Anda di halaman 1dari 13

Sejarah & Babad Bali

Classic

Ida I Dewa Agung Jambe


Ida I Dewa Agung Jambe adalah Raja I Klungkung pada tahun 1705 – 1775 M sebagai penerus Dalem
Kerajaan Gelgel.
Dimana pada masa pemerintahanya, dalam Babad Usana Bali Pulinadisebutkan bahwa Beliau
didampingi oleh Sang Maha Pendeta atau bhagawanta kerajaan yang berbudi luhur di Sukaton sebagai
penasehat utama tentang tugas seorang ksatrya memegang pemerintahan/memimpin negara, sehingga
berhasil baik.
Tersebutlah pada jaman dahulu, dengan pemindahan kekuasaan kerajaan Gelgel yang tidak sewajarnya
sewaktu itu di bawah pimpinan Kryan Agung Maruti, diceritakan banyak punggawa ataupun Manca di
seluruh bagian wilayah Bali ingin melepaskan diri dari pemerintahan yang berpusat di Gelgel sewaktu
itu dan membentuk kerajaan sendiri-sendiri.
Mengingat keadaan Bali yang dalam bahaya perpecahan pada saat itu akhirnya diadakan pertemuan
di Puri Sidemen di pimpin oleh Dewa Agung Jambe, Anglurah Singharsa dan Pedanda Wayan Buruan.
Mereka semua sepakat dengan tekad bulat untuk menghancurkan kekuasaan I Gusti Agung Maruti.
Dewa Agung Jambe memberikan surat kepada Ki Tamblang Sampun supaya disampaikan kepada I
Gusti Anglurah Panji di Den Bukit yang isinya meminta bantuan untuk menggempur I Gusti Agung
Maruti yang menguasai Istana Gelgel.
Dan tak terelakan lagi akhirnya peperangan pun terjadi dimana diceritakan kekalahan berada dipihak
Kryan Agung Maruti yang meninggalkan laskarnya melarikan diri bersama Kryan Kaler Pacekan,
menuju desa Jimbaran.

Dan kemudian diceritakan dalam Babad Dalem di jaman Gelgel disebutkan bahwa Dewa Agung Jambe
akhirnya ditunjuk menjadi penerus generasi Dhalem;
Tetapi tidak berhak memakai gelar Dhalem, melainkan dengan gelar Dewa Agung. Beliau menjadi raja
I Klungkung, dimana raja-raja di Bali menghormati beliau sebatas hal-hal yang bersifat religius.
Dengan hancurnya kota Gelgel yang sudah tidak layak dipakai lagi dan sudah dipandang tidak
berkarisma lagi, maka setelah berunding dengan I Gusti Ngurah Singharsa, pusat pemerintahan
dipindahkan ke Klungkung di istana Smarajaya Pura.

Istana selesai dibangun tahun 1710 M. Beliau wafat pada tahun 1775 M, berputera 3 orang:
 Dewa Agung Di Made,
 Dewa Agung Anom Sirikan, yang mendirikan Kerajaan Sukawati.
 dan Dewa Agung Ketut Agung.

Demikian dikisahkan kisah kepahlawanan Ida I Dewa Agung Jambe sebagai pendiri Kerajaan
Klungkung.
***
Siraryya Kenceng
Siraryya atau Arya Kenceng (bergelar Nararya Anglurah Tabanan) adalah seorang kepala pemerintahan
yang pandai dan bijaksana di daerah Tabanan Bali kira - kira pada tahun Caka 1274 ketika Bali pada
waktu itu dipimpin oleh seorang raja bernama Dalem Sri Ketut Kresna Kepakisan yang dalam sejarah
perjuangannya dikisahkan sebagai berikut :
 Dalam Babad Usana Bali Pulina, pada zaman dahulu Arya Kenceng diberikan kekuasaan di Tabanan
berkat pengabdian dan jasanya dalam menyatukan daerah Nusantara ini di bawah panji Kerajaan
Majapahit.
 Bersama Arya Damar, Arya Suhaket dll.
 Beliau Arya Kenceng sebagai pimpinan pasukan Majapahit di wilayah selatan yang menghadapi
langsung Ki Tambyak, seorang patih dari Bedahulu.
 Dalam Babad Arya Tabanan Sirarya Kenceng beristana di sebuah desa bernama Pucangan atau
Buwahan di sebelah selatan Baleagung dengan batas daerah kekuasaan Beliau :
 Sebelah Timur Sungai Panahan,
 Sebelah Barat Sungai Sapwan,
 Sebelah Utara Gunung Beratan atau Batukaru,
 Sebelah Selatan daerah-daerah di Utara desa Sanda, Kurambitan, Blungbang, Tangguntiti, dan daerah
Bajra.
Tatkala Bali dipimpin oleh Dalem Samprangan yaitu putra dari Dalem Sri Ketut Kresna Kepakisan,
diceritakan oleh diansitompul17 dalam kutipan sejarah dikisahkan sebagai berikut :
Arya Kenceng sebagai kepala pemerintahan di daerah Tabanan yang bergelar Nararya Anglurah
Tabanan tersebut ketika itu sangatlah pandai membawa diri sehingga sangat disayang oleh kakak
iparnya Dalem Samprangan.
Dalam mengatur pemerintahan beliau sangat bijaksana sehingga oleh Dalem Samprangan beliau
diangkat menjadi Menteri Utama. Karena posisi beliau sebagai Menteri Utama, maka hampir setiap
waktu beliau selalu berada disamping Dalem Samprangan.
Arya Kenceng sangat diandalkan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Dalem
Samprangan, karena jasanya tersebut maka Dalem Samprangan bermaksud mengadakan pertemuan
dengan semua Arya di Bali.
Dalam pertemuan tersebut Dalem Samprangan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan tersebut
tiada lain untuk memberikan penghargaan kepada Arya Kenceng atas pengabdiannya selama ini.
“Wahai dinda Arya Kenceng, demikian besar kepercayaanku kepadamu, aku sangat yakin akan
pengabdianmu yang tulus dan ikhlas dan sebagai tanda terima kasihku, kini aku sampaikan wasiat
utama kepada dinda dari sekarang sampai seterusnya dari anak cucu sampai buyut dinda supaya tetap
saling cinta mencintai dengan keturunanku juga sampai anak cucu dan buyut.
Dinda saya berikan hak untuk mengatur tinggi rendahnya kedudukan derajat kebangsawanan (catur
jadma), berat ringannya denda dan hukuman yang harus diberikan pada para durjana.
Dinda juga saya berikan hak untuk mengatur para Arya di Bali, siapapun tidak boleh menentang
perintah dinda dan para Arya harus tunduk pada perintah dinda.
Dalam tatacara pengabenan atau pembakaran jenasah (atiwatiwa) ada 3 upacara yang utama yaitu
Bandhusa, Nagabanda dan wadah atau Bade bertingkat sebelas. Dinda saya ijinkan menggunakan Bade
bertingkat sebelas.
Selain dari pada itu sebanyak banyaknya upacara adinda berhak memakainya sebab dinda adalah
keturunan kesatriya, bagaikan para dewata dibawah pengaturan Hyang Pramesti Guru.
Demikianlah penghargaan yang kanda berikan kepada adinda karena pengadian dinda yang tulus
sebagai Mentri utama.”
Arya Kenceng karena telah lanjut usia, akhirnya beliau wafat dan dibuatkan upacara pengabenan
(palebon) susuai dengan anugrah Dalem Samprangan yaitu boleh menggunakan bade bertingkat sebelas
yang diwariskan hingga saat ini.

Adapun roh sucinya (Sang Hyang Dewa Pitara) dibuatkan tugu penghormatan (Peliggih) yang disebut
“Batur/Batur Kawitan” dan disungsung oleh keturunan beliau hingga saat ini dan selanjutnya.
***

Putri Tribhuwana
Putri Tribhuwana (TriBhuana) adalah seorang putri kecil dari Bali yang dahulu dalam kisahnya diangkat
anak oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari.
Beliau merupakan ibu dari Tri Bhuana Tungga Dewi.
Kisah ini bermula dari runtuhnya kebajikan di Tanah Kelahiran Peradaban Bali pada saat ditaklukan
oleh Kerajaan Singosari yang pada zaman dahulu diceritakan sebagai berikut :
Pada suatu hari, di tahun 1284 Masehi, Kebo Parud yang telah menaklukan Bali membawa Putri Bangli
bernama Parameswara Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana ke Jawa sebagai persembahan kepada
Raja Kertanegara.
Ratu ke Jawa bersama dengan putrinya yang masih kecil bernama Tri Bhuana. Putri ini kemudian
diangkat anak oleh Raja Singasari Kertanegara.
Setelah Singasari runtuh, Tri Bhuana dijadikan Parameswari (istri) oleh Raden Wijaya, pendiri
Majapahit.
Tri Bhuana kemudian menurunkan seorang putri bernama Tri Bhuana Tungga Dewi, Ratu Majapahit
setelah Raja Jayanegara. Putri ini yang menikah dengan Pangeran Kediri melahirkan Raja Besar
Majapahit, Hayam Wuruk.
Demikianlah diceritakan perjalanan Tribhuwana dalam pengantar buku “Bangli Tempoe Doloe, Sebuah
Kajian Sejarah” yang ditulis Nyoman Singgin Wikarman menuliskan sejarah mengenai hal ini.
***
ARYA SUKAHET
Arya Sukahet | atau yang juga disebut I Gusti Sukahet, yang ketika masih berada di Jawa disebut Ksatrya
dan leluhurnya adalah Raja Lasem. Setelah berada di Bali sesuai dengan jabatan yang diberikan bergelar
Arya atau I Gusti (Arya Sukahet / I Gusti Sukahet).

Ketika Raja Majapahit Tribuwana Tunggadewi memerintahkan pasukannya menyerang Raja Bali Sri
Asta Sura Ratna Bumi Banten atau Sri Tapa Hulung yang dalam serangan tersebut Patih Gajah
Mada dan Arya Damar memimpin pasukan para Kesatrya dan Arya Majapahit, yaitu Arya Sura Wang
Bang Lasem, Arya Kuta Waringin, Arya Belog dan lain-lain. Untuk menyingkat cerita akhirnya Raja Bali
dapat ditaklukkan (pada tahun 1343 M);
Selanjutnya Patih Gajah Mada mengatur para Kesatrya dan Arya yang patut mengayomi Pulau Bali
untuk mengamankan wilayah masing-masing, yaitu Kesatrya Lasem (Arya Sura Wang Bang Lasem di
Sukahet), Arya Kuta Waringin di Gelgel, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kenceng di Tabanan dan lain-
lain.
Karena sudah lama Bali tidak ada pemimpin tetap, Bali sangat sepi dan menjadi tidak stabil. Kemudian
Raja Majapahit dan Patih Gajah Mada menobatkan Dalem Kresna Kepakisan menjadi Adipati Bali pada
tahun saka 1274 (tahun 1352 M), dengan patih Agung Arya Kepakisan, dan para Menteri yaitu Arya
Sura Wang Bang Lasem, Arya Wang Bang keturunan Kediri, Arya Wang Bang Mataram, Arya Sentong
dan lain-lain.

Selanjutnya situasi di Bali cukup aman dan stabil, rakyat Bali tunduk dengan Baginda Raja. Entah sudah
berapa lama Arya Sura Wang Bang Lasem mengabdi pada Baginda Raja, akhirnya menurunkan putra
3 orang, pertama Arya Sukahet, yang kedua Arya Pering dan yang ketiga Arya Cagahan, ketiga-tiganya
diberikan kedudukan sebagai menteri. Selanjut-nya Arya Sukahet kawin dengan putrinya I Gusti Ler (I
Gusti Kaler Prandawa) berputra 3 orang, 2 orang diantaranya pria, yang sulung I Gusti Ngurah Sukahet,
yang kedua I Gusti Ngurah Pering Cemeng dan 1 orang putri bernama I Gusti Ayu Peling yang diambil
rabi oleh Dalem Dimade (masih bersepupu).
Dari istri yang lain Arya Sukahet (I Gusti Sukahet) menurunkan 1 orang putri bernama I Gusti Ayu Raras,
keambil rabi oleh Dalem Ketut Kresna Kepakisan. (sumber dari : Jro Mangku Gde Ketut Soebandi).
I Gusti Ngurah Sukahet berputra 3 orang, yang pertama I Gusti Ngurah Sukahet Jugig, kedua I Gusti
Ayu Ratih (I Gusti Ayu Belong) dan yang ketiga I Gusti Ayu Sukahet. Kemudian I Gusti Ayu Sukahet
diambil rabi oleh I Dewa Sumretta yang melahirkan Kesatrya Sukahet yang menyungsung Merajan
Sukahet di Klungkung.

Selanjutnya diceritakan I Gusti Ngurah Pering Cemeng mempunyai putra I Gusti Ngurah Putih, I Gusti
Ngurah Putih mempunyai 3 orang putra, yang pertama bernama I Gusti Tohjiwa, kedua bernama I
Gusti Kemoning yang ketiga bernama I Gusti Nataran. Kemudian I Gusti Ngurah Putih kawin lagi
dengan I Gusti Ayu Belong atau I Gusti Ayu Ratih. Pada suatu hari I Gusti Ngurah Sukahet diminta
datang oleh I Gusti Ngurah Sidemen, menanyakan keberadaan putrinya yang akan dipinang sebagai
calon istri, untuk itu I Gusti Ngurah Sukahet memberikan informasi bahwa putrinya bernama I Gusti
Ayu Belong. Setelah dipertimbangkan dan dengan mendengar dari namanya dipikir I Gusti Ayu Belong
pasti tidak cantik maka, diambillah keputusan oleh I Gusti Ngurah Sidemen tidak jadi meminangnya
dan akhirnya dikirim utusan untuk membatalkan peminangan tersebut.

Oleh karena I Gusti Ngurah Sidemen tidak jadi meminang, akhirnya I Gusti Ngurah Sukahet
mengawinkan anaknya dengan I Gusti Ngurah Putih, masih saudara sepupu.
Entah berapa lama pernikahannya I Gusti Ngurah Putih dengan I Gusti Ayu Belong berlalu, pada suatu
saat ketika I Gusti Ngurah Sidemen menghadap dengan Dalem di Istana Gelgel dengan sejumlah
pengiring melewati desa Sukahet, banyak orang menonton iring-iringan tersebut, kebetulan I Gusti Ayu
Belong menonton, maka dilihatnya ada orang yang sangat cantik sampai kaget dan menanyakan siapa
nama orang itu, dikatakan itulah yang bernama I Gusti Ayu Belong, yang tidak jadi dipinang.
Akhirnya seketika I Gusti Ngurah Sidemen tidak sadarkan diri, hingga rombongan balik lagi ke Sidemen.
Setelah sadar lalu ia memanggil orang kepercayaannya untuk memperdaya, dan mencari kesalahan-
kesalahan I Gusti Ngurah Putih. Diceritakan setelah I Gusti Ngurah Putih diketahui menikah dengan I
Gusti Ayu Belong, maka diupayakan strategi jitu serta dengan kesalahan yang dibuat-buat, lalu I Gusti
Ngurah Putih diasingkan di Bukit Buluh Wangsean. Perlakuan atas dirinya sebenarnya I Gusti Ngurah
Putih sudah menyadari lantaran mengawini I Gusti Ayu Belong, tapi dia tidak bisa mengelak karena I
Gusti Ngurah Sidemen memegang kekuasaan.

Entah sudah berapa lama I Gusti Ngurah Putih hidup di pengasingan, diceritakan Beliau mempunyai 2
orang putra laki-laki yang pertama bernama Wayan Wresaba, dan adiknya bernama Made Leheng,
dari perkawinannya yang tanpa proses Widhi Widana. Kemudian ada utusan (duta) datang, lalu I Gusti
Ngurah Putih menyadari ajalnya telah tiba, dia sempat mengutuk duta tersebut yang bernama I Gst.
Pt. Mencur diutus oleh I Gusti Ngurah Sidemen. Tanpa perlawanan tanpa ada yang membela akhirnya
I Gusti Ngurah Putih dapat dibunuh.

Kemudian setelah I Gusti Ngurah Sukahet beserta seluruh warganya mendengar bahwa I Gusti Ngurah
Putih meninggal karena dibunuh, maka segera di perintahkan bala yuda untuk melacak orang yang
berbuat jahat terhadap menantunya, namun tidak diketemukan jejaknya. Maka seluruh warga, sanak
keluarga beserta istrinya I Gusti Ngurah Putih sangat sedih dan berduka atas musibah yang
menimpanya. Selanjutnya pada hari (dewasa) yang baik dilaksanakanlah upacara Pelebon, sesuai
dengan tata-cara adat dan agama, yang dipuput oleh Ida Pedanda Siwa dan Budha.
Sesuai dengan pyagam anugrah dari Dalem, berdasarkan Ketriwangsaan Treh Arya Wang Bang patut
(wenang) memakai Badhe, megunung Tajak, Mekapas Mewarna, Mekarang Bucu, lengkap saha
upacara Bade. Mepetulangan Merupa Lembu Putih (yang masih manggeh) yang sudah surud
wangsa/rered memakai Petulangan Singa wenang Mebale Selunglung serta Surat Kajang dan meukur
patut memakai Tirtha Pemanah. Daksinenya Nista, Madya, Utama, Geng Artha (besar uang) 16 tali
(16.000) Utama, kutus tali (8.000) Madya, petang tali (4.000) Nista, Nistaning Nista sepaha satus
(1.700).
Tirta Pebersihan, muah tirtha pengentas, Daksinanya sama dengan di atas.
Hendaknya jangan sampai melupakan apa yang tertera di atas terkait dengan besar daksina (uang
daksina) yang menyebabkan Sang Pitara tidak menemukan Swarga (kebahagiaan di akherat/Amanggih
Ngkon), kepanasan Sang Pitara Atma. Demikian Penugrahan Dalem terhadap I Gusti Ngurah Sukahet
treh Wang Bang sejak dahulu.
Diceritakan setelah I Gusti Ngurah Putih meninggal dan proses upacara Pitra Yadanya juga telah selesai,
pada suatu saat datanglah I Gusti Ngurah Sidemen menghadap I Gusti Ngurah Sukahet untuk meminang
I Gusti Ayu Belong. Namun I Gusti Ngurah Sukahet tidak sepakat, dengan alasan merasa bersalah
mengawinkan anaknya yang sudah menjanda. Karena itu I Gusti Ngurah Sidemen sangat marah,
akhirnya dia terpaksa memakai jalan kekerasan, lalu I Gusti Ayu Belong diambilnya, sehingga timbullah
yuda besar. I Gusti Ngurah Sidemen memerintahkan bala yudanya dalam jumlah besar untuk
menyerang purinya I Gusti Ngurah Sukahet, pertempuranpun terjadi dengan sengit, hingga tidak sedikit
korban berjatuhan.

Entah berapa lama perang berlangsung, akhirnya banyak pasukan kedua-belah pihak yang gugur, dan
warga I Gusti Ngurah Sukahet sempat meloloskan diri. Diceritakan sanak keluarga I Gusti Ngurah Putih,
banyak meninggalkan puri, I Gusti Ngurah Jiwa dan I Gusti Ngurah Kemoning, beserta pengiring
(rakyat) sambil membawa seperangkat alat-alat upacara Merajan antara lain: Gong, gambang dll
menuju daerah Mengwi, karena di sana ada Brahmana asal dari Griya Manara Sidemen, lama kelamaan
akhirnya tinggal di desa Munggu (Badung).
Kemudian I Gusti Ngurah Nataran pergi bersama sanak keluarga menuju Poh Tegeh, Abang,
Karangasem. I Gusti Ngurah Sukahet Jugig menghindari gempuran musuh bersembunyi di tengah hutan
bernama alas Pakel (Wangsean).
Diceritakan bahwa Dalem di istana Sweca Lingarsa Pura bertanya-tanya bahwasannya I Gusti Ngurah
Sukahet Jugig sudah cukup lama tidak pernah menghadap ke istana, demikian Beliau bersabda
kemudian ada berita di dengar oleh Dalem bahwa I Gusti Ngurah Sukahet Jugig habis diserbu oleh bala
tentara I Gusti Ngurah Sidemen Gunung Agung menyebabkan hancurnya Puri Sukahet, semua warga
kocar-kacir pergi menyelamatkan diri. Keberadaan Puri I Gusti Ngurah Sukahet dihancurkan.
Begitu cerita rakyat kepada Dalem, lalu dalem bersabda ah sangat durhaka Kiyayi Sidemen tidak ingat
dengan tata-tertib kepatihan. Kemudian dengan cara rahasia Dalem merencanakan melenyapkan jiwa
I Gusti Ngurah Sidemen, sebagai balas budi terhadap leluhur I Gusti Ngurah Sukahet yakni Sri Arya
Wang Bang.
Perencanaan pembunuhan dimulai dengan mengutus tiga orang tahanan yaitu : I Togog dari
Pekandelan, Nang Bunglun dari Bendul, Pan Patut dari Satria, dengan strategi meminta ayam kurungan
kesayangan I Gusti Ngurah Sidemen. Diawali dari percakapan Nang Bunglun meminta ayam
kesayangannya I Gusti Ngurah Sidemen untuk dipersembahkan kepada Dalem, lalu I Gusti Ngurah
Sidemen marah dan memukulnya dengan palu, kemudian Nang Bunglun marah juga lalu menghunus
keris dan menusuk I Gusti Ngurah Sidemen yang akhirnya meninggal.
Setelah didengar oleh sanak keluarga dan semua warga I Gusti Ngurah Sidemen bahwa beliau telah
meninggal dibunuh oleh utusan Dalem, maka para pengawal puri serempak mengepung tiga utusan
tersebut. Dengan sigap pasukan pengawal puri yang bernama Pan Byakta dapat membunuh 2 orang
utusan tersebut dan satu orang lagi dapat lolos sampai di Swecapura, langsung menghadap Dalem
menyam-paikan bahwa tugas telah dilaksanakan dan I Gusti Ngurah Sidemen dibunuh oleh Nang
Bunglun. Sabda Dalem: “berbahagialah kamu masih hidup dan sudah sepantasnya I Gusti Ngurah
Sidemen meninggal”.

Diceritakan I Gusti Ngurah Sukahet Jugig dipanggil menghadap Dalem, sabda beliau: “kembalilah kamu
ke Sukahet, menjabat kepatihan seperti dahulu karena musuhmu Kyai Anglurah Sidemen telah
terbunuh, sekarang kuberikan sejumlah artha dan seisi puri serta keris (curiga) bernama Si Kaparabon,
janganlah kamu ragu-ragu.
Banyak pratisentana I Gusti Ngurah Sukahet masih manggeh kewangsaannya walaupun ada yang rered
(surud kewangsaan) mungkin disebabkan nyineb wangsa dan winasa wangsa”, itulah Swa Dharmaning
Ksatria. Jawab I Gusti Ngurah Sukahet Jugig: “Hamba tidak menolak segala titah Dalem”. Sabda Dalem:
“janganlah bimbang kamu akan kuberikan rakyat.”
Mulai saat itulah I Gusti Ngurah Sukahet Jugig kembali ke Sukahet dengan membawa Pyagam
Penughrahan Dalem.
Tiba di desa Sukahet I Gusti Ngurah Sukahet Jugig mendapati Puri Sukahet dalam keadaan rusak dan
sangat sepi. Mulailah I Gusti Ngurah Sukahet Jugig membuat Puri baru. Pada waktu itu I Gusti Ngurah
Sukahet Jugig kembali menduduki jabatan Anglurah Sukahet, damai tenteramlah wilayah
kekuasaannya.

Kembali sekarang diceritakan I Gusti Ngurah Sukahet Jugig mempunyai putra yang ber ibu prami,
wanita 2 orang yang paling sulung bernama I Gusti Ayu Wanasara kawin ke Puri Karangasem, yang
nomor dua bernama I Gusti Ayu Wanasari, dan yang ber ibu penawing adalah laki-laki, antara lain :
Pertama bernama I Gusti Aan, kedua bernama I Gusti Kebon, yang ketiga bernama I Gusti Wesan.
Sesuai tatakrama Kerajaan yang dapat memegang jabatan (madeg Anglurah) jadi Raja adalah putra
yang ber ibu prami, oleh karena putranya yang ber ibu prami adalah wanita maka diadakan rembug
keluarga, lalu disepakati untuk minta saran kepada penguasa Sidemen karena dia (ngawengkurat)
sebagai penguasa jagat (penguasa daerah). Beliau menyarankan agar I Gusti Ngurah Sukahet Jugig
mencari sentana prami.
Setelah diadakan musyawarah maka I Gusti Ayu Wanasari kawin dengan I Gusti Dauh, yaitu anak dari
I Gusti Dauh Purnamaning Kapat asal dari Selekak, Sidemen, yang selanjutnya membangun puri di
Talibeng oleh I Gusti Ngurah Sidemen.
Setelah I Gusti Ngurah Sukahet Jugig meninggal dunia (wafat), kekuasaan wilayah Sukahet
diserahterimakan kepada I Gusti Dauh (menantunya), sebagai Anglurah Sukahet atas petunjuk I Gusti
Ngurah Sidemen. Sebelum I Gusti Ngurah Sukahet Jugig wafat Beliau memberi nasihat kepada
menantunya, nanti pada saat memegang kekuasaan agar senantiasa berlaku baik (rukun-rukun)
terhadap keturunan I Gusti Ngurah Sukahet. Seyogyanya bagi yang nyentana mengikuti garis keturunan
I Gusti Ngurah Sukahet dalam garis dimana dia nyentana.
Lama kelamaan tidak diceritakan yang menyebabkan I Gusti Ngurah Sukahet membangun empat
Merajan, oleh karena Puri yang dulu sudah rusak.

I Gusti Kebon membangun Merajan Kawitan di Sukahet banjar Kebon, I Gusti Aan membangun
Merajan Kawitan bernama Merajan Batan Wani di Br. Tengah Sukahet sekarang dikenal dengan
Merajan Arya Sukahet, I Gusti Wesan di Talibeng banjar Sari.
Kemudian IGusti Ngurah Kebon, I Gusti Aan bersama I Gusti Dauh (menantunya I Gusti Ngurah Sukahet
Jugig) membangun Kahyangan Merajan di Talibeng bernama Merajan Umadesa. Dulu letak Puri
Sukahet itu berada di sebelah timur Pura Dalem Talibeng sekarang, dan kuburannya terletak di pinggir
Griya Wanasari sekarang, demikian ceritanya.
Dikisahkan kembali keturunan I Gusti Dauh (menantu) yang berkuasa di Sukahet, makin menjauhkan
diri dengan warga I Gusti Ngurah Sukahet. Oleh sebab itu keturunan I Gusti Dauh mantu berhenti
menghaturkan bakti di Merajan Umadesa.

Diceritakan pada waktu I Gusti Ngurah Sukahet memegang kekuasaan ada Brahmana Buda dari
Swecapura, berencana pergi ke Budakeling melewati desa Sukahet, Sang Brahmana mampir di Puri
Sukahet, sembari menceritakan kepergiannya dari Swecapura. I Gusti Ngurah Sukahet berkata
menawarkan apakah Sang Brahmana berkenan membangun geriya di Sukahet.
Ida Brahmana sangat gembira dan mau membangun geriya di Sukahet. Itulah awal mulanya ada Sang
Brahmana antara desa Sukahet dengan desa Talibeng. Lama kelamaan Sang Brahmana membangun
Griya di dekat kuburan, I Gusti Ngurah Sukahet senang itulah sebabnya ada Griya Wanasari di sebelah
utara desa Sukahet sekarang.
Kemudian diceritakan bahwa I Gusti Ayu Belong mempunyai keturunan seorang wanita bernama I
Gusti Ayu Dijaba, dan setelah dewasa kawin dengan I Dewa Dangin di Jero Sidemen. Diceritakan
kembali setelah I Gusti Ngurah Sukahet Jugig meninggal, yang diberi kuasa dalam memimpin daerah
Sukahet I Gusti Dauh (menantu), pada awalnya keberadaannya sangat mantap, keamanan dan
kesejahteraan warganya termasuk dengan saudara-saudaranya yang lain ibu yaitu I Gusti Aan, I Gusti
Kebon dan I Gusti Wesan rukun dan damai. Entah berapa lama sudah berjalan dalam menjalankan
tugas sebagai penguasa daerah Sukahet, dikarenakan jumlah warga makin berkembang, maka terjadilah
pengelompokan dari masing-masing warga yang membangun tempat pemujaan atau Merajan untuk
memuja leluhur, seperti tersebut di atas.
Disamping itu dalam kelompok tertentu juga membangun sejenis Pura Kahyangan (Panti), yaitu Pura
Manik Bingin di Wanasari, Pura Witsari (kini sudah rusak bahkan sudah dijadikan obyek pariwisata),
terletak di br. Kebon, Sukahet. Ada lagi kelompok yang membangun pura bernama Pura Gunung Sari,
Pura Telaga Sari di desa Sukahet Br. Kebon dan Br. Tengah dan masih ada beberapa Pura-Pura yang
belum disebutkan. Sejalan dengan perkembangan jaman pada waktu itu makin lama situasi dan kondisi
cepat berubah, masing-masing kelompok tadi makin lama makin larut dengan kelompoknya sendiri.
Disatu sisi terjadi lagi pengelompokkan baru, bahwa mulanya sentana (keluarga besar) I Gusti Dauh
(menantu) tergabung dalam kelompok Merajan Umadesa (Talibeng) ikut sembahyang bersama-sama,
entah apa sebabnya kemudian putus hubungan hingga kini tidak pernah lagi sembahyang di Merajan
Umadesa. Diceritakan bahwa sentana I Gusti Dauh (menantu) membuat tempat pemujaan sendiri yaitu
bernama Merajan Arapsari di Talibeng. Demikianlah perkembangan warga keturunan Arya Sukahet
treh Arya Sura Wang Bang Lasem, untuk memuja Bhetara-Bhetari Leluhur melalui kelompok Merajan
masing-masing.

Ke empat Merajan yaitu; Merajan Kawitan Arya Sukahet Br. Tengah mencakup kelompok Merajan
yang ada di Gianyar, Merajan Kebon, Merajan Dangin, dan Merajan Dauh adalah sebagai pengemong
Pura Pedharman Arya Sukahet di Besakih.
Dimana upacara piodalannya dilaksanakan pada hari Purnama Kedasa (April) dan hari Purnama Ketiga
(September). Umumnya para pemedek yang tangkil ngaturang puja bhakti di Pura Pedharman Arya
Sukahet, dari semua pratisentana I Gusti Ngurah Sukahet (Arya Sukahet) treh Arya Wang Bang Lasem
dari seluruh Bali bahkan ada dari luar Bali.
Seiring dengan adanya pengelompokkan warga keturunan Arya Sukahet sebagai langkah positif untuk
mewujudkan rasa bhakti terhadap leluhur, karena jumlah warga makin lama makin bertambah, maka
terjadilah pemekaran keturunan Arya Sukahet tidak hanya di wilayah Bali, juga sampai di luar wilayah
Bali.

Demikian juga adanya pratisentana I Gusti Ngurah Sukahet di Kabupaten Gianyar, berawal dari
datangnya I Gusti Lempung, I Gusti Nyoman Tilem di desa Bona, kemudian turun-temurun dan
berkembang membuat kelompok-kelompok selanjutnya mendirikan Merajan, demikian juga yang di
desa Selat, Blahbatuh. Ada lagi keturuna Arya Sukahet berawal dari datangnya I Gusti Made Sari ke
desa Lodtunduh selanjutnya turun-temurun berkembang membangun sebuah Merajan di Banjar Tengah
Desa Lod Tunduh sampai saat ini.

Khusus pada kelompok Merajan Kawitan Banjar Tengah Dusun Kebon Desa Adat Sukahet Desa
Lokasari, Kecamatan Sidemen Kabupaten Karangasem mencakup Merajan-Merajan yang ada di
Kabupaten Gianyar (Desa Bona, Desa Selat Blahbatuh dan Desa Lodtunduh) termasuk yang ada di luar
Bali (Lombok) serta beberapa kelompok warga lainnya yang berada dibeberapa tempat di Bali seperti
; Desa Tohjiwa, Desa Telunwayah/Ds. Lambang, Desa Yehembang, Desa Angantelu/Antiga, Desa
Menira, Desa Nyuhtebel, Nusa Penida dan lain-lain, adalah prati sentana Arya Sukahet yang setiap puja
wali pedek ke Merajan Kawitan Arya Sukahet, yang diadakan pada setiap Purnama Sasih Desta. (Sasih
Kedasa Di Pura Pedharman Besakih)
***

Kemerdekaan Indonesia
Dahulu, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-
Hatta di Jakarta pada masa berakhirnya kerajaan dan memasuki jaman nasionalisme tidak segera
diketahui oleh seluruh rakyat Bali dimana dikisahkan bahwa;
 Pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Pudja datang dari Jakarta melalui jalan darat, dengan
mandatnya sebagai Gubernur Sunda Kecil, Beliau secara resmi menyampaikan berita kemerdekaan ini.
 Setelah persinggahannya semalam di Kota Negara, pada tanggal 24 Agustus 1945 diadakan upacara
pengibaran bendera Merah Putih.
 Para pemuda menyebarkan bendera Merah Putih kecil sebagai bendera negara untuk ditempelkan pada
tembok bangunan, menurunkan bendera Jepang dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih
pada kantor-kantor kerajaan.
 Selain itu penyebaran berita Proklamasi juga dilakukan melalui rapat umum yang diselenggarakan oleh
pemuda, sehingga pada bulan September 1945 berita proklamasi telah menyebar merata di kalangan
rakyat Bali.
“Setelah rakyat Bali mengetahui dengan pasti adanya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan
Soekarno-Hatta di Jakarta, maka dibentuklah badan-badan perjuangan yang dimotori pemuda pelajar
seperti ISSM (Ikatan Siswa Sekolah Menengah), Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Denpasar dan
Singaraja, dan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan tokohnya: I Gusti Ngurah Sindhu, Cokorde
Sudarsana, I Gede Peger, I Made Widjakusuma, Cokorde Agung, Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik,
dan lainnya. Semua badan perjuangan di Kota Denpasar bermarkas di selatan alun-alun Puputan
Badung dan diberi nama Pusat Komando PRI (Pemuda Republik Indonesia).
Dari gedung ini semua kegiatan perjuangan dikendalikan untuk menghadapi segala kemungkinan.
***

Sri Ugrasena Singhamandawa

Sri Ugrasena Singhamandawa adalah raja penguasa Bali kuno yang memerintah dari tahun 912 - 942
dengan kerajaan berpusat di Singhamandawa di daerah sekitar Batur, Ancient Kingdom of Bali Golden
Era disebutkan :
Ugrasena merupakan seorang raja yang bijaksana. Pulau Bali yang awalnya berkembang pesat secara
spiritual, pada masa keemasanya mulai dilirik oleh kaum pedagang dan juga kerajaan-kerajaan lain.
Sang Raja yang berasal dari Dinasti Warmadewa tersebut dimana dalam beberapa catatan sejarah
disebutkan :
 Beliau terkenal akan kebijaksanaannya dan kewibawaanya sehingga menjadikan Pulau Bali aman dan
sentaosa dimana dalam catatan sejarah Puri Pemecutan, Ugrasena diceritakan :
 Pada waktu itu, para pendeta Siwa Budha dan Rsi, Empu, para agamawan datang dari pulau Jawa dan
Hindu (India) semuanya bersama memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi dengan para dewa, tapi
pemujaan disesuaikan dengan desa kala patra.
 Itu yang menyebabkan tepat disebut Bhinneka Tunggal Ika. Kerajaan berpusat di Singhamandawa
didaerah sekitar Batur.
 Selama masa pemerintahannya,
 Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837
Saka atau 915. Desa-desa tersebut kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah
pengawasan hulu kayu (kepala kehutanan).
 Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci dan pesanggrahan bagi
peziarah dan perantau yang kemalaman.
 Ugrasena dalam catatan portal sejarah Kerajaan Bali lengkap disebutkan pula bahwa Beliau
diperkirakan memerintah pada jaman yang sama dengan Mpu Sendok di Jawa Timur.
 Pada masa pemerintahan Ugrasena, ia terkenal sering merilis prasasti yang memiliki hubungan dengan
kegiatan-kegiatan yang sering diadakan oleh masyarakat kerajaannya seperti perpajakan,
penganugerahan, upacara agama, pembangunan penginapan, hingga pendirian tempat sembahyang
bagi mereka yang ingin berziarah.
 Bukti fisik tentang kepemimpinan Ugrasena tercatat dalam beberapa prasasti, antara lain Prasasti
Srokada A dan Goblek Pura Batur A dll.
 Seluruh prasasti yang memuat namanya selalu tertulis dalam bahasa Bali kuno, dan dimulai dengan
sebuah perkataan yang berbunyi yumu pakatahu, berarti “ketahuilah oleh kalian semua”.
 Setelah Ugrasena turun, penerusnya adalah Sri Tabanendra Warmadewa yang dari namanya jelas
diketahui bahwa ia masih anggota Wangsa Warmadewa.
***
Posted 23rd December 2015 by Bali Tours Guide

2.
DEC

11

Begawan Maya Cakru


Begawan Maya Cakru adalah seorang brahmana sakti yang dahulu pernah datang ke Bali menyertai
Paduka Batara Putra Jaya yang bersemayam di pura Besakih, dan Sang Hyang Genijaya yang
bersemayam di Gunung Lempuyang.

Tersebutlah pada suatu hari, Beliau Begawan Maya Cakru yang gemar bertapa dan berasrama di
Silayukti. Entah berapa hari lamanya baginda pendeta tinggal di Bali, dia pun bermain-main di Desa
Panarajon di tepi Danau Batur.
Tiba-tiba ia disusul oleh isterinya. Ketika tiba di Desa Panarajon, ia sangat kaget melihat isterinya
menyusul perjalanannya.
Baginda pendeta berkata: "Wahai Adinda, apa sebabnya Adinda datang, menyusul perjalanan Kakanda,
tanpa merasa lelah".
Isterinya menjawab: "Sujud hamba kehadapan Paduka Pendeta, hamba berhasrat menyusul perjalanan
Paduka".
Begawan Maya Cakru menjawab: "Wahai istriku, Kakanda bermaksud menghadap Paduka Bhatari
di Ulun Danu. Oleh karena Adinda sedang hamil, janganlah Adinda mengikuti Kakanda".
Ketika sang pendeta berkata demikian, tampak isterinya masih tetap bersikeras menyertai suaminya,
agar dapat menghadap Paduka Bhatari. Mereka berjalan amat cepat.
Tiba-tiba mereka sudah sampai di tepi Danau Batur, di sana ada sebuah batu datar terletak di bawah
pohon kayu mas ( kayu sena ).
Di sanalah isterinya duduk, oleh karena terlalu lelah dalam perjalanan. Tidak lama kemudian bayinya
pun lahir dan jatuh di atas batu. Batu itu pecah.
Baginda pendeta berkata: "Wahai anakku yang baru lahir, aku terpesona menyaksikan kelahiranmu,
jatuh di atas batu, namun engkau tidak cedera dan tetap hidup.
Karena itu, aku memberikan nama I Tambyak.
Sekarang aku akan kembali ke alam dewa (moksa), semoga engkau selaku keturunanku tetap bahagia,
panjang umur, sampai kelak tetap dikasihi oleh raja-raja Bali".
Demikianlah kata-kata Begawan Maya Cakru, lalu beliau menggaib. Tidak dikisahkan lagi baginda
pendeta, sekarang dikisahkan bayi itu sedang menangis menjerit-jerit di atas batu.
Tidak panjang lebar dikisahkan, tersebutlah seorang Kabayan dari Desa Panarajon sedang bermain-
main di tepi danau. Bayi itu dijumpai sedang menangis di bawah pohon kayu mas, lalu diambilnya.
Bayi itu berhenti menangis.
Kabayan Panarajon memungut bayi tersebut dan dijadikan anak angkat. Entah berapa hari lamanya,
bayi itu dipelihara oleh orang-orang Bali Aga, ia tumbuh dengan sehat.
Demikianlah dikisahkan dalam unik27 Pura Besakih dan alangkah besarnya kasih sayang sekalian orang-
orang Panarajon kepada si bayi. Ketika dia sudah bisa membalas budi baik penduduk desa-desa di
sekitarnya, lalu ia bergelar Pangeran Tambyak.
***
Posted 11th December 2015 by Bali Tours Guide

3.
DEC

10

Mataram Kuno

Mataram Kuno berkaitan dengan Babad Bali ini


dimana dalam Lontar Markandeya Purana diceritakan bahwa terdapat pemindahan kerajaan Mataram
Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan menjadi kerajaan Medang Kemulan dengan raja Mpu
Sindok sebagai awal dari dinasti Isana;
Pada masa ini, lahirlah karya sastra prosa dan KakawinRãmãyana. Dan sekitar tahun 980an Masehi,
seorang penguasa dari Bali yang bernama Raja Udayana dahulu mempersunting putri beliau yang
bernama Mahendrata.
Dalam bukti kejayaan Kerajaan Mataram Kuno atau juga yang sering disebut Kerajaan Medang
disebutkan merupakan kerajaan yang bercorak agraris. Tercatat terdapat 3 Wangsa (dinasti) yang
pernah menguasai Kerajaan Mataram Kuno yaitu :
 Wangsa Sanjaya,
 Wangsa Syailendra
 Dan Wangsa Isana.
Wangsa Sanjaya merupakan pemuluk Agama Hindu beraliran Siwa sedangkan Wangsa Syailendra
merupakan pengikut agama Buddha, Wangsa Isana sendiri merupakan Wangsa baru yang didirikan
oleh Mpu Sindok. Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirinya Kerajaan Mataram Kuno,
yaitu berbentuk Prasasti dan candi-candi yang dapat kita temui sampai sekarang ini.

Dari penelusuran sejarah Bali masa dharmayatra Maharsi Markandeya diceritakan juga tentang asal usul
sang MahaRsi dan perjalanan beliau dalam berdharmayatra. Di lontar Markandeya purana ini
disebutkan bahwa MahaRsi Markandeyaberasal dari India (kemungkinan dari India Selatan);
Melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung
Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang (Pegunungan Dieng), Kabupaten Wonosobo, Jawa
Tengah yang pada saat itu berada dalam pemerintahan Mataram Kuno (wangsa Sanjaya dan
Syailendra).
Kemungkinan karena bencana alam (gunung meletus), dari Gunung Dieng, Rsi Markandeya
meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten
Banyuwangi, Jawa Timur. Kemungkinan perpindahan beliau bersamaan dengan pemindahan kerajaan
Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan menjadi kerajaan Medang Kemulan yang dengan
raja Pu Sindok sebagai awal dari dinasti Isana.
Di Gunung Rawung sang MahaRsi beserta pengikutnya, sempat membangun pasraman, sebelum
akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
***
Posted 10th December 2015 by Bali Tours Guide

4.
DEC

9
Raja Udayana

Raja Udayana (atau Dharma Udayana Warmadewa; Sri


Dharmodayana Warmadewa Udayana) adalah seorang penguasa di masa kejayaan Bali Dwipa yang
memerintah sekitar tahun 983 - 1011 M.

Dengan pusat pemerintahannya di Bedahulu, dahulu Beliau bersama permaisurinya diceritakan;


 Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat ditata kembali yang bertujuan :
 Untuk dapat memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat,
 Perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan kembali.
 Sistem pemerintahan dan perekonomian ditata kembali dimana :
 Atas dasar kesepakatan bersama untuk dapat memberikan rasa nyaman pada seluruh rakyatnya yang
dalam Babad Usana Bali Pulina disebutkan :
 Beliau memerintah didampingi oleh seorang Mpu yang agung bernama Mpu Kuturan ;
 Dan berkat jasanya di Pulau Bali ada kahyangan tiga sampai sekarang ini.
 Dalam sistem perekonomian Bali Kuno pun, pada awalnya juga perdagangan dilakukan secara barter,
yakni tukar-menukar barang (mepurup-purup);
 Namun system jual-beli menggunakan uang kartal, menarik perhatian Raja Udayana.
 System ini pun dinilai baik karena praktis, melancarkan perdagangan, dan memudahkan Raja
memungut pajak.
Kembali dalam menengok rekam sejarah leluhur, dahulu Raja Udayana juga diceritakan
mempersunting Putri Mpu Sindok (Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa) dari
Kerajaan Daha-Jawa Timur, yang bernama Mahendrata. Dan ketika di Bali bergelar Gunapriya
Dharmapatni yang melahirkan dua orang putra yaitu :
 Airlangga, menjadi Raja di Jawa atas kehendak pamannya (Kakak Mahendradata/ Sri Kameswara)
 dan adiknya Anak Wungsu melanjutkan menjadi Raja Bali fase berikutnya.
Pada masa Raja Udayana ini datang para Mpu dari Jawa yaitu Catur Sanak atau 4 bersaudara dari Panca
Tirta.
Dan para keturunan dari Panca Tirta ini kemudian menjadi penduduk Bali berikutnya seperti
Warga PasekSanak Pitu, Ksatrya Dalem, Warga Brahmana, dan para mantri-mantri dengan sebutan I
Gusti.
Pada jaman pemerintahan Raja suami istri Udayana – Warmadewa di Bali terjadi perubahan hampir
seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga dapat memberi corak dan warna bagi kehidupan
masyarakat dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan tersebut
karena dahulu disebutkan :
Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh
penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula (Penduduk Bali Asli di
Tampurhyang Batur Kintamani) dan Bali Aga.
Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala,
Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan
didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu.
Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri.
Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang
masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan.
Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat dan banyak hal dilakukan di
Bali oleh Para Mpu ini, salah satunya adalah Mpu Kuturan mensponsori pertemuan 3 kelompok dari 3
faham, yaitu : Budha Mahayana sebagai pimpinan sidang, utusan dari Jawa dari faham Ciwa Oleh Mpu
Kuturan, dan wakil 6 sekte dari orang Bali Mula, tempat pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga (di
Gianyar).
 Disepakati faham Tri Murti tercermin pada Desa Adat dengan tiga Pura pemujaan Tri Murti, yaitu :
Pura Desa (Brahma), Pura Puseh/Segara (Wisnu), dan Pura Dalem (Siwa), dan untuk dirumah membuat
Pelinggih KemulanRong Tiga sebagai pemujaan Tri Murti.
 Agama yang dianut masyarakat adalah Ciwa-Budha.
Dengan demikian seluruh peserta bisa diadopsi, bisa disatukan dan Bali menjadi aman.

Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari
perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu .
 Airlangga menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) pada usia 16 tahun
menggantikan pamannya Kameswara (Kakak Mahendradata).
 Airlangga berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri
Jayasabha.
 Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah.
 Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan
perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di
Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali.
 Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap
telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan
gelar Warmadewa.
 Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu,
maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali.
Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga
tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.

Demikianlah kisah dari Raja Udayana yang mampu memberikan rasa adil dan aman bagi rakyatnya
sehingga negara menjadi sejahtera dan mengalami masa kejayaan.
***
Posted 9th December 2015 by Bali Tours Guide

5.
SEP

Dharma Negara

Dharma Negara adalah bhakti kepada nusa dan bangsa yaitu kepatuhan manusia sebagai warga negara
pada hukum dan kebijaksanaan pemerintah sebagai guru wisesa dari lembaga keumatan dan negara
yang bersangkutan.

Atau dengan kata lain dalam Nitisastra disebutkan :


Kepatuhan manusia terhadap Tuhan, sesamanya, dan lingkungannya, serta Dharma negaranya.
Sebagai suatu bentuk tindakan, upaya, dan posisi serta kegiatan perseorangan atau kelompok orang
(partai) yang mengarah pada pembentukan kekuasaan untuk memimpin suatu negara atau
pemerintahan dalam etika perpolitik menurut Weda disebutkan :
 Yajurveda X.17, Seorang pemimpin dinobatkan untuk tujuan memperoleh sifat-sifat kedewataan yaitu
sifat cemerlangnya Sanghyang Agni, kejayaan Sanghyang Surya, dan keberanian Sanghyang Indra.
 Sifat-sifat kedewatan yang utama yaitu melindungi rakyat, mensejahterakan atau memakmurkan
kehidupan rakyat yang dipimpinnya, memberikan mereka kekuatan dan kemasyhuran, sebagaimana
disebutkan dalam Yajurveda XIII.30,VII.17, dan XXX.5.
 Rgveda I.54.11, dan Atharvaveda V.17.3,4 disebutkan :
 Oleh karena dalam sifat pribadi manusia ada dua kekuatan yang saling berlawanan yaitu sifat kedewaan
atau daiwi sampad seperti disebutkan di atas, dan sifat keraksasaan atau asuri sampad,
 Maka jelaslah sudah bahwa menurut kitab suci veda, seorang pemimpin atau politikus hendaknya
membuang jauh-jauh sifat-sifat asuri sampad tersebut.
 Pengabdian kepada nusa-bangsa dari seorang pemimpin atau politikus tercermin dari bentuk
pemerintahan yang demokratis atau berkedaulatan rakyat.
 Dapat mewujudkan mokshartam jagadita ya ca iti dharma (kebahagiaan lahir-bathin) bagi seluruh
rakyatnya. Jika ia berhasil dalam tugas pekerjaannya.
 Rgveda VIII.63.7, dan Ia akan dikenang sepanjang masa atau abadi.
.

Anda mungkin juga menyukai