Anda di halaman 1dari 9

MANGGONG, SEJARAH DAN CERITA SEBUAH NAMA

Manggong adalah sebuah wilayah yang berstatus administrasi


sebagai Kelurahan sejak tahun 2007. Berada di wilayah Temanggung
utara yakni di Kecamatan Ngadirejo, dan menjadi salah satu pusat
keramaian dan pusat perdagangan di Kecamatan Ngadirejo dengan
adanya Pasar Adiwinagoen yang ada di wilayah administrasi Kelurahan
Manggong. Hal ini menjadikan warga Manggong sebagian besar
berprofesi sebagai pedagang.
Nama Manggong sendiri memiliki banyak kisah. Beberapa orang
menyebut bahwa nama Manggong berasal dari nama Demang Gong yang
menurut cerita sejarah adalah salah satu cikal bakal dari Temanggung.
Lain lagi dengan cerita jalanan yang seringkali menyebut Manggong ini
namanya disebut begitu karena banyak warganya punya hobi sanggong
(berjudi). Namun pada dasarnya pembentukan nama sebuah wilayah tak
pernah tanpa cerita, entah dari cerita legenda, maupun dari cerita sejarah
dengan bukti-bukti peninggalannya. Lantas bagaimana dengan
Manggong? Benarkah ada kaitannya dengan Demang Gong? Atau nama
Manggong hanya sebatas karena warganya suka sanggong?
Manggong rupanya bukan wilayah yang dibangun kemarin sore.
Peradaban di daerah Manggong sendiri telah berlangsung lama, dapat
disebutkan seera dengan peradaban yang ditemukan di Liyangan,
Ngadirejo. Terbukti di wilayah Manggong ditemukan adanya peninggalan-
peninggalan dari zaman yang sama. Bukan hanya penemuan-penemuan
sejarah di wilayah Manggong saja, namun juga penemuan berdasarkan
data yang termuat dalam prasasti Kerajaan Medang yang dikeluarkan
pada abad ke-8 hingga abad ke-10, ada beberapa hal yang terkait dengan
keberadaan Manggong di era tersebut.
Prasasti tersebut disebutkan dalam buku karya Hendro Martono yang
berjudul Penelusuran Sumber Sejarah Kuno di Temanggung yang berisi
data temuan artefaktual di sekitar Temanggung.
Terdapat beberapa Prasasti yang memuat informasi mengenai
daerah-daerah di Temanggung zaman Medang. Prasasti- prasasti
tersebut menyebutkan beberapa tokoh dan wilayah yang masih digunakan
hingga sekarang sebagai nama tempat berupa dusun atau desa di wilayah
Temanggung.
Dugaan adanya peradaban di wilayah Manggong Kuno bermula
dari sebuah nama tokoh yang beberapa kali disebutkan dalam prasasti
penting. Sumber dugaan tersebut adalah Prasasti Munduan yang
bertarikh 807 Masehi. Dalam Prasasti Munduan yang ditemukan di Dusun
Toro, Desa Kertosari, Kecamatan Jumo, satu kali menyebutkan kata
Wahuta Ptir. Jika dieja dalam bahasa baru menjadi Petir. Dalam prasasti
tersebut disebutkan,

“Wahuta Ptir Pandakyan pirak dha 1 wdihan yu 1 sowang sowang.”

Terjemahan adalah sebagai berikut,

”Wahuta Petir di Pandakyan (mendapatkan) perak 1 dha dan sepasang


kain.”

Kalimat tersebut dapat ditafsirkan sebagai pemberian hadiah


terhadap Wahuta Petir di Pandakyan. Dalam pembagian jabatan di
Kerajaan Medang, dikenal pangkat atau jabatan Wahuta. Wahuta adalah
jabatan pemberian dari pusat pemeritahan untuk mengurusi perkara tanah
di setiap Wanua (desa). Pejabat Wahuta merupakan jajaran tinggi di
tingkat Rama (tetua desa). Dalam hal ini, pejabat Wahuta di desa
Pandakyan adalah seseorang yang bernama Petir. Merujuk pada tokoh
Wahuta Petir, tepat disebelah selatan Kelurahan Manggong, terdapat
Desa Petirrejo, atau pada umumnya masyarakat menyebutkan Desa Petir
saja. Hal ini mengindikasikan bahwa nama Petir ini dipertahankan selama
berabad-abad dan diabadikan sebagai nama daerah yang sekarang ini
dikenal dengan Desa Petirrejo. Hal ini sangat dimungkinkan karena
jabatan Wahuta merupakan jabatan yang tinggi dalam sebuah desa kuno
mengenai urusan tanah.
Seorang pejabat tanah dicitrakan dengan ketegasan dan
keadilanya sehingga mampu memutuskan perkara pertanahan yang
berlangsung di Desa Pandakyan tempat ia bekerja. Hal ini yang
menjadikannya sebagai sebuah pikiran bagi masyarakat setempat. Pikiran
tersebutlah yang akhirnya mempengaruhi budaya masyarakat setempat
supaya meneladani seorang tokoh yang dikenal berpengaruh di
daerahnya. Kemudian budaya akan mempengaruhi bahasa masyarakat
dan timbul realisasi gejala bahasa untuk menamakan daerahnya dengan
nama tokoh tersebut. Berdasarkan temuan ini tidak menutup kemungkinan
bahwa Kelurahan Manggong di tahun 807 Masehi (bahkan sebelumnya)
merupakan daerah yang sama dengan Desa Petirejo. Mengingat wilayah
satu Wanua di masa Kerajaan Medang lebih luas jika dibandingkan
dengan desa maupun kelurahan di masa kini. Hal ini mengindikasikan
bahwa Desa Petir dan Kelurahan Manggong saat itu adalah satu bagian
ruang sejarah yang bernama Wanua Pandakyan. Hal ini dapat diverifikasi
dengan temuan arkeologis di wilayah ini.
Di Kelurahan Manggong ditemukan beberapa artefak diantaranya
adalah Lumpang Batu, Batu Yoni, dan Batu Kemuncak Candi. Ketiga
artefak tersebut merupakan tingalan zaman Kerajaan Medang dilihat dari
coraknya. Begitu pula di Desa Petir juga ditemukan sebuah Arca Ganesha
yang bercorak tinggalan Kerajaan Medang. Hal ini membuktikan bahwa
baik Kelurahan Manggong ataupun Desa Petir pernah menjadi daerah
pemukiman zaman Kerajaan Medang. Dan tidak menutup kemungkinan di
dua wilayah tersebut akan ditemukan jejak-jejak peninggalan Kerajaan
Medang yang lain jika dilakukan penelitian lebih mendalam.
Gambar 1. Batu Yoni yang ditemukan di pemakaman warga Manggong
Gambar 2. Batu Yoni yang ditemukan di area persawahan
Era Kerajaan Medang di wilayah Manggong diduga berakhir pada
abad ke IX atau ke X. Berakhirnya peradaban ini diduga kuat karena
letusan gunung Sindoro yang diduga meletus pada sekitar tahun 871 M.
Diketahui bahwa letusan Gunung Sindoro saat itu meluluhlantakan banyak
pemukiman di bawahnya termasuk sebagian besar wilayah Kecamatan
Ngadirejo di jaman itu. Wilayah yang tertimbun termasuk Situs
Liyangan dan tak pelak wilayah Manggong yang ada sekitar 3 km di
bawah Situs Liyangan juga ikut tertimbun limpahan dari Gunung Sindoro.
Mengakibatkan peradaban Manggong sempat hilang, yang terbukti
dengan tidak adanya temuan-temuan barang sejarah pada era setelah
letusan Gunung Sindoro tersebut. Diduga kuat sebagian besar warga
masyarakat Manggong saat itu menjadi korban dari bencana alam yang
dahsyat ini. Warga yang selamat berpindah ke wilayah timur, diduga di
wilayah Kecamatan Jumo saat ini. Itu yang menjadi alasan adanya
temuan-temuan di wilayah Jumo yang menyebutkan wilayah-wilayah
Ngadirejo jaman itu.
Pertanda sejarah mulai ditemukan kembali pada sekitar abad ke
XV pada masa Kerajaan Demak Bintoro yang merupakan kerajaan Islam
tertua di Pulau Jawa. Rupanya di jaman itu wilayah Temanggung menjadi
salah satu wilayah ekspansi baik bagi pemerintahan Kerajaan Demak
maupun bagi penyebaran agama Islam kala itu.
Di Temanggung sendiri telah dikenal Kyai Ageng Makukuhan
sebagai pendiri wilayah Kedu yang juga berasal dari Kerajaan Demak. Di
era yang sama adalah Kyai Manggono yang diduga merupakan salah satu
prajurit di bawah komando Panglima Kerajaan Demak Bintoro, Kyai Hasan
Munadi menjadi cikal bakal keberadaan Manggong setelah peradabannya
hilang paska meletusnya Gunung Sindoro. Kyai Manggono datang ke
wilayah kaki Gunung Sindoro ini sebagai utusan Kerajaan Demak dan
juga untuk berdakwah di wilayah baru ini. Diduga kuat nama Manggong
berasal dari nama Kyai Manggono ini. Kyai Manggono kemudian menetap
dan tinggal di Manggong, dan keturunannya pun masih ada hingga saat
ini.
Dalam perjalanannya nama Kyai Manggono sendiri lebih dikenal
sebagai Ki Gondang dan istrinya dikenal sebagai Nyi Gondang. Bahkan
makamnya ditemukan dengan nama Ki Gondang- Nyi Gondang. Makam
ini berlokasi di pemakaman umum warga Manggong yang berada di tepat
belakang kantor Kelurahan Manggong. Penemuan makam ini terjadi di
tahun 2010 oleh seorang warga local Manggong yang juga merupakan
seorang budayawan. Penemuan makam ini melalui sebuah mimpi bahwa
di bawah pemakaman warga tersimpan akar Manggong. Dan benar saja
setelah diadakan penggalian sejauh 15 m ditemukan 2 nisan bertuliskan
Ki Gondang dan Nyi Gondang dalam huruf Jawa. Makam ini kemudian di
pugar dan dipercaya warga sebagai makam cikal pendiri Kelurahan
Manggong.
Kelurahan Manggong merupakan wilayah dengan 3 dusun, yaitu
Dusun Gondang Duwur, Dusun Gondang Ngisor, dan Dusun Manggong.
Ya, nama-nama ini merujuk pada nama Kyai Manggono, dan sebutannya
setelah menetap di Manggong. Jaman itu di duga Kyai Manggono
bermukim di wilayah Gondang Duwur yang memang oleh masyarakat
Manggong dipercaya sebagai wilayah dengan peradaban tertua, tepatnya
saat itu bermukim di Sepomahan (saat ini berada di bagian barat
pemukiman warga Manggong). Perlahan-lahan setelah berbaur dengan
wilayah lain, warga Manggong membangun pasar untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dan juga untuk berinteraksi dengan warga wilayah
lain. Lokasi pasar kuno yang di rujuk adalah yang saat ini menjadi Pasar
Adiwinangoen, yang merupakan pasar induk di wilayah Temanggung
utara, dan menjadi salah satu pasar dengan perputaran terbesar di
Kabupaten Temanggung. Keberadaan pasar ini yang ada di bawah
pemukiman warga Manggong kuno menjadi daya tarik bagi masyarakat
daerah lain sehingga banyak pendatang di Manggong. Bahkan
pemukiman wargapun perlahan bergeser mendekati pasar, hingga ada
wilayah pemukiman baru di sebelah selatan pasar yang dikenal dengan
wilayah Gondang Ngisor.

Gambar 3. Makam Ki Gondang dan Nyi Gondang


Sementara dusun di Manggong lainnya yakni Dusun Manggong
justru bukan merupakan dusun tertua melainkan merupakan Dusun
termuda di Manggong. Dipercaya bahwa dusun ini menjadi pemukiman
baru dikarenakan kedatangan seorang utusan dari Pangeran Diponegoro
yang bernama Raden Suryadi. Raden Suryadi yang disambut baik oleh
masyarakat kemudian memilih bermukim di pinggir desa yakni di sebelah
selatan sungai yang menjadi batas desa. Wilayah ini kemudian
berkembang menjadi dusun baru. Raden Suryadi menetap d Manggong
hingga akhir hayatnya dan keturunannnya pun masih ada hingga saat ini.
Makam Raden Suryadi dapat ditemukan di wilayah Dusun Manggong
yakni di dekat Sendang Beji yang merupakan daerah mata air terbesar di
wilayah Manggong, namun saat ini Sendang Beji masuk dalam daerah
administrasi Desa Petirejo, desa tetangga di sebelah selatan Kelurahan
Manggong.
Jadi nama Manggong rupanya sedikit kaitannya dengan Demang
Gong, juga bukan berasal dari kata sanggong yang sering di dengar
Manggong. Nama Manggong lebih merujuk kepada nama seseorang yang
menemukan kembali wilayah yang peradabannya pernah tertimbun paska
letusan Gunung Sindoro. Ya, nama Manggong lebih erat dikaitkan dengan
Nama Kyai Manggono. Demikian pula dengan nama-nama Dusun di
Manggong juga kembali merujuk kepada sebutan Kyai Manggono yaitu Ki
Gondang. Namun tidak menutup kemungkinan nama-nama ini ternyata
berdasarkan hal lain jika ada sejarah baru yang ditemukan. Penggalian
sejarah ini adalah hal yang dinamis. Semakin kita menggali semakin
banyak hal yang kita temukan, semakin membuat kita sadar ada begitu
banyak hal yang kita tidak tahu. Sehingga proses belajar manusia
berlangsung terus-menerus, menghasilkan peradaban baru yang lebih
kaya dan kompleks.
DAFTAR PUSTAKA

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta:


Kepustakaan Populer Gramedia.

Martono, Hendro. 2017. Penelusuran Sumber Sejarah Kuna di


Temanggung. Temanggung: Direktorat Jendral Kebudayaan
Kementrian Pendidikan dan Kebudaayaan, Yayasan Cendikia
Mandiri Temanggung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Temanggung dan Forum Ikatan Kadang
Temanggungan.

Vrandes Setiawan Cantona. 2020. Menelusuri Jejak Peradaban Kuno


yang Pernah tumbuh di Manggong pada abad ke VIII Masehi.
Jurnal

Anda mungkin juga menyukai