Nama Kelompok :
1. Ni Kadek Rexyana Nathasia Dewi (26)
2. Ni Putu Ayu Pratiwi (32)
3. Diva Ardiyana (36)
4. Ariesta Putra Wibawa (10)
5. Ngurah Satria Wijaya (08)
BAB 1
Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut: “Pada Masa Kerajaan Majapahit di
Jawa Timur, itulah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra.
Beliau menghormati pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-
kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama “Dharma
Yatra”.
Di Lombok Beliau disebut “Tuan Semeru” atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di
Jawa Timur.”
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan
kerajaan Hindu di tanah Jawa. Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan
tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam
yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya
Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah
kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali. Sebelum berangkat ke Pulau Bali, Dang Hyang
Beliau pertama kali tiba di Pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M
ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di
Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan
*Parama Siwa.
Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena dia mempunyai
kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga dia
diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman
Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan,
Pekraman Desa Adat dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan
ditingkatkan. Selain itu dia juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi
peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal
Pura-Pura Dang Kayangan yang didirikan dalam rangkaian Dharmayatra Dang Hyang Nirartha
Di Pura Jati menandai kedatangan Dang Hyang Nirartha yang bertongkat tangkai pohon kayu
jati. Semula tempatnya begitu kering. Setelah Dang Hyang Nirartha menancapkan tongkat
tangkai kayu jati ke tanah, kemudian dari bongkahan tanah itu mengeluarkan air yang
jernih. Sekarang dapat kita menyaksikan keganjilan dan kebesaran Tuhan ini, dan bongkahan
pohon kayu jati kembar dempet yang berusia 500-an tahun lebih itu menyembul mata air yang
adalah tempat Dang Hyang Nirartha mengajarkan berbaga pengetahuan keagamaan kepada
masyarakat setempat. Masih banyak bangunan suci yang berhubungan dengan dharmayatra
4. Pura Dalem Mangening di Renon, tempat persinggahan Dang Hyang Niratha dan sempat
5. Pura Pucak Empelan Dalem Semeru di Belayu, Marga Tabanan. Pura Pucak Empelan
Semeru di Belayu Tabanan, adalah pura yang dibangun oleh Dang Hyang Nirartha sedatangnya
Dang Hyang Nirartha mengajar Gama Metu Telu di Lombok. Patung Dang Hyang Dwijendra
yang disebut Tuwan Semeru yang distanakan di pura Pucak Empelan ini memakai
songkok/peci.
6. Pura Katyagan di desa Kamasan Klungkung. Pura ini adalah bekas pasraman (Gria)
Dang Hyang Nirartha saat menjadi purohita kerajaan. Para penungsung pura Katyagan terus
melakukan pembenahan dan perbaikan pura sehingga kekhasannya menjadi lebih asri.
7. Pura Katyagan di desa Kamasan Klungkung. Pura ini adalah bekas pasraman (Gria)
Dang Hyang Nirartha saat menjadi purohita kerajaan. Para penungsung pura Katyagan terus
melakukan pembenahan dan perbaikan pura sehingga kekhasannya menjadi lebih asri.
8. Pura Taman Bagenda di Gelgel. Berdasarkan buku beraksara Bali ” Panataran Batu
Lepang Puser Brahmana Kaniten (1958:10) menyebutkan, sedatang Dang Hyang Nirartha
bersama Dalem Waturenggong dari Teluk Padang, Dalem memerintahkan kepada para abdi
dia di Istana Gelgel (Sweccha Pura) untuk mempersilakan Sang Maha Muni tinggal di Taman
Bagenda, disebelah Utara Pura Dasar Gelgel. Dalam perkembangan kerajaan Bali, Pura Taman
Bagenda dipergunakan sebagai pasraman tempat pertemuan para wiku kerajaan. Piodalan,
9. Pura Taman Pancaka Tirtha, di desa Kamasan Klungkung, dibangun oleh Ida Pedanda
Telaga Tawang Cucu Dang Hyang Nirartha. Upacara Anggara Sasih Tambir
10. Pura Seganing, desa Siku, Klungkung. Tempat pasucian Ida Pedanda Sakti Ender
11. Pura Gemblong, tempat pasucian Ida Bhatari Istri Rai kakak dari Ida Pedanda Sakti
Telaga. Tempat ini dipergunakan Ida Bhatari Istri Rai menyempurnakan ajaran kerohanian
yang diterima dari Dang Hyang Nirartha sebelum beliau kembali ke Tanah Jawa, yang
kemudian oleh orang Jawa disebut Syekh Siti Jenar. Upacara Anggra Kasih Tambir. Pura Grya
Giri Taksu Dwijendra/Pura Sakti Mrajan Peling, di Kamasan Klungkung. Dibangun oleh Ida
12Pura Bhatara Sakti Bawu Rawuh, di Subak Jumpung desa Siku. Pasraman (Gria) Dang
Hyang Nirartha di Siku Kamasan. Pura Bhatara Sakti Bawu Rawuh kini sedang diusahakan
dibangun oleh Ida Pedanda Ketut Keniten Grya Anyar Jumpung Dawan Kelod, Klungkung dan
Ida Pedanda Gde Grya Jumpung Kamasan, Klungkung. Piodalan Purnama Sasih Kalima.
13. Pura Selang (Pura Grya). Pada tulisan ini penulis juga inpormasikan pura peninggalan
Dang Hyang Nirartha yang terdapat di ujung Timur pulau Bali, yaitu Pura Selang di desa
Seraya, Karangasem. Pura ini adalah tempat Dang Hyang Nirartha mengajarkan berbagai
pengetahuan lahir dan batin kepada masyarakat setempat, utamanya memuja Sang Hyang Ibu
Pertiwi. Masyarakat setempat sangat meyakini kekeramatan pura Selang desa Sraya
ini. Mereka yakin sekali, aura pura dapat menj aga wilayah desa dan segala wabah dan
14. Pura Ponjok Batu di desa Kubu Juntal Buleleng. Tempat Dang Hyang Nirartha
bermeditasi dan berdiri memandangi lautan lepas ketika akan melanjutkan dharmayatra ke
Sasak. Dalam teks Dwijendra Tattwa disebutkan, setelah dia berhasil membantu para juragan
perahu asal Sasak diapun ikut bertolak ke Sasak. Masyarakat desa Kubu Juntal yang setiap
malam menyaksikan sinar menyala keluar dan dari batu tempat dang Hyang Nirartha berdiri
kemudian membangun tempat suci yang dikenal dengan nama Pura Ponjok Batu.
masyarakat petani di sana berbagai keterampilan yang cocok bercocok tanam, termasuk
mengajar tata cara mengatasi hama penyakit tanaman. Dang Hyang Nirartha pernah
mendirikan tempat suci di sana untuk membentengi keyakinan masyarakat setempat. Lama
tempat suci ini terpendam oleh letusan material Gunung Tambora yang terjadi pada tahun 1818.
Kini di pedalaman Pegunungan Tambora yang diperkirakan tepat berada di atas bekas puing-
puing pura peninggalan Dang Hyang Nirartha itu telah berdiri tempat suci yang megah, dengan
luas puluhan Ha, yang disungsung oleh umat Hindu di Sumbawa. Pemugaran dan
pembangunan pura ini mendapat bantuan dari Dirjen Bimmas Hindu Kementerian Republik
16. Pura Dalem Suniantara di Banjar Batan Nyuh Desa Pamecutan klod
Denpasar. Tepatnya alamat pura sekarang berada di Jalan Imam Bonjol Tegal, di depan Kantor
Pemadam Kebakaran. Upacara wali jatuh setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Redite
(Minggu) Kliwon Watugunung. Penyusungsung pura adalah warga kota Denpasar. Sedangkan
yang mengingatkan aci-aci setiap hari besar keagamaan adalah warga Batan Nyuh. Keberadaan
pura berkaitan erat dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa Batan Nyuh membantu
menghalau banjir bandang yang membahayakan penduduk dan menghancurkan rumah tinggal
Batan Nyuh Desa Buagan. Saat dia menghalau banjir, teteken dia distanakan di sebuah tempat
yang kemudian oleh Mendirikan Pura masyarakat Suniantara, untuk mengenang kedatangan
Dang Hyang Nirartha di tempat itu. Upacara wali jatuh pada setiap hari Minggu Kliwon
Watugunung. Pada hari Minggu Kliwon Watugunung, tanggal 17 April 2011 bertepatan
dengan Purnama Jyesta dilakukan upacara Karya Padudusan Agung Pangatep Wreaspati
Kalpa. Bangunan utama berupa Padma Tiga stana Sang Hyang Tri Purusa, Siwa, Sadha Siwa,
Parama Siwa.
Selain pura- pura, di dalam masyarakat Bali masih dapat di lihat strukturisasi masyarakat
1. Wangsa Brahmana dikenal dengan sebutan Ida Bagus dan Ida Ayu.
2. Wangsa Kesatria dapat dikenali dengan sebutan Anak Agung dan Anak Agung Ayu.
3. Wangsa Vaisya dapat dikenali dengan sebutan I Dewa, I Gusti, I Dewa Ayu, Desak, I
4. Sedangkan mereka yang disebut sudra atau dalam istilah Balinya dikenal dengan “Wang
Jaba” dapat dikenali dengan sebutan I Gede, I Wayan, I Putu, I Made, I Nyoman, I Ketut dan
lain sebagainya.
Walaupun saat ini tidak seperti pada masa-masa kerajaan, namun pengaruhnya masih terasa
sampai saat ini. Terutama pada saat upacara agama dan adat.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana.
sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura
di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
C. KEGIATAN KEAGAMAAN DANGHYANG DWIJENDRA
Perjalanan dharmayatra (pilgrimage) yang dilakukan oleh Danghyang Nirarta ke Bali (1478-
1560) ditulis dalam sebuah karya teks lontar refleksive spiritual yang berjudul Dwijendra
Tatwa (Putra, 2010; Sastrowardiwiryo, 2008). Dang Hyang Nirarta adalah seorang tokoh
dkk,1998:25-26). Dang Hyang Nirarta penganut agama Siwa yang bercorak Tantrayana,
bersaudara dengan Dang Hyang Asoka yang menganut agama Buddha Mahayana (Kasogatan).
Dang Hyang Nirarta dan Dang Hyang Astapaka putra dari Dang Hyang Smaranatha (Empu
Smaranatha). Empu Smaranata adalah putra ke tiga dari Mpu Tantular. Mpu Tantular menganut
agama Buddha Mahayana dikenal sebagai pengarang Kitab Sutasoma sebagai salah satu karya
Spiritual Hindhu Bali Dang Hyang Nirartha menguasai berbagai pengetahuan tentang
keagamaan, kesusastraan, pemerintahan, dan ilmu usada (pengobatan) sehingga beliau juga
dijuluki Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh juga bergelar Dang Hyang Dwijendra karena beliau
selain penganut aliran Siwa juga Bodha (Sogata). Agama Siwa-Sogata menjadi agama Hindhu
Siwa-Budha yang dianut oleh masyarakat Bali sampai sekarang. Sogata adalah ajaran agama
Budha yang telah menyesesuaikan (asimilasi) doktrin ajarannya dengan aliran Siwa (Siwa
paksa). Boddha (Sogata) paksa di Bali memiliki ciri Mahayana Tantris. (Goris, 1974: 22-23).
Asimilasi ajaran Siwa-Boddha bisa dilihat dalam sebuah konfigurasi praktek keagamaan
manunggaling (kesatuan) kehadiran kedua pendeta ini dalam mengantarkan setiap upacara