Anda di halaman 1dari 12

PERISTIWA SEJARAH DAN PERANSERTA SIRA ARYA

KUTHAWARINGIN BESERTA KETURUNANNYA

Dalam Naskah Babad Sira Arya Kuthawaringin yang telah disajikan pada postingan yang lalu dapat
disimak peristiwa-peristiwa sejarah beserta pelaku-pelakunya. Sedangkan Bagan Silsilah (Palelintih)
yang merupakan lampiran dari Naskah Babad termaksud yaitu Palelintih Sira Arya Kuthawaringin,
Palelintih Dinasti Kresna Kepakisan dan Palelintih Dinasti Warmadewa di Bali yang telah berturut-
turut disajikan pula pada postingan-postingan yang lalu diharapkan dapat memperjelas
kaitan/hubungan keturunan dari silsilah para pelaku sejarah termaksud.

Supaya Pratisentana Sira Arya Kuthawaringin pada khususnya dan para peminat sejarah/babad pada
umumnya, lebih mudah dapat menyimpulkan kronologi dari peristiwa-peristiwa sejarah termaksud dan
peranserta Sira Arya Kuthawaringin beserta keturunannya dari generasi ke generasi, dibawah ini
disajikan tabel yang terdiri dari 2 kolom. Dalam kolom pertama disajikan “Periode Pemerintahan/Yang
Memerintah”. Sedangkan dalam kolom yang kedua disajikan “Peristiwa-Peristiwa Penting dan
Peranserta Sira Arya Kuthawaringin Beserta Keturunannya.” Uraian kronologis peristiwa-peristiwa
termaksud diawali dari peristiwa sejarah yang dikenal dengan nama : ekspedisi Gajah Mada ke Bali.
Kemudian dilanjutkan ke zaman kerajaan Samprangan sampai dengan zaman kerajaan Gelgel,
seperti tersurat dan tersirat dalam Babad Sira Arya Kuthawaringin dan dokumen-dokumen lainnya
yang terkait. Oleh karena itu apa yang disajikan dalam tabel dibawah ini pada hakekatnya merupakan
ringkasan dan cuplikan dari dokumen-dokumen seperti dimaksud diatas.

PERIODE PEMERINTAHAN/YANG PERISTIWA-PERISTIWA PENTING DAN


MEMERINTAH PERANSERTA SIRA ARYA KUTHAWARINGIN
BESERTA KETURUNANNYA
1324 - 1343 :

Sri Astasura Ratna Bhumi Banten = Sri Tahun 1343 : Ekspedisi Gajah Mada bersama 7 Arya
Tapaulung = Gajah Waktera di Bedahulu, ke Bali dengan mengendarai perahu.
dengan Patih Ki Pasung Gerigis.
Gajah Mada mendarat di Toyanyar (Tianyar).
Arya Kenceng, Arya Belog, Arya Pengalasan, dan
Arya Kanuruhan mendarat di Kutha.
Arya Kuthawaringin bersama Arya Damar dan Arya
Sentong, mendarat di Ularan, dan Arya Kuthawaringin
menaklukkan (membunuh) Ki Buah di Batur.
Bali takluk di bawah Kerajaan Majapahit.
1343 - 1352 :

Bali dibagi atas 15 wilayah, masing- Setelah Bali ditaklukkan, Maha Patih Gajah Mada
masing dibawah pengawasan seorang sebelum pulang kembali ke Majapahit, mengatur
Arya atas nama Kerajaan Majapahit. penugasan 15 Arya sebagai penguasa wilayah di Bali
atas nama Kerajaan Majapahit. Penugasan tersebut
. adalah sbb :

1. Arya Kuthawaringin dikukuhkan sebagai Penguasa


Wilayah (Amanca Agung), Wilayah Tenggara Bali
berkedudukan di Gelgel dengan rakyat 5.000 orang.
Wilayah Kemancaan Agung itu meliputi : Gelgel,
Kamasan, Tojan hingga pantai Klotok, Dukuh
Nyuhaya, Kacangpaos (Kacangdawa), Siku sampai
Klungkung. Beberapa lama setelah enjabat Amanca
Agung, Sira Arya Kuthawaringin membangun istana
kepatihan di Gelgel. Diselatan desa Gelgel beliau
juga mendirikan tempat pemujaan yang pada zaman
itu disebut Kahyangan Dalem Desa yang juga
disebut Dalem Jagat dan kemudian lumrah dikenal
sebagai Dalem Suci. Di palinggih Gedong Bata pada
Kahyangan Dalem Suci yang merupakan tempat
pemujaan bagi Sang Amanca Agung itu beliau
mensthanakan/memuja Sang Hyang Parama Wisesa
dalam prabawanya sebagai Sang Hyang
Amurwabhumi. Kahyangan Dalem Suci ini
merupakan cikal-bakalnya pura yang kemudian
akhirnya dikenal dengan nama Pura Dalem Tugu.

2. Arya Kenceng di Tabanan.


3. Arya Belog di Kaba-kaba.
4. Arya Delancang di Kapal.
5. Arya Belentong di Pacung.
6. Arya Sentong di Carangsari.
7. Arya Kanuruhan di Tangkas.
8. Keriyan Punta di Mambal.
9. Keriyan Jerudeh di Tamukti.
10. Keriyan Tumenggung di Patemon.
11. Arya Demung Wangbang keturunan Kadiri di
Kretelangu (Badung).
12. Arya Sura Wangbang keturunan Lasem di Sukahet.
13. Arya Wangbang keturunan Mataram boleh memilih
tempat di mana saja.
14. Arya Mekel Cengkerong di Jaranbana.
15. Arya Pemacekan di Bondalem.
1352 -1380 :

Dalem Ketut Kresna Kepakisan di Pemerintahan Dalem Ketut Kresna Kepakisan dibantu
Samprangan oleh :
· Arya Kepakisan sebagai Patih Agung.
· Arya Kanuruhan sebagai Penyarikan (Sekretaris).
· Arya Kuthawaringin disamping sebagai Amanca
Agung di Gelgel juga merangkap sebagai Adhi Patih,
Menteri/Pejabat Tinggi Pembantu Terdepan Dalem dan
berkedudukan pula sebagai Tumenggung.
1380-1383 : merangkap sebagai Adhi Patih, Menteri/Pejabat Tinggi
Pembantu Terdepan Dalem dan berkedudukan pula
Dalem Samprangan (Dalem Ile) di sebagai Tumenggung.
Samprangan.
Arya Kuthawaringin menurunkan 4 orang putera, yaitu
Kyayi Gusti Agung Bandhesa Gelgel, Kyayi Gusti
Parembu, Kyayi Gusti Candi dan I Gusti Ayu Waringin
(diperistri oleh Dalem Ketut Kresna Kepakisan,
melahirkan anak laki tunggal : Ida I Dewa
Tegalbesung).

Arya Kuthawaringin lanjut usia, jabatannya diganti


oleh putera sulungnya yang bergelar I Gusti Agung
Bandhesa Gelgel dengan jabatan Patih Utama.
Arya Kuthawaringin wafat, I Gusti Agung Bandhesa
Gelgel bersama seluruh saudara dan sanak keluarganya
menyelenggarakan upacara Palebon lanjut
dengan Baligia dan Atmapratista-nya.

Roh Sucinya disthanakan di palinggih babaturan


sebagai Padharman Sira Arya Kuthawaringin di
Kahyangan Dalem Suci tersebut diatas.

Dalem Ketut Kresna Kepakisan wafat, diganti oleh


Dalem Ile.

Dalem Ile lalai mengurus negara (kerajaan).

Untuk merealisir kaulnya, Dalem Tarukan


memerintahkan untuk mencuri Sri Dewi Muter (putri
Dalem Ile) untuk dinikahkan dengan Kudha Penandang
Kajar (putra Raja Brambangan dari istri penawing,
yang dianggap anak oleh Dalem Taruk), namun
akhirnya mempelai meninggal akibat tertikam oleh
keris Sitandalalang yang datang sendiri ke tempat
peraduan penganten.

Dalem Ile marah dan memerintahkan untuk


menghancurkan Puri Tarukan, namun Dalem Tarukan
telah pergi meninggalkan purinya.

Kyayi Parembu dua kali diperintahkan untuk mengejar


Dalem Tarukan. Pertama dilakukan dengan
mengerahkan 200 prajurit, tetapi tidak berhasil.
Beberapa tahun kemudian dilakukan pengejaran kedua
dengan mengerahkan 40 prajurit terpilih, juga tidak
berhasil. Karena malu kembali ke Gelgel/Samprangan,
maka beliau bermukim di Bubung Tegeh bersama 20
prajuritnya, sedangkan 20 prajurit lainnya
diperintahkan kembali ke Gelgel untuk melaporkan
keberadaannya di Bubung Tegeh kepada kakaknya
yaityu Kyayi Gusti Agung Bandhesa Gelgel.

Kyayi Gusti Agung Bandhesa Gelgel yang sejak Dalem


sebelumnya sudah menjabat Patih Utama, kecewa
dengan sikap Dalem Ile mengurus negara. Lalu beliau
melakukan samadhi (ndwewasraya) di Kahyangan
Dalem Suci tempat pemujaan beliau. Tiba-tiba
mendengar sabda angkasa yang menyuruh beliau
menghadap Ida I Dewa Ketut Ngulesir. Oleh karena itu
beliau mengundang para menteri/pejabat
kerajaan/bahudanda/ pemuka masyarakat yang
sehaluan, lalu bermusyawarah di Kahyangan Dalem
Suci, dimana sebelumnya beliau bersamadhi.
Permusyawaratan secara aklamasi mendukung langkah
yang akan diambil sesuai dengan sabda angkasa itu,
lalu disana mereka berikrar (madewasaksi), setelah itu
berangkat menuju desa Pandak, karena setelah
diselidiki diketahui Ida I Dewa Ketut Ngulesir berada
disana.

Dialog di desa Pandak : Kyayi Gusti Agung Bandhesa


Gelgel mohon kesediaan Ida I Dewa Ketut Ngulesir
untuk menjadi raja menggantikan Dalem Ile seraya
mempersilahkan beliau mengambil Istana Kepatihan di
Gelgel yang merupakan rumah kediamannya untuk
dijadikan Istana Dalem. Akhirnya beliau tidak kuasa
untuk menolak, lalu bersama-sama meninggalkan desa
Pandak menuju Gelgel.
1383 - 1460 :

Dalem Ketut Ngulesir Ida I Dewa Ketut Ngulesir dinobatkan pada tahun
(Dalem Ketut Semara Saka 1305 (1383 M.) dengan gelar Dalem Ketut Smara
Kepakisan) di Gelgel. Kepakisan, berkedudukan di Gelgel yang kemudian
bernama Swechalinggarsapura.

I Gusti Agung Bandhesa Gelgel, Patih Utama,


menyerahkan purinya (Istana Kepatihan) kepada
Dalem Ketut Smara Kepakisan untuk dijadikan Istana
Dalem di Gelgel, kemudian beliau pindah/membangun
Istana Kepatihan yang baru lengkap dengan
Pamrajannya yang berlokasi di sebelah selatan Istana
Kepatihan terdahulu yang sudah menjadi Istana Dalem
atau di sebelah utara Kahyangan Dalem Suci tempat
pemujaan beliau, yaitu di tegalan Abyan Kawan yang
ditanami pohon kelapa. Sejak itu lalu beliau juga
bergelar Kyayi (I Gusti) Kubontubuh atau Kyayi (I
Gusti ) Klapodhyana.

Pamrajan dari Istana Kepatihan yang baru ini diyakini


merupakan Mrajan yang diwariskan kepada
pratisentananya hingga sekarang yang sesuai Ketetapan
Pesamuan Pusat Khusus Pratisentana Sira Arya
Kubontubuh Propinsi Bali No. I/PPK-PSAK/2004
tanggal 25 Januari 2004 disebut Pura Mrajan
Kawitan Pratisentana Sira Arya Kubontubuh.

Atas keinginan/restu Dalem Ketut Smara Kepakisan


dan didukung oleh para arya, dibangunlah palinggih
Tugu sebagai sthana Sang Hyang Tugu (Sang Hyang
Ghanapati), sebagai saksi dunia. Tugu tersebut
dibangun di sebelah utara palinggih Meru Tupang Tiga
di Kahyangan Dalem Suci dimana sebelumnya
dilakukan ikrar (madewasaksi) atas kemufakatan untuk
menjemput Ida I Dewa Ketut Ngulesir ke desa Pandak.
Setelah dibangunnya palinggih Tugu tersebut
Kahyangan Dalem Suci itu hingga kini lebih dikenal
dengan nama Pura Dalem Tugu.

Kiyai Klapodyana pernah berselisih dengan Pangeran


Nyuh Aya, karena putrinya (I Gusti Ayu Adi) dikawini
oleh Kyayi Klapodyana. Kaum bangsawan dan Warga
Pasek memihak Kyayi Klapodyana, dan perselisihan
berhasil didamaikan oleh Dalem setelah membaca
Candri Sawalan (dua keping perunggu bertuliskan
huruf Majapahit).

Atas perintah Dalem Ketut Semara Kepakisan, Kyayi


Klapodhyana ke Brambangan untuk membunuh macan
selem (harimau hitam) yang menggangu disana dengan
senjata tulup “Ki Macan Guguh” memakai peluru
“Batur Gumi”.

Dalem Ketut Smara Kepakisan mengingatkan dengan


sangat agar Kyayi Gusti Klapodhyana memugar
dan mangupapira Pura Dalem Tugu dengan segala
upacara sebagaimana mestinya. Pada saat pemugaran
itu, Kyayi Gusti Klapodyana memugar palinggih yang
semula masih berbentuk babaturan menjadi Meru
tumpang Tiga yang dibangun di sebelah utara palinggih
Gedong Bata, di sebelah selatan palinggih Tugu.

Kyayi Klapodyana mendapat anugrah Aji Purana dan


ditugasi untuk memelihara (ngempon) serta
menghaturkan Pujawali di Pura Tugu.

Kyayi Klapodhyana menyuruh Kyayi Nyuh


Aya nyungusung Aji Purana tersebut serta menyimpan
di pamerajan rumahnya.

Kyayi Klapodyana berpesan kepada Kyayi Nyuh Aya


dan semua keluarganya sbb : (1) setiap pujawali di
Pura Tugu, Aji Purana agar diiring (tuwur) ke Pura
Tugu, dan bila Pujawali telah berakhir agar kembali
disimpan di Nyuh Aya; (2) dilarang mengingkari
perjanjian, dan bila salah satu tidak menepati janji,
maka seketurunan keluarga masing-masing akan
dikutuk oleh Bathara Brahma dan tidak memperoleh
keselamatan.

Setelah gagal upaya damai dan penyerangan ke-1 yang


berturut-turut telah dilakukan untuk membawa putera-
putera Dalem Tarukan menghadap Dalem di Gelgel,
Dalem Ketut Smara Kepakisan menugaskan I Gusti
Kubontubuh memimpin laskar Gelgel menyerang desa-
desa tempat putera-putera Dalem Tarukan bermukim,
perang seru terjadi, akhirnya putera-putera Dalem
Tarukan menyerah dan tunduk kepada titah Dalem
untuk menghadap Dalem di Gelgel.

Sejak saat itu Kyayi Parembu, yang bermukim di desa


Bubungtegeh yang termasuk salah satu dari desa-desa
dimana putera-putera Dalem Tarukan bermukim, pada
saat-saat tertentu pulang kembali ke Gelgel, ikut
bersama-sama sanak keluarganya di Gelgel memelihara
dan menyelenggarakan upacara keagamaan
sebagaimana mestinya di Kahyangan tempat
pemujaannya dahulu yaitu Pura Dalem Tugu.
1460 - 1550 :
Dalem Watu Ra Enggong, di Gelgel.
Para pejabat yang membantu adalah sbb :

· Kyayi Batan Jeruk sebagai Perdana Menteri


terkemuka.
· Kyayi Pinatih sebagai Patih.
· Kyayi Brangsingha sebagai sekretaris.

· Kyayi Klapodyana karena sudah lanjut usia, maka


digantikan oleh putranya yang bernama Kyayi Lurah
Abian Tubuh dan menjabat sebagai patih, sedangkan
adiknya Kyayi Lurah Karang Abiyan menjabat
sebagai Bandhesa berpangkat Demung.

· Kyayi Lurah Abian Tubuh wafat digantikan oleh


putra satu-satunya bernama Kyayi Lurah Kubon
Kelapa dengan jabatan Adhi Patih. Atas desakan
Kyayi Poh Tegeh, Kyayi Lurah Kubon Kelapa
memanggil Kyayi Tabehan Waringin (cucu Kyayi
Parembu) yang menetap di Bubung Tegeh untuk
mengadakan pertemuan kekeluargaan. Dalam
pertemuan tersebut Kyayi Tabehan Waringin al.
mempermaklumkan bahwa ayahandanya Kiyayi
Wayahan Kuthawaringin telah membangun
Parhyangan di Waringin sebagai tempat pemujaan
leluhur.

· Kyayi Wayahan Parembu putra sulung dari Kyayi


Tabehan Waringin memperbaiki Pura Waringin
tersebut.

· Dalem Watu Ra Enggong sebelum moksa telah


memberikan panugrahan kepada para Arya tentang
tata cara pengabenan.
1550 - 1580 :

Dalem Pemayun Bekung, di Gelgel. Kyayi Lurah Kubon Tubuh menjadi Patih Utama
menggantikan ayahandanya yang sudah lanjut usia.

Kyayi Batan Jeruk bersama I Dewa Anggungan


memberontak, dibantu oleh Kriyan Pande dan Kriyan
Toh Jiwa pada tahun 1556, sehingga Dalem Pemayun
Bekung dan adiknya (Ida I Dewa Anom Dimade
Sagening) ditahan di dalam Keraton Gelgel.

Kyayi Kubon Kelapa dan Kyayi Lurah Kubon Tubuh


(putranya) sebagai pelopor pembebasan Dalem
Pemayun Bekung dan adiknya (Ida I Dewa Anom
Dimade Sagening), dengan jalan menjebol tembok
keraton melalui rumah Keriyan Penulisan, untuk
selanjutnya dibawa ke rumah Keriyan Lurah Kubon
Tubuh di Pekandelan, dibantu oleh Kriyan Dauh
Nginte, Keriyan Pinatih, Keriyan Anglurah Tabanan,
Keriyan Tegeh Kori, Kriyan Kabakaba, Kriyan
Buringkit, Kriyan Pering, Kriyan Cagahan, Kriyan
Sukahet, dan Kriyan Brangsinga.

Kyayi Batan Jeruk akhirnya kalah dikejar oleh para


prajurit dan rakyat yang dipimpin oleh Kriyan Nginte
dan Kyayi Lurah Kubon Tubuh dan dibunuh di
Bungaya.

I Dewa Anggunan menyerah dan kastanya diturunkan


menjadi Sang Anggunan.

Kriyan Pande menyerah, sedangkan Kriyan Toh


Jiwa dibunuh oleh Kriyan Nginte.

Dalem Pemayun Bekung tetap menjadi raja dan Kriyan


Nginte menggantikan jabatan Kyayi Batan Jeruk
sebagai Patih.

Kriyan Pande memberontak terhadap Dalem Pemayun


Bekung, akibat Dalem Pemayun Bekung lalai dalam
memegang pemerintahan dan karena pemerintahan
dikuasakan kepada Kriyan Nginte bersama-sama
Kriyan Pinatih dan Kyayi Lurah Kobon Tubuh beserta
Menteri-Menteri seluruhnya, sedangkan Ida I Dewa
Anom Dimade diangkat sebagai Raja Muda

1580 - 1665 :

Dalem Anom Dimade Sagening, di Gelgel Putra Kriyan Nginte yang bernama Kriyan Agung
Widya menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
Pemuka Tanda Manteri, sedangkan adiknya Kriyan
Kaler Pranawa menjabat sebagai Demung.

Kyayi Lurah Abiyan Tubuh dan Kyayi Lurah Madya


Karang, keduanya menjabat Patih Muda menggantikan
ayahnya Kyayi Lurah Kubon Tubuh yang sudah lanjut
usia.
1665 :

a. Dalem Anom Pemayun, di Gelgel. Kyayi Lurah Madya Karang diangkat menjadi Maha
Patih dan Kyayi Lurah Abiyan Tubuh diangkat sebagai
Patih Utama.

Pejabat lainnya adalah : Kriyan Tangkas sebagai Patih


Muda dan Kriyan Brangsinga sebagai Sekretaris.

Semua Catur Tanda Manteri dan seluruh Pasek


Bandhesa dikembalikan kepada tugasnya semula.
Akibat banyak orang yang kehilangan jabatan
timbullah keresahan.

Beberapa bulan setelah Dalem Anom Pemayun


bertahta, Kriyan Agung Maruti atas persetujuan
adiknya Dalem (Ida I Dewa Dimade), memberontak
kepada Dalem, yang dikenal dengan pemberontakan
Maruti Ke-I.
b. Dalem Anom Pemayun, di Purasi, Kriyan Madya Karang beserta putra-putranya semua,
kemudian pindah ke Tambega. Dari Kriyan Tangkas beserta keturunannya, dan Kriyan
Purasi beliau memerintah Kerajaan Brangsinga menjadi pelopor, pembela/pengawal
Singharsa yang wilayahnya meliputi : perjalanan Dalem Anom Pemayun ke Purasi.
-Timur : Tukad Telagawaja.
- Utara : Ponjok Batu Penugasan Dalem Anom Pemayun setelah
berkedudukan di Purasi adalah sbb :

1. Kyayi Madya Karang tetap sebagai Kepala Para


Menteri, dengan tugas :

- Memikirkan pemerintahan Singharsa.


- Menugaskan seluruh Pasek, Bendhesa untuk
memimpin di desa-desa
2. Para Arya yang ikut akan diberi jabatan.

3. Menugaskan putra-putra Kyayi Madya Karang untuk


mengatasi keamanan di desa-desa sbb :

- I Gusti Wayan Tubuh di Bugbug.


- I Gusti Gede Tubuh di Tulamben.
- I Gusti Wayan Karang di Tianyar.
- I Gusti Made Karang di Purasi.
- I Gusti Abiyan Tubuh di Sengkidu.
· Kyayi Madya Karang bersama putranya I Gusti Made
Karang mengikuti Dalem Anom Pemayun pindah dari
Purasi ke Tambega.
Kyai Madya Karang lebih dahulu wafat dari Dalem
Anom Pemayun dan dipelebon oleh putra-putranya
yang dipimpin oleh I Gusti Gede Tubuh yang berkuasa
di Tulamben.
1665 - 1686 :

a. Dalem Dimade di Gelgel. Setelah Dalem Anom Pemayun pindah ke Purasi, Sri
Agung Dimade (Ida I Dewa Dimade) bertahta dengan
gelar Dalem Dimade. Kriyan Agung Maruti diangkat
sebagai Patih.

Tidak diceritakan dimana Kyayi Lurah Abiyan Tubuh


yang menjadi Patih Utama dalam pemerintahan Dalem
Anom Pemayun, sedangkan beliau tidak termasuk yang
mengikuti Dalem Anom Pemayun pindah ke Purasi.

Putra-putra dari Kyayi Lurah Abian Tubuh tidak


memperoleh jabatan/kewibawaan sebab dianggap
musuh oleh Kriyan Agung Maruti yang menjabat
sebagai Patih, bahkan putra-putranya bercerai berai ke
desa-desa karena hendak dibunuh oleh Kriyan Agung
Maruti.

Setelah lama, Dalem Dimade sadar bahwa tidak boleh


berpisah dengan keturunan Kyayi Kubon Tubuh,
mengingat kesetiaannya sejak leluhurnya di zaman
bahari, sehingga dikirimlah utusan untuk mencari
putra-putra Kyayi Lurah Abiyan Tubuh yang akhirnya
diketemukan dan diberi jabatan sebagai berikut :

Kyayi Lurah Kubon Tubuh alias Ki Jumbuh, diangkat


sebagai Demung di Pekandelan, Gelgel.

Kyayi Tubuh Guntang Gurna, sebagai Demung di


Pekandelan Klungkung.

Kyayi Lurah Tubuh alias Ki Nyanyap, sebagai


Bandhesa di Gelgel.
b.Dalem Dimade menyingkir ke Desa
Guliang, Bangli.
Kriyan Agung Maruti, akhirnya memberontak terhadap
Dalem Dimade, dikenal dengan Pemberontakan Maruti
II.

Kyayi Madya Tubuh (putra II Kyayi Tubuh Guntang


Gurna) dan Ki Nyanyap beserta putra-putranya yang
masih kanak-kanak, ngiring Dalem Dimade ke
Guliang.

Dalem Dimade wafat di Guliang (1686).


1686 – 1704 :
Kriyan Agung Maruti, menjadi Raja di Kriyan Agung Maruti berhasil dalam
Gelgel. pemberontakannya dan bertahta menjadi Raja
berkedudukan di Gelgel. Dukuh Kretha diangkat
menjadi Patih, dan Keadaan di Bali menjadi tidak
stabil.

Keturunan Kyayi Lurah Abiyan Tubuh lainnya


menyebar ke seluruh Bali dan bermukim di beberapa
tempat seperti : Gobleg, Tambahan, Pekandelan-
Klungkung, Badung, Tabanan, Mengwi, Jemberana,
Tamblang, Tuwakilang, Sibang, Tegaltamu,
Abiansemal, Watubentar, Penarungan, Tengkulak,
Sukawati, Tampaksiring, Kusamba, Pesaban, Antiga,
Dawan, Bangli, Gianyar, Ubud, Karangasem, dan
Kuramas.

Sri Anom Dimade (putra Dalem Anom Pemayun di


Tembega), atas perintah ayahnya bertahta di
Siddhemaan sebagai Raja Kerajaan Singharsa,
kemudian mengorganisir penyerbuan terhadap Kriyan
Agung Maruti, tetapi gagal.

Atas nasehat Pedanda Wayahan Burwan, Sri Anom


Dimade mengirim utusan kepada sepupunya (putra
Dalem Dimade) di Guliang untuk bersama-sama
mengusahakan kembali penyerbuan terhadap Kriyan
Agung Maruti di Gelgel. Penyerbuan belum terlaksana
karena Sri Anom Dimade wafat terlebih dahulu pada
tahun 1694.

I Gusti Made Karang (putera Kyayi Madya Karang),


yang berada di Tembega bersama Dalem Anom
Pemayun, bersama-sama Kriyan Tangkas Bias dan
Brangsingha membawa pasukan dan Pajenengan Ki
Begawan Canggu melewati Bukit Penyu untuk
memperkuat pasukan Sri Anom Dimade untuk
menyerang Kriyan Agung Maruti di Gelgel. Benteng
pertahanan dibangun di Desa Tohjiwa. Penyerbuan
gagal karena banjir sasih kapitu-kaulu. I Gusti Made
Karang dan pasukannya diperintahkan untuk
mempertahankan daerah perbatasan dan bermukim di
Desa Lebu.

I Gusti Gede Tubuh yang berkuasa di Tulamben


berputera tiga orang laki-laki, yang sulung Kyayi
Karang Tubuh, kemudian pindah menuju desa
Kubutambahan, menetap disana mengadakan
keturunan. Putera yang kedua Kyayi Kubontubuh
Culik, beliau juga bernama Kyayi Kubontubuh Tawing
karena ibunya dari keluarga Ki Passek Tawing Culik,
beliau menggantikan ayahandanya di Tulamben. Putera
yang ketiga Kyayi Tubuh Tulamben, pindah menuju
desa Ababi, menetap disana.

Kyayi Kubontubuh Culik (Kyayi Kubontubuh Tawing)


berputera lima orang, yaitu berurut dari yang sulung
sampai yang bungsu : 1.Kyayi Kubontubuh, 2.Kyayi
Gede Bendesa Tubuh, 3.Kyayi Nyoman Tubuh,
4.Kyayi Gede Tubuh Tawing dan 5.Kyayi Tubuh
Sibetan. Kelima orang putera Kyayi Kubontubuh Culik
tersebut akhirnya terpencar mencari tempat tinggal,
setelah terjadi peristiwa kekacauan di Tulamben pada
tahun Saka 1617 atau 1695 M., yaitu yang tertua Kyayi
Kubontubuh ke desa Pesangkan, Kyayi Gede Bendesa
Tubuh ke desa Datah, Kyayi Nyoman Tubuh ke desa
Sibetan, Kyayi Gede Tubuh Tawing ke desa Ngis-Tista
dan Kyayi Tubuh Sibetan ke desa Kikiyan Rajagiri
Abang.

Peristiwa kekacauan di Tulamben merupakan peristiwa


perampokan. Pelakunya adalah sisa-sisa laskar
Kerajaan Goa pada peristiwa Tulammben kepertama
(1676M.) dan sisa-sisa laskar Kerajaan Bone pada
peristiwa Tulamben kedua (1695M.). Sisa-sisa laskar
tersebut mengembara di laut karena dikejar-kejar oleh
pasukan KOOMPENI setelah kerajaan-kerajaan itu
ditaklukkan oleh Belanda. Pada saat itu kebetulan
Persekutuan Dagang Bangsa Inggris sedang berselisih
dengan Persekutuan Dagang Balanda (VOC), sehingga
perampok-perampok musuh Belanda itu berhasil
mendapatkan bantuan berupa senjata api dari
Persekutuan Dagang Bangsa Inggris. Dengan demikian
mudah dipahami bahwa pada kedua peristiwa
perampokan termaksud terjadilah pertempuran dengan
persenjataan yang tidak seimbang. Penduduk desa
Tulamben dibawah pimpinan Kyayi Kubontubuh Culik
dengan senjata tradisional berhadapan dengan
perampok yang bersenjata api, sehingga kekalahan
tidak bisa dihindari. Kedua peristiwa perampokan desa
Tulamben tersebut dapat terjadi, juga akibat kondisi
Kerajaan Gelgel pada periode itu tidak memiliki cukup
kemampuan untuk melindungi seluruh wilayahnya
terhadap gangguan baik dari dalam maupun dari luar.

Sri Agung Gede Jambe (putra bungsu Dalem Dimade)


di Guliang, datang ke Siddhemaan, berunding dengan
Sri Agung Gede Ngurah (putra Sri Anom Dimade),
Pedanda Wayan Burwan, Kyayi Jambe Pule, dan Kyayi
Panji Sakti, dan memutuskan untuk mengadakan
penyerbuan kembali ke Gelgel pada tahun 1704.

Kriyan Agung Maruti akhirnya kalah, dan lari dari


Gelgel ke Jimbaran dan kemudian ke Kuramas.
Atas perintah Sri Agung Gede Jambe, Kyayi Lurah
Tubuh alias Ki Nyapnyap mengejar Kriyan Agung
Maruti ke Jimbaran dan Kuramas. Akhirnya Sri Agung
Gede Jambe mengampuni Kriyan Agung Maruti dan
diijinkan menetap di Kuramas. Demikian pula Ki
Nyapnyap beserta anak istrinya diperintahkan menetap
di Kuramas untuk mengawasi pikiran dan perbuatan
Kriyan Agung Maruti.
1704 :

Sri Agung Gede Jambe, di Semarajaya. Sri Agung Gede Jambe menjadi Raja abhiseka Ida
Idewa Agung Jambe pada tahun 1710 dengan
berkedudukan di Semarajaya, Klungkung.

Selanjutnya Zaman Kerajaan Klungkung

Copas dari http://kubontubuh-kuthawaringin.blogspot.com/2010/06/peristiwa-sejarah-dan-


peranserta-sira.html

Anda mungkin juga menyukai