Anda di halaman 1dari 45

SEJARAH

Sejarah Pura Tirta Empul

Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring,
Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang
dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air
yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali,
tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.

Mengenai nama pura ini kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat
didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara
etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta
Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah.Pura Tirta Empul ini juga
merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu
pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden
tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden Indonesia yang datang
ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut.

Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi
wisata unggulan di kabupaten Gianyar. Diperkirakan namaTampaksiring berasal dari (bahasa
Bali) kata tampak yang berarti "telapak" dan siring yang bermakna "miring". Makna dari
kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah
daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang
raja bernama Mayadenawa.

Menurut lontar "Mayadanawantaka", raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa
dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat durjana,
berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia mengklaim dirinya
sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.

Alkisah, lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian
menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk
hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak kakinya
saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak mengenali jejaknya.
Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa.

Namun, sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap jugaoleh para pengejarnya, kendati --


sebelumnya -- ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan banyak bala
tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air itu. Lantas sebagai tandingan, Batara
Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar itulah yang kemudian disebut
dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa --
dengan berjalan memiringkan telapak kakinya -- dikenal dengan sebutan Tampaksiring.

Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa
peninggalan purbakala. Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja
Chandra Bhayasingha dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini
dibagi atas Tiga bagian yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman
Tengah) dan Jeroan (Halaman Dalam). Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam
persegi empat panjang dan kolam tersebut mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari
Timur ke Barat menghadap ke Selatan.
Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri
diantaranya pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran
Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra. Dalam mitologi itu
diceritakan bahwa Raja Mayadenawa bersikap sewenang – wenang dan tidak mengijinkan
rakyat untuk melaksanakan upacara – upacara keagamaan untuk mohon keselamatan dari
Tuhan Yang Maha Esa. Setelah perbuatan itu diketahui oleh Para Dewa, maka para dewa
yang dikepalai oleh Bhatara Indra menyerang Mayadenawa.

Akhirnya Mayadenawa dapat dikalahkan dan melarikan diri sampailah disebelah Utara Desa
Tampak siring. Akibatnya kesaktiannya Mayadenawa menciptakan sebuah mata air Cetik
(Racun) yang mengakibatkan banyaknya para laskar Bhatara Indra yang gugur akibat minum
air tersebut. Melihat hal ini Bhatara Indra segera menancapkan tombaknya dan memancarkan
air keluar dari tanah (Tirta Empul) dan air Suci ini dipakai memerciki para Dewa sehingga
tidak beberapa lama bisa hidup lagi seperti sedia kala.

Sejarah Pura Tirta Empul

Dikisahkan dalam Lontar Usana Bali bahwa Tirta Empul atau Tirta Ri Air Hampul diciptakan
oleh Bhatara Indra ketika ia sedang berperang dengan raja Mayanadenawa dari Bedahulu,
raja tersebut diceritakan amat sakti dan memiliki kemampuan dapat menghilang. Karena
kesaktiannya tersebut Mayanadenawa menganggap dirinya sebagai Tuhan, untuk alasan
itulah kemudian Bhatara Indra memeranginya. Pada sebuah pertempuran yang terjadi di
sebuah daerah, Mayanadenawa dan pasukannya terdesak, kemudian mereka berjalan dengan
telapak kaki miring, maka dari itu, daerah tempat pertempuran tersebut kemudian dinamakan
Tampaksiring.
Dalam keadaan terdesak, Mayanadenawa menciptakan sebuah mata air beracun (Yeh Cetik)
untuk menghancurkan pasukan Bhatara Indra. Ternyata taktiknya berhasil, karena kelelahan
akibat berperang terus-menerus, akhirnya banyak pasukan Bhatara Indra yang meminum Yeh
Cetik. Tak sedikit pasukan Bhatara Indra yang keracunan akibat meminum air beracun
tersebut. Imbas dari taktik licik itu, kekuatan pasukan Bhatara Indra berkurang banyak. Untuk
menangani masalahnya maka Bhatara Indra kemudian menancapkan senjata yang berbentuk
umbul-umbul ke tanah. Seketika itu muncul mata air yang mengampul ke atas dari bekas
tusukan senjata sang raja kahyangan tersebut. Setelah meminum mata air itu, pasukan
Bhatara Indra dapat sembuh seperti sedia kala. Berabad-abad kemudian mata air tersebut
ditata dan disempurnakan menjadi sebuah taman air oleh raja Indrajaya Sigha Warmadewa
pada tahun 882 çaka dan diberi nama “Tirta Ri Air Hampul” atau “Tirta Empul” yang berarti
Pathirtaan yang mengepul.

Demikian kisah dibalik terciptanya Pura Tirta Empul atau Tirta Ri Air Hampul yang terletak
di daerah Tampaksiring. Pada masa-masa selanjutnya, dibangunlah Padharman yang berarti
bangunan suci di dalam kompleks permandian Tirta Empul untuk memuja Dewa Indra.
Berdasarkan sumber sejarah, Padharman ini dibangun dua abad kemudian setelah
pembangunan Pathirtaan pada masa raja Masula Masuli. Seluruh bangunan suci tersebut
dirancang oleh seseorang bernama Bandesa. Sedangkan mata air yang dikisahkan tercipta
dari tusukan senjata dewa perang tersebut digunakan sebagai air suci untuk berbagai
keperluan.

Di balik kesederhanaan arsitekturnya, bangunan Tirta Empul sarat dengan kekayaan fungsi.
Setiap bangunan di dalamnya memiliki fungsi yang jelas. Pathirtaan-nya yang konon
memiliki kekuatan magis dan berkhasiat pun terbagi menjadi beberapa bagian dan masing-
masing memiliki fungsi tersendiri. Pathirtaan yang ada di Tirta Empul tidak hanya berfungsi
sebagai penyembuh penyakit yang bersifat keduniawian, tetapi juga melingkupi aspek
relijius, sebagai media penyucian diri, ruwatan atau dalam bahasa Bali disebut ngelukat,
disamping itu air suci Tirta Empul yang konon nilai kesuciannya dianggap setara dengan air
sungai Gangga di India itu pun seringkali dipakai untuk upacara-upacara keagamaan umat
Hindu, termasuk upacara kematian. Secara umum, bangunan suci ini memiliki konsep ramah
lingkungan, karena memiliki sanitasi serta sirkulasi air alami yang sangat baik. Tirta Empul
yang secara administratif terletak di desa Manukaya kecamatan Tampaksiring kabupaten
Gianyar ini pun secara tidak langsung menjadi sumber penghidupan masyarakat agraris
setempat, karena mata air di pura tersebut menjadi sumber air bagi subak-subak yang
mengairi persawahan di sekitar Tirta Empul.

Jika dikaitkan dengan konsep kekinian, pura Tirta Empul ini pun tidak terlepas dari aspek
modernisasi. Namun jangan salah, ini bukan tentang renovasi bangunan kuno menjadi
modern dengan penambahan rangka baja dan beton atau penambahan penyejuk udara yang
terpasang di setiap sudut ruangan. Munculnya aspek modernisasi dalam hal ini adalah
masuknya aspek pariwisata di Tirta Empul. Bilik-bilik kios penjaja suvenir di sepanjang
pelataran parkir dan restoran kecil di dalam kompleks Tirta Empul merupakan dampak
masuknya aspek pariwisata ke dalam area suci ini. Jangan dulu berpikiran negatif, justru
dengan masuknya aspek ini, fungsi Tirta Empul sebagai penyokong kehidupan masyarakat
sekitarnya semakin lengkap, kehadiran aspek wisata di pura ini justru mendorong
produktivitas dan kreativitas masyarakat setempat dalam mencapai taraf kehidupan yang
lebih baik secara mandiri.

Selain itu, aspek pariwisata pun berdampak pada lingkungan, para wisatawan baik lokal
maupun mancanegara tentunya mengharapkan lingkungan yang bersih dan asri ketika
mengunjungi sebuah tempat wisata, tak terkecuali Tirta Empul, apalagi pathirtaan ini terletak
di dataran tinggi Tampaksiring yang memiliki hawa yang sejuk dan panorama yang indah.
Struktur lingkungan yang cantik di kawasan Tirta Empul tentu saja menjadi tanggung jawab
bagi keseluruhan masyarakat pariwisata dunia untuk menjaganya, apalagi area tersebut
merupakan tempat suci bagi umat Hindu. Meskipun sekilas tampak tidak tulus, hanya karena
alasan tertentu semata, namun tanggung jawab tersebut dapat menjadi awal bagi kelahiran
kembali budaya “Lingkungan bersih dan sehat” yang sudah sejak lama dilupakan atau bahkan
sengaja dilupakan.

Tirta Empul yang sederhana namun sarat akan kekayaan filosofi di dalamnya merupakan
gambaran sebuah rancangan tatanan sosial ideal multi era, dimana berbagai aspek yang
berbeda dapat berjalan beriringan dalam sebuah sirkulasi yang penuh harmoni. Adalah
tanggung jawab kita sebagai pewaris budaya nusantara dan dunia untuk menjaga keselarasan
dan keharmonisan tatanan tersebut untuk terus berjalan. Tirta Empul hanyalah satu dari
sebagian kecil warisan leluhur kita yang berhasil dijaga dan dilestarikan, masih banyak dan
akan bertambah banyak lagi warisan-warisan nenek moyang kita yang akhirnya ditemukan
lalu tidak lama kemudian rusak oleh tangan-tangan jahat yang hanya mementingkan aspek
ekonomi pribadi saja.

Pura Tirta Empul


Desa: Manukaya
Kec : Tampak Siring
GIANYAR,BALI
INDONESIA.
Foto tahun :1932
Pura Tirta Empul. Terletak 36 km dari Kota Denpasar.

Pura Tirta Empul sebagai peninggalan Kerajaan di Bali, salah satu dari beberapa peninggalan
purbakala yang menarik untuk disaksikan dan diketahui di desa ini. Disebelah Barat Pura
tersebut pada ketinggian adalah Istana Presiden yang dibangun pada pemerintahan Presiden
Soekarno.
Mengenai nama pura ini kemungkinan besar diambil dari nama mata air yang terdapat
didalam pura ini yang bernama Tirta Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara
etimologi bahwa Tirta Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirta
Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah.
Air Tirta Empul mengalir ke sungai Pakerisan. Sepanjang aliran sungai ini terdapat beberapa
peninggalan purbakala.

Pendirian pura ini diperkirakan pada tahun 960 A.D. pada jaman Raja Chandra Bhayasingha
dari Dinasti Warmadewa. Seperti biasa pura – pura di Bali, pura ini dibagi atas Tiga bagian
yang merupakan Jaba Pura (HaLaman Muka), Jaba Tengah (Halaman Tengah) dan Jeroan
(Halaman Dalam).

Pada Jaba Tengah terdapat 2 (dua) buah kolam persegi empat panjang dan kolam tersebut
mempunyai 30 buah pancuran yang berderet dari Timur ke Barat menghadap ke Selatan.
Masing – masing pancuran itu menurut tradisi mempunyai nama tersendiri diantaranya
pancuran Pengelukatan, Pebersihan, Sudamala dan Pancuran Cetik (Racun).
Pancuran Cetik dan nama Tirta Empul ada hubungannya dengan mitologi yaitu pertempuran
Mayadenawa Raja Batu Anyar (Bedahulu) dengan Bhatara Indra.
Dalam mitologi itu diceritakan bahwa Raja Maya Denawa merupakan gabungan antara cerita
sejarah dan mithologis. Cerita ini merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Galungan
bagi umat Hindu.

Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadanawa, keturunan Daitya (Raksasa) di
daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah
raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup
pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis,
Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi
sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan
upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak
kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah
penyakit menyerang di mana-mana.

Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon
petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta
pertolongan ke India (Jambudwipa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga,
yang dipimpin oleh Bhatara Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap.
Dalam penyerangan melawan Mayadanawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena
dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk
dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk
menyelidiki keadaan keraton Mayadanawa, dengan mengirim Bhagawan Naradha.

Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadanawa mengirimkan mata-mata untuk


menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhatara
Indra menyerang, pasukan Mayadanawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan
Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadanawa melarikan diri bersama patihnya
yang bernawa Kala Wong. Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada
malam harinya, Mayadanawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan
Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan
telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.
Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air yang
beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian
dinamakan Tirta Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara Indra
dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadanawa. Untuk menyembunyikan dirinya,
Mayadanawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut
dinamakan Desa Manukaya.

Bhatara Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadanawa mengubah dirinya menjadi
Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur)
sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan
Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa
Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas
tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadanawa dan patihnya menemui ajalnya.

Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk
oleh Bhatara Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan
menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan
itu berumur 1000 tahun

Kematian Mayadanawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan, sebagai tonggak
peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

Lontar Jaya Kasunu menceritakan bahwa pada saat akan naik tahta, Sri Jaya Kasunu melihat
rakyat Bali diserang penyakit hebat dan raja-raja yang memerintah sebelum beliau selalu
berumur pendek. Beliau melakukan yoga samadhi dan mendapat petunjuk Tuhan yang
berwujud Bhatara Durgha, bahwa masyarakat sebelumnya telah melupakan Hari Raya
Galungan. Juga agar setiap keluarga memasang Penjor pada Hari Raya Galungan.
PENGERTIAN

Pura Tirta Empul adalah pura Hindu di tengah pulau Bali, Indonesia, tepatnya di Desa
Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar,[1] yang terkenal dengan air
sucinya di mana orang Hindu Bali mencari penyucian

Pembangunan Pura

Pura Tirta Empul pada tahun 2011

Pura Tirta Empul dibangun disekililing sebuah sumber mata air yang besar pada 962 M
selama wangsa Warmadewa oleh raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa (dari abad ke-10
hingga ke-14).[3] Nama pura berasal dari sumber mata air tersebut yang dinamakan "Tirta
Empul". Mata air tersebut berasal dari sungai Pakerisan.[4] Pura dibagi menjadi 3
bagian; Jaba Pura (halaman depan), Jaba Tengah (halaman tengah) dan Jeroan (halaman
dalam). Jaba Tengah terdiri dari 2 kolam dengan 30 pancuran yang diberi nama sebagai
berikut: Pengelukatan, Pebersihan, dan Sudamala serta Pancuran Cetik (racun).[5]

Pura ini didedikasikan untuk Dewa Wisnu, nama dewa Hindu untuk kesadaran tertinggi
Narayana.[6] Di sisi kiri pura terdapat sebuah bangunan vila modern di atas bukit
bernama Istana Tampaksiring, dibangun untuk kunjungan Presiden Sukarno ke Bali pada
tahun 1954, yang sekarang digunakan sebagai tempat istirahat bagi tamu-tamu kenegaraan
yang penting.
MELUKAT

Urutan Melukat Bagi Pemula


Bagi pemula melukat dilakukan dengan tujuan untuk membersihkan segala noda / kotor yang
melekat pada diri kita baik itu sifatnya jasmani dan rohani. Segala penyakit yang bersifat
kotor dilepaskan, cuntaka maupun beban berat dari kutukan dan sumpah. Oleh karena itu bagi
pemula yang sudah berusia diatas 13 tahun maka melukat dilakukan pada pancuran berikut
secara berurutan :

1. Tirta Gering
2. Tirta Leteh
3. Tirta Penyakit Berat
4. Tirta Pelebur Kutukan
5. Tirta Pelebur Sumpah / Cor
Melukat dilakukan hanya di pancuran diatas sebanyak 3 kali kedatangan melukat barulah
dilanjutkan dengan urutan melukat secara umum.

Urutan Melukat Secara Umum


Dimulai dari Pancuran Tirta Gering dengan tata cara melukat seperti melukat untuk pemula
dilanjutkan dengan pancuran yang berfungsi sebagai pembersih atau meningkatkan kesucian
jasmani dan rohani. Urutannya berturut-turut sebagai berikut :

1. Tirta Gering
2. Tirta Leteh
3. Tirta Penyakit Berat
4. Tirta Pelebur Kutukan
5. Tirta Pelebur Sumpah / Cor
6. Tirta Sudamala
7. Tirta Merta
8. Tirta Penyakit Kulit
9. Tirta Ketenangan Jiwa
10. Tirta Rematik
11. Tirta Gigi
12. Tirta Sakit Tulang
13. Tirta Asmara
14. Tirta Ketenangan Emosi
15. Tirta Penyakit Pernafasan
16. Tirta Rambut
Pancuran Tirta Pengentas ada 2 buah digunakan untuk pembersihan orang meninggal
sehingga tidak boleh digunakan untuk melukat bagi kita yang masih hidup. Kedua pancuran
ini bentuknya lain dengan posisi ornament yang lebih tinggi dibandingkan pancuran lainnya.
Para prejuru desa yang sedang bertugas akan memberitahu seandainya ada yang melukat di
sana.

Urutan dan tata cara melukat hanyalah suatu jalan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Setiap orang boleh mengikuti tatacara atau jalan yang diyakini sebagaimana yang telah
diterimanya sebagai petunjuk orang-orang yang sebelumnya atau petunjuk dari orang yang
dianggapnya patut untuk dipercaya. Berdasarkan petunjuk yang diperoleh oleh Bapak Ngura
Ardika urutan melukattidaklah seperti yang sering kita lihat sebagai urutan dari kiri ke kanan,
tetapi pada setiap pancuran ada nomor urutnya. Hal ini dibenarkan oleh beberapa murid
beliau yng telah memperoleh kewaskitaan. Metoda ini dapat memberikan hasil yang optimal
dan sudah diterapkan oleh Bapak Ngurah Ardika terhadap murid-murid beliau dengan hasil
yang memuaskan

Pura Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten
Gianyar, Bali. Pura ini terletak kurang lebih 40 km ke arah timur laut dari Kota Denpasar.
Sesampainya di Pura Tirta Empul sudah dipenuhi oleh wisatawan.
Banyak pula para wisatawan yang ikut turun untuk mensucikan diri di Pura Tirta Empul
termasuk kami bertiga pun ikut menemani Rojack, salah satu teman kami yang memang akan
sembahyang disana.

Bagi para pengunjung akan dikenakan retribusi tiket masuk Rp. 15.000/orang. Setiap
pengunjung akan diberikan Kamen atau sarung adat khas Bali (gratis) karena akan menuju
tempat yang suci. Ingat, setelah kunjungan harus dikembalikan yah Kamen nya.

Bagi wanita yang sedang berhalangan dilarang memasuki Pura karena sedang dalam kondisi
tidak bersih.

Kami bisa langsung masuk karena kami akan mengikuti aktivitas Melukat di Pura Tirta
Empul.
Cara pakai kain untuk wanita
Cara pakai kain untuk pria

Melukat adalah ritual pembersihan diri menggunakan sumber air suci. Pengunjung pun bisa
ikut serta dalam aktivitas Melukat di Pura Tirta Empul.

Sebelum memasuki Pura, bagi pengunjung yang akan mengikuti aktivitas Melukat
diharuskan mengganti pakaian dengan sebuah kain yang telah disediakan dengan biaya Rp.
15.000/orang.

Kami akan diberikan satu helai kain satin berwarna hijau dan satu helai obi untuk pengikat di
bagian pinggang yang berwarna merah. Kami diberikan 2 kunci loker karena ukuran loker
terbilang besar. Cukup diisi dengan 3 tas dan sepatu atau sendal bawaan.

Sebelum kami memasuki loker, Bli yang menjaga didepan memberikan kami pengarahan
cara memakai kain untuk wanita dan pria.

Cara menggunakan pakaian untuk Melukat :


Cara pakai kain untuk wanita yaitu arahkan kain dibagian belakang tubuh setelah itu tarik
kain kebagian depan dengan cara lilitkan bagian ujung kanan dan ujung kiri ke leher setelah
itu ikatkan pada bagian punduk leher setelah itu kain berwarna merah di ikat dibagian
pinggang dengan simpul yang berada tepat disamping pinggang, bukan di ikat dibagian depan
atau belakang ya ladies.

Cara pakai kain untuk pria yaitu arahkan kain dibagian belakang pinggang setelah itu tarik
kain kebagian depan dengan cara ikatkan kain kebelakang lalu ikatan tersebut ditutupi dengan
kain berwarna merah menyerupai obi dengan simpul yang juga sama di bagian samping
pinggang.
Ritual doa sebelum memasuki Pura
Terdapat 14 pancuran di Tirta Pembersihan

Satu hal lagi, loker yang tersedia di Pura Tirta Empul campur jadi satu. Tidak ada tempat
yang berbeda antara wanita dan pria. Banyak yang kesulitan saat berganti pakaian karena
toilet yang tersedia hanya ada 4 ruangan saja sehingga banyak pengunjung yang berganti
pakaian didepan loker masing-masing.

Bahkan ada pengunjung yang saling membantu untuk menutupi tubuh temannya dengan kain
agar mereka bisa berganti pakaian atau kalau mau ganti ditoilet juga bisa tapi antriannya
sangat panjang.

Setelah selesai memakai kain, kami siap memasuki Pura Tirta Empul dimana kami tidak bisa
langsung masuk begitu saja karena ketentuan bagi umat Hindu yang akan sembahyang
diharuskan berdoa terlebih dahulu sebelum memasuki Pura. Kami bertiga pun menunggu
Rojack berdoa terlebih dahulu.

Pelataran Pura Tirta Empul memiliki bau yang khas dari dupa. Suasananya yang begitu ramai
dengan pengunjung tak membuat risih umat Hindu yang akan beribadah disana.

Beberapa kali saya melihat wanita berjajar rapi dengan mengenakan kebaya berwarna pink
muda yang dibaluti obi berwarna kuning dengan rambut yang dikepang disisi kiri, begitu
manis senyumannya saat melewati kami yang tengah menunggu Rojack berdoa.

Akhirnya kami pun memasuki Pura Tirta Empul yang memiliki 3 kolam dengan fungsi dan
arti yang berbeda. Kolam pertama yang kami masuki memiliki 14 pancuran yang bernama
Tirta Pembersihan. Disana ada 2 pancuran yang harus dihindari yaitu Tirta Pengentas I dan
Tirta Pengentas II dimana yang artinya adalah untuk mensucikan mereka yang telah tiada.

Ada 6 pancuran di Tirta Upakara

Kolam kedua bernama Tirta Pelebur (Kutukan dan Sumpah). Setelah kami melewati 14
pancuran yang berada di Tirta Pembersihan, kami pun harus naik 2 tangga yang telah tersedia
dan berpindah ke kolam sebelahnya.

Disana tersedia hanya 2 pancuran saja, saat saya melewati kedua pancuran tersebut ada yang
mengisi air tersebut ke dalam botol. Air suci tersebut akan dipakai kembali untuk
sembahyang.

Kolam Terakhir terdapat di sisi barat yang bernama Tirta Upakara (Tirta Penyakit Berat)
yang memiliki 6 pancuran. Tiap pancuran yang berbentuk menyerupai keong besar memiliki
makna tersendiri yaitu Tirta Gering, Tirta Leteh, Tirta Penyakit Berat, Tirta Pengulapan, Tirta
Pengenteg Beras dan Tirta Kesejahteraan Keluarga.

Saya dan Jeje ikut serta Melukat di Pura Tirta Empul

Tata Cara Melukat :

 Persiapkan pakaian untuk Melukat


 Siapkan Canang atau sesajen untuk disimpan diatas pancuran
 Setelah menyiapkan Canang, siapkan dupa yang telah dibakar dan didoakan
 Mulai memasuki kolam, pada setiap pancuran melakukan ritual doa dengan kedua
tangan bertemu dengan posisi sejajar dengan dahi
 Setelah berdoa, basuh bagian kepala dan basuh bagian muka sebanyak tiga
kali, berkumur sebanyak tiga kali lalu minum sekali

Gimana? Kamu tertarik gak mencoba ritual Melukat di Pura Tirta Empul. Ingat, jika kamu
mencoba ritual Tirta Empul jangan sesekali menggangu umat Hindu saat melakukan ritual
tersebut. Antri lah saat akan melewati beberapa pancuran yang berbentuk seperti keong besar.

Sumber air yang berasal dari tiap pancuran bisa diminum. Airnya pun sangat segar, dingin
dan juga jernih. Sebenarnya di Pura Tirta Empul terdapat 33 pancuran namun kini menjadi 22
pancuran saja yang dapat digunakan. Ada beberapa pura yang tidak dapat kami masuki,
didekat Pura Tirta Empul terdapat Istana Presiden yang begitu megah dan tidak dibuka untuk
umum.
Kolam ikan yang terdapat diarah Pintu keluar

Pintu keluar Pura Tirta Empul berbeda dengan arah kami masuk. Kami harus bertolak ke arah
Istana Presiden lalu belok kiri dimana ada sebuah pintu seperti akan memasuki Pura padahal
bukan. Disana terdapat kolam besar yang berisikan ikan.

Ada satu keanehan yang saya lihat di kolam itu. Kolam besar tersebut terbagi menjadi 2
bagian dengan pembatas yang lebih tinggi. Anehnya adalah di kolam yang lebih kecil semua
ikan berkumpul memadati luasnya kolam.
Padahal di kolam yang lebih besar terdapat 2 ikan yang dengan senangnya berlarian kesana
kemari macam dua sejoli lagi kasmaran. Entah mengapa kolam besar itu hanya ada 2 ikan
saja sedangkan di bagian kolam kecil, semua ikan berkumpul jadi satu.

Tak hanya itu saja, banyak sekali penjual yang berjajar menyajikan aneka makanan, minuman
dan juga oleh-oleh khas Bali. Bahkan ada juga yang berjual pakaian. Sehingga pengunjung
tak perlu khawatir jika lupa bawa baju ganti.

Sekian pengalaman saya mengunjungi Pura Tirta Empul. Saya merasa sangat berkesan sekali
dapat merasakan Ritual Melukat di Pura Tirta Empul.

CONTOH MAKALAH

DAFTAR ISI

1. Temuan selama observasi di Pura Tirtha Empul


1.1. Sejarah Desa Tampak Siring
1.2. Geografi
1.3. Struktur kepengurusan Desa adat Manukaya
1.4. Lokasi Pura Tirtha Empul
1.5. Sejarah Pura Tirtha Empul
1.6. Struktur Pura Tirtha Empul
1.7. Status dan upacara
1.8. Jenis peninggalan purbakala
1.9. Larangan – larangan ( Etika masuk Pura Tirtha Empul)
1.10. Waktu yang baik untuk melukat(melebur)
2. Bentuk dan manfaat Tirtha yang terdapat di taman suci Tirtha Empul
2.1. Bentuk pancaka Tirtha taman suci Pura Tirtha Empul
2.2. Fungsi Pura Taman dalam penyucian
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
OBSERVASI DI PURA TIRTA EMPUL DI DESA MANUKAYA TAMPAKSIRING

1. Temuan Selama Observasi


1.1 Sejarah Desa Tampaksiring
Desa Manukaya merupakan sebuah desa tua dengan ditemukannya bukti-bukti
peninggalan kuno atau kepurbakalaan, berupa batu tertulis yang sampai kini tersimpan di
Pura Sakenan di Banjar/Dusun Manukaya Let. Pada batu tersebut disebutkan bahwa
pendirian Pura Tirta Empul pada jaman pemerintahan Raja Kesari Warmadewa. Adapun isi
perasasti Sakenan Manukaya disebutkan sebagai berikut : Candra-Bhaya-Singa-Warmadewa.
Baginda inilah yang membangun telaga (tempat mandi). Di Desa Manuk Raya yang sekarang
disebut Manukaya. Telaga itu hingga kini masih ada dengan dinamai Tirtha Empul, yakni
diatas Desa Tampaksiring. Adapun batas-batas desa Manukaya adalah sebagai berikut :
sebelah utara Dusun Susut (Kab. Bangli), di sebelah timur Desa Tiga (Kab. Bangli), di
sebelah selatan Desa Tampaksiring (Kab. Gianyar) dan di sebelah barat Dusun Pupuan
Tegalalang (Kab. Gianyar). Dalam legenda Mayadanawa yang masih dihayati oleh
masyarakat di sana terjadinya Desa Manukaya.
Pura Tirta Empul terletak di sebuah lembah sebelah timur Desa Tampaksiring di
kelilingi perbukitan dan persawahan yang bertingkat-tingkat.Tirtha Empul (sumber air)
terdapat bagian dalam pura di wewidangan madyamandala pura. Dari sumber air itulah
mengalir air yang keluar dari pancoran-pancoran yang memiliki mana dan fungsi dalam
berbagai upacara di daerah itu. Di sebelah barat sumber air itu berdiri Istana Presiden
Tampaksiring yang sangat asri.
Secara etimologi, Tirta Empul berasal dari dua kata, yaitu Tirtha yang berarti “Air
Suci” dan Empul yang berarti “Mata Air” (kelebutan) atau“Muncrat” (menyembur).
Berdasarkan legenda, air ini muncrat karena panah Bhatara Indra saat berperang melawan
Raja Mayadanawa. Mayadanawa dikatakan sebagai raja yang sangat sakti yang menganggap
dirinya sebagai Dewa. Ia memerintah seluruh rakyat di wilayah kekuasaannya untuk
bersembahyang menyembah kepadanya. Atas kelakuannya itu Bhatara Indra sangat marah.
Beliau selanjutnya mengirim pasukannya utuk membunuh Raja Mayadanawa.
Pada zaman itu, ada seorang pendeta bernama Mpu Sangkul Putih yang memiliki
kekuatan magis sangat sedih melihat keadaan ini. Kemudian Sang Empu bersemadi di Pura
Besakih untuk memohon kehadapan Tuhan agar mampu mengatasi kekacauan dalam
kehidupan masyarakat Bali, yang diakibatkan oleh keangkuhan/kesombongan rajanya. Empu
Sangkul Putih kemudian mendapat tuntunan dari Hyang Mahadewa untuk pergi ke Jambu
Dwipa (India) untuk minta bantuan kepada Dewa Pasupati.
Diceritakan bahwa Dewa Indralah yang memimpin pasukan dari surga, dengan
persenjataan yang lengkap datang ke Bali. Dalam penyerangan itu, Citrasena dan Citragada
memimpin pasukan pada sayap kanan, dan Sang Jayantaka memimpin sayap kiri sedangkan
Gandarwa memimpin pasukan utama. Bhagawan Narada dikirim untuk memata-matai istana
Mayadanawa. Mayadenawa mengetahui krajaannya akan diserang oleh pasukan Bhatara
Indra melalui beberapa mata-mata yang disebarnya, maka Mayadenawa mempersiapkan
pasukannya untuk menghadapi serangan pasukan dari surga. Perang yang mengerikan tidak
terelakkan yang menyebabkan beberapa korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun,
karena pasukan Bhatara Indra lebih kuat, akhirnya pasukan Mayadanawa melarikan diri dan
meninggalkan rajanya dan pembantunya yang bernama Sri Kala Wong. Karena menjelang
petang perangpun dihentikan.
Pada malam hari, saat pasukan dari surga tertidur lelap, Mayadanawa membuat air
beracun dekat tempat tidur tentara Dewa Indra. Ia meninggalkan tempat itu, dengan berjalan
dengan sisi kaki miring untuk menghilangkan jejak. Tempat itu akhirnya disebut
dengan Tampaksiring, yang berasal dari kata bahasa Bali yaitu Tampak yang berarti “Jejak”
dan siring yang berarti “Miring/condong”.
Pada keesokan harinya, pasukan dari surga bangun dari tidurnya dan minum air yang
dibuat oleh Mayadanawa. Akibatnya semua pasukan Dewa Indra itu mati. Melihat semua
pasukannya meninggal, Dewa Indra segera mencipta air dengan menancapkan tombak ke
tanah. Selanjutnya keluarlah air yang amat besar. Para apsara minum dan mandi dengan
senangnya. Bhatara Indra menggunakan air ciptaannya itu untuk memerciki pasukannya yang
telah meninggal. Merekapun hidup kembali untuk melanjutkan peperangan dengan
Mayadanawa. Bhatara Indra dan pasukannya terus memburu Mayadanawa yang telah
melarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelariannya itu ia mengubah dirinya
menjadi “Manuk Raya” (burung besar). Tempat itu sekarang dikenal dengan Desa
Manukaya.
Mayadanawa tidak dapat mengatasi kesaktian Bhatara Indra. Ia mengubah dirinya
berkali-kali seperti menjadi buah timbul (sejenis sukun),busung (janur), susuh, bidadari dan
akhirnya menjadi batu. Tempat-tempat Mayadanawa mengubah dirinya menjadi buah timbul
sekarang disebut Desa Timbul. Tempat ia mengubah dirinya menjadi busung (janur) disebut
Desa Blusung. Desa tempat ia merubah diri manjadi bidadari (mahluk kahyangan) disebut
Desa Kendran. Akhirnya Bhatara Indra dapat membunuh Mayadanawa darahnya mengaliri
sungai Petanu. Sungai itu dikutuknya jika airnya dipakai mengaliri sawah, padinya akan
tumbuh cepat tetapi saat dipanen, bulir-bulir padi itu mengeluarkan darah yang berbau busuk.
Kutukan itu akan berakhir dalam jangka waktu seribu tahun. Air sungai Petanu tidak
diperbolehkan untuk diminum, mandi dan irigasi, karena tercemar oleh darah Mayadanawa
(Subaga, 1968 : 98).
Kematian Raja Mayadanawa merupakan kemenangan kebaikan(dharma) melawan
kejahatan (adharma). Hari kemenangan itu dirayakan setiap enam bulan (210 hari) sekali
sebagai Hari Raya Galungan. Dengan kesaktian yang dimiliki oleh Mayadanawa yang dapat
mengubah dirinya menjadi berbagai benda, masyarakat tidak gampang percaya bahwa Raja
Mayadanawa itu benar-benar mati. Untuk mengatasi rasa takut masyarakat, pernyataan resmi
dibuat sepuluh hari kemudian yakni pada Hari Raya Kunungan.
Istilah Kuningan kemungkinan etimologinya dari kataNguningang yang berarti
mengumumkan suatu agar diketahui oleh masyarakat luar.
Versi lain dari Galungan adalah penghormatan kepada roh leluhur yang turun dari
kahyangan ke mercapada (dunia ini). Kuningan adalah upacara penghormatan
untuk Mewali (Kembali ke Kahyangan). Masyarakat di Tampaksiring percaya bahwa Tirtha
Empul merupakan kemurahan khusus atau Paica yang diberikan oleh Dewa Indra. Airnya
dipercaya memiliki khasyat dapat menyembuhkan beberapa penyakit baik medis (terutama
penyakit kulit), yang digunakan dalam berbagai upacara karena itu banyak masyarakat dari
luar daerah itu memohon keselamatan. Air Empul mengaliri Sungai Pakerisan. Sepajang
aliran sungai itu, banyak ditemukan peninggalan arkeologi (Purbakala).

1.2 Geografi
Desa Manukaya terdiri dari 12 dusun (dinas) dan sepuluh Desa Adat. Ke 13 dusun
tersebut adalah : Dusun Manukaya Let, Dusun Manukaya Anyar, Dusun Tatag, Dusun
Bantas, Dusun Malet, Dusun Penempahan, Dusun Mancingan, Dusun Penedengan, Dusun
Basangambu, Dusun Belahan, Dusun Keranjangan dan Dusun Temen. Adapun batas-
batasnya adalah sebagai berikut :
Sebelah utara : Dusun Susut (Kabupaten Bangli), sebelah timur : Desa Tiga (Kabupaten
Bangli), sebelah selatan : Desa Tampaksiring (Kabupaten Gianyar) dan sebelah barat : Dusun
Pupuan Tegalalang (Kabupaten Gianyar).
Desa Manukaya berlokasi satu kilometer dari ibu kota kecamatan, 18 kilometer ke
ibu kota kabupaten dan 35 kilometer ibukota propinsi. Waktu tempuh dari ibukota kabupaten
adalah 60 menit dan dari ibukota propinsi lebih kurang 1,5 jam.
Luas wilayah Desa Manukaya adalah 14,96 km2, yang terdiri atas 141,00 sawah,
871,75 tegalan (kebun), 6,97 pekarangan, keadaan fotografi Desa Manukaya termasuk
dataran tinggi 700-800 meter dari permukaan laut. Desa Manukaya memiliki curah hujan 280
mm/tahun dengan suhu yang sedang.
Jalan-jalan yang menghubungkan banjar satu ke banjar yang lain tergolong baik dan
teraspal (pengerasan). Desa Manukaya dilalui oleh jalan negara khususnya Banjar
Basangambu sampai dengan Bajar Temen yang yang berbatasan dengan Kabupaten Bangli.
Desa Tampaksiring ke Desa Manukaya juga dihubungkan oleh jalan negara yaitu menuju
Istana Negara Tampaksiring, sehingga transportasi menjadi lancar.
1.3 Struktur Kepengurusan Desa Adat Manukaya
- Bendesa Adat Tirta Empul : Made Mawi Arnatha
- Penyarikan Desa Adat Tirta Empul : Made Kuntung
(Bendahara)
- Penyarikan Tempekan Manukaya : Ketut Sandra
- Penyarikan Tempekan Tatag : Ketut Beratha
- Penyarikan Tempekan Bantas : Wayan Winada
Dibantu oleh masing-masing Dusun antara lain : Manukaya : Made Kuntung, Tatag : Made
Yatna dan Dusun Bantas oleh Made Sarna. Perangkat kepengurusan Tambahan antara lain :
Pemangku 3 orang, sekeha gong 60 orang, sekeha baris (baris bedil, baris tombak) 120 orang,
sekeha Rejang 50 orang dan pecalang 50 orang berasal dari Desa Manukaya Let dan Bantas.

1.4 Lokasi Pura Tirtha Empul


Tirta Empul terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Daerah Tingkat
II Gianyar. Jarak kota Kecamatan Tampaksiring dari Tirta Empul 3 Km, dari kota Gianyar 15
Km dan 40 Km dari kota Denpasar. Dengan mengendarai sepeda motor Pura Tirta
Empul dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih 60 menit (1 jam) dari kota Denpasar
menuju kota Gianyar, ke Mas, Bedulu dan ke Pejeng sehingga tercapai Pura Tirta Empul.
Luas PuraTirta Empul kurang lebih 3 Ha secara keseluruhan bidang tanah yang menjadi
komplek pura tersebut.
Batas-batas Pura Tirta Empul sebagai berikut : disebelah utara tanah tegalan milik
masyarakat, disebelah timur mengalirnya sungai Pakerisan dengan air yang jernih (Pura
Pegulingan/Banjar Basang Ambu), sebelah selatan diberikan kios-kios dan sebelah barat
dibatasi oleh Istana Kepresidenan Republik Indonesia masa pemerintahan presiden Soekarno.
Dengan dinaungi oleh pepohonan yang rindang dan udara yang sangat segar, terpadu
dengan panorama, disandingi oleh suara burung, gemercikan air pancuran yang membiaskan
rasa dan kedamaian, mencerminkan kepuasan hati yang lega. Banyak umat berdatangan
bukan hanya sekedar berekreasi melainkan bertirtayatra yaitu menyucikan, mengheningkan
diri baik sekala maupun niskala.
1.5 Sejarah Tirta Empul
Pura Tirta Empul sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Hindu di Bali
bahkan sudah sampai di kalangan wisatawan nusantara maupun mancanegara. Tirta
Empul sebagai salah satu tujuan wisata sudah masuk ke dalam kalender perjalanan wisata
daerah khususnya di Bali. Hampir setiap biro perjalanan wisata yang ada di Bali senantiasa
mencantumkan Tirta Empul sebagai satu obyek yang harus disinggahi terutama
paket tour yang berada di Bali tengah (Denpasar-Tampaksiring-Kintamani).
Tirta Empul terletak di sebelah barat Tukad Pakerisan, sedangkan disebelah barat
pura terdapat bukit kecil dimana di bukit itu berdiri dengan megahnya Istana Kepresidenan
Tampaksiring yang digagas oleh Presiden Soekarno. Sebagaimana namanya pura ini
mempunyai sumber mata air yang sangat jernih dan debit air yang cukup tinggi. Mata air ini
oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kekuatan yang dapat memberikan kehidupan dan
kemakmuran. Mata air suci ini terletak di bagian timur jaba tengah pura, dari mata air ini
sebagian dialirkan ke sawah, jaringan irigasi, yang dapat mengiri sawah yang cukup luas di
desa Pejeng dan dialirkan ke sebuah kolam pemandian yang ada di sebelah selatan dan
sebagian lagi dialirkan ke Tukad Pakerisan yang jaraknya hanya beberapa meter.
Pandangan yang begitu kuat di kalangan masyarakat maka tidak sembarangan orang
dapat masuk ke areal kolam. Masa berikutnya lalu dilengkapi dengan bangunan suci sehingga
menjadi sebuah pura yang bernama Pura Tirta Empul. Hal ini menandai ada perubahan dalam
sistem kepercayaan masyarakat dari bentuk pemujaan yang sangat sederhana menuju kepada
bentuk yang komplek sesuai dengan dasar-dasar arsitektur nasional yang dilandasi oleh
agama Hindu. Itulah sebabnya dalam pura ini terdapat perpaduan yang harmonis antara
konsep pura dengan bangunan tradisional dan konsep taman.
Dimasa lalu di depan pura ini adalah sebuah kolam pemandian umum dilengkapi
warung souvenir. Namun karena adanya penataan kembali lingkungan pura ini maka kolam
beserta warung-warung souveniritu telah dipindahkan ke arah timur sehingga memberi nilai
keindahan tersendiri bagi objek tersebut.
Pura Tirtha Empul merupakan depresentasi dari Pura Taman yang dikembangkan
oleh para penguasa masa lalu. Pemilihan mata air ini sebagai lokasi tempat suci tampaknya
sangat bersesuaian dengan konsep-konsep India kuno yang mengisyaratkan bahwa lokasi
sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan tirtha. Karena itu tidaklah mengherankan
apabila di sepanjang Tukad Pakerisan ditemukan cukup banyak bangunan-bangunan candi
atau Pura.
Berbicara mengenai keaslian dari Pura ini sulit untuk bisa dijelaskan karena tidak
diketahui wujud fisik bangunan sebelum menjadi sebuah Pura yang ditata dengan konsep
arsitektur tradisional Bali tersebut. Demikian pula bagaimana bentuk utuh dari bangunan
pemujaan sebelum dilengkapi dengan pelinggih.
Pura Tirtha Empul terletak di Dusun Manukaya Let, Desa Manukaya Kecamatan
Tampaksiring Bali. Untuk mengungkap pendirian Pura ini beberapa sumber yang dapat
digunakan yaitu artefaktual dan prasasti batu. Sumber Artefaktual yang ditemukan itu tidak
banyak membantu mengungkap sejarah, tetapi diketemukan prasasti yang dipahat di sebuah
batu ikut membantu upaya dalam menjelaskan sejarah situs tersebut. Pura ini sudah dikenal
sejak tahun 1925.
Tersebutlah seorang raja yang bernama Mayadanawa memerintah di kerjaan Bedulu.
Raja itu bersifat angkara murka, menganggap dirinya sebagai dewa yang patut dipuja dan
disembah, serta melarang rakyatnya sembahyang atau mengaturkan saji-sajian kepada Dewa
ataupun kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di mempunyai beberapa orang
kepercayaan antara lain : Maha Patih Kolo Wong, Tumenggung Mangsa Yaksa, Demung Sila
Yaksa, Mantri Senakala, Patih Darma Wisila dan Patih Sura punggung. Sifat buruk
Mayadanawa terdengar oleh Bhatara Mahadewa, lalu beliau menghadap Bhatara Pasupati
yang dipuja di gunung Mahameru. Disana dibicarakan bagaimana caranya melenyapkan
Mayadanawa yang bersifat angkara murka serta merusak ajaran agama tersebut. Untuk
keperluan itu maka disepakati mengirim Bhatara Indra yang diikuti oleh mahapatih Raja
Mong, Mantri Bayu Suta, Sang Sena Raja Brahma, Citranggada, Citrasena dan Kayanta.
Kedatangan Bhatara Indra serta pengikut-pengikutnya terdengar oleh Mayadanawa,
maka beliaupun segera memerintahkan bala tentara agar siap tempur menghadapi Bhatara
Indra. Pertempuran segera berkobar dengan sengitnya, banyak sekali tentara Mayadanawa
terbunuh dalam pertempuran itu, Setelah merasa dirinya tidak tahan lagi menghadapi amukan
bala tentara Bhatara Indra, Mayadanawa bersama-sama dengan patih Kala Wong, melarikan
diri dan dikejar oleh pasukan Bhatara Indra.
Dalam pengejaran itu, Mayadanawa bersembunyi di beberapa tempat, pertama
dikala Mayadanawa bersembunyi di sebuah pohontimbul serta mengubah dirinya menjadi
serupa dengan tempatnya bersembunyi. Bhatara Indra memanah pohon tersebut dan
Mayadanawapun keluar dari persembunyiannya serta melarikan diri ke Kendran berwujud
sebagai seorang widiadara. Setelah Mayadanawa terkejar lehernya terpenggal oleh Bhatara
Indra. Dalam keadaan kepayahan itu, Mayadanawa masih sempat melarikan diri ke Blusung
serta menyamar menjadi busung (daun kelapa muda). Busung itupun dipanah oleh Bhatara
Indra. Mayadanawa kembali ke wujud aslinya dan melarikan diri ke Sauh Batu. Batu itu
dikapak oleh pengikut-pengikut Bhatara Indra, maka Raja yang malang tersebut, melarikan
diri lagi menuju Penyusuhan dan disini berubah menjadi susuh. Setelah susuh dipatuk,
Mayadanawa berubah menjadi seekor burung besar dan terbang menuju Desa Manukaya.
Setiba disana, mataharipun terbenam sehingga peperangan terpaksa dihentikan.
Pada waktu malam harinya, Mayadanawa dan Kala Wong melakukan tipu muslihat
untuk membunuh bala tentara Bhatara Indra. Mereka menciptakan yeh cetik (air racun) agar
nantinya diminum oleh bala tentara Bhatara Indra, mengingat mereka pasti haus setelah
bertempur sengit pada siang harinya. Tipu muslihat itu ternyata mengenai sasaran. Melihat
keadaan yang gawat itu, Bhatara Indra memancangkan tunggul(semacam tombak) di
sebelah yeh tersebut. Seketika keluarlah dari dalam tanah tirtha amerta pengentas urip yang
juga secara lebih khusus disebutTirtha Empul itu.
Keesokan harinya pengejaran terhadap Mayadanawa dilanjutkan. Dengan menyamar
sebagai pendeta, Mayadanawa dan Kala Wong menuju Desa Tampaksiring. Setelah sampai di
Pangkung Patas, mereka merubah wujudnya menjadi taulan paras (sejenis palung suci
daripada batu padas) Taulan paras tersebut dihujani panah oleh bala tentara Bhatara Indra
dan keluarlah darah menyembur dari togog sucitersebut yang pada hakekatnya merupakan
darah Mayadanawa. Maka tamatlah hidup Raja Mayadanawa sang angkara murka itu.
Aliran darahnya itu mengalir menjadi Sungai Petanu dewasa ini. Dalam desertasi Dr.
Weda Kusuma, 2002 dijelaskan bahwa : “ Darah yang keluar dari mulut Mayadanawa
mengaliri air Petanu. Air tersebut tidak boleh diminum, digunakan untuk mandi, cuci muka
dan dijadikantirtha. Pada pertapa yang menggunakan air tersebut akan mendapat malapetaka,
tapanya tidak akan berhasil karena air itu diyakini bersumber dari darah raksasa. Atas
kematian Mayadanawa, ibunya (Dewi Danu) marah, menyebabkan air danau mendidih.
Beliau ingin menghadap Dewa Indra namun tidak kesampaian karena terkejut
oleh kuakan (suara) gajah Dewa Indra. Dewi Danu mengutuk siapa yang memlihara gajah di
Bali akan selalu mendapat malapetaka, demikian juga orang membawa dan mendatangkan
gajah ke Bali akan mendapatkan malapetaka tenggelam di laut (KMD,XV : 1 - XVI : 2).
Berdasarkan Usana Bali, Kusuma Dewa, Raja Purana dan Piagam Batu tertulis yang
terdapat di Pura Sakenan Manukaya Let dapat disimpulkan sebagai berikut : kemungkinan Sri
Mayadanawa berasal dari sekitar Danau Batur kalau diperhatikan dari mana
baginda. Maya berarti Gaib dan Danawaberasal dari daerah danau. Ayah Baginda beranama
Bhagawan Kasyapa. Menurut cerita Hindu, Bhagawan Kasyapa adalah penganut aliran
agama Budha Hinayana. Paham ini tidak mengakui adanya dewa-dewa di kekuasaan
mahadewa, seperti yang diajarkan oleh agama Siwa dan Budha-Mahayana. Itulah pokok
pangkal perbedaan Agama Budha Hinayana yang dipimpin oleh Sri Mayadanawa dengan
Agama Siwa-Budha-Mahayana dibawah pimpinan Baginda Sri Candra Bhaya Singa
Warmadewa (Subaga, 1968 : 23).
Mayadanawa menganut aliran Budha Hinayana dikalahkan oleh Sri Candra Bhaya
Singa Warmadewa yang menganut ajaran Siwa dari India. Untuk mengenang jasa-jasa Sri
Candra Singa Bhaya Warmadewa yang mempunyai kekuatan menyamai Dewa Indra maka
dibuatkanlah pelinggih yang berupa Tepasana (Hasil wawancara I Gusti Ngurah Swastika, 1
Maret 2014). Data-data sejarah menyatakan bahwa : ajaran agama Hindu dari India ke Bali
sebenarnya di bawa oleh keturunan Panca Pendawa (terdapat pada adi parwa).
1.6 Struktur Pura Tirtha Empul
Perbedaan-perbedaan kecil dapat ditemukan dalam komplek PuraTirta Empul, jika
dibandingkan dengan kebanyakan pura di Bali, misalnya letak dan bentuk pintu masuk ke
halaman pura suci itu, namun struktur pokok atau struktur dasar pura itu masih tetap
dikatakan sama dengan struktur pokok pura-pura di Bali pada umumnya. Keseluruhan
kopleknya tersebut terdiri atas tiga halaman yaitu : Jabaan (halaman luar), Jaba
Tengah(halaman tengah) dan Jeroan (halaman dalam yang merupakan bagian yang tersuci
dari keseluruhan komplek pura).
Masing-masing halaman tersebut diatas ada sejumlah bangunan yang mempunyai
fungsi-fungsi tertentu yaitu sebagai berikut :
1. Bangunan-bangunan di jabaan (halaman luar).
Wantilan yang digunakan sebagai tempat musyawarah dan tempat mesandekan bagi para
pemedek/umat Hindu yang akan ngaturang bakti.
2. Bangunan-bangunan di jaba tengah.
Jaba tengah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu komplek Petirthan dan
komplek Pewaregan (dapur).
Dibagian petirtan terdapat sejumlah pancuran dan beberapa bangunan yaitu :
1) Pancuran Pancaka Tirta, terdiri dari lima pancuran yang airnya digunakan untuk
keperluan Upacara Panca Yadnya.
2) Pancuran permandian laki-laki, yang pancurannya berjumlah 8 pancuran.
3) Pancuran permandian wanita, yang pancurannya berjumlah 13 buah.
4) Pancuran Wong Camah, yang menghadap kebarat ada 5 pancuran
5) Bale Pegat, bale ini bertiang delapan berfungsi sebagai pelinggih Bhatara Sedahan Bagawan
Penyarikan.
6) Bale Agung, merupakan pelinggih untuk Betara di Tirta Empul. Balai ini dengan denah dasar
segi empat panjang, bertiang 10 buah diukir dengan prada gede dengan beratap ijuk.
7) Bale Pegambuhan, tempat ini tempat diselenggarakannya Tari Gambuh yang dipertunjukkan
pada hari piodalan di Pura Tirta Empul.
8) Bale Lingga-Yoni.
Di bangunan ini terletak Lingga Yoni yang terbuat dari batu.
9) Taman Suci, terletak di bagian Timur jaba tengah, berupa sebuah telaga, ada beberapa
pancuran yang mengalirkan air telaga itu.
Bangunan-bangunan yang berada di komplek pewaregan adalah :
1) Gedong Beras, tempat menyimpan beras untuk keperluan upacara yang dilaksanakan untuk
keperluan pura tersebut.
2) Pewaregan, tempat orang memasak segala saji-sajian untuk keperluan upacara yang
bersangkutan.
3) Bale Penandingan, tempat mempersiapkan saji-sajian sebelum dihaturkan di pelinggih-
pelinggih yang telah ditentukan.
4) Bale Penandingan Pulakerti, bangunan ini digunakan sebagai tempat saji-sajian yang
dipersembahkan kepada para Dewa waktu dilakukan upacara penyucian.
5) Bale Penyelam, balai ini khusus dipakai untuk memasak daging (kecuali daging babi dan
sapi), yaitu daging itik, daging ayam, kerbau dan sebagainya.
6) Bale Kul-kul, yang menjulang cukup tinggi. Kul-kul (kentongan dari kayu) di gantung. Kul-
kul itu dibunyikan pada saat memanggil Desa (penyungsung) pura untuk berkumpul
bermusyawarah.
7) Bale Gede, khusus sebagai tempat memasak daging babi.
8) Bale Pertemuan, tempat para tamu yang datang pada waktu diadakan atau dilaksanakan
upacara

Bangunan-bangunan di Utama Mandala yang terdapat di halaman yang suci ini


adalah sebagai berikut :
1) Tapasana, merupakan pelinggih Bhatara Indra.
2) Limas, yang terletak di sebelah timur bangunan Tepasanadan menghadap keselatan. Lewat
bangunan ini di puja Bhatara di Gunung Agung.
3) Ada tiga bangunan yang disebut Gedong berderet di bagian timur halaman jeroan menghadap
ke barat, yang paling utara tempat memuja Bhatara Gunung Batur dan yang kedua buah lagi
disebut Penyineban, tempat penyimpanan arca-arca dewa.
4) Paruman Agung, Bangunan ini bertiang 12 dan beratap ijuk, dipandang sebagai tempat
pertemuan para Dewa yang turun pada waktu diadakan upacara di Pura Tirta Empul.
5) Bale Peselang, terletak disebelah selatan Paruman Agung, bertiang tujuh dan beratap ijuk,
semua tiang kayunya di ukir dan diprade sehingga kelihatan sangat menakjubkan. Balai ini
merupakan pelinggih Bhatara Kabeh, tempat mensyukuri panen yang berhasil.
6) Balai Pawedan, tempat duduk pendeta pada waktu memimpin upacara dan mengucapkan
mantra-mantranya. Bangunan ini bertiang delapan dan beratap ijuk, letaknya di bagian
tengah jeroan.
7) Gedong Agung, letaknya di sebelah timur Tepasana, tempat menyimpan perhiasan untuk para
dewa seperti permata, cincin, bunga mas, gelang dan lain sebagainya.
8) Gedong Sari, tempat memuja Dewi Sri atau Dewi kesuburan.
9) Balai Pamereman, dipandang sebagai tempat peraduan para Dewa.
10) Piyasan Pengelurah Agung, terletak di sebelah timur balai Pamereman, tempat memuja roh
suci orang-orang yang terhormat. Denah dasar bangunan ini berbentuk bujur sangkar dan
bangunannya sendiri bertiang enam.
11) Piyasan Ida Dewa Galiran, yaitu sebagai pelinggih Bhatara Ida Dewa Galiran.
12) Balai Penganteb, bertiang enam beratap ijuk. Bangunan ini merupakan tempat para
pemangku menghaturkan saji-sajian kepada para Dewa.
13) Balai Gong, tempat menabuh gong , yang berfungsi mengiringi upacara. Bangunan suci
bertiang 10 dan beratap ijuk.
14) Balai Pecanangan, berbentuk bujur sangkar dan bertiang 12. Dibangunan ini disimpan
saji-sajian sebelum dihaturkan di beberapa pelinggih.
1.7 Status dan Upacara
Pura Tirta Empul merupakan pura cagar alam yang dilindungi oleh Dinas Purbakala
Propinsi Bali, disamping sebagai Pura Kahyangan Jagat(penyungsungan gumi). Pura Tirta
Empul disungsung oleh Banjar Manukaya dan Banjar Timbul.
Desa Adat manukaya Let bertanggung jawab penuh segala urusan yang
menyangkut wewangunan dan piodalan (wali) yang diselenggarakan secara rutin maupun
setiap paruman wali (setiap odalan/upacara). Walaupun secara
fissik diempon/disungsung oleh Desa Manukaya Let, sama sekali bukan berarti umat yang
berasal dari luar Tampaksiring dilarang sembahyang kesana.
Pembangunan fisik dan penyelenggaraan upacara-upacara di Pura itu biayanya tidak
sedikit. Menurut informasi dari Bendesa Tirta Empul Made Mawi Arnatha tanggal 1 Maret
2014 menyatakan sebagai berikut :
1. Dari pemasukan selendang dan lain-lain tiap 1 tahun sebesar Rp. 200.000.000
2. Hasil laba berlokasi di Tampaksiring 23 sikut dan Payangan (Subak Kasur Sari) sebanyak
45 kecoran dan ditambah sebidang kebun tidak begitu luas.
3. Setiap odalan di Pura Tirta Empul Subak Kemba dan Pulaganngaturang sawinih, masing-
masing subak ngaturang 2 kg beras, 1 batang bambu, dan 1
lembar kelangsah (informasipekasih Kemba Dewa Nyoman Yadnya, 1 Maret 2014). Jumlah
subak Kamba dan subak Pulagan adalah 450 subak (kecoran) subak tersebut diatas setiap
tahun/saat piodalan ngaturangSuwinih.
Yadnya piodalan merupakan salah satu pelaksanaan tri kerangka dasar Agama Hindu
yang terdiri dari Tattwa, Susila (etika) dan Upacara (ritual). Dewa Yadnya merupakan salah
satu pelaksanaan Panca Yadnya yang rutin dilaksanakan di Pura Tirtha Empul.
Dalam pelaksanaan yadnya (upacara) di Pura Tirtha Empul dapat dibagi menjadi :
1. Upacara tingkat madya yaitu : mebagia pula kerti, nyatur, nyanggar tawang. Lamanya Ida
Bhatara nyejer kalau upacaraNgwayon diadakan di Pura Tirta Empul lamanya 11 hari. Kalau
tidak di Tirtha Empul di upacara ngwayon maka Ida Bhatara nyejer hanya 7 hari.
2. Sedang upacara pada nista jarang diadakan.
3. Menurut Bendesa Tirtha mengatakan karya pada tingkat utamabelum pernah dilaksanakan,
sepanjang beliau menjadi bendesa (Made Arnata, Wawancara, 1 Maret 2014).

Upacara tingkat menengah (madya) dilaksanakan tiap-tiap satu tahun sekali


bertepatan dengan purnama kapat yang jatuh antara bulan Oktober-Nopember. Upacara
tersebut biasanya disebut upacara Ngusaba Desa.
Upacara Ngusaba Desa, goal pemujaan secara fisik adalah air dan bumi, sehingga
yang dipuja dalam upacara ngusaba desa adalah Wisnu (air), Pertiwi Dewi (bumi). Tetapi
pelaksanaan pemujaan ini, agar air dan bumi (tanah) memiliki kekuatan dan kesuburan
sehingga semua tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur dengan daun, bunga, buah,
batangnya, ataupun umbinya, untuk dapat dinikmati oleh umat manusia, sehingga dapat
dicapai dan menikmati Santa Jagathita dalam hidup dan kehidupan ini, maka penekanan
pemujaannya adalah memuja sakti (kekuatan) (Oka Supartha, 2000 : 18).
Untuk melengkapi upacara diadakan pula pertunjukan tari-tarian sakral
berupa rejangan baris dap-dap, baris tumbak, wayang lemahdan topeng. Biasanya upacara
besar ini berlangsung antara 7 hari sampai dengan 11 hari. Pada upacara ngusaba desa di
selenggarakan tabuh rahtiga seet (tiga pasang petarung ayam) dengan catatan tidak ada
taruhan.
Upacara kecil (piodalan alit) diselenggarakan setiap enam bulan sekali yang jatuh
pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wayang (Tumpek Wayang). Pusat kegiatan ini bukan di Tirta
Empul melainkan Pura Agung Manukaya Let, karena disana disimpan pratima-
pratima/arca dewa yang dipuja di Pura Tirta Empul. Sesajen (upacara) yang dipersembahkan
lebih kecil daripada upacara ngusaba desa.
Upacara yang dilaksanakan setiap tumpek yang datang setiap bulan sekali, upacara
dibebankan kepada setiap banjar/dusun pengemongPura Tirta Empul. Khusus untuk upacara
di Pura Tirta Empul tidak boleh dipuput oleh pendeta. Seharusnya dipuput oleh pemangku
(Yan banggue) Ida Bhatara di Tirta Empul. Menurut Purana Mangening beliau sudah
mempunyai Bhagawanta secara khusus, yang mempunyai secara sekala niskala mengatur
upacara khusus di Pura Tirta Empul.
1.8 Jenis Peninggalan Purbakala
Pura Tirta Empul merupakan Pura kuno, karena peninggalan sejarah dan purbakala
Bali. Kalau dilihat bentuk bangunan yang kayu serba diukir dan polesan prada, seolah-olah
terkesan Pura itu baru. Berbicara masalah Pura Tirta Empul, dapat dilihat/dibuktikan bahwa
banyak benda bersejarah dan bangunan Tepasana.
Sejumlah batu alam banyak diketemukan baik di pelinggih yang terletak di sebelah
timur, barat dan selatan Tepasana. Agak jauh keselatan dari Tepasana bahkan
ditemukan lesung batu yang terdapat di halamanjaba tengah. Benda-benda/batu alam tersebut
diatas, merupakan warisan jaman kejayaan Megalitik (Jaman batu besar). Dimana batu alam
itu mempunyai fungsi pada kehidupan manusia mempunyai kekuatan gaib untuk meraih
keuntungan yang berkaitan dengan roh nenek moyang. Adapun bentuk batu alam tersebut
bisa berbentuk patung atau bangunan-bangunan tertentu.
Telaga merupakan suatu peninggalan sejarah dimana pembuatannya yang disebutkan
dalam Prasasti Manukaya (884 Isaka). Pada jaman itu Raja yang memerintah adalah Sri
Candra Bharga Singa Warmadewa.
Lingga Yoni merupakan konsep Purusa-Pradana sebagai konsep kesuburan dimana
Tuhan yang bersifat Wiguna Brahman-Saguna Brahma. Lingga Yoni itu berdiri di
belakang aling-aling candi bentar tempat keluar masuk jeroan Pura. Lingga Yoni berdiri di
atas bebatuan dan diapit oleh patung seekor sapi dan seekor singa. Lingga Yoni adalah simbol
pemujaan terhadap Siwa sekaligus saktinya Pemujaan terhadap Siwa sudah lama dilakukan
oleh penduduk Bali dari jaman Bali kema jaman sekte-sekte sebelum agama Hindu masuk ke
Bali Dalam Prasasti Canggal (732 masehi) yaitu mengenai lingga yang terletak di Gunung
Wukir. Pada jaman Bali Kema pemujaan terhadap lingga sudah dilakukan orang.
Lingga yang terdapat di Pura Tirta Empul mempunyai tiga bagian yaitu :
1. Siwabhaga (bagian atas berbentuk sitendris)
2. Wisnubhaga (bagian tengah yang bersegi delapan)
3. Brahmabhaga (bagian teerbawah yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Bagian
terbawah masuk kedalam cakung yang sengaja dibuat yoni yang ada di bawahnya)
Bangunan Tepasana yang sekarang merupakan hasil pemugaran bukan bentuk asli.
Tepasana dipugar tahun 1889 saka/tahun 1967 masehi oleh Lembaga Purbakala dan
Peninggalan Nasional di Gianyar bersama-sama dengan masyarakat Tampaksiring. Angka
tahun tersebut dinyatakan denganCandrasingkala yang berupa panil yang berisi gambar :
bulan yang bernilai 1, Gajah yang bernilai 8, Naga yang bernilai 8 dan Candi
Bentar/Lawang yang bernilai 9.
Bentuk secara keseluruhan bangunan suci tersebut tampak seperti piramide yang
terpancung yang bertingkat. Tepasana merupakan tempat duduk/altar Dewa Indra.

1.9 Larangan-larangan (Etika Masuk Pura)


Menurut Bendesa Adat Tirta Empul menyatakan, sangsi-sangsi pelanggaran sebagai
berikut :
1. Tidak diperbolehkan cuci muka di Pancaka Tirta.
2. Tidak diperbolehkan naik di atas pancuran dan di pelinggih(pura), sebel karena
kematian, sebel/kotor kain (datang bulan). Apabila larangan tersebut diatas dilanggar maka
dikenakan sangsi berupa upacara/banten Pasepuh-sepuhan yaitu Caru Panca Sata.
3. Kalau masuk ke Taman Suci (Narmada) akan dikenakan berupa upacara/banten Caru
Ngeresi Gana.
Demikian sangsi apabila melanggar aturan adat yang diterapkan oleh krama Desa
Adat Tirta Empul. Aturan tersebut diatas diterapkan semata-mata bukan berbau politis tetapi
untuk menjaga kesucian Pura agar tetap lesatari.

1.10. Waktu yang Baik untuk Melukat (Melebur)


Hari Purnama Tilem banyak masyarakat baik berasal dari Desa Tampaksiring
maupun diluar Desa Tampaksiring banyak nunaspenglukatan/melebur di permandian Tirta
Empul. Tujuannya untuk membersihkan segala dosa mala, baik
secara sekala maupun niskala (lahir dan bathin) dan sekaligus untuk mendekatkan diri
dengan Ida Bhatara yangmelinggih disana.
Demikian tujuan melebur/melukat pada hari Purnama dan pada hariTilem itu agar
apa yang dibersihkan, disucikan air itu dapat berfungsi dengan baik, sehingga manusia dapat
bekerja, membangun masyarakat yang adil, makmur dan bahagia.
Sucikanlah lidah dengan menyebut nama-nama Dewa. Pada hari Purnama memuja
Dewi Candra dengan mengucapkan mantra “OM, Ang Ah Candra Koti ya Namah”. Pada
hari Tilem memuja Dewa Surya dengan mengucapkan mantra “Om, Ung Surya Koti Ya
Namah” (Ananda Kesuma, 1985;57).

2. Bentuk dan Manfaat Tirtha yang Terdapat di Taman Suci


Tirtha Empul
2.1 Bentuk Pancaka Tirtha Taman Suci Pura Tirtha Empul
Taman Suci terletak dibagian timur jaba tengah pura Tirtha Empul, yang berupa
sebuah telaga. Sebagai sumber mata air yang mengalirkan air ke tempat permandian melalui
pancuran-pancuran. Telaga/taman suci itu dikelilingi oleh tembok dari batu padas dengan
ukiran yang cukup baik. Taman suci/telaga Tirtha Empul berbentuk persegi empat panjang
dengan ukuran panjang 2.590 cm dan lebar 1.605 cm dengan luas 156.950 cm2. Taman suci
sangat disakralkan oleh umat Hindu, karena sebagai sumber kehidupan (Tirtha) juga sebagai
tempat untuk melakukan suatu upacara makelem.
Didalam Taman Suci di atas terdapat tiga Arungan yang bentuknya
seperti temuku yang berfungsi sebagai pembagian air yang mengalir ke pemandian antara lain
:
1. Aliran Air melalui Arungan/temuku 1 (satu), merupakan pembagian dari Taman Suci
ke Pancaka Tirtha, berfungsi sebagai tempat Melis Ida Bhatara baik yang berasal dari
Tampaksiring maupun luar Desa Tampaksiring.
2. Aliran air melalui Arungan/temuku 2 (dua), ditujukan pada Pitra Yadnya
3. Aliran air melalui Arungan/temuku 3 (tiga), merupakan TirthaPengelukatan/pengeleburan
yang diperuntukkan kepada manusia.
Disamping berfungsi sebagai pembagian air/tirtha tersebut diatas, juga pembagian
air dari jaman dulu sampai kini air Tirtha Empuldipergunakan sebagai pengairan/pertanian
yaitu disubak Pulagan dansubak Kemba. Kenyataan tersebut menandakan begitu besarnya
perhatian penguasa jaman dulu baik di bidang parahyangan maupun kemakmuran rakyat.
Bentuk Pancaka Tirtha Taman Suci Air Empul di Desa Manukaya mempunyai bentuk
persegi empat sama sisi dengan ukuran 8m x 8m dengan dibentengi oleh
tembok penyengker yang besar dan kokoh. Adapun fungsi tembok tersebut adalah untuk
tempat alat-alat upacara dan pralingga saat umat melakukan Manca
Tirtha (melis) ke Pancaka Tirtha.
Adapun jenis Tirtha yang terdapat pada Pancaka Tirtha, sebagai berikut : Tirtha
Wasuh Pada (Banyun Cokor), Tirtha Tegteg, Tirtha Sudamala, Tirtha Penglukatan dan Tirtha
Parisuda. Pancaka Tirthaletaknya paling timur (paling hulu) dalam arah mata angin timur
dan utara dianggap tempat yang paling utama.
2.2 Fungsi Pancaka Tirtha dalam Penyucian
Pensucian dalam kontek ini berkaitan dengan adanya kesadaran atas dosa yang
dimiliki manusia. Dosa biasanya menimbulkan berbagai bentuk penderitaan yang menyiksa
lahir bathin manusia. Dosa bagi tradisi Hindu dapat menghambat peningkatan kualitas
kehidupan sekaligus sebagai proses pendekatan diri kepada Tuhan. Hal ini karena Tuhan
hanya dapat didekati melalui kesucian, berupa kesucian lahir bathin manusia yang harus
disucikan (sudha).
2.3 Fungsi Pancaka Tirtha dalam Upacara Keagamaan
Upacara keagamaan (Panca Yadnya) yang dilaksanakan di Desa Tampaksiring selalu
menggunakan tirtha (Pancaka Tirtha) Taman SuciTirtha Empul sebagai sarana (Pemuput)
upacara antara lain :
2.3.1 Fungsi Tirtha Wasuh Pada (Banyun Cokor)
Karunia Tuhan dan memelihara karunia tersebut dilambangkan oleh Tirtha Wasuh
Pada. Tirtha ini diberikan atau dipercikkan di kepala dan diraupkan ke wajah agar mengenai
semua alat Panca Buddhindriya.Alat Panca Buddhindriya atau Panca Karmendriya adalah
mata, telinga, hidung lidah dan kulit wajah. Hal ini bermakna bahwa semua alat Panca
Buddhindriya telah tersucikan. Tirtha Wasuh Pada itu ibarat bibit yang ditanam dalam lahan
yang gembur dan bersih. Pemangku dan Panditasaat mensucikan Tirtha Wasuh Pada pada
umat biasanya dengan pengantar mantra Pancaksara Stuti.

2.3.2 Fungsi Tirtha Tegteg


Fungsi Tirtha Tegteg di permandian Tirtha Empul berfungsingaci Sri yaitu dipakai
pada padi, beras, cawu, nasi. Setiap upacara (Panca Yadnya)
2.3.3 Fungsi Tirtha Sudhamala
Tirtha Sudamala yang ada di Tirtha Empul berfungsi/digunakan dalam upacara :
1. Mecaru dari Tingkat Nista sampai pada Tingkat Utama
2. Upacara Mebayuh Oton terutama terhadap seseorang yang lahir pada wuku wayang (wuku
salah wadi).
3. Tirtha Sudamala juga dalam Dewa Yadnya di fungsikan untukngelukat banten, pelinggih.
Tirtha Pancaka Tirtha, yang terdiri dari Tirtha Parisuda, Penglukatan, Sudamala,
Tegteg, Bangun Cokor berfungsi sebagaipemutus karya diantaranya : Dewa Yadnya, Manusa
Yadnya, Rsi Yadnya, Bhuta Yadnya dan upacara Nyekah/Memukur.
2.3.4 Fungsi Tirtha Panglukatan
Sumber air dalam hal ini yang dimaksud adalah Pancaka Tirthakhususnya Tirtha
Penglukatan yang terdapat di Pura Tirtha Empul,yang diyakini menurut spiritual oleh umat
Hindu Tampaksiring memiliki fungsi untuk mensucikan segala Upakaranya (Panca Yadnya)
akan dipersembahkan agar mendapat kesukseman, bebas dari segala halangan dan rintangan,
bebas dari penyakit, tidak kena papa (bebas dari dosa).
2.3.5 Fungsi Tirtha Parisudha
Tirtha Pemarisudhan ini berasal dari air danau atau Gangga yang dihidupkan oleh
Naga Vasuki sebagai purusa bertenaga Agnidisucikan oleh Siwa, karena itulah Tirtha ini
memiliki kekuatan yang sangat dahsyat bagaikan samudra. Tirtha ini merupakan anugrah dari
Dewa Iswara yang bersenjatakan Bajra yang sifatnya atau fungsinya untuk mensucikan atau
membersihkan segala yang kotor, noda (sebagai pelebur segala macam dosa atau kekotoran).
2.4 Manfaat Tirtha Empul
2.4.1 Manfaat Tirtha Empul dalam Upacara Mamukur
Upacara Mamukur adalah upacara untuk meningkatkan kesucian arwah seseorang
dari tingkat pitara ke tingkat dewapitara. Upacarangaben menjadikan arwah
seseorang kedas atau bersih keadaan yang semi suci. Arwahnya disebut pitara dan baru bisa
berada di alam eter yaitu bhuahloka, belum bisa mencapai sorga. Arwah yang baru sampai
tingkatan pitara kesanggah atau pemerajan (Utamamandala), selain hanya bisa di bale yang
berada pada madia mandala. Maka dari itulah pada hari Galungan ia
diberi punjung bertempat di bale. Mengapa belum bisa ke sanggah atau pemerajan, karena
sang pitara itu masih dilekati olehsuksma-sarira yang membungkusnya yaitu prakerti.
Berkenaan dengan upacara Mamukur/Nyekah fungsi Tirtha Empul adalah sangat
penting, yang terdiri dari Tirtha Pamarisudan, Tirtha Panglukatan, Tirtha Tegteg, Tirtha
Sudamala dan Tirtha Banguna Cokor. Setiap upacara Panca Yadnya terkecuali Pitra, semua
memakai Tirtha tersebut diatas, fungsinya sebagai pemuput karya.
Demikianlah Tirtha Pengelukatan dan Tirtha Pembersihan mempunyai arti dan
makna kesucian lahir bathin seluruh unsur yang terkait dalam pelaksanaan Upacara Yadnya.

2.4.2 Manfaat Tirtha Empul dalamPengelukatan Wang Mati

Fungsi Tirtha (Yeh Empul), yeh bulan, yeh surya, yeh sudamala, yang terdapat di
permandian Tirtha Empul, berfungsi gelukat/membersihkan , menyucikan dan melebur segala
dosa/mala yang dakibatkan oleh mati kabangawan (mati salah Pati)

2.4.3 Manfaat Tirtha Empul Sebagai Obat

Air mempunyai manfaat yang besar bagi kesehatan fisik maupun mental.
Penggunaan air sebagai obat telah lama ditulis maupun dilaksanakan hingga sekarang.
Terutama di Bali hampir setiap Balianmenggunakan air sebagai inti ataupun sarana
penunjang.
Adapun jenis yang digunakan sebagai obat yaitu berupa air pancuran. Air pancuran
pada jaman dahulu telah menjadi sarana salah satu penyucian pikiran yang sedang tidak
stabil. Pancuran jika berasal dari mata air besar seperti di Tirtha Empul Tampaksiring akan
diberi nama akan keperluan masyarakat. Jika aliran kecoran menurut mata angin maka
pancuran itu akan berbeda-beda namanya seperti berikut : Jika “Ngecor Kangin” namanya
pancuran Sudamala namun jatuhnya seperti ikut-ikut (ibar) gunanya dipakai ngelukat atau
ngobati rahaning gering. Jika“Ngecor Kaja” namanya pancoran Salukat fungsinya untuk
ngalukat tempat pekarangan yang menyebabkan inan rumah sakitan. Sepertikarang numbuk
rurung, karang kaingkuhin jalan, karang kakenin para dan karang karipubaya. Jika “Ngecor
Kelod” namanya Pancuran Surya untuk membangkitkan kepercayaan diri, kilang
rasa (impoten). Berfungsi juga pelaris, lebih-lebih pancoran pengeger itu berpapasan ada dari
timur ada dari barat (Pancoran Bulan).
Jadi.dari hasil Observasi diatas dapat disimpulkan bahwa Tirte Empul pada Pancaka
Tirtha di Taman Suci Pura Tirtha Empul Tampaksiring terletak di Madya Mandala (Jaba
Tengah) paling timur, terdiri dari lima pancuran (Tirtha) yaitu Tirtha Banyun Cokor (Tirtha
Sanjiwani) terletak di tengah, Tirtha Tegteg (Tirtha Merta Pawitra) di arah utara, Tirtha
Sudamala (Tirtha Kundalini)terletak di arah barat, Tirtha Panglukatan (Tirtha
Kamandalu) terletak di arah selatan dan Tirtha Parisudha (Tirtha Mahamertha) terletak di
arah timur. Mengenai letak Tirtha tersebut dilihat dari segi kiblat arah mata angin
(pengideran) nampak seperti di atas.
Fungsi Pancaka Tirtha sebagai tempat bagi umat Hindu khususnya Tampaksiring
untuk mohon Tirtha yang dipergunakan sebagai pemuputupacara dan sebagai tempat melasti
(mekiis) angamet sarining sarira yang dipergunakan sebagai sarana ritual.
Penemuan dalam penelitian ini menurut teori psykokosmos bahwa Tuhan disamakan
dengan Tirtha atau air yakni Pancaka Tirtha yang melambangkan ista dewata yang
difungsikan sebagai sarana upacara diantaranya Tirtha Banyun Cokor berfungsi sebagai
anugrah dari Dewa Siwa untuk menghilangkan atau melebur dasa mala dan tri mala. Tirtha
Tegtegdigunakan setiap upacara atau Panca Yadnya diawali dengan
upacaraNegtegang dengan tujuan mohon Penginih-inih kepada Dewi Sri (sakti dari Dewa
Wisnu). Tirtha Sudamala difungsikan untuk mensucikan atauamarisudha bumi
(mecaru) dan mebayuh oton memohon pada Dewa Mahadewa. Tirtha Parisudha berfungsi
untuk membersihkan dasa mala dantri mala pada umumnya digunakan
untuk melaspas bangunan pura maupun perumahan, memohon kehadapan Dewa yang
berstana di sebelah timur yaitu Dewa Iswara. Tirtha Panglukatan difungsikan sebagai
lambang pensucian, penguripan, pemeliharaan sebagai penglukatan dipujalah Dewa Siwa
DAFTAR PUSTAKA

Sejarah

http://gedeputualit.blogspot.com/2012/05/sejarah-pura-tirta-empul.html
https://histori.id/pura-tirta-empul/

https://sejarahbali.wordpress.com/2015/06/27/pura-tirta-empul-bali/

pengertian

https://id.wikipedia.org/wiki/Pura_Tirta_Empul

melukat

https://spiritualkundalinibali.wordpress.com/2012/11/21/urutan-pancuran-dalam-melukat-di-pura-
tirta-empul-tampaksiring-gianyar/

http://www.dianjuarsa.com/2017/10/tradisi-melukat-di-pura-tirta-empul.html

contoh makalah

http://tugasagamahindunyusul.blogspot.com/2014/03/pura-tirta-
empultampaksiringgianyar.html

http://makalahpuatirtaempul.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai