Anda di halaman 1dari 2

Bali Masa Pertengahan

1. Penobatan Sri Kresna Kepakisan (1347-1350 M)


Untuk mengisi kekosongan pemerintahan,setelah berhasilnya expedisi Mahapatih Gajah
Mada pada tahun 1343 Masehi, maka dinobatkanlah Sri Kresna Kepakisan, seorang
keturunan brahmana dari Daha, Kediri sebagai penguasa Bali dan membentuk Dinasti
Dalem. Istana Kerajaan saat itu berkedudukan di Samprangan, tempat pasukan Majapahit
membangun kekuatan untuk menaklukan Bali. Pada masa pemerintahannya masih terjadi
permusuhan dan pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa keturunan Raja Bedahulu dan
para pengikutnya yang belum mau tunduk pada Majapahit. Menghadapi beberapa
pemberontakan, Patih Gajah Mada bahkan harus mendatangkan prajurit tambahan dari Jawa.
Sementara dalam bidang pemerintahan untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai
dengan sistem di Majapahit, didatangkan pula para “Manggala” atau aparat pemerintahan
sehingga menambah kewibawaan Sri Kresna Kepakisan”.

2. Pembangunan Pura Dasar Gelgel (Abad 14 M)


“Pada tahun 1380 Masehi, Dalem Ketut Ngulesir yang putra Dalem Ketut Kresna Kepakisan
diangkat menggantikan kakaknya Dalem Samprangan yang dipandang tidak cakap
memimpin. Pusat pemerintahan pun dipindah dari Samprangan ke Gelgel dengan istananya
yang bernama Swecapura. Sebagai seorang Raja, beliau mempunyai pergaulan yang dekat
dengan rakyat sehingga dapat bertindak arif dan bijaksana. Dalam menyikapi tatanan
kehidupan dari Bali Aga dengan Majapahit, maka beliau mendatangkan pendeta dari Keling
untuk mengajarkan kebenaran dan ilmu spiritual. Salah satu bentuk apresiasi Dalem Ketut
Ngulesir terhadap rakyat Bali Aga, Beliau membuat patung dan menyenggarakan Upacara
Srada bagi Raja Bali sebelumnya, yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Sedangkan dalam
kehidupan masyarakat, beliau mengangkat para Pasek untuk ikut serta dalam pemerintahan
Desa Adat. Untuk mempersatukan semua lapisan masyarakat di Bali, Dalem Ketut Ngulesir
memerintahkan untuk membangun Pura Dasar Gelgel”.
3. Dalem Waturenggong (1460-1550 M)
“Dalem waturenggong bertahta menggantikan ayahnya Dalem Ketut Ngulesir pada tahun
1460 masehi. Berkat kebijaksanaan pendahulunya, Dalem Waturenggong dapat
menyelenggarakan pemerintahan dengan aman dan tentram. Keadaan ini memberi
kesempatan berjalannya tradisi kesusastraan keraton Majapahit dan Kediri dalam kondisi
yang dinamis. Namun demikian perhatian terhadap Kerajaan Bali Aga tidak menjadi surut.
Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, terbawalah beberapa kepustakaan
Majapahit ke Bali. Demikian pula kedatangan Danghyang Nirartha pada tahun 1489 yang
mengajarkan konsepsi keesaan Tuhan (Parama Wisesa), menata kehudupan masyarakat
(sesana) dan membangkitkan kesusastraan. Diperkirakan pada saat inilah Bali mengalami
puncak kejayaan, termasuk lahirnya karya-karya sastra dan kesenian yang bernilai tinggi”.

4. Dang Hyang Niratha (1489 M)


“Kedatangan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang
Dwijendra (Bali) atau Pangeran Sangupati (Sumbawa) atau Tuan Semeru (Lombok)
panggilan Beliau, di tanah Bali merupakan bagian dari perjalanan tirta yatra Beliau dari
Gunung Ijen, Jawa Timur. Mendengar kedatangan seorang pendeta sakti dari Tanah Jawa,
Dalem Waturenggong menyambut kedatangan beliau dan memberikan tempat di Kerajaan
Gelgel. Dengan keahliannya yang lengkap dari ilmu agama, peperangan, pemerintahan dan
kesusastraan, beliau sangat berperan mendorong kemajuan peradaban rakyat di Bali. Selain
melakukan misi tirta yatra, Beliau juga menata kehidupan keagamaan dengan Konsep Tri
Purusa. Beliau juga berjasa mengembangkan bangunan Padmasana sebagai stana Ida Sang
Hyang Siwa Raditya”.

Anda mungkin juga menyukai