol persatuan
politik di Bali sekaligus menjadi tempat penyembahan bagi semua paham
keagamaan Hindu yang bertentangan, yaitu Hindu Siwa, Hindu
Pakraman, dan Hindu Pamongan.
 Pembuka gerbang masuknya Islam di Pulau Bali
Teori yang diungkapkan oleh tim peneliti sejarah masuknya Islam di Bali
untuk proyek penelitian Pemda Tingkat I Bali 1979/1980, menyatakan
bahwa Dalem Ketut Ngulesir merupakan satu-satunya raja yang pernah
berkunjung ke keraton Majapahit,sedangkan para penggantinya sudah
tidak berkesempatan lagi berkunjung ke Majapahit, karena Kerajaan
Majapahit sudah runtuh. Dalam Babad Dalem menceritakan bahwa,
Ketika itu Dalem Ketut Ngulesir berkunjung ke keraton Majapahit untuk
menghadiri sebuah konferensi yang diadakan Prabu Hayam Wuruk
dengan raja-raja vassal/sekutunya pada 1380an. Raja Gelgel Dalem Ketut
Ngelesir mendapat keistimewaan. Prabu Hayam Wuruk
mempersembahkan 40 prajurit pilihan Majapahit untuk mengawal
kepulangan Dalem Ketut Ngulesir ke Bali. Ternyata dari 40 prajurit yang
terdiri dari juru masak, juru kapal dan tentara itu menganut kepercayaan
Islam. Dalam buku muslim Bali : mencari kembali harmoni yang hilang,
40 pasukan ini tidak ingin untuk kembai ke Majapahit, melainkan mereka
ingin tetap tinggal di Bali. Hal ini menimbulkan perdebatan di kalangan
ilmuaan mengenai motif dari pasukan tersebut tidak ingin kembali ke
Majapahit, terdapat pendapat yang terkenal mengatakan bahwa hal ini
merupakan strategi Hayam Wuruk untuk mengurangi populasi Islam di
Majapahit. Sebagai bentuk terima kasih, Dalem Ketut Ngulesir
memberikan sebidang tanah di sisi timur kerajaan Gelgel untuk tempat
tinggal 40 prajurit dari Majapahit tersebut. Dan mereka diperintah
untukmengabdi kepada kerajaan Gelgel tanpa syarat (alias mereka masih
bisa mengabdi tanpa harus masuk agama yang dianut oleh kerajaan
Gelgel yaitu Hindu). Pada awal abad ke-14, para prajurit Majapahit itu
mendirikan Masjid Nurul Huda yang merupakan Masjid pertama di Bali,
dengan menampilkan ornament akulturasi dari kebudayaan Bali yaitu
bale kul-kul dengan ornament Islam. Masjid itu sempat beberapa kali
mengalami perbaikan sebelum akhirnya dibangun ulang berkonstruksi
beton 2 lantai pada 1989.

Diceritakan setelah wafatnya Dalem Ketut Ngulesir, Beliau digantikan oleh


putranya yang bernama Dalem Waturenggong sebagai Raja di Kerajaan Gelgel
dengan kekuasaan penuh terhadap Pulau Bali.

b) Dalem Baturenggong (1458-1550)

Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong Kerajaan Bali mencapai masa


keemasannya hal tersebut tercapai berkat kebijaksanaan beliau dalam mengatur
pemerintahan dan penegakan hukum serta perhatian beliau terhadap kesejahteraan
rakyat. Begitu juga orang orang Bali Aga (asli) diberikan kedudukan dalam
pemerintahan dan diperlakukan secara adil.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang merupakan pemerintahan Pusat


pada tahun 1478 maka Bali melepaskan diri dan menjadi wilayah yang merdeka.
Kerajaan Gelgel kemudian memperluas wilayah kekuasaannya dengan
menundukkan kerajaan Blambangan pada tahun 1512 M dan menguasai Pulau
Lombok & Sumbawa tahun 1520 M.

Pada masa kekuasaannya, kebudayaan Hindu-Bali berkembang dengan begitu


pesatnya. Bali membentuk suatu identitas yang berbeda dengan kebudayaan
Hindu-Majapahit yang sirna seiring dengan berkembangnya kerajaan Demak di
pesisir utara Jawa. Sebabnya karena Dalem Waturenggong, yang tadinya menjadi
raja bawahan, melepaskan diri dari Jawa. Ia tidak ingin dimasuki pengaruh Islam
yang sedang menyebar sampai ke pelosok di sana.

Masa pemerintahannya juga merupakan keemasan di bidang agama. Akibat


jatuhnya Majapahit maka banyak para arya dan Brahmana dari Majapahit yang
datang ke Bali diantaranya Dang Hyang Nirarta yang di Bali terkenal dengan
sebutan Pedanda Sakti Wawu Rauh / Dang Hyang Dwijendra. Danghyang
Dwijendra disebut sebagai yang “memurnikan” ajaran Hindu di Bali dan
menyempurnakan ajaran-ajaran dari pemuka agama sebelumnya (Panca Tirtha,
lima empu yang meletakkan dasar Hindu-Buddha di Bali) dan meletakkan dasar-
dasar keagamaan Hindu yang kontemporer. Ia menyelesaikan penyatuan sekte-
sekte Siwa-Buddha dalam bentuk baru Hinduisme. Pada akhirnya, agama Hindu
pun bertransformasi dan menemukan bentuknya yang baru: bentuk yang setidaknya
masih bertahan sampai saat ini yang dikenal dengan “Hindu-Bali”

Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong ini, memang ada kisah yang menarik. Pada
suatu hari, Dalem menggelar upacara yang cukup besar. Untuk me-muput upacara tersebut,
Dalem mengundang Danghyang Nirartha.

Ketika utusan raja sampai di pasraman, yang ada hanya I Kelik, abdi setia Danghyang
Nirartha. Utusan Dalem mengira I Kelik sebagai pandita dan mohon agar bersedia muput
upacara. I Kelik yang dikira pandita justru senang menerima undangan itu.

Merasa dibohongi, Dalem Waturenggong murka dan mengusir I Kelik dan bahkan diberi
hukuman mati. Namun berkat sifat pengasih Danghyang Nirartha, I Kelik selamat dari
hukuman mati. Dalem memberikan pengampunan kepada I Kelik atas permohonan
Danghyang Nirartha dan I Kelik pun diganti namanya menjadi I Sengguhu.
Bersama Danghyang Nirarta lah, disebutkan Raja Dalem Waturenggong ini membuat awig –
awig desa adat sehingga ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua
bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik dan membangun pelinggih Sekar Kancing
Gelung di Pura Sakenan.

Juga pada saat itu, ditegaskan kembali bagi keturunan raja Bali yang melakukan hidup me-
wanaprasta oleh Pedanda Sakti Wawu Rauh pada era pemerintahan Dalem Waturenggong,
seperti tertulis dalam Piagem Dukuh Gamongan sebagai Brahmana Sapinda secara konsisten
melakukan hidup suci menjadi seorang pertapa.

Sehingga saat terakhir beliau, disaat Dalem Waturenggong wafat dibuatkanlah Naga
Banda yang mengiringi jenazah sang Raja menuju alam sunya. Sejak saat itulah, upacara
pelebon Raja Gelgel dan keturunannya menggunakan Naga Banda.

Dalem Bekung (1550-1580)

http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sri -aji-pamahyun-atau-dalem-bekung-
th.html

Dalem Sagening (1580-1605)

Ida I Dewa Dimade yang bergelar Sri Aji Dalem Sagening adalah seorang raja Bali yang
beristana di Gelgel sekitar tahun 1560 Masehi yang menjadi raja setelah menggantikan
kakaknya karena terjadi ketidakstabilan dalam kerajaan.

Beliau merupakan salah satu putra dari Dalem Waturenggong, yang sewaktu kecil diceritakan
dalam babad dalem dimade, beliau diasuh oleh putra I Dewa Tegal Besung yaitu: I Dewa
Gedong Arta, I Dewa Anggungan, I Dewa Bangli, I Dewa Pagedangan.

Sebelum Ida I Dewa Dimade menjadi seorang raja, kerajaan sebelumnya dipegang oleh
kakaknya yang bernama I Dewa Pemahyun (Bekung) dengan patihnya yang bernama I Gusti
Batan Jeruk.

Namun saat itu timbul peristiwa perebutan kekuasaan yang dipimpin oleh patihnya sendiri
yaitu I Gusti Batan Jeruk dan dari pihak kerajaan dipimpin oleh Kyayi Manginte untuk
mempertahankan kerajaan bersama Kyayi Kubon Tubuh dan lain-lain. Kedua putra raja Watu
Renggong tersebut berhasil diselamatkan oleh I Gusti Kubon Tubuh.

Saat itu, terjadi pertempuran hebat, I Gusti Batan Jeruk mengalami kekalahan, beliau gugur
pada tahun 1482 Çaka ( bahu, pasa, yoga, bwana) = 1560 Masehi,

 Gusti Nginte menggantikan menjabat sebagai Patih Agung.

 Kryan Pande, putra Kryan Dauh Bale Agung, yang ikut I Gusti Batan Jeruk, diampuni oleh
Dalem,

o karena beliau pernah berhasil mengalahkan lawan-lawannya di Sumbawa dan Tuban.

o Tampak kelemahan dan ketidakbijaksanaan.

Setelah itu, pembrontakan - pembrontakan pun akhirnya bermunculan sehingga kerajaanpun


menjadi bergejolak sehingga mengingat keamanan kerajaan yang tidak stabil waktu itu,
akhirnya I Dewa Pemahyun (Bekung) digantikan oleh Ida I Dewa Dimade yang bergelar
Dalem Anom Seganing.

 Keamananpun pulih kembali.

 Sasak pun dapat dikuasai lagi pada tahun Çaka 1547 (1625 M),

 Sumbawa tahun Çaka 1552 (1630).

 Ki Gusti Pinatih mengadakan perlawanan pada raja, dapat diatasi oleh patihnya yang
bernama Ki Gusti Agung Widya.

Sebagai seorang raja, dalam kutipan sejarah puri pemecutan, Dalem Sagening disebutkan
amatlah bijaksana, cerdas, berani, berwibawa yang dibantu oleh patihnya yaitu Kryan Agung
Widia yang merupakan putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa
diberikan kedudukan Demung.

Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan


sebagai anglurah antara lain :

 I Dewa Anom Pemahyun,

o ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M,
dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai
Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok
Batu.
 I Dewa Manggis Kuning, ( I Dewa Anom Manggis),

o beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan
penguasa di daerah Badung.

o Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke
daerah Gianyar.

 Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji,

o atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh
keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I
Gusti Panji Sakti.

 Dewa Agung Kalesan sebagai penguasa Batubulan yang sewaktu kecil diselamatkan pada
saat berkobarnya pembrontakan di Kerajaan Klungkung.

Dan pada masa inilah disebutkan muncul pujangga - pujangga ternama seperti : Pangeran
Telaga, Kyai Pande Bhasa dll.

Singkat cerita, setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, pemerintahan raja-raja
dari Kerajaan Gelgel dalam kutipan blog ISI dps disebutkan, maka I Dewa Anom Pemahyun
dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun.

Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara
progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan
pengabdiannya.

Dalem Di Made (1605-1651)

Gusti Agung Maruti (1651-1686)

Susunan Pemerintahan
Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan
yang disebut Bhagawanta atau purohita dari pendeta Ciwa Buddha yang
berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan.

Runtuhnya kerajaan Gelgel

Kekuasaan dari kerajaan Gelgel mengalami kemunduran setelah mencapai kejayaan pada
masa pemerintahan Dalem Waturenggong (1460-1550). Perebutan wilayah oleh kerajaan-
kerajaan di luar Pulau Bali membuat kerajaan-kerajaan yang berada dalam pengaruh
Kerajaan Gelgel mulai memisahkan diri. Setelah Dalem Seganing mulai berkuasa pada tahun
1605, satu per satu wilayah kerajaan Gelgel diserang dan direbut oleh kerajaan lain. Kerajaan
Blambangan yang menjadi bawahan dari kerajaan Gelgel diserang oleh kerajaan Pasuruan.
Selain itu, Kesultanan Makassar juga merebut Pulau Sumba pada tahun 1633 dan menyerang
Pulau Lombok pada tahun 1640.

Pada tahun 1651, pejabat pemerintahan yang bernama Ki Agung Maruti memberontak dan
merebut kekuasaan di kerajaan Gelgel. Raja Dalem Dimade bersama para bangsawan lain
yang mendukungnya, mengungsi ke Desa Guliang. Pada 1686, Dewa Agung Jambe
menyerang Maruti. Pafa tahun 1687, Maruti dikalahkan dan Dewa Agung Jambe kemudian
mendirikan kerajaan Klungkung dengan pusat pemerintahannya berada di Klungkung.

Sistem Ekonomi

Konon pada jaman dahulu sekitar tahun 1580 masehi ada suatu daerah yang sangat subur
bernama alas bun (hutan bun) yang terletak di sebelah selatan wilayah kerajaan. Kemudian
beliau memerintahkan rakyatnya untuk membuka alas bun itu menjadi daerah pertanian. Oleh
karena tanahnya sangat subur dan cocok untuk pertanian maka banyak diantara rakyat Dalem
Gelgel ingin menetap di desa Alas Bun, yang pada saat itu dipimpin langsung oleh I Dewa
Agung Mas Wilis putra Raja Blangbangan yang telah lama menjadi putra angkat di kerajaan
Gelgel. Di dalam memegang tampuk pemerintahan di desa Alas Bun keadaan ekonomi
masyarakatnya menjadi meningkat. Demikian pula segala titah dan petunjuknya ditaati oleh
masyarakat.

Setiap mengadakan rapat, kata - kata dari I Dewa Agung Mas Wilis selalu diikuti oleh
masyarakat, kata dalam bahasa Bali = bawos (bun), diikuti bahasa Bali = Inutin. Lama
kelamaan desa ini disebut Bun-Inutin dan sekarang lasim disebut BUNUTIN.

Tahun 1952 baru ada sekolah yang atapnya terbuat dari ilalang bertempat di kantor desa yang
sekarang (Sekolah SR), merupakan swadaya masyarakat. Setelah tamat SR 3 tahun kemudian
pindah ke Tamanbali, jumlah muridnya sekitar 50 orang. Dinding sekolah terbuat dari
anyaman daun kelapa (klabang).

Tahun 1963 Balai Masyarakat Desa Bunutin menjadi yang terbaik di Bangli, karena style
ada ekor burungnya. Pada saat itu belum ada gedung SD maka balai masyarakat dipinjam
untuk sekolah SD, kemudian sekolah tersebut pindah ke SD 3 Bunutin. Tahun 1966 - 1968
pindah ke SD 1 Bunutin, (belum ada gedung dan kekurangan kelas dan meminjam di depan
Pura Sangiang). Pada tahun 1966 kelas 1 selama 2 tahun.

Desa Bunutin merupakan miniatur Klungkung. Pusar Jagat dan Dalem Macepak ada di Desa
Bunutin. Sebelum jadi Raja di Klungkung sebelumnya jadi Raja di Bunutin, penduduk
Bunutin dibagi 2, setengah ikut Raja dan sebagian di Bunutin (Sejarah Balah Pane).

Dahulu Bunutin dan Tamanbali menjadi satu. Tahun 1960 baru dipisahkan. Pusehnya
Tamanbali ada di Bunutin.

Raja memiliki pasraman yang disebut Dukuh Siladri tempat bagi penduduk untuk menempa
ilmu (Sejarah Dukuh Selati. Tempek Prayu mengemong Tempek Raja. Tahun 2013
dideklarasikan.

Kehidupan Sosial dan Budaya

Kehidupan sosial masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangatlah lekat yang terpengaruh
oleh Agama Hindu, namun sebagai kearifan lokal dijelaskan bahwa Agama Hindu yang
berkembang di Bali dalam sejarah dan raja kerajaan Bali oleh Senopatih Ardi
Senggoro Macan dalam artikelnya di Fb disebutkan sudah bercampur dengan unsur budaya
asli.
Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa tertinggi dalam agama
Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya
dengan Sang Hyang Wenang di Jawa.

Selain itu, masyarakat Bali juga mengenal dewa-dewa setempat, seperti dewa air dan dewa
gunung (di Jawa kiranya sejajar dengan krama Desa Adat). Di bawah desa, mereka juga
memuja roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur disebut Pitra
Yadnya.

Sebagai tempat suci, dahulu digunakan candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan
Klungkung, penggunaan candi sebagai tempat suci ditiadakan.
Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering
disebut pura.

Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga, alam swah loka dan
ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan. Upacara itu, misalnya,
 Pada hari Kuningan (hari turunnya dewa dan pahlawan),
 Pada hari Galungan
 menjelang Tahra dan Saka,
 dan hari Saraswati (pelindung kesusastraan).
Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan
dimaksudkan sebagai kuil kematian.

Adapun untuk keluarga raja dibuatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan. Di
Bali, dewa tidak dipatungkan.
Adanya patung dewa di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa Kuno.

Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya dewa atau
roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben.
Ngaben sebagai budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat adalah
suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali.
Roh yang telah menjalani upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi
sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan
bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau Meru beratap.

Masyarakat Bali mengenal pembagian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana,
ksatria, dan waisya.
 Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa.
 Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut jaba, yaitu
anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan.
 Tiap-tiap golongan mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang
keagamaan.
Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus,
di antaranya pande besi, pande emas, dan pande tembaga. Mereka bertugas membuat alat-alat
pertanian, alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan, dan sebagainya.
Hubungan dengan Jawa sudah ada sejak zaman pemerintahan Udayana dan Gunapriya,
dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti raja-raja Bali yang memakai bahasa Jawa
Kuno.

Mata Pencaharian

1. Pertanian
2. Perdagangan
3. Pelayaran
4. Pande

Anda mungkin juga menyukai