Untuk mengisi kekosongan pemerintahan,setelah berhasilnya expedisi Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi, maka dinobatkanlah Sri Kresna Kepakisan, seorang keturunan brahmana dari Daha, Kediri sebagai penguasa Bali dan membentuk Dinasti Dalem. Istana Kerajaan saat itu berkedudukan di Samprangan, tempat pasukan Majapahit membangun kekuatan untuk menaklukan Bali. Pada masa pemerintahannya masih terjadi permusuhan dan pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa keturunan Raja Bedahulu dan para pengikutnya yang belum mau tunduk pada Majapahit. Menghadapi beberapa pemberontakan, Patih Gajah Mada bahkan harus mendatangkan prajurit tambahan dari Jawa. Sementara dalam bidang pemerintahan untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan sistem di Majapahit, didatangkan pula para “Manggala” atau aparat pemerintahan sehingga menambah kewibawaan Sri Kresna Kepakisan”.
2. Pembangunan Pura Dasar Gelgel (Abad 14 M)
“Pada tahun 1380 Masehi, Dalem Ketut Ngulesir yang putra Dalem Ketut Kresna Kepakisan diangkat menggantikan kakaknya Dalem Samprangan yang dipandang tidak cakap memimpin. Pusat pemerintahan pun dipindah dari Samprangan ke Gelgel dengan istananya yang bernama Swecapura. Sebagai seorang Raja, beliau mempunyai pergaulan yang dekat dengan rakyat sehingga dapat bertindak arif dan bijaksana. Dalam menyikapi tatanan kehidupan dari Bali Aga dengan Majapahit, maka beliau mendatangkan pendeta dari Keling untuk mengajarkan kebenaran dan ilmu spiritual. Salah satu bentuk apresiasi Dalem Ketut Ngulesir terhadap rakyat Bali Aga, Beliau membuat patung dan menyenggarakan Upacara Srada bagi Raja Bali sebelumnya, yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat, beliau mengangkat para Pasek untuk ikut serta dalam pemerintahan Desa Adat. Untuk mempersatukan semua lapisan masyarakat di Bali, Dalem Ketut Ngulesir memerintahkan untuk membangun Pura Dasar Gelgel”. 3. Dalem Waturenggong (1460-1550 M) “Dalem waturenggong bertahta menggantikan ayahnya Dalem Ketut Ngulesir pada tahun 1460 masehi. Berkat kebijaksanaan pendahulunya, Dalem Waturenggong dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan aman dan tentram. Keadaan ini memberi kesempatan berjalannya tradisi kesusastraan keraton Majapahit dan Kediri dalam kondisi yang dinamis. Namun demikian perhatian terhadap Kerajaan Bali Aga tidak menjadi surut. Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, terbawalah beberapa kepustakaan Majapahit ke Bali. Demikian pula kedatangan Danghyang Nirartha pada tahun 1489 yang mengajarkan konsepsi keesaan Tuhan (Parama Wisesa), menata kehudupan masyarakat (sesana) dan membangkitkan kesusastraan. Diperkirakan pada saat inilah Bali mengalami puncak kejayaan, termasuk lahirnya karya-karya sastra dan kesenian yang bernilai tinggi”.
4. Dang Hyang Niratha (1489 M)
“Kedatangan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra (Bali) atau Pangeran Sangupati (Sumbawa) atau Tuan Semeru (Lombok) panggilan Beliau, di tanah Bali merupakan bagian dari perjalanan tirta yatra Beliau dari Gunung Ijen, Jawa Timur. Mendengar kedatangan seorang pendeta sakti dari Tanah Jawa, Dalem Waturenggong menyambut kedatangan beliau dan memberikan tempat di Kerajaan Gelgel. Dengan keahliannya yang lengkap dari ilmu agama, peperangan, pemerintahan dan kesusastraan, beliau sangat berperan mendorong kemajuan peradaban rakyat di Bali. Selain melakukan misi tirta yatra, Beliau juga menata kehidupan keagamaan dengan Konsep Tri Purusa. Beliau juga berjasa mengembangkan bangunan Padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Siwa Raditya”.