Anda di halaman 1dari 14

Sejarah, Agama dan Tradisi Suku

Tengger
Suku Tengger yang beragama Hindu hidup di wilayah Gunung Bromo, Kabupaten
Probolinggo, Jawa Timur. Pada tahun 1985 jumlah mereka sekitar 40 ribu.
Ada banyak makna yang dikandung dari kata Tengger. Secara etimologis,
Tengger berarti berdiri tegak, diam tanpa bergerak (Jawa). Bila dikaitkan dengan
adat dan kepercayaan, arti tengger adalah tengering budi luhur. Artinya tanda
bahwa warganya memiliki budi luhur.
Makna lainnya adalah: daerah pegunungan. Tengger memang berada pada
lereng pegunungan Tengger dan Semeru. Ada pula pengaitan tengger dengan
mitos masyarakat tentang suami istri cikal bakal penghuni wilayah Tengger,
yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Selain itu, di wilayah ini terdapat pula
cerita tentang Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo. Kisah
lainnya menyangkut Ajisaka aksara Jawa, juga kisah Klambi Antrakusuma.
Sejarah Tengger dari sisi ilmiah erat kaitannya dengan Prasasti Tengger
bertahun 851 Saka (929 Masehi), diperkuat Prasasti Penanjakan bertahun 1324
Saka (1402 Masehi). Disebutkan sebuah desa bernama Wandalit yang terletak di
pegunungan Tengger dihuni oleh Hulun Hyang (hamba Tuhan = orang-orang
yang taat beragama) yang daerah sekitarnya disebut hila-hila (Suci). Karena
itulah kawasan Tengger merupakan tanah perdikan istimewa yang dibebaskan
dari pembayaran pajak oleh pusat pemerintahan di Majapahit.
Masyarakat Tengger dikenal luas beragama Hindu, berpadu dengan kepercayaan
tradisional. Hindu masyarakat Tengger berbeda dengan Hindu di Bali.
Perbedaannya antara lain, Hindu Tengger tidak mengenal ngaben sebagai
upacara kematian sebagaimana di Bali.
Nancy J. Smith, seorang peneliti menyatakan, mantra-mantra yang dipakai dalam
upacara mirip juga dengan mantra Budha sehingga masyarakat luas juga
menyatakan bahwa suku Tengger beragama Budha. Namun menurut Nancy,
Budha di sini bukan dalam pengertian agama, melainkan istilah yang lazim
dipakai masyarakat Jawa untuk menyebut agama sebelum Islam. Memang, pada
zaman Majapahit diakui ada dua agama, yakni Hindu dan Budha. Pada abad ke-
14 setelah masuknya Islam, kata “Budha” dipakai untuk orang yang belum
menganut Islam.
Kaum Tengger dikenal taat beribadah dan menjalankan adat istiadat dengan
baik. Tak heran banyak cerita lama, mitos, dan legenda dari daerah ini. Ilmuwan
Asing pun juga menelusuri sejarah Masyarakat Tengger.
Masyarakat Tengger menghayati sesanti “Titi Luri” ((“Titi Luri”, berarti mengikuti
jejak para leluhur atau meneruskan Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat
nenek moyang secara turun temurun).
Jadi Setiap upacara dilakukan tanpa perubahan, persis seperti yang dilaksanakan
oleh para leluhurnya berabad-abad yang lalu
Masyarakat Tengger dikenal jujur, patuh, dan rajin bekerja. Mereka hidup
sederhana, tenteram, dan damai. Tidak terbatas laki-laki, namun wanitapun
juga, yang dewasa maupun anak-anak, semua berkain sarung.
I. Nenek Moyang Kaum Tengger: Rara Anteng dan Jaka
Seger
Sebagaimana disebut di atas, Tengger biasa dikaitkan juga dengan mitos
masyarakat tentang suami istri yang merupakan cikal bakal penghuni wilayah
Tengger, yakni Rara Anteng dan Joko Seger. Sehingga bila nama keduanya
diringkas menjadi: Tengger.
Alkisah, pada zaman dahulu,
ada seorang putri Raja
Brawijaya dengan Permaisuri
Kerajaan Majapahit. Namanya
Rara Anteng. Karena situasi
kerajaan memburuk, Rara
Anteng mencari tempat hidup
yang lebih aman. Ia dan para
punggawanya pergi ke
Pegunungan Tengger. Di
Desa Krajan, ia singgah satu
windu, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pananjakan. Ia menetap di
Pananjakan dan mulai bercocok tanam. Rara Anteng kemudian diangkat anak
oleh Resi Dadap, seorang pendeta yang bermukim di Pegunungan Bromo.
Sementara itu, Kediri juga kacau sebagai akibat situasi politik di Majapahit. Joko
Seger, putra seorang brahmana, mengasingkan diri ke Desa Kedawung sambil
mencari pamannya yang tinggal di dekat Gunung Bromo. Di desa ini, Joko Seger
mendapatkan informasi adanya orang-orang Majapahit yang menetap di
Pananjakan. Joko Seger pun melanjutkan perjalanannya sampai Pananjakan.
Joko Seger tersesat dan bertemu Rara Anteng yang segera mengajaknya ke
kediamannya. Sesampai di kediamannya, Rara Anteng dituduh telah berbuat
serong dengan Joko Seger oleh para pinisepuhnya. Joko Seger membela Rara
Anteng dan menyatakan hal itu tidak benar, kemudian melamar gadis itu.
Lamaran diterima. Resi Dadap Putih mengesahkan perkawinan mereka.
Sewindu sudah perkawinan itu namun tak juga mereka dikaruniai anak. Mereka
bertapa 6 tahun dan setiap tahun berganti
arah. Sang Hyang Widi Wasa menanggapi
semedi mereka. Dari puncak Gunung Bromo
keluar semburan cahaya yang kemudian
menyusup ke dalam jiwa Rara Anteng dan
Joko Seger. Ada pawisik mereka akan
dikaruniai anak, namun anak terakhir harus
dikorbankan di kawah Gunung Bromo.
Pasangan ini dikarunia 25 anak sesuai permohonan mereka, karena wilayah
Tengger penduduknya sangat sedikit. Putra terakhir bernama R Kusuma.
Bertahun-tahun kemudian Gunung Bromo mengeluarkan semburan api sebagai
tanda janji harus ditepati. Suami istri itu tak rela mengorbankan anak bungsu
mereka. R Kusuma kemudian disembunyikan di sekitar Desa Ngadas. Namun
semburan api itu sampai juga di Ngadas. R Kusuma lantas pergi ke kawah
Gunung Bromo. Dari kawah terdengar suara R Kusuma supaya saudarasaudaranya
hidup rukun. Ia rela berkorban sebagai wakil saudara-saudaranya
dan masyarakat setempat. Ia berpesan, setiap tanggal 14 Kesada, minta upeti
hasil bumi. Cerita lain menunjukkan saudara-saudara R Kusuma menjadi penjaga
tempat-tempat lain.
Maka setiap tanggal 14 bulan purnama di bulan Kasada, dikirimilah Raden
Kusuma beragam hasil ladang ke kawah Gunung Bromo. Upacara persembahan
tersebut menjadi tradisi yang diselenggarakan secara turun temurun hingga
sekarang yang diberi nama Yadnya Kasada.
Dukun selalu meriwayatkan kisah Joko Seger – Rara Anteng.
Berikut ini nama-nama 25 anak Joko Seger – Rara Anteng. Mereka dihubungkan
dengan tempat-tempat yang dianggap keramat di Bromo dan sekitarnya.
1. Tumenggung Klewung (Gunung Ringgit)
2. Sinta Wiji (Gunung Kidangan)
3. Ki Baru Klinting (Lemah Kuning)
4. Ki Rawit (Gunung Sumber Semani)
Sendratari Rara Anteng – Joko Seger
5. Jinting Jinah (Gunung Jinahan)
6. Ical (Gunung Pranten)
7. Prabu Siwah (Gunung Lingga)
8. Cokro Pranoto Aminoto (Gunung Gendera)
9. Tunggul Wulung (Cemoro Lawang)
10. Tumenggung Klinter (Gunung Penanjakan)
11. Raden Bagus Waris (Watu Balang)
12. Ki Dukun (Watu Wungkuk)
13. Ki Pranoto (Poten)
14. Ni Perniti (Gunung Bajangan)
15. Petung Supit (Tunggukan)
16. Raden Mas Sigit (Gunung Batok)
17. Puspa Ki Gentong (Widodaren)
18. Kaki Teku Niti Teku (Guyangan)
19. Ki Dadung Awuk (Banyu Pakis)
20. Ki Demeling (Pusung Lingker)
21. Ki Sindu Jaya (Wonongkoro)
22. Raden Sapujagad (Pundak Lemdu)
23. Ki Jenggot (Rujag)
24. Demang Diningrat (Gunung Semeru)
25. Raden Kusuma (Gunung Bromo)
II. Sejarah Gunung Batok, Lautan Pasir, Kawah Bromo
Di wilayah pegunungan di Tengger, kita mengenal adanya Gunung Batok,
Lautan Pasir, dan Kawah Gunung Bromo yang terkenal. Ternyata mereka
punya asal-usul dan sejarah dalam bentuk legenda. Dan legenda tersebut nggak
jauh-jauh dari tokoh Rara Anteng.
Sebelum Rara Anteng dinikahi Joko Seger, terdapat Kyai Bima, penjahat sakti
yang naksir. Rara Anteng tidak bisa menolak begitu saja lamaran itu. Ia
menerimanya dengan syarat, Kyai Bima membuatkan lautan di atas gunung dan
selesai dalam waktu semalam.
Kyai Bima menyanggupi persyaratan tersebut dan bekerja keras menggali tanah
untuk membuat lautan dengan menggunakan tempurung (batok) yang bekasnya
sampai sekarang menjadi Gunung Bathok, dan lautan pasir (segara wedhi)
terhampar luas di sekitar puncak Gunung Bromo. Untuk mengairi lautan pasir
tersebut, dibuatnya sumur raksasa, yang bekasnya sekarang menjadi kawah
Gunung Bromo.
Rara Anteng cemas melihat kesaktian dan kenekatan Kyai Bima. Ia segera
mencari akal untuk menggagalkan minat Kyai Bima atas dirinya. Ia pun
menumbuk jagung keras-keras seolah fajar telah menyingsing, padahal masih
malam. Mendengar suara orang menumbuk jagung, ayam-ayam bangun dan
berkokok. Begitu pula burung. Kyai Bima terkejut. Dikira fajar telah menyingsing.
Pekerjaannya belum selesai. Kyai Bima lantas meninggalkan Bukit Penanjakan. Ia
meninggalkan tanda-tanda:
1.Segara Wedhi, yakni hamparan pasir di bawah Gunung Bromo
2.Gunung Batok, yakni sebuah bukit yang terletak di selatan Gunung Bromo,
berbentuk seperti tempurung yang ditengkurapkan.
3.Gundukan tanah yang tersebar di daerah Tengger, yaitu: Gunung Pundaklembu,
Gunung Ringgit, Gunung Lingga. Gunung Gendera, dan lain-lain.
III. Kisah Baju Antrakusuma
Tersebutlah dua orang bernama Mbah Tunggak dan Mbah Tampa. Mereka
bertapa di Gua Purwana, sebelah timur pedukuhan Baledono. Saat tengah
malam mereka melihat benda di angkasa. Benda itu mereka ikuti. Akhirnya
benda itu turun di Tunggul Wulung, kurang lebih 1 km dari Tosari ke arah
Ngadiwono. Benda itu berhasil dipegang, namun lepas dan terbang kembali. Saat
itu benda yang ternyata Baju Antrakusuma tersebut berkata: aku gelem
dienggo, ning rumaten sing apik (aku mau dipakai, tapi pelihara dengan baik).
Kini benda itu tak ada lagi. Konon dijual Dukun Tosari bernama Pak Kamar. Saat
meninggal jasad Pak Kamar hancur membusuk dalam waktu singkat.
Istilah Antrakusuma dipakai di Kabupaten Pasuruan: Tosari, Wonokitri, Sedaeng,
Ngadiwono. Sedangkan istilah Antakusuma dipakai di Kabupaten Probolinggo,
seperti Ngadas, Ngadisari, dan Sukapura.
IV. Dukun: Pimpinan Agama dan Adat
Kepala kelompok-kelompok masyarakat disebut Dukun. Dukun sebagai pimpinan
Agama sekaligus sebagai Kepala
Adat, bertugas dan bertanggung
jawab memimpin upacaraupacara
adat. Dalam menunaikan
tugasnya, Dukun dibantu oleh
beberapa orang petugas yaitu:
 Wong Sepuh, bertugas
sebagai pembantu dalam
menyiapkan sesaji upacaraupacara
kematian.
 Legen, bertugas membantu
Penobatan Tamu Kehormatan
mempersiapkan peralatan dan sesaji pada upacara perkawinan.
 Dukun Sunat, bertugas melaksanakan khitanan anak laki-laki menjelang umur
remaja. Khitan bagi anak laki-laki Tengger berbeda dengan khitan dalam
Agama Islam. Khitan anak laki-laki Tengger hanya sekedar memotong sedikit
kulit ujung penis.
 Dukun Bayi, bertugas menolong ibu yang akan melahirkan.
Memperhatikan betapa pentingnya peran dukun bagi Masyarakat Tengger, maka
ditetapkan setiap desa dikepalai seorang Dukun. Dukun dipilih oleh warga
dengan persyaratan tertentu, yaitu :
(1). Laki-laki sudah menikah,
(2). Keturunan Dukun / titisan darah,
(3). Dapat menguasai semua mantera / adat istiadat.
Ujian calon Dukun dilakukan di Poten tempat upacara adat dan dilaksanakan
bertepatan dengan Yadnya Kasada.
V. Macam-macam Upacara Adat Suku Tengger
V.1. Upacara Kasada
Upacara ini sangat terkenal di kalangan wisatawan. Bromo seolah identik dengan
Kasada. Padahal masih banyak upacara penting lain untuk Suku Tengger.
Kesada merupakan hari penting untuk memperingati kemenangan Dharma
melawan Adharma. Upacara ini dilakukan pada tanggal 14 dan 15 bulan Purnama
pada bulan keduabelas. Inilah yang disebut Kasada. Pelaksanaannya di Lautan
Pasir, sisi Utara kaki Gunung Batok, dan upacara pengorbanannya di tepi kawah
Puncak Bromo.
Upacara ini sering disebut sebagai upacara Kurban. Biasanya lima hari sebelum
upacara Yadnya Kasada, diadakan berbagai tontonan seperti; tari-tarian, balapan
kuda di lautan pasir,
jalan santai, pameran.
Menurut Prof. Dr,
Simanhadi
Widyaprakosa,
akademisi yang
meneliti tengger,
dalam bukunya
Masyarakat Tengger,
Latar Belakang Daerah
Taman Nasional
Bromo, sesajen
persembahan disebut
Ongkek terdiri dari 30
macam buah-buahan dan kue. Ongkek inilah yang akan dibuang di kawah
Pulang Mengambil "Air Suci" dari Gowa
gunung Widodaren
Gunung Bromo. Bahan pembuatan ongkek diambil dari desa yang selama
setahun tidak memiliki warga yang meninggal.
Upacara Kasada juga dipakai untuk mewisuda calon dukun baru. Disebut Diksa
Widhi. Di samping itu ada pula upacara penyucian umat yang disebut palukatan.
V.2. Upacara Karo
Upacara ini bertujuan untuk kembali ke Satyayoga, yakni kesucian. Upacara Karo
juga merupakan upacara besar. Paling besar setelah Kasada.
Masyarakat Tengger mempercayai, pada Hari Raya Karo inilah Sang Hyang Widhi
Wasa (Tuhan YME) menciptakan “Karo”, yakni dua manusia berjenis lelaki dan
perempuan sebagai leluhurnya, yakni Rara Anteng dan Jaka Seger.
Upacara Karo dilaksanakan 12 hari. Masyarakat Tengger mengenakan pakaian
baru, perabot baru. Makanan dan minuman melimpah pada hari raya mereka.
Antarkeluarga saling mengunjungi.
Tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah: Mengadakan pemujaan terhadap
Sang Hyang Widi Wasa dan menghormati leluhurnya. Memperingati asal usul
manusia. Untuk kembali pada kesucian. Untuk memusnahkan angkara murka.
Upacara Karo di Bromo selalu dihubungkan dengan Legenda Ajisaka sebagai
refleksi sifat dan sikap kejujuran sebagaimana manusia di Zaman Satya Yoga.
Alkisah, pada zaman dahulu (diperkirakan abad pertama masehi), ada seorang
pengembara sakti bernama Saka yang baru saja menyelesaikan pelajaran
susastra di padepokan yang dipimpin resi. Dua murid yang menyertainya adalah:
Dora dan Sembada.
Mereka mengembara menembus hutan belantara, singgah di tempat-tempat
suci. Akhirnya, sampailah mereka pada sebuah pulau yakni Majesti. Pulau ini
sangat indah dan menenteramkan. Karena perjalanan masih panjang sedangkan
bawaan berharga sangat banyak, Saka mengadakan undian untuk menentukan
siapa yang harus menjaga barang-barang tersebut. Ternyata yang harus
menjaga barang adalah Dora. Sebelum berangkat Ajisaka menitipkan Keris
Sarutama. Ia berpesan, janganlah keris itu diberikan pada siapa pun kecuali ia.
Saka dan Sembada meneruskan perjalanan dan sampai ke Pulau Jawa. Di pulau
ini mereka bertemu suami istri yang tua dan tidak memiliki anak. Saka dan
Sembada tinggal bersama mereka dan diangkat sebagai anak. Di Medang tempat
mereka tinggal, terdapat raja raksasa bernama Dewata Cengkar, yang memiliki
kebiasaan buruk, yaitu makan daging manusia setiap hari. Rakyat harus setor
bergiliran padanya.
Tiba giliran orangtua Saka untuk mengirim seorang korban. Sang ibu akan
dikorbankan karena keluarga tersebut tidak memiliki anak. Saka mendengar.
berita itu dan bersedia menjadi pengganti. Berangkatlah ia ke Medang untuk
menjadi korban.
Sampai di Medang, Saka diterima patih dan diantar ke Dewata Cengkar. Melihat
pemuda tampan dan sehat, bukan main senangnya Dewata Cengkar. Sebelum
dijadikan korban, Saka meminta agar kedua orangtua angkatnya diberi tanah
seluas ikat kepalanya dan pemberian itu disaksikan rakyat. Permintaan itu
dikabulkan. Maka, digelarlah ikat kepala itu di atas tanah, disaksikan banyak
orang. Saka membuka lipatan ikat kepala. Ternyata lipatan itu tidak ada
habisnya, sampai di tepi laut Selatan. Dewata Cengkar tergiring terus pada
penggelaran lipatan tersebut sampai akhirnya sampai ke sebuah mulut tebing.
Jatuhlah ia.
Sepeninggal Dewata Cengkar, negara Medang dipimpin Saka dengan gelar Aji
Saka. Rakyat hidup bahagia.
Suatu hari Saka ingat meninggalkan Dora dan barang-barangnya. Diutuslah
Sembada untuk mengambil keris dan barang-barang lainnya. Sesampai di Pulau
Majesti, Sembada dan Dora saling melepas rindu. Sembada menyatakan niat
kedatangannya untuk mengambil keris dan barang-barang. Dora menolak
memberikan karena ia ingat pesan Saka untuk tidak memberikan keris itu kepada
siapa pun selain Aji Saka sendiri. Terjadilah adu mulut yang disusul perkelahian.
Mereka saling tusuk tanpa mempedulikan rasa sakit. Keduanya sama kuat, sama
jaya dan pada satu titik keduanya kelelahan dan mati bersama. Setelah mati,
Dora roboh ke barat dan Sembada roboh ke timur. Tidak ada yang menang dan
tidak ada yang kalah.
Setelah lama ditunggu muridnya tak kunjung muncul, Ajisaka sendiri menuju
Pulau Majesti. Ia melihat kenyataan dua utusannya meninggal dengan bekas
tusukan Pusaka Sarutama. Ajisaka tergerak menciptakan aksara jawa untuk
memperingati pengabdian dua muridnya. Bunyinya:
Hanacaraka: Ada utusan
Datasawala: Saling bertengkar
Padhajayanya: Sama-sama berjaya (kuat dan sakti)
Magabathanga: Mereka menjadi bangkai.
V.3. Upacara Unan-Unan
Upacara ini setiap lima tahun sekali. Dalam upacara ini selalu diadakan
penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau. Kepala Kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar
pamujan.
Unan-unan berasal dari istilah tuna alias rugi. Unan-unan berarti melengkapi
kerugian dengan upacara. Apa sih yang dianggap rugi? Ini berhubungan dengan
perhitungan hari orang-orang Tengger. Ada hari-hari yang harus digabungkan
sehingga dianggap rugi.
Indosiar.com melansir, Unan-unan juga dipakai sebagai sarana mengusir
makhluk halus sekaligus untuk menyelamatkan desa dari malapetaka.
Unan - Unan menyempurnakan kekurangan atau perbuatan yang telah
merugikan kehidupan. Ritual Unan - Unan diawali dengan mengarak sesaji
berupa kepala kerbau dari Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura,
Probolinggo menuju sanggar pemujaan ditempat pendiri desa (punden). Seluruh
tokoh agama, tokoh desa dan warga suku Tengger berpakaian adat ikut serta
dalam arak - arakan dengan diiringi gamelan Jawa dan tarian Reog.
Doa - doa dan mantra dibacakan sepanjang perjalanan menuju sanggar
pemujaan. Cara ini dilakukan agar seluruh makhluk halus tidak mengganggu
sepanjang ritual berlangsung. Setibanya disanggar pemujaan dukun dan para
tokoh adat mengambil tempat untuk melakukan sembahyangan dan memantrai
air suci.
Air suci itulah yang kemudian ditabur kepada seluruh peserta upacara adat,
sebagai simbol pengusiran kesilauan hidup.
Ritual Unan - Unan ternyata juga bertujuan menyempurnakan para arwah yang
belum sempurna untuk kembali ke alam asalnya.
Ritual Unan - Unan biasanya dilaksanakan serentak di lima desa disekitar lereng
Bromo, yaitu Desa Ngadisari, Jetak, Wonokriti, Wonokerso dan Sukapura.
V.4. Upacara Kapat
Upacara Kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut
pujan kapat, bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat
kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
V.5. Upacara Kawulu
Upacara ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tahun saka. Pujan Kawolu
sebagai penutupan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa,
dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan
bintang.
V. 6. Upacara Kasanga
Upacara ini jatuh pada bulan sembilan (sanga) tahun saka. Masyarakat
berkeliling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor. Upacara
diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke rumah kepala desa, untuk
dimantrai oleh pendeta. Selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk
barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan upacara ini adalah memohon kepada
Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan Masyarakat Tengger.
V.7. Upacara Mayu Desa
Upacara Mayu Desa yang dilakukan suku Tengger di Desa Wonokitri, Tosari,
Pasuruan, Jawa Timur, intinya ada dua, yakni Mayu Banyu dan Mayu Desa.
Sebagaimana dilansir beritabaru.com, Upacara tradisi Mayu Banyu dilakukan
untuk melestarikan sumber air sebagai sumber kehidupan warga suku Tengger
di Gunung Bromo. Sedangkan upacara tradisi Mayu Desa dilakukan agar warga
masyarakat serta desa yang ditinggalinya aman dari sengkala (bencana).
Upacara tradisi Mayu Banyu dan Mayu Desa dilakukan setiap lima tahun sekali.
Pelaksanaannya selalu dilakukan bertepatan dengan penutupan Hari Raya Karo,
yakni Hari Raya bagi suku Tengger di Gunung Bromo.
Upacara tradisi Mayu Desa masih tetap lestari di Desa Wonokitri, karena warga
tetap setia melaksanakannya, meski biayanya cukup besar bagi sebagian besar
petani di sana. Untuk menyelenggarakan upacara tradisi Mayu Desa di Wonokitri,
setiap kepala keluarga dikenai biaya Rp211.000, sedangkan jumlah KK di Desa
Wonokitri sebanyak 674 keluarga.
Prosesi upacara tradisi Mayu Desa dimulai dari Balai Desa Wonokitri. Seluruh
warga yang dipimpin para Dukun Pandita melakukan kirab keliling desa dengan
membawa berbagai sesaji di dalam banten, serta ancak.
Sejaji itu kemudian dibawa ke pura setempat untuk dibacakan mantera-mantera.
Kurban biasanya seekor kerbau dan dua ekor kambing. Kepala kerbaunya
ditanam di tengah simpang empat jalan desa. Sedangkan dua kepala kambing
dibuang ke jurang di perbatasan desa.
Berbagai sesaji yang telah dibacakan mantera di pura, juga dimakan para umat
yang mengikuti upacara traisi tersebut dan sebagian dibuang ke dasar jurang di
batas desa yang dianggap keramat. Yang menarik selain sesaji, dalam setiap
prosesi upacara juga disajikan tarian tradisional tandak, serta minuman bir.
Upacara tradisi Mayu Desa selain diawali dengan sembahyang di pura, juga
dilakukan upacara di tempat-tempat yang dianggap keramat bagi warga suku
Tengger di Desa Wonokitri, yakni di penampungan air yang dianggap sebagai
instalasi vital bagi warga suku Tengger, serta di jurang yang dianggap keramat.
VI. Konsep tentang Manusia
Bagi kaum Tengger, konsep tentang manusia erat kaitannya dengan siklus
kehidupan: kehamilan dan kelahiran, perkawinan serta kematian. Momenmomen
itu selalu dirayakan dengan upacara adat.
VI.1. Hamil, Lahir, Pernikahan
Pada saat ibu hamil 7 bulan dirayakan dengan Upacara Sesayut. Kelahiran
disambut dengan upacara untuk memberitahukan tanah tempat kelahiran.
Cuplak Puser (lepas pusar), dirayakan dengan upacara Kekerik dan pada usia
4 tahun ditandai dengan upacara Tugel Kuncung (pemotongan rambut) bagi
anak perempuan dan Tugel Gombok bagi anak laki-laki.
Perkawinan kembali dirayakan dengan upacara Walagara. Perkawinan
merupakan sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia, sebab
perkawinan bukan hanya menyangkut dua orang yang memadu cinta saja tetapi
perkawinan juga melibatkan dua keluarga dan masyarakat secara umum.
Menurut kepercayaan Masyarakat Tengger, peristiwa perkawinan juga diikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Sebelum upacara perkawinan
dimulai, didahului dengan acara nelasih atau ziarah kubur dan memberikan
tetamping atau sesaji.
Perkawinan Masyarakat Tengger umumnya masih berlaku antara kalangan
mereka sendiri (endogami). Bila calon mempelai wanita Tengger akan menikah
dengan pria non Tengger, maka pelaksanaanya harus mengikuti adat Tengger
dan menikah dengan acara agama Hindu. Kalau laki-laki Tengger menikah
dengan gadis di luar masyarakat Tengger (non Tengger), misalnya menikah
dengan gadis Islam, maka perkawinan boleh menurut agama Islam atau
sebaliknya. Meskipun ia telah menikah secara non Tengger, tetapi masih diakui
sebagai “sedulur” (keluarga) dan tetap dianggap sebagai warga Tengger.
Umumnya pemuda Tengger mencari jodoh atau istri sendiri. Hari perkawinan
tidak lepas dari perhitungan weton (hari kelahiran) calon mempelai seperti dalam
adapt perkawinan Jawa. Jumlah neptu kelahiran mempelai bila dibagi tiga tidak
boleh habis dan yang terbaik bila sisa dua. Tahap selanjutnya apabila kedua
orang tua telah setuju, maka calon mempelai laki-laki sendiri yang datang
melamar, diantar orang tuanya. Dalam lamaran tidak ada barang “peningset”
seperti pada masyarakat Jawa, sebab menurut anggapan mereka, peningset itu
merupakan barang pinjaman atau hutang. Biasanya sebelum hari perkawinan,
pihak keluarga mempelai laki-laki datang lagi ke rumah calon besan dengan
membawa beras dan bahan-bahan mentah lainnya. Pelaksanaan perkawinan
bertempat di rumah keluarga mempelai wanita, umumnya pada pagi hari.
Mempelai laki-laki duduk di sebelah kanan dukun, sedangkan wali mempelai
perempuan duduk di sebelah kirinya. Di depan mereka tersedia seperangkat
sesaji terdiri dari 5 piring jenang merah-putih, 1 piring arang-arang kambang, 7
piring nasi dan telur, satu sisir pisang ayu (pisang raja), 7 buah nasi golong dan
telur, uang secukupnya.
Sambil membaca mantra, tangan kiri dukun memegang tangan kanan wali,
tangan kanannya memegang tangan kanan mempelai laki-laki. Baik mempelai
laki-laki maupun wali disuruh menirukan ucapan dukun. Ada kalanya perkawinan
terpaksa dibatalkan karena sesuatu sebab, misalnya:

Karena hubungan keturunan yang masih dekat, misalnya satu canggah
(neneknya nenek).
 Dadung kepuntir. Contoh, A, B dan C masing-masing mempunyai anak lakilaki
dan juga anak perempuan. Mereka bukan keturunan satu canggah.
Tetapi kalau anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B, anak lakilaki
B kawin dengan anak perempuan C dan anak laki-laki C kawin dengan
anak perempuan A, maka perkawinan semacam ini tidak diperbolehkan.
 Papakan Wali. Contohnya, A dan B masing-masing mempunyai anak laki-laki
dan perempuan. Anak laki-laki A kawin mendapat anak perempuan B dan
anak laki-laki B kawin mendapat anak perempuan A. Maka perkawinan
demikian disebut papagan wali dan tidak diijinkan.
 Kesandung watang atau kerubuhan gunung, bila akan dilakukan perkawinan
ada keluarga dekat yang meninggal dunia, maka perkawinan harus
dibatalkan.
VI.2. Kematian: Upacara Entas-entas
Masyarakat Hindu di Tengger
tidak mengenal pembakaran
mayat seperti di Bali, tetapi
melakukan pembakaran
boneka berpakaian yang
dilambangkan manusia yang
meninggal ditempat
pembakaran setelah mayat
dimakamkan.
Sesudah dimandikan dengan
air yang dimantrai oleh dukun,
mayat orang meninggal lalu dikafani kain putih tiga lapis, kemudian diusung
dengan ancak terbuat dari bambu, dikubur membujur ke timur dan terlentang.
Upacara Entas-entas
Selanjutnya diadakan upacara “misahi”, yaitu perpisahan antara orang yang
meninggal dengan keluarganya, dipimpin seorang dukun. Selanjutnya setelah 44
hari atau lebih diadakan Upacara “Entas-Entas”.
Upacara ini dimaksudkan untuk memohon ampun kepada Sang Maha Agung agar
arwah almarhum yang masih “Nglambrang” (melayang-layang tak menentu)
segera dapat masuk surga.
Pada upacara entas-entas ini dibuat boneka yang terbuat dari dedaunan, bunga
kenikir dan janur kuning yang menggambarkan jasad almarhum. Boneka
tersebut disebut petra. Petra diberi pakaian dari pakaian asli almarhum yang
dientas. Banyaknya petra yang dientas juga menurut jumlah orang yang
meninggal.
Dukun membacakan mantra pendahuluan selama lebih dari satu jam sambil
membunyikan genta kecil. Di depan dukun ada beberapa anak kecil tidak
memakai baju, dikerudungi kain putih. Jenis kelamin dan jumlah anak-anak
menurut jenis kelamin dan jumlah yang dientas. Selama dukun membaca
mantra, kira-kira baru separuhnya, ibu dukun dibantu beberapa lainnya menanak
nasi dengan api dari buah jarak.
Selanjutnya dukun membakar sedikit ujung rambut anak-anak tadi, lalu
menjarumi kain putih yang dijadikan kerudung. Dukun hanya menirukan gerakan
orang menjarum, tetapi tanpa benang. Setelah selesai, dukun menaruh beras
dikepala anak-anak tadi, kemudian mengambil itik dan ayam putih mulus,
dipatuk-patukan pada beras dikepala anak-anak tadi. Legen memecah buah
kelapa dengan parang didepan pintu rumah. Acara terakhir dibacakan mantra
penutup oleh dukun, kemudian petra-petra tersebut dibawa ke tempat danyang
(tempat peleburan) untuk dibakar. Rupanya pembakaran petra dimaksudkan
sebagai pengganti upacara ngaben.
VII. Lain-lain:
 Orang Tengger Mereka berbahasa Jawa Tengger, agak berbeda dengan
bahasa Jawa umumnya di Jawa Timur. Mereka mengenal semedi, puasa
ngebleng (tidak makan tidak minum sama sekali), puasa mutih (hanya makan
nasi putih dan air putih saja), yang biasa dilakukan oleh orang Jawa pada
masa lalu.
 Dasar perhitungan yang digunakan untuk tanggal, bulan dan nama hari,
nama bulan bersifat khas dan berlaku khusus bagi masyarakat Hindu di
Tengger. Meskipun sebulan berjumlah 30 hari seperti pada umumnya,
Masyarakat Tengger hanya mengenal tanggal 1 sampai tanggal 15.
Selanjutnya untuk tanggal 16 sampai tanggal 30 disebut panglong 1 sampai
panglong 15. Jadi perhitungan tanggal didasarkan pada munculnya bulan
Sabit hingga Bulan Penuh (Purnama). Tatkala bulan berjalan susut
(berkurang) yaitu sejak tanggal 16 sampai dengan 30 disebut panglong.
Urutan nama hari ia-lah : 1. Soma (Senin), 2. Anggara (Selasa), 3. Budha
(Rabu), 4. Wrespati (Kamis), 5. Sukra (Jum’at), 6. Tumpek (Sabtu), 7. Radite
(Minggu).
 Perhitungan tahun yang dipergunakan adalah Tahun Caka (Saka), 1 Tahun
354 hari terbagi atas 12 Bulan dengan nama-nama bulan sebagai berikut : 1.
Bulan Kasa, 2. Bulan Karo, 3. Bulan Katiga, 4. Bulan Kapat, 5. Bulan Kalima,
6. Bulan Kanem, 7. Bulan Kapitu, 8. Bulan Kawolu, 9. Bulan Kasanga, 10.
Bulan Kasepuluh, 11. Bulan Desta, 12. Bulan Kasada.

Anda mungkin juga menyukai