Anda di halaman 1dari 2

CERITA MAYADENAWA, LATAR BELAKANG HARI RAYA SUCI GALUNGAN

Cerita Mayadenawa merupakan gabungan antara cerita sejarah dan mithologis. Cerita ini
merupakan latar belakang pelaksanaan Hari Raya Suci Galungan bagi umat Hindu.

Pada zaman dahulu, bertahta lah seorang Raja Mayadenawa, keturunan Daitya (Raksasa)
di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah
raja yang sakti dan dapat mengubah dirinya menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup
pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktiannya, Mayadenawa menjadi sombong dan angkuh.
Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan
merusak semua Pura. Rakyat yang menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang
Raja yang sangat sakti. Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura
Besakih untuk memohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar
meminta pertolongan ke India (Jambudwipa).

Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhatara Indra
dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. Dalam penyerangan melawan Mayadenawa,
pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citrangada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh
Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhatara Indra. Pasukan
cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadenawa, dengan
mengirim Bhagawan Naradha. Mayadanawa yang menyadari kerajaannya telah terancam dan
mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhatara Indra serta menyiapkan
pasukannya. Pasukan Bhatara Indra unggul dan membuat pasukan Mayadenawa melarikan diri
bersama patihnya yang bernawa Kala Wong.

Pada malam harinya, Mayadenawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda
pasukan Bhatara Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan
memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak
Siring. Keesokan harinya banyak pasukan Bhatara Indra yang jatuh sakit karena minum air
yang beracun. Melihat hal itu, Bhatara Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian
dinamakan Tirta Empul, yang membuat semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhatara
Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadenawa. Untuk menyembunyikan dirinya,
Mayadenawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan
Desa Manukaya. Bhatara Indra yang tidak bisa dikibuli dan terus mengejar. Mayadenawa
mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian
menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, kemudian menjadi Susuh
sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah
itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala
Wong.

Batu padas tersebut dipanah oleh Bhatara Indra sehingga Mayadenawa dan patihnya
menemui ajalnya. Darahnya yang terus mengalir membentuk sungai yang kemudian disebut
Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhatara Indra yang isinya, "jika air sungai itu digunakan
untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan
berbau bangkai." Kutukan itu berumur sampai 1000 tahun.
Kemudian ada pun makna atau pesan moral yang terkandung di dalam Cerita
Mayadenawa, yang Melatarbelakangi Hari Raya Suci Galungan ini adalah suatu upacara sakral
yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang
berasal dari Adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (Dharma) dalam
diri manusia. Selain itu kita juga mampu untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan
(ashura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Sehingga harus disadari bahwa
hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai
kecenderungan keraksasaan.

Oleh karena itu, Hari Raya Suci Galungan merupakan salah satu upacara agama Hindu
untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewa Sampad
untuk menegakkan Dharma melawan Adharma. Seperti Lontar Jaya Kasunu, Beliau melakukan
yoga samadhi dan mendapat petunjuk Tuhan yang berwujud Bhatara Durgha, bahwa
masyarakat sebelumnya telah melupakan Hari Raya Galungan. Dan sebagai simbolnya di setiap
keluarga agar memasang Penjor pada Hari Raya Galungan

Maka intinya, makna hari Raya Galungan adalah kemenangan Dharma (kebaikan) dalam
peperangan melawan Adharma (kejahatan) sesungguhnya pada diri sendiri guna menemukan jati
diri.

Anda mungkin juga menyukai